Tampilkan postingan dengan label Jurnal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal. Tampilkan semua postingan

29 Desember 2020

10 Nasehat Untuk Diri Sendiri

1. Komunikasi itu penting, bicarakan segala sesuatu dengan tenang dan baik
2. Kurangi media sosial, perbanyak menulis di jurnal 
3. Gunakan logika
4. Tidak apa-apa berada dalam situasi yang tidak nyaman, jangan buru-buru pergi
5. Apa yang terlihat buruk belum tentu buruk
6. Jangan mencoba mengontrol situasi, biarkan mengalir
7. Belajar menerima realita & mengusahakan yang terbaik dari realita tsb
8. Bahagia terus itu membosankan, sedih dan menangis sesekali perlu
9. Berpikir secara mendalam
10. Santai
Readmore → 10 Nasehat Untuk Diri Sendiri

Saya Takut Miskin (Jurnal)

Saya takut miskin. Saya pernah merasakan masa kecil dan remaja sebagai orang yang hidup serba kekurangan. Sekarang ketika saya punya kerjaan dengan penghasilan yang layak, saya takut kehidupan saya yang sekarang bakal hilang.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ketakutan saya itu konyol. Saya hidup di negara dimana orang-orangnya adalah pejuang. Ketika saya keluar, yang saya lihat adalah orang yang berjuang buat hidup mereka.

Ada tukang becak yang tetap mangkal walau sekarang udah jaman ojol. Ada yang jualan gorengan, jual anak ayam warna-warni, ada orang keliling jualan pentol, jualan buah iris, jualan kacang, jualan donat. Orang Indonesia nggak pernah kehabisan akal. Apa aja bisa jadi uang.

Orang Indonesia bukan orang-orang yang manja, nggak tergantung sama pemerintah. Kenapa bendera Indonesia ada warna merahnya, itu karena orang-orang Indonesia nggak kenal takut. Orang Indonesia itu pemberani. Kata kakak saya film psikopat nggak laku di Indonesia. . karena notabene orang Indonesia nggak takut mati. Kalo dilihat dari sejarahnya Indonesia itu bangsa yang merdeka sendiri.

Dulu saya selalu irit banget soal uang, walau penghasilan saya udah lumayan buat diri saya sendiri. Karena saya selalu takut miskin, saya selalu sayang banget soal uang. Saya nggak pernah kepengen beli hape cuma karena ada logo apelnya, atau barang lain cuma biar bisa pamer. Saya mikir seribu kali dulu kalo mau beli baju atau celana, kecuali saya benar-benar butuh. Setiap saya berusaha keras untuk tidak membelanjakan uang saya, disitu saya justru kehilangan lebih banyak.

Sekarang saya lebih fleksibel. Ada satu video Troye Sivan yang membuka mata saya. Disitu dia ditanyain apa yang bakal dia lakukan kalo punya uang satu juta dollar, dia bilang dia bakal menyumbangkan 95% dari uang itu karena "Nobody needs that much money". Disitu saya kaya ditampar.

Ada juga video² Sacha Stevenson yang membuka mata saya soal orang-orang dari negara saya sendiri. Orang Indonesia itu santai, lucu, baik. Walau negara kita korup, banyak masalah, tapi dibalik itu ada cerita-cerita yang inspiratif dari masyarakatnya.

Tulisan ini dibuat untuk reminder, biar saya nggak perlu takut lagi kalo misal saya kehilangan pekerjaan saya dan saya balik miskin. Saya tetap bakal bisa survive. Saya bisa melakukan apa saja untuk bertahan hidup.

Hidup itu soal bertahan. Uang itu cuma alat tukar. Kita bisa punya lebih banyak akses kebahagiaan saat kita punya uang banyak, tapi itu uang bukan jaminan kebahagiaan. Saya ingat-ingat betul, dulu saat saya hidup susah, saya tetap bisa bahagia.

Pesan saya untuk diri saya sendiri, nikmatilah hidup berapapun uang yang saya punya. Jangan menghabiskan hidup cuma untuk mencari uang. Walau saya benci zodiak, tapi satu karakter Aquarius yang saya suka adalah, orang Aquarius itu lebih value soal kasih sayang dan quality time dengan orang yang mereka sayang daripada harta dan kekayaan.

‌Saya cinta uang, saya pengen punya uang banyak, tapi saya nggak perlu kuatir kalo saya miskin. Kata Khalil Gibran yang masih saya ingat, "Ketakutan akan kemelaratan adalah kemelaratan itu sendiri."
Surat dari Anton Aditama untuk dirinya sendiri. Juni 2020
Readmore → Saya Takut Miskin (Jurnal)

July 27th

Now I'm a more calmed and relaxed person. I used to be very anxious and worry about a lot of things: my future, people's opinion, everything. It took sometimes to get used to the realization that I can only control myself and do my best the way I can.

Now I just stop worrying about everything.

I don't worry about my acne or my dry skin anymore. I just try to do better without having to feel disgusted with myself. I treat myself better. I approve my mistakes and my ugly side and try to fix them.

This was hard. It is easy now. I'm proud of what I've become. Keep growing 💙
Readmore → July 27th

Leaving

I tought I