Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

28 Desember 2020

Rumah di Jalan Kolombo, Cerpen Horror

Note: Cerpen ini dibuat khusus untuk thread di Twitter, jadi gaya bahasa yang digunakan disini memang sengaja dibuat lebih santai dari biasanya. Enjoy!

------------------------------------------------------------------------------------------------


Rumah di Jalan Kolombo


Aku mau cerita sedikit. Ini pengalamanku waktu kelas tiga SMP. Daridulu aku nggak percaya hantu sih, tapi kalo ingat pengalaman ini suka takut sendiri.

Aku sekolah di SMPN 1. Waktu kelas tiga aku punya teman namanya Fikar. Fikar ini bukan angkatanku, jadi sebenarnya dia sudah dua kali tinggal kelas. Kebetulan karena jumlah cowoknya ganjil, aku yang kebagian duduk sebangku sama si Fikar ini. Di tahun-tahun sebelumnya aku selalu kebagian duduk sama cewek.

Awalnya aku senang kan, aku akhirnya punya teman sebangku cowok. Sebenarnya aku nggak masalah duduk sama cewek, tapi jujur aku jadi sering dijodoh-jodohin sama mereka. Ini bikin aku risih.

Tahun ketigaku di SMP dimulai. Aku mencoba akrab sama Fikar. Awalnya semuanya lancar, tapi terus aku mulai menemukan hal-hal yang agak aneh dari si Fikar. Fikar ini orangnya tertutup, dan dandanannya sedikit lusuh. Aku nggak keberatan sebenarnya, karena aku nggak mau pilih-pilih soal teman.

Tapi yang bikin aku nggak nyaman itu bau tubuhnya Fikar. Aku nggak tahu persis gimana bilangnya, kalo kubilang baunya agak mirip hewan yang udah mati, mirip bangkai. Tapi aku nggak pernah berani ngomong sama dia. Aku coba tahan duduk sebangku sama dia.

Suatu hari aku sama Fikar dapet tugas buat dikerjain bareng, karena ini tugas sebangku. Aku ngasih saran buat dikerjain di rumah Fikar, tapi dia menghindar.

Rumahmu dimana sih? Ngerjain di rumahmu aja gimana?“Tanyaku ke dia.

Jangan deh, rumahku kotor sama berantakan. Aku malu.” Fikar jawab gitu. Dia nggak begitu suka ditanya-tanya soal hal pribadi. Fikar lebih suka ngomong hal-hal umum yang nggak berhubungan sama keluarganya.

Kubilang, “Nggak apa-apa, rumahku juga kotor sama berantakan kok.” tapi Fikar tetap bersikeras nggak mau.

Fikar emang nggak pernah ngaku rumahnya dimana. Dan karena aku nggak mau maksa, jadi kuputusin buat ngerjain di rumahku aja sebagai ganti.

Kamu ke rumahku bisa kan, di Semiti? “

Fikar ngangguk. Dia setuju datang jam empat sore. Tapi Fikar baru datang menjelang magrib. Waktu datang ke rumah, sama seperti seragam sekolahnya, kaos yang dipakai Fikar baunya nggak enak. Disitu ibuku sampai heran.

Kuceritain kondisi Fikar ke ibuku diam-diam. Akhirnya ibuku kasihan. Dia bungkusin Fikar beberapa baju sama seragam baru cadangan punyaku. Fikar juga bolak-balik disuruh makan sama ibuku, karena ibu bilang tubuh Fikar kurus banget.

Dari situ aku sama Fikar ngerjain tugas sampai malam.

Tidur sini saja ya, Fikar.” Ibuku nawarin.

Nggak bisa, Bu. Saya harus pulang,” Fikar menolak. Ibuku berulangkali bujuk tapi Fikar tetap nggak mau. Dia kelihatan gelisah.

Takut ortumu marah? Bilang aja tugasnya belum selesai.” kataku, tapi Fikar tetap ngotot mau pulang.

Akhirnya kuanter si Fikar pulang ke rumah dia. Fikar sempat nggak mau kuantar, tapi kupaksa. Aku kasihan sama dia. Dan ternyata emang rumah Fikar jauh banget dari rumahku, apalagi dari sekolah. Pantas kadang dia telat ke sekolah.

Fikar bilang rumah dia ada di Jalan Kolombo. Waktu sampai disana keadaannya sepi banget. Jarak antar rumah satu sama yang lain juga agak jauh. Aku baru pertama kali lewat situ.

Sampai sini aja.” kata Fikar. Dia maksa turun, padahal belum sampai depan rumah. Dia lalu jalan dan kulihat dia masuk salah satu rumah.

Rumah Fikar ada di ujung. Keadaannya gelap gulita. Fikar hampir nggak punya tetangga, kecuali satu rumah lain yang bersebrangan sama rumah dia.

Disitu sebenarnya aku sudah merasa ada yang salah sama si Fikar ini, tapi aku nggak begitu mikir. Keadaan sudah malam dan aku cepat-cepat pulang.

Suatu hari Fikar nggak masuk sekolah sampai berhari-hari. Nggak ada surat keterangan dari orangtua dia. Dan selama ini, kalau ada urusan sekolah seperti ambil rapor, Fikar selalu ambil sendiri, nggak pernah diwakili siapapun. Aku heran kemana orangtua dia atau saudara dia.

Wali kelasku minta aku buat antar surat panggilan ke rumah Fikar, karena aku yang tahu rumah dia. Disitu aku sedikit takut, nggak tahu kenapa. Tapi karena nggak ada anak lain yang dekat banget sama Fikar selain aku yang jadi teman sebangku, akhirnya nggak ada pilihan lain.

Aku naik motor ke Jalan Kolombo. Keadaannya sudah sore. Perjalanannya lebih jauh dari yang kuperkirakan. Aku sampai sana sudah nyaris gelap. Agak susah mengingat jalan ke rumah Fikar, tapi aku coba terka-terka mana rute yang kira-kira benar.

Aku sampai di satu rumah yang aku yakin itu rumah Fikar. Kuketuk sekali, tapi nggak ada jawaban.

Permisi,” kataku keras-keras.

Sampai sepuluh menit kemudian belum ada jawaban. Aku merasa gelisah dan bingung harus gimana. Aku pengen cepat-cepat ngasih surat itu lalu pergi. Aku nggak melihat satu orang pun di sekitar situ, termasuk tetangga Fikar.

Aku berdiri mematung sambil mengetuk pintu rumah Fikar sesekali.

Cari siapa?” tanya sebuah suara kemudian.

Asalnya bukan dari dalam rumah, tapi dari luar. Aku menengok ke asal suara itu. Ternyata seorang laki-laki. Kalau kutaksir, umurnya kisaran empat puluhan. Dia nggak bawa apa-apa kecuali sebuah parang.

Saya teman Fikar, dari sekolah. Mau mengantar surat,” kataku sedikit terbata. Laki-laki itu menatapku tajam. Dia langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

Aku memutuskan buat menunggu. Setelah setengah jam, aku habis sabar. Keadaan sudah benar-benar gelap. Aku bermaksud memutar lewat belakang.

Akhirnya aku melihat Fikar.

Ngapain kau kesini?” tanya Fikar saat melihatku. Fikar justru kedengaran marah, padahal aku kesitu dengan niat baik.

Aku mau mengantar surat,” kataku, mendekat ke tempat Fikar berdiri. Tapi aku langsung merasa mual.

Tubuh Fikar bau bangkai, tapi kali ini berkali-kali lipat lebih parah.

Kau kemana saja sih?” tanyaku, setengah mati aku menahan perasaan ingin muntah. Fikar menolak memberi jawaban.

Sudah. Pergi sana. Jangan kembali lagi.”

Fikar malah mengusirku. Ia menyeretku sampai ke motorku. Ia lalu berpesan.

Bilang ke wali kelas, aku belum bisa berangkat untuk sementara.” katanya.


Dua hari kemudian Fikar masuk sekolah. Keadaannya masih sama. Seragamnya masih lusuh. Tubuhnya bau. Dan badannya makin kurus. Dia seperti jarang makan.

Aku merasa ada yang aneh sama kondisinya.


Gimana kabarmu?” kutanya Fikar. Ia mengambil sebuah napas dalam sebelum menjawabku.

Baik.” katanya. Ia memaksakan nada ceria yang terdengar tidak wajar. Suaranya melengking.

Kau ngapain aja sih, kenapa baru masuk?” Aku membombardir Fikar dengan pertanyaan lain.

Urusan keluarga. Sudah, jangan tanya-tanya lagi.” katanya, mengakhiri obrolan.

Aku mengamati sisi wajah Fikar. Pipinya nampak cekung. Matanya terlihat kelelahan. Dan tubuhnya. . ada apa dengan bau tubuhnya?

Berbagai pertanyaan yang tak bisa kujawab merasuki kepalaku. Kenapa Fikar selalu menguarkan bau nggak enak? Kenapa Fikar menghilang selama beberapa hari belakangan? Dan keluarga Fikar. . kenapa keluarga Fikar seperti tidak pernah memperhatikan anak itu?


Aku benar-benar ingin tahu yang terjadi dengan kehidupannya. Fikar seperti berada dalam banyak masalah. . dan dia perlu bantuan.

Beberapa kali, saat menatapku, Fikar terlihat seperti ingin meminta tolong. Aku tahu itu dari matanya yang memelas. Dia tak pernah bisa mengatakannya. Ada beban yang dipendamnya seorang diri. . dan kalau Fikar tidak ingin membagi beban itu padaku. . aku yang akan meringankannya.

Suatu hari aku memutuskan untuk membuntuti Fikar saat pulang sekolah. Dia berjalan naik angkot dan turun di sebuah jalan yang menurutku agak terlalu jauh dari rumahnya. Dari sana ia berjalan kaki.

Aku menitipkan motorku di salah satu rumah warga dekat pangkalan angkot, sebelum berjalan mengikuti Fikar. Aku melakukannya dengan sangat hati-hati, agar Fikar tidak menangkap basahku.

Sampai di Jalan Kolombo, yang kusadari selalu sangat sepi, Fikar berjalan tergesa menuju rumahnya. Ia masuk lewat pintu belakang rumah.

Dalam perjalanan membuntuti Fikar, aku melewati beberapa rumah yang nampak lengang. Kemana warga yang tinggal disini? Pikirku.

Fikar tidak kunjung keluar menjelang sore. Aku menunggu dengan bosan di bawah sebuah pohon dekat rumahnya. Tidak terlihat tanda-tanda anggota keluarga Fikar yang tinggal disitu.

Lalu, setelah lama menunggu, kulihat Fikar keluar dari pintu belakang rumah. Dia membawa sebilah parang, dan sebuah karung besar yang sudah berlubang di banyak tempat. Apakah dia akan merumput? Aku nggak yakin Fikar punya ternak yang perlu diberi pakan.

Aku merasa telah melakukan hal bodoh. Kalau aku ingin membantunya, seharusnya aku menuju rumahnya, dan berbicara baik-baik pada salah satu anggota keluarganya, paling tidak.

Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Fikar. Aku ingin bertemu ibunya atau salah satu saudaranya, kalau ada. Aku merasa sekarang adalah waktu yang tepat, mumpung Fikar sedang keluar.

Kuketuk pintu rumah Fikar. Nihil. Aku berinisiatif untuk masuk lewat belakang, seperti yang dilakukan Fikar. Saat berjalan perlahan melalui samping, aku menilai kondisi rumah Fikar. Rumah itu seperti tidak terurus, seolah sudah lama tidak dihuni. Padahal Fikar tinggal disitu.

Permisi?” Aku mengucapkan salam. Tidak ada yang menjawab.

Kondisi pintu belakang tidak dikunci, hanya digerendel dengan sebuah tali. Pintu itu terbuat dari papan yang memiliki banyak celah diantaranya. Aku mengintip dari celah itu. Kondisi di dalam gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa..

Assalamualaikum?” kataku. Lagi-lagi nihil. Aku mendorong pintu belakang membuka, dan melangkah masuk. Barangkali ibu atau saudara Fikar di dalam, dan mereka tidak mendengar salamku. Aku hanya ingin bicara dengan mereka sebentar.

Debu setebal dua senti menyambutku saat aku melangkahkan kaki untuk masuk. Kondisi dalam rumah jauh lebih parah daripada di luarnya. Banyak sarang laba-laba, dan benar dugaanku: seolah rumah itu sudah lama tidak dihuni.

Ada yang sangat keliru disini. Keadaannya benar-benar hening.

Halo?” kataku.

Entah apa yang mendorongku, tapi aku berjalan masuk semakin dalam. Aku merasa tindakan itu tidak sopan, tapi aku begitu ingin tahu. Setelah kira-kira sepuluh langkah, aku merasa menginjak sesuatu di lantai. Butiran-butirannya berbeda dari debu di sekitarnya.

Aku menyipitkan mata. Ternyata yang kuinjak adalah garam dapur, yang kelihatannya sengaja ditaburkan disana.

Saat aku mendongak, aku menyadari sebuah cahaya temaram berasal dari salah satu ruangan. Apakah orangtua Fikar ada di ruangan itu? Aku berjalan kesana.

Ternyata cahaya itu berasal dari lilin. Di ruangan itu terdapat sebuah kasur. Dan apa yang ada diatas kasur itu adalah gambaran yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.

Aku begitu syok dan diliputi ketakutan. Berbagai gambaran horor memenuhi benakku. Aku berlari keluar dan menabrak Fikar yang membawa karung di pintu belakang. Darah menetes-netes dari karung itu.

APA YANG KAU LAKUKAN DISINI, HAH?” Fikar berteriak marah. Ia membanting karungnya ke lantai.

Dia menyentakkan tanganku keluar dan mendorongku hingga terjatuh. Aku susah payah berdiri sampai terhuyung-huyung. Lututku tidak kuat menyangga badanku. Aku kembali terjatuh.

Apa yang ada di kasur tadi??? Kenapa orangtuamu dirantai begitu??” Aku menangis sejadi-jadinya. “KAU APAKAN MEREKA?” Aku berteriak tepat di wajah Fikar. Fikar balas berteriak di depanku.

Mereka penganut ilmu hitam! Dan mereka kelaparan! Aku yang merantai mereka dan mencarikan mereka makan dari bangkai hewan!” Fikar berteriak dan menunjuk karung berbau anyir yang kini tergeletak di tanah. “Kalau tidak mereka akan keluar dan membunuh orang-orang! Itu yang terjadi dengan warga sekitar sini!

Aku begitu tertegun dengan penjelasan Fikar.

Kenapa kau tidak meminta bantuan? Kenapa tidak ada polisi atau kepala desa yang datang mengusut? Kemana saudaramu?” tanyaku. Suaraku serak.

Bantuan siapa? Polisi? Politisi? Kau pikir mereka bisa diandalkan? Dan saudaraku—MEREKA SEMUA SUDAH MATI! SEKARANG PERGI DARI SINI!”

JANGAN PERNAH KESINI LAGI!” Fikar berteriak dengan marah sekaligus sedih. Ia lalu melepas sebuah kalung, semacam jimat, dan melingkarkannya di leherku.

SANA! PERGI SEKARANG JUGA, SEBELUM ORANGTUAKU BANGUN! DISINI BERBAHAYA! JANGAN PERNAH LEPASKAN KALUNG ITU!”

Aku berbalik dan berlari sekencang-kencangnya. Sejak itu Fikar tidak pernah terlihat lagi.

Readmore → Rumah di Jalan Kolombo, Cerpen Horror

11 November 2020

Always Remember Us This Way (Cerpen)

Always Remember Us This Way


Aku ingat saat pertama kali pacaran dulu. Aku ingat ciuman pertamaku. Orang bilang kita tidak bisa melupakan cinta pertama, bagiku pepatah ini benar adanya.

Dulu saat aku SMP, aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Aku bukan satu-satunya yang berbuat demikian. Lagipula waktu itu motor belum terlalu ngetren seperti sekarang. Kebanyakan murid SMP kelas tiga sepertiku pulang dengan jalan kaki dari sekolah sampai rumah.

Cinta pertamaku adalah laki-laki. Dulu aku belum tahu kalau aku biseksual. Pemuda yang dulu kusukai barangkali sudah bekerja sama sepertiku sekarang. Aku penasaran bagaimana rupanya saat ini. Well, aku masih ingat dengan jelas siapa nama pemuda itu.

Namanya Pambudi. Dia dulu tinggal satu rukun tetangga denganku selama beberapa tahun. Sore ini aku ingin mengenang saat-saat indah itu sekali lagi.

Maka kutinggalkan motorku di parkiran kantor saat lewat pukul empat. Aku naik angkot dari Jl Trembesi hingga ke Jl Harapan dimana bangunan SMP tempatku sekolah dulu masih berdiri dengan kokoh. Aku turun dari angkot bersamaan dengan sebagian besar murid SMP yang pulang dari kegiatan ekstrakurikuler. Mereka menghambur besebrangan arah denganku.

Ternyata segelintir anak masih berjalan kaki sama halnya denganku dulu. Dengan sumringah aku berjalan menenteng tas selempang kerjaku di jalan yang dulu biasa kulalui. Aku menjulang diantara kepala murid-murid yang hanya setinggi dadaku. Aku tidak sadar betapa diriku dulu sangat mungil saat seumuran mereka.


Dulu, di sepanjang jalan aspal ini, aku dan Pambudi sering pulang bersama-sama berjalan kaki.

Aku masih ingat betul.

Kami akan pulang sangat sore setelah bermain game berjam-jam di warnet dekat sekolah. Aku masih ingat langit berwarna oranye yang membara akibat matahari terbenam di barat. Saat itu adalah saat-saat dimana aku masih naif. Aku masih sangat muda dan penuh semangat. Aku merasa bisa melakukan apa saja.

“Pak Lukas itu ngeselin banget, ya? Guru killer. Mana kalo ngasih PR nggak kira-kira.” Budi akan membicarakan pelajaran hari itu. Ia tidak begitu suka dengan Pak Lukas Mardi, guru Matematika.

“Kadang-kadang sih. Tapi banyak yang bilang Pak Lukas galak karena ia tidak mau diremehkan murid-muridnya.” Aku tidak bisa ingat kenapa aku bersikap defensif pada Pak Lukas.

“Aku lebih suka Bu Yuni.” Pambudi lalu akan bicara demikian. Ia memang ngefans dengan guru Bahasa Jawa satu itu. “Kalo ngajar sabaaar banget,”

Iya sih. Kalo Bu Yuni sih banyak yang akan setuju kalau dia emang sabar orangnya.”

Ibumu udah sembuh?” Lalu aku akan bertanya demikian. Mungkin hampir selalu. Aku heran kenapa Budi tidak bosan-bosan kutanyai pertanyaan itu saat itu. Pada saat-saat itu memang ibunda Pambudi sudah berulang kali jatuh sakit. Aku ingat juga kalau pada masa itu sedang ada wabah.

Udah mendingan, daripada semalem.” kata Budi. Ia tidak terlalu suka jika ditanya soal ibunya. “Jangan langsung pulang yuk,” ajaknya kemudian.

Waktu itu aku akan sedikit merasa keberatan. Ada yang salah dari ide menunda pulang hari itu. Tapi pada akhirnya, entah karena apa kuiyakan saja ajakan Budi. Kami kemudian akan duduk-duduk di rerumputan, menonton pertandingan bola di lapangan Selak hingga nyaris gelap. Menunda waktu pulang lebih lama. Ibuku akan ngomel jika aku berbuat demikian, tapi aku merasa tidak terburu-buru saat itu.

Aku dan Budi akan ngobrol tentang apa saja. Selalu ada hal untuk dibicarakan. Guru-guru kami. Orang tua kami. Game terbaru. PR kami hari itu. SMA yang akan kami tuju.

“Sebetulnya aku benci pulang.” kata Budi tiba-tiba. Jika saat itu saat-saat lain, aku pasti akan heran. Tapi aku mengerti kenapa saat itu Budi lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ia tidak bisa melihat ibunya sakit terus-terusan.

Tante Hana, ibu Budi, didiagnosa kanker limfoma setahun lalu. Meski ada ayah Budi yang menjaga dan merawat bundanya, aku tahu Budi tetap tidak tega dengan kondisi sang ibu. Aku sering ingin menawarkannya menginap di rumahku, tapi itu tindakan yang benar-benar egois. Aku telah bersama Budi seharian. Tante Hana pasti ingin bersama Budi kendati beliau sakit.

Saat hari akhirnya benar-benar gelap, kami baru berpamitan satu sama lain.

Aku ingat perasaan kosong saat akhirnya aku ditinggalkan Budi. Aku ingat mata bening milik Budi saat ia bicara padaku,

“Makasih udah nemenin. Sampai ketemu besok ya, Al.”

Sayangnya “besok” tidak selalu berarti “besok” jika Budi yang mengucapkan. Kalau ayah Budi harus bekerja, mau tidak mau Budi-lah yang merawat ibunya dari rumah. Aku baru akan bertemu Budi setelah beberapa hari. Ia mendapat izin khusus dari kepala sekolah untuk bersekolah dari rumah. Aku yang akan membawakan PR-PRnya dan sedikit menjelaskan materi hari itu.

Jika kuingat sekarang, sebetulnya aku lumayan menikmati saat-saat itu. Aku bisa sering bertemu Budi di rumahnya. Yang menggangguku hanyalah kondisi Tante Hana yang memprihatinkan.

Suatu sore Budi sedang menyalin gambar sistem peredaran darah punyaku saat kuajak ia keluar. Hari sudah menjelang magrib.

“Main keluar bentar yuk Bud, daritadi kau belajar terus.”

“Tunggu ayahku pulang, ya.” Ia akan meminta demikian.

Saat Om Handi akhirnya sampai rumah, aku dan Budi akan meniti jalan aspal sepanjang dinding semen yang memagari padang di pinggiran kampung. Kami akan membeli bakpao Cik Lili sambil mendengarkan lagu-lagu Plural, sebuah band lokal, diputar dari stasiun radio amatir dari salah satu rumah.


Beberapa anak yang berjalan membarengiku menatapku dengan pandangan ingin tahu saat aku berhenti di persimpangan dimana dinding semen yang merupakan batas desa dibangun puluhan tahun lalu berakhir. Dinding itu akan berlumut kalau musim hujan. Tapi jika musim kemarau begini kondisinya kering dan cukup enak untuk diduduki.

Aku duduk di dinding semen itu setelah berjalan beberapa ratus meter. Dengan sedikit usaha aku mengenang momen-momenku yang terekam disana. Kenangan yang paling berkesan adalah saat aku untuk pertama kali mencium Budi.

Saat itu aku menyaksikan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Budi menangis tersedu-sedan.

“Nggak usah sedih ya Bud,” Aku takkan tega melihatnya bersimbah air mata. Tapi sebetulnya aku tidak punya hak sama sekali untuk berkata demikian, karena aku tidak tahu beban yang dirasakannya.

Pada waktu itu, ketika melihat kondisi Budi rapuh karena penyakit ibunya, sesuatu dalam diriku mendorongku mengatakan hal-hal yang tidak biasa dikatakan anak laki-laki pada anak laki-laki lainnya. Tapi toh aku tetap mengatakan hal-hal itu.

“Aku sayang kamu, Bud. Kau nggak perlu kuatir soal ibumu. Dia bakal baik-baik saja,”

Aku tidak tahu apakah itu kalimat penghiburan yang bagus, tapi orang-orang sering mengatakannya ‘kan? Aku hanya ikut-ikutan. Tapi kalimat pertama yang keluar dariku itu sebetulnya tulus dari lubuk hati.

Lalu aku akan melakukan sesuatu yang lain, yang tidak biasa dilakukan sesama anak laki-laki. Aku mencium Budi, mula-mula dikeningnya. Lalu di pipi. Kemudian di bibir. Aku tidak tahu kenapa aku berbuat demikian, tapi aku merasa naluri melindungi dari dalam diriku mendorongnya.

Entah kenapa Budi tidak menolak.

Dia tidak akan berkata apa-apa sebagai gantinya. Alih-alih, karena suara Budi merdu, ia akan menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris yang dulu tidak begitu kupahami artinya. Lagu itu juga sering diyanyikan kakak perempuanku, Margaretha.

So when I'm all choked up

But I can't find the words

Every time we say goodbye

Baby, it hurts

When the sun goes down

And the band won't play

I'll always remember us this way

Yang kutahu, itu lagu yang bagus. Aku akan memeluk Budi dan berjanji melindunginya. Kami akan berpisah setelah magrib. Saat itu aku tidak sadar, tapi aku sangat mencintainya. Lebih dari sekadar sahabat atau teman sekolah.

Aku mencium Budi pada bibirnya, lagi, dan dia tidak keberatan. Sampai sekarang itu satu-satunya ciuman yang paling kuingat kuberikan pada seseorang, lebih daripada orangtuaku sendiri.

Beberapa minggu kemudian Tante Hana meninggal. Aku ingat memeluk Budi yang menangis keras di pemakaman. Aku tidak sanggup berkata-kata saat itu. Tapi hatiku remuk.

Om Handi pindah bulan berikutnya karena ia begitu patah hati ditinggal mati istri yang amat sangat dicintainya. Sejak saat itu aku tidak melihat Budi lagi. Aku tidak bisa menemukannya di Facebook, Twitter, atau setiap sosial media yang kupakai. Tapi dalam hati aku menganggap Budi adalah pacarku secara sepihak. Dialah cinta pertamaku. Aku baru menyadarinya berbulan-bulan kemudian.

Aku mulai merindukan Budi saat ia tidak ada. Lalu aku akan menangis. Tapi pada saat-saat seperti sekarang ini, pada sore hari yang cerah dan hangat penuh sinar matahari, entah kenapa otakku melabeli momen itu sebagai kenangan yang indah. Aku kangen oleh sosok Budi, meski sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya.


Sore itu, saat aku bangun dari dudukku dari dinding semen, lagi-lagi aku mendengar lagu Plural disetel setelah bertahun-tahun tidak kudengar. Band Plural sudah tidak se-ngetop dulu.

Aku mulai berjalan ke rumah. Pekerjaan hari itu tidak banyak, tapi entah kenapa aku tetap merasa letih yang tidak berhubungan dengan berjalan kaki. Ketika aku sampai di pekuburan umum yang ada di pinggiran kampung, kulihat sosok pemuda yang tak pernah kulihat sedang berdoa dari salah satu makam. Aku mengenali makam itu sebagai kuburan Tante Hana.

Kuberhentikan langkahku. Aku menunggu pemuda itu selesai berdoa. Seperempat jam kemudian, saat si pemuda beranjak keluar, aku mencegatnya dan menyapa pemuda itu di luar gerbang makam.

“Hei, “ sapaku.

“Halo,” Ia membalas ramah. Aku seperti mengenali nada bicara orang itu.

“Yang kau doakan barusan siapa?” Aku bertanya terus terang.

“Aku dari makam Ibuku.” jawab si pemuda. Aku tertegun.

“Ah. . Namamu Pambudi. . ?” Aku lanjut bertanya.

Si pemuda tampak berusaha berpikir, sebelum sebuah nama keluar dari mulutnya. “Aldi kah?”

“Yep.” kataku.

“Puji Tuhan.” Ia berkata.

Budi memelukku. Aku memeluknya balik.


Aku benar-benar tidak menyangka. Kuajak Budi ke lapangan Selak. Aku merasa luarbiasa gembira.  Rasa letihku sirna seketika. Kami duduk-duduk di rerumputan dan ngobrol lagi seperti dulu.

Aku tak henti-hentinya memandangi Pambudi. Kini ia seorang laki-laki dewasa. Dalam kepalaku, berulangkali terdengar Lady Gaga melantunkan sebuah lagu yang bertahun-tahun ini terlalu sering kuputar,

Lovers in the night

Poets tryin' to write

We don't know how to rhyme

But, damn, we try

But all I really know

You're where I wanna go

The part of me that's you will never die

So when I'm all choked up

And I can't find the words

Every time we say goodbye

Baby, it hurts

When the sun goes down

And the band won't play

I'll always remember us this way

Oh, yeah

I don't wanna be just a memory, baby, yeah

Hoo, hoo, hoo, hoo

Hoo, hoo, hoo, hoo

Hoo, hoo, hoo, hoo, hoo




END

Readmore → Always Remember Us This Way (Cerpen)

29 September 2020

Sebuah Cerpen: Mawar yang Tak Pernah Berbunga

Mawar yang Tak Pernah Berbunga (Rose That Never Reach It's Bloom)

.

Untuk Gilbert, yang membuat hidupku penuh dengan warna.


.

.


Rumah Yohanes dipenuhi dengan semak mawar. Halaman depan. Halaman belakang. Bahkan di samping rumah. Anes benci melihatnya, karena semak-semak mawar itu tidak pernah sekalipun berbunga.

Pohon-pohon mawar di sekeliling rumah Yohanes sudah ditanam sejak ia berumur tujuh tahun, dan kini di usianya yang kedua puluh satu, Ibu Yohanes, Martha, masih belum menyerah untuk menunggu mawar itu melahirkan kuncup pertamanya.

Anes merasa perbuatan itu sia-sia saja. Semak pohon mawar di rumahnya tidak pernah membawa hal positif. Gara-gara sulur mawar itu, rumah Yohanes seperti dikelilingi pagar berduri. Yohanes tidak pernah melihat manfaat dari mempertahankan pohon-pohon mawar itu. Duri dari semaknya seringkali membuat Yohanes terluka jika ia harus berjalan dari samping rumah yang sudah sempit menuju halaman belakang.

Bukankah lebih baik memangkas semua semak itu dan menggantinya dengan tanaman lain? Pikir Yohanes. Jika ia menanyakan hal ini pada Martha, jawaban ibunya akan selalu sama.

“Itu mawar peninggalan Bapak. Dia tidak meninggalkan kita apa-apa kecuali mawar itu. Sebisa mungkin dirawat.”

“Itu cuma semak-semak, Ma. Mawar itu nggak pernah berbunga juga kok. Kita bisa menanam bunga lain sebagai ganti. Bunga matahari, misalnya. . “ Anes menyarankan suatu hari.

“Suatu saat pasti berbunga. Itu janji Bapak buat Mama. Jangan mengatur-atur Mama kalau kau tidak tahu sejarahnya,” kata Martha. Ia selalu ngotot menolak.

Begitulah Martha kalau berkilah. Bunga mawar itu hanya bualan dan akal-akalan ayahnya yang sudah mati, dan Martha mempercayainya. Stefanus tidak meninggalkan sesuatu yang berguna bagi mereka. Tidak ada rumah atau mobil atau tanah sebagai warisan. Semua yang mereka miliki sekarang adalah hasil kerja keras ibunya dan Abigail, kakak perempuan Yohanes. Hanya tanaman mawar bodoh itu satu-satunya peninggalan Stefanus. Tanaman itu bahkan tidak sanggup berbunga. Lebih menyerupai benalu, jika kau tanya pendapat Yohanes.

Anes tahu ibunya sedang denial. Martha tidak ingin merasa tolol karena ia telah merawat semak mawar itu sejak dulu, belasan tahun lamanya. Ibunya tidak bisa menerima kenyataan bahwa mawar-mawar itu tidak pernah berbunga dan takkan pernah berbunga sampai kapanpun. Ia selalu menutupi rasa kecewa-nya dengan pura-pura merawat tanaman duri yang mengelilingi rumah mereka, dan memberi dirinya sendiri harapan palsu dengan keyakinan bahwa suatu hari tanaman itu akan mekar akhirnya. Nyatanya hari yang dimaksud tidak pernah tiba.

Yohanes dulu optimis sama seperti ibundanya, saat ia kecil. Tapi semakin dewasa Anes belajar bahwa hal-hal di dunia nyata tidak seindah kelihatannya. Kenyataan ternyata tidak seindah yang dibayangkan orang-orang dalam film.

Perayaan natal, dengan sinterklas dan segala pernak-perniknya telah menipu masa kecil Yohanes. Pada umur berapa kau menyadari bahwa ternyata santa dan kereta terbangnya tidak pernah benar-benar ada? Kini Yohanes tidaklah naif. Ia tidak akan membiarkan dirinya disakiti oleh harapan palsu. Apa yang lebih membuat patah hati, selain menemukan fakta bahwa dunia nyata itu kejam, tidak seperti apa yang dibayangkan oleh anak kecil yang didongengi dunia fantasi penuh keindahan?

Damai itu hanyalah omong kosong. Di sisi bumi yang lain orang-orang sedang berperang. Orang-orang Papua dan masyarakat adat lain terus dirampas hak-haknya. Doa saja tidak akan cukup untuk menolong mereka. Doa adalah wujud kemalasan orang-orang yang enggan bertindak dan membantu mereka yang dalam pesakitan.

Kita harus berbuat sesuatu kan? Tapi apa yang bisa dilakukan Yohanes selain memohon pada Tuhan? Masihkah Tuhan mendengarkan doa manusia? Masihkah berdoa relevan?


Anes mungkin tidak akan terlalu ketus soal semak mawar itu seandainya ia tidak dipaksa ikut-ikutan merawatnya. Bahkan saat hari kematian ibunya, menjelang ulang tahunnya yang kedua puluh dua, satu-satunya pesan terakhir Martha tak jauh dari soal bunga sialan itu.

“Jadilah anak yang baik. Tolong rawat mawar-mawar itu sampai ia berbunga, ya nak. Bawa ke pemakaman Ibu jika kau sudah bisa memetiknya.”

Yohanes ingin marah jika mengingat pesan itu. Ayahnya telah menipu sang Ibu. Tapi toh Yohanes tetap melaksanakan perintah Martha. Ia tetap menyiram tanaman mawar di sekeliling rumahnya setiap sore. Ia tetap merabuki tanaman mawar itu dengan pupuk hanya agar ia tidak merasa telah mengabaikan pesan terakhir ibunya. Ia tetap memangkas dahan yang terlalu panjang dan menganggu, kendati dengan menggerutu dan marah.

Setiap hari Kamis Yohanes pergi ke makam orangtuanya ditemani Antonius, pacar laki-lakinya. Martha dimakamkan tepat disamping Stefanus.

Yohanes tidak pernah bersedih atau menyesal soal kematian orangtuanya. Karena semua yang hidup pasti akan mati, cepat atau lambat. Yohanes lebih suka bersikap realistis dan mengabaikan perasaannya. Orang-orang keliru jika menganggap kematian adalah hal yang buruk. Kehidupan jauh lebih mengerikan karena dunia penuh dengan banyak penderitaan. Semakin cepat kau meninggal maka lebih baik.

“Siapa sih yang membuat tradisi membawa bunga ke makam?” Anton bertanya saat mereka tiba di pemakaman. Anak itu berjalan diantara nisan-nisan, mendahului Anes. Anes melihat orang lain datang dengan membawa keranjang berisi bunga dan menaburkan kelopak-kelopaknya diatas nisan orang yang telah meninggal. Ia sendiri tidak membawa apa-apa.

“Entahlah.” jawab Anes, agak telat. Anton sudah tidak mendengarkan. Dia kini berdoa. Ini hal yang aneh mengingat anak itu juga bukan orang yang percaya kekuatan doa. Yohanes ke pekuburan untuk mengenang orangtuanya, bukan untuk mendoakan mereka.

Karena melihat Yohanes tidak membawa bunga, seorang peziarah menaburkan sejumput bunga miliknya di kuburan Martha dan Stefanus. Anes mengangguk pada peziarah yang menaburi bunga di makam orangtuanya. Baik sekali orang itu.

“Menurutmu orangtuaku dengar kalau kita berdoa?” Anes bertanya pada Anton saat anak itu selesai.

“Enggak, menurutku mereka nggak dengar.” jawab Anton gamblang.

“Lantas? Ngapain kau berdoa?”

“Entah ya, kadang aku melakukan sesuatu karena ingin. Aku sedang ingin berdoa, maka aku melakukannya. Tapi aku tidak terlalu percaya bahwa doa benar-benar berguna.”

Anes seringkali sangsi jika menyangkut mendoakan orangtuanya. Apakah tindakan ini perlu? Meski Martha dan Stefanus adalah orang-orang baik, Anes tidak terlalu yakin jika ia mengagumi mereka. Dan lagi, tidakkah orang baik tidak perlu didoakan?

Anton memperhatikan Anes lekat-lekat. “Tidak setiap pertanyaan harus ada jawabannya, Nes. Sama halnya dengan doa. Kalau kau ingin melakukan sesuatu, lakukan saja. Selama kau merasa hal itu baik. Aku pribadi merasa berdoa membuat diriku tenang, walau seperti yang kubilang, doa itu mungkin sia-sia. Tapi hanya itu yang bisa kita lakukan, ‘kan? Kau boleh saja berdoa, mungkin juga itu berguna bagimu. Kita nggak selalu tahu pasti apa yang berguna atau tidak. Lakukan saja.”

Berdoa mungkin salah, tapi kita tidak harus selalu melakukan hal yang benar.


Setengah jam berlalu dan dua orang itu telah selesai mendoakan orangtua Yohanes. Pada akhirnya Anes mendaraskan doanya sendiri, kendati dengan tidak yakin. Dengan pandangan menilai Anton melihat seorang peziarah menaruh sekuntum mawar di salah satu makam saat mereka keluar.

“Tidakkah kurang sopan. . menaruh bunga di makam? Buat apa memberi bunga pada orang yang sudah mati? Aku gagal paham, deh. Kenapa tidak memberikan bunga saat orang itu masih hidup saja? Bunga itu simbol harapan. . sementara pemakaman ini tempat orang-orang mati. Orang mati tidak butuh harapan. Yang lebih butuh harapan adalah orang hidup. .” Anton mulai ngomong panjang lebar.

“Kalau boleh jujur aku lebih suka tradisi Yahudi, alih-alih bunga mereka menaruh batu di makam, walau aku nggak tahu apa maksudnya, tapi menurutku tindakan itu lebih sopan.” Anton menyelesaikan kalimatnya.

“Simbol harapan itu bukan bunga, tapi pelangi.” Anes mengoreksi Anton. Ia penasaran kenapa anak itu berpikir demikian.

“Iya sih, tapi pernah nggak kau mikir. . kemanapun kita pergi selalu ada bunga. Di tempat paling terpencil sekalipun. . Di tempat paling susah dijangkau, paling ekstrem. . selalu ada bunga. Diatas gunung, di tepi jurang, di tengah hutan. Selalu ada bunga-bunga. Mereka juga simbol harapan.”

Dalam perjalanan ke rumah Anton bercerita banyak soal bunga. Ia memang penyuka bunga. Di sepanjang trotoar jalan yang telah dibeton, dari retakan-retakan disitu tumbuh berbagai bunga putih liar yang berukuran kecil dan tampak rapuh, yang namanya tidak diketahui Yohanes. Walau sering diabaikan, bunga-bunga itu sebetulnya cantik. Anton sering mengambilnya untuk ditaruh diantara lembaran buku. Kali ini pun demikian.

Anes menunggu sementara Anton mengumpulkan bunga-bunga itu. Saat itu dirinya berpikir, jika bunga-bunga liar di pinggir jalan ini bisa tumbuh dengan mudahnya, kenapa semak mawar di rumah Yohanes yang telah dirawat dengan susah payah justru malah sulit untuk berbunga?

Yohanes mempelajari apa yang salah dari bunga mawar di rumahnya. Kenapa tanaman itu tak pernah mau memekarkan satu pun kelopaknya? Apakah tanahnya tidak subur? Apakah ia kurang menaruh pupuknya? Apakah Yohanes menyiraminya terlalu sering? Saat ia mendiskusikan hal ini pada Anton, anak itu memberi jawaban yang sedikit masuk akal.

“Mungkin belum waktunya berbunga. Dia belum mau, paling. Kalau sudah waktunya, pasti nanti bakal berbunga.”

“Jangan omong kosong soal harapan lagi. Bunga macam apa yang butuh waktu pemekaran selama bertahun-tahun?” Anes menyanggah.

Well, ada sejenis tanaman mawar yang butuh lima belas tahun sampai bisa berbunga kalau kau pernah dengar. Mungkin yang ditanam di rumahmu jenis yang itu.”

“Huh? Memangnya ada bunga semacam itu?”

“Kayaknya, sih. Kalau nggak salah aku pernah baca soal itu, besok coba kubawa deh bukunya.”

Setelah berjalan kaki selama dua puluh menit dari pemakaman mereka sampai di kompleks rumah Anes. Anton memasukkan bunga kecil yang dipetiknya ke saku celana.

“Nggak mau mampir?” Anes menawari Anton. Itu pertanyaan yang sudah sering ia ajukan pada pacarnya. Rumah Antonius sendiri ada di paling ujung, Anes jarang melaluinya. Anton menatap ragu-ragu gerbang rumah Anes, sebelum memutuskan masuk.

“Boleh,” jawab anak itu.

Dulu, di depan Ibu Yohanes mereka berpura-pura sebagai teman akrab, tapi sejak kematian bundanya bulan lalu mereka tidak perlu berpura-pura lagi. Meski begitu Anton masih canggung jika berada di sekitar rumah Yohanes.

Anes membawa pacarnya ke halaman belakang, dimana tempat itu sepenuhnya tertutup oleh semak mawar. Walau Yohanes enggan mengakui ini, sebetulnya semak-semak mawar itu cukup berguna untuk menghalangi tetangga yang selalu ingin tahu urusan pribadinya. Di dunia yang serba ingin tahu, semak mawar itu memberikan hal yang jarang ia punya: privasi. Hal itu yang Yohanes butuhkan sekarang.

Napas Anton memberat. Ia tahu kenapa Yohanes mengajaknya kesini, ke halaman belakang. Ia pernah disini untuk membantu Yohanes dan ibunya menyiangi rumput di halaman, tapi bukan untuk alasan itu ia berada disini sekarang.

Pada suatu hari yang gerimis, di halaman belakang situ Anton dan Yohanes pernah bercinta. Semua orang sedang ke gereja pada waktu itu. Sekarang setelah lama tidak melakukannya, Anton tahu Yohanes ingin mengulangi kisah itu.

Anes memiting Anton ke dinding.

“Nanti kalau kakakmu lihat gimana?” Anton bertanya dengan lirih. Suaranya dikuasai rasa kuatir, tapi juga gairah.

“Abigail belum akan pulang.” Anes membalas sama lirihnya. Ia menenangkan Anton dengan ciuman. Dan terulanglah kisah itu. Bedanya kali itu tanpa gerimis. Baju mereka tidak basah.

Karena lama tidak melakukannya, rasanya perih saat Anes melakukan penetrasi. Mengingat keduanya tidak memakai lubricant, Anes kesulitan saat melesakkan benda miliknya lewat lubang belakang Anton.

Saat selesai keduanya berbaring di tanah, di bawah naungan semak-semak mawar yang tidak ada bunganya. Anton menatap semak-semak itu dengan sedih. Kadang-kadang ia jadi melankolis setelah melakukan hubungan seks.

“Coba orangtua kita tahu kalau kita sebetulnya saling mencinta. . “ Ia menerawang dengan galau.

“Mereka tahu, kayaknya.” Anes menjawab.

“Siapa?”

“Ibuku. Menurutku dia tahu kalau kita pacaran,”

“Betulkah?”

“Dia nggak bilang sih, tapi aku curiga kalau Ibuku sebenarnya tahu. Dia cuma diam soalnya. Dia nggak pernah komentar apa-apa. Aku nggak pernah paham Ibuku.”

“Ibumu sayang kamu Nes, ayahmu juga. Itu yang paling penting. Kau harus ingat itu,” kata Anton.

Yohanes setuju, kendati dengan berat hati. Anton memeluk kekasihnya. Lewat pelukan itu Yohanes memberi dirinya sendiri sedikit harapan. Walau dunia sekarang ini penuh dengan kekacauan, masih banyak hal baik yang akan terjadi.

Keduanya melewatkan berjam-jam kemudian untuk melukis di buku gambar mereka dengan latar halaman belakang itu dihiasi kelopak-kelopak mawar, untuk memberi diri mereka keyakinan bahwa suatu hari bunga-bunga mawar itu akan mekar.

Sore itu tiba-tiba hujan.


Seminggu setelahnya, tanpa aba-aba apapun, Yohanes dan Abigail terbangun pada suatu pagi dan mendapati halaman mereka dipenuhi dengan bunga mawar. Orang-orang yang lewat di jalan sampai melongo. Antonius lupa membawa buku Jenis-jenis Puspa Langka yang dijanjikannya, tapi Anes akhirnya tahu bahwa mawar yang telah mereka tunggu selama lima belas tahun kurang lebih cocok dengan deskripsi Google. Mawar itu adalah mawar Juliet.

Anes membawa sepelukan penuh mawar pucat itu untuk ditaruh di makam orangtuanya.



Selesai.




Surabaya, 29 September 2020

Cerpen oleh Anton E. Aditama




Catatan:

This is an easy piece to write.

Saya kepikiran nulis cerita ini waktu dengar soal Juliet Rosa, alias Mawar Juliet waktu nonton TV sama pacar saya. Kudos untuk David Austin. Saya nggak tahu persis bagaimana budidaya mawar itu tapi saya mengambil ide ceritanya dari sana. Cerpen ini saya persembahkan untuk Gilbert, yang kebetulan nama baptisnya saya pakai buat tokoh utama cerita ini.

Terima kasih sudah membaca! Mohon kritik dan saran ;)


Readmore → Sebuah Cerpen: Mawar yang Tak Pernah Berbunga

1 September 2020

Dibawah Rinai Hujan

Dibawah Rinai Hujan (18+)


Desember tahun ini sangat basah. Hujan turun dua kali lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, meninggalkan jalanan becek penuh genangan air yang menyiprat kemana-mana jika seseorang ngebut. Aku sudah kena air kotor comberan itu setidaknya dua kali minggu ini, dan aku gagal menghindari dua-duanya. Walau aku sangat ingin marah, nyatanya aku tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap tahun memang selalu begitu. Tak pernah ada perubahan.

Tidak ada orang yang berniat memperbaiki jalan kampung, walau aspalnya telah rusak selama bertahun-tahun. Pak Camat sibuk dengan istri keduanya, sementara Kades di desa kami malah sibuk berjudi di salah satu warung kopi saat seharusnya dia duduk di kursi kerjanya di balai desa.

Kondisi jalanan kampung begitu parah karena lubang lebar menganga dimana-mana, dan lubang ini sangat menyesatkan para pengendara motor. Mereka sering tiba-tiba terjungkal karena tertipu genangan air yang tampak dangkal.

"Ron, angkatin jemuran di luar. Mau hujan!"

Ibuku memanggil dari belakang rumah. Musim hujan membuatku harus rela memakai pakaian apek setengah basah yang tidak rampung dijemur. Pakaian itu tidak pernah benar-benar kering selama seminggu ini karena intensitas hujan yang sedang besar-besarnya. Hujan nyaris tidak bisa ditebak.

Awalnya agak menyebalkan memang, tapi sekarang aku berhenti mengeluh. Aku punya ide sendiri untuk menikmati musim hujan, jika aku tahu caranya.

Orang sering bilang bahwa musim hujan adalah musim manten anyar, alias pengantin baru. Tapi bahkan non-pengantin sepertiku pun sering memanfaatkan keadaan musim hujan yang dingin ini untuk melampiaskan hasrat seksual, dengan siapa lagi kalau bukan dengan pacarku.

Jika kau ingin tahu, pacarku adalah laki-laki, sama sepertiku juga. Namanya Yoni dan aku lumayan mencintainya. Jika hujan turun, aku tidak lagi berlindung dibawah atap rumahku. Aku akan ke luar desa, ke tempat peternakan ayam tempat Yoni bekerja sebagai penjaga ternak.

Saat gerimis mendera berbarengan dengan aku selesai melipat baju apek di keranjang sore itu, aku mengambil sepeda jengki di ruang depan dan mengayuhnya menuju peternakan tempat Yoni berada. Ibuku tidak pernah tahu kemana aku pergi saat hujan, tapi sesungguhnya dia tidak peduli. Baginya aku sudah terlalu dewasa untuk diurusinya. Asal aku tahu waktu untuk pulang saja.


"Siapa?" tanya suara kaku memanjang yang sudah kukenal, saat aku mengetuk pintu.

"Aku, Amron." balasku.

"Oh. Bentar." Nada Yoni berubah antusias menyenangkan.

Aku menunggu dengan sabar sementara Yoni membuka pintu tingkap dari atas rumah panggung memanjang yang terbuat dari bambu dan kayu.

Sebetulnya aku benci kandang ayam, tapi disitulah pacarku sering menghabiskan waktunya. Jika kau memilih bertahan di desa, hanya ada sedikit pilihan pekerjaan, penjaga ternak ayam hanyalah salah satunya.

"Mau coba di tempat berbeda?"

Yoni langsung menawariku saat aku selesai meniti tangga. Aku sedikit tersipu dengan pertanyaan Yoni yang terus terang tanpa basa-basi. Tapi toh aku tetap mengiyakan ajakannya.

"Boleh, mau dimana?"

"Nanti kukasih tahu. Sekarang bantu aku kasih makan ayam dulu, biar cepat selesai."

Dengan enggan aku mengangguk. Yoni mengambil karung pakan ayam dari salah satu sudut ruangan dan membaginya pada wadah-wadah tempat makan ayam. Sementara itu aku menyalakan keran pancar, mengarahkan selang hijau panjang pada masing-masing wadah berbentuk bundar tempat para ayam itu minum.

Bau khas kandang memenuhi indera penciumanku saat aku berkeliling dengan Yoni, memastikan ayam-ayam di peternakan itu mendapat pakan dan minum yang cukup. Sesekali kulihat ada bangkai anak ayam yang mati diinjak-injak kawanannya. Di peternakan itu ayam-ayam broiler dibesarkan, setelah ditetaskan dari telur, dan akan siap panen dalam kurun waktu sebulan.

Setelah menyalakan lampu-lampu, dan Yoni sudah memastikan tidak ada lagi bangkai ayam yang belum disapunya, kami bersiap-siap keluar.

Aku menatap ayam-ayam itu.

"Nggak apa-apa ditinggal?" tanyaku pada Yoni. Ia sedang mencuci tangan.

"Iya, mereka bisa jaga diri." Yoni berkata melantur.

Sebelum ini kami tidak pernah meninggalkan rumah panggung itu. Kami biasa berhubungan seks disana, di dalam kandang, di atas sebuah dipan yang biasa digunakan Yoni untuk rebahan. Tapi Yoni sudah berkata sebelumnya  bahwa kami akan bercinta di tempat lain.

Saat Yoni menggerendel pintu kandang aku sedikit merasa iba pada ayam-ayam itu, entah kenapa. Hidup mereka begitu singkat dan nyaris tidak bermakna. Mereka hidup hanya untuk jadi santapan manusia. Agak menyedihkan sebetulnya.

Sepuluh menit kemudian, ketika Yoni mulai membonceng dengan sepedaku dibawah rinai hujan, ayam-ayam itu tergusur keluar dari pikiran, digantikan rasa deg-degan teramat sangat oleh fantasi kegiatan yang akan kami lakukan berikutnya. Aku mencengkeram ujung bajuku sementara Yoni mengayuh sepeda. Aku menahan gairah.


"Aku bawa kondom," Aku memberitahu Yoni sesaat kemudian. Dia tidak nampak senang dengan berita ini.

Yoni menoleh ke belakang, ke sadelku, "Ngapain sih pakai kondom segala? Nggak enak lah."

"Kata Bu Dokter, kalau nggak pakai kondom rawan kena HIV. Atau sifilis." Aku mengingat-ingat percakapanku dengan Dr. Minda saat ke puskesmas minggu kemarin, untuk mengambil hasil VCT. VCT adalah semacam tes untuk mengetahui status HIV.

"Ya kan kita cuma main berdua, nggak gonta-ganti pasangan. Lagian hasil tes-mu negatif kan?"

"Iya, tapi seenggaknya buat jaga-jaga."

Kudengar Yoni berdecak. "Tetap aja nggak enak ah. Nggak usah pakai."

Aku tidak senang dengan nada bicaranya. Kumarahi dia.

"Makanya dibiasain, biar enak. Kalo nggak mau pakai, ya nggak usah jadi main. Minggu lalu jadi jatah yang terakhir deh." Aku memperingatkannya.

"Oh, gitu sekarang. . Main ancam-ancam?" Ia menyindir. Aku menjitak kepalanya.

Yoni mengaduh kesakitan. "Apaan sih?"

"Lagian, mau sok-sokan sama virus. Kalau udah kena infeksi baru tahu rasa nanti. Makanya jangan bandel. Aku nggak mau mati muda ya. Walau HIV ada terapi antiviral-nya, kan lebih baik mencegah." Aku berkata panjang lebar.

Yoni bersungut-sungut setelah kuberitahu. "Iya deh."

"Nah, gitu. Ikut kataku saja. Daripada nggak kukasih jatah, kan?"

Aku cekikikan. Yoni tidak menjawab. Kupikir aku melihatnya memutar bola mata.


Yoni bersepeda dengan ngebut diantara jalan yang berlubang. Aku merasa beruntung karena hujan sore itu tidaklah deras. Hanya gerimis saja. Di pematang sawah yang hanya muat dilalui satu orang, Yoni menuntunku dengan satu tangan menuju sebuah gubuk di tengah-tengah sawah. Ia memarkiran sepedaku diantara pohon pisang yang menutupi persawahan.

"Yakin mau main disini?"

Aku memelototi tempat itu begitu sampai dengan sangat ragu-ragu. Terus terang saja, aku takut seandainya kami ketahuan.

"Daripada di kandang, bau tai ayam. Mending disini. Nggak ada tempat lain juga." Yoni menatapku.

Aku bertanya dengan sangsi, "Nggak takut kepergok orang?"

Yoni melihat berkeliling dengan mantap.

"Siapa coba orang yang pergi ke sawah pas hujan-hujan begini?" tanyanya.

Aku harus setuju dengannya. Kuusir rasa khawatirku.

"Ngomong-ngomong, ini gubuk siapa?" Aku bertanya.

"Punya bapak. Kan ini sawah punya bapak." jawab Yoni.

"Oh, syukurlah. Kukira punya orang,"

"Buruan."

Dengan tidak sabar Yoni mendorongku ke gubuk. Gairah menguasai tubuhnya. Walau bajunya sedikit basah oleh hujan, kulitnya terasa panas. Aku terjatuh diatas alas dipan. Di tempat itu ada bantal dan tikar yang mungkin biasa dipakai istirahat ayah Yoni saat ngaso di sawah. Dalam hati aku meminta maaf padanya dan pada leluhurku karena berbuat lancang.

Setengah beringas Yoni menyentakkan badanku, memitingnya. Yoni memberiku ciuman di leher bertubi-tubi, aku tidak tahan untuk tidak mendesah. Kucengkeram kepalanya dengan kedua tangan.

"Sabar. Pelan-pelan, Nggak usah buru-buru." kataku, membingkai wajahnya. Yoni memeras dadaku dengan penuh nafsu.

"Keburu Iwan datang ke kandang, nanti aku diaduin karena bolos giliran jaga."

"Tadi siapa yang ngajak kesini?" Aku mengingatkannya.

Yoni mengabaikan kalimatku. Ia beralih menciumku penuh di mulut. Kami bertukar ciuman. Aku agak kewalahan mengimbangi Yoni. Gerimis merajai di langit luar gubuk. Tetes-tetes air hujan yang menyentuh bumi menimbulkan suara merdu di antara kami. Aroma khas dari tanah menguar.

Yoni membaui ketiakku. Sejenak kemudian setelah Yoni melucuti seluruh pakaiannya ia berbaring telentang. Giliranku untuk mengulum puting Yoni. Dengan lidahku yang panjang kujilati kedua dadanya.

Anjing. Fuck.

Dengan bersemangat Yoni mengumpat saat lidahku menyentuh ujung putingnya, atau di waktu lain saat kami berhubungan badan. Ia selalu begitu. Entah kenapa kata-kata kotor itu membuatku semakin berhasrat.

Aku masih bepakaian lengkap. Semenit kemudian Yoni membantuku melepas satu per satu garmen yang kupakai. 

"Kaosmu bau apek, Jangan dicuci pakai Rinso," katanya tiba-tiba.

Aku merasa Yoni banyak bicara. Aku langsung membungkam mulutnya dengan ciuman. Ia tidak keberatan. Setelah itu kubuka resleting celana Yoni. Saat akhirnya kulepas celana dalamnya yang berwarna abu-abu, kuciumi benda berbentuk segitiga itu. 

"Heh, jangan gila." Yoni menjambakku dan mengarahkan kepalaku pada kemaluannya. Aku langsung menghisap benda tegang itu. Penis milik Yoni tidak sangat besar, tapi tidak kecil juga. Menurutku ukurannya pas.

"Jangan kena gigi," Yoni protes setelah beberapa waktu.

Aku berhati-hati memaju mundurkan kepalaku. Yoni lalu mengarahkan tangannya untuk meremas pantatku dengan gemas.

"Fuck," katanya, sementara aku membiarkan kemaluan Yoni merojoh masuk pangkal tenggorokanku.

Aku menyukai saat kemaluan Yoni memenuhi rongga mulutku. Benda itu berkedut. Dengan sedikit kasar Yoni menyodokkan batang miliknya semakin dalam, aku langsung terbatuk. Airmata muncul dari kedua ujung kelopak mataku saat itu juga.

"Sori," Yoni meminta maaf.

Dia menciumku di kening kemudian. Kami melanjutkan kegiatan.


Dengan minyak zaitun Yoni membasahi tangannya, ia memulai penetrasi dengan jari agar aku tidak kesakitan. Saat aku pertama kali melakukannya dulu, rasanya luar biasa sakit. Aku tidak bisa buang air selama tiga hari. Tapi sekarang aku malah ketagihan dengan sensasinya.

Aku dan Yoni pertama kali berhubungan seks awal musim hujan lalu, tepatnya pada bulan Oktober. Kami sudah berpacaran kira-kira dua tahun, dan sejak hawa semakin dingin bagi kami berpelukan saja tidak cukup menghangatkan badan. Kami perlu menguras keringat.

Saat dirasa lubang belakangku cukup untuk dimasuki, Yoni memulai penetrasinya. Ia menamparkan batang kemaluannya yang menegang keras pada pipi bawah bokongku. Aku memastikan kalau dia memakai kondom, walau agak kupaksa. Dengan menciumi punggungku Yoni melesakkan batang kemaluannya.

Ahhh. Ngh.

Rasanya nikmat sekali saat Yoni menggigit telingaku sementara ia menusukkan batangnya. Aku nyaris keluar saat itu juga. Yoni memepetkan tubuhku ke dinding gubuk sebelum mulai menghujamku dengan berbagai tusukan. Awalnya pelan, makin lama Yoni semakin beringas. Aku melenguh dengan lidah tertahan.

Air hujan yang dicurahkan langit, gubuk, bumi yang basah di sekitarku dan Yoni menjadi saksi saat kami berdua melakukan salah satu kegiatan paling suci dalam proses alam: bercinta. Di saat dunia di luar sana diliputi oleh masalah dan kehancuran, orang-orang yang saling membunuh, orang-orang yang saling bertikai dan bermusuhan, berhubungan seks adalah kontradiksinya. Bercinta adalah pelarian yang indah dari dunia yang keji dan tak kenal ampun.

Anjing. Fuck.

Berhubungan seks adalah seni. Yoni terus mengulang kata-kata umpatan itu. Aku semakin menegang dan bergairah dibuatnya. Aku pasrah saat Yoni berganti-ganti mengubah posisi penetrasi. Yoni mulai menjambak kepalaku sebelum memelukku dengan kewalahan. Aku tahu ia menikmati penetrasi itu sebanyak aku menikmati penetrasinya.

Saat bertukar posisi aku melingkarkan kedua tanganku di leher Yoni, sementara diatasku kulihat wajah Yoni yang memerah karena nafsu dan gairah. Ia mendesah dan terengah-engah saat menghujamkan kembali batangnya di bagian belakangku.

Dalam pikiranku yang berkabut oleh penetrasi Yoni, aku tidak bisa berpikir jernih. Aku melihat dan merasakan berbagai macam kebahagiaan dunia secara utuh dan nyata. Tidak ada sesuatu yang seindah dan senikmat itu yang pernah kurasakan sebelumnya. Aku bersumpah.

Sungguh liar. Aku merasa berdosa karena saking nikmatnya hubungan itu. Aku merasa seperti binatang. Seks adalah pengingat bahwa sejauh apapun manusia sepertiku mencoba membangun peradaban, manusia tetaplah makhluk dengan naluri binatang.

Berpeluh, Yoni memelukku erat saat ia terus dan terus menusukku dengan kemaluannya. Dingin hujan dan hawa yang mengigil teratasi dengan baik oleh panas tubuh yang kami bagi. Aku terkulai pasrah di pojok gubuk, Yoni ambruk saat ia akhirnya keluar tak lama setelahku.

Gerimis masih mendera. Kami berdua bersimbah keringat. Berpelukan erat, aku dan Yoni bertukar ciuman saat kami selesai dan mencapai puncak surga kami masing-masing. Kepalaku terasa ringan. Kami terus begitu selama beberapa waktu. Rasanya tidak ada kedamaian yang mengalahkan saat-saat setelah berhubungan seks seperti saat itu.


Tubuh telanjang kami mendingin. Setengah mengigil Yoni mencabut kemaluannya dariku. Ada bercak merah tercecer di tikar saat ia melakukannya.

"Astaga," Yoni panik. "Keluar darah."

Aku melihat darah yang tercecer itu dengan tatapan datar.

"Nggak apa-apa. Nggak sengaja kena kuku kayanya tadi. Lain kali dipotong dulu makanya." kataku santai.

"Sakit nggak?" Ia bertanya kuatir. Melihatnya peduli padaku begitu membuat hatiku menghangat.

"Enggak. Nggak kerasa kok."

Setelah kami berpakaian sepenuhnya, Yoni tampaknya masih merasa bersalah.

"Sori ya," Yoni merengkuhku dalam pelukan. Aku merasa hangat lagi. Hujan di luar seolah tak ada artinya. Aku ingin terus begitu.

"Gimana sih rasanya jadi bottom?" Ia bertanya kemudian.

"Enak kok. Makasih ya," Aku mencium dagunya.

"Bener? Aku yang makasih." Yoni mengacak rambutku. "Sori." katanya lagi.

"Halah, ngapain sih minta maaf terus?"

"Aku merasa bersalah."

"Iya, nggak apa-apa. Kan aku power bottom."

Di tempatnya Yoni terbahak. "Pulangnya aku gendong ya."

"Nggak usah." kataku. Tapi Yoni tidak mengindahkan. Ia membawaku dipunggungnya menuju sepeda.


Saat dengan susah payah Yoni membopongku diantara pematang sawah, kami justru oleng dan terperosok hingga akhirnya jatuh ke kubangan.

"MAKANYA!" Aku berteriak marah, diantara bibir dan mulut yang penuh lumpur, "LAIN KALI, NGGAK USAH SOK JADI PAHLAWAN!"

Yoni tertawa-tawa di kubangan. Dasar tidak tahu diuntung. Tapi malah peristiwa itulah yang membuat hari itu sangat layak untuk dikenang.

Dalam perjalanan pulang, diatas sepeda jengki, dibawah rinai hujan, dengan baju penuh bercak lumpur dan bau sperma, kami mensyukuri berkah dan kesialan hari itu.

Musim hujan masih panjang.

*
*
End
Readmore → Dibawah Rinai Hujan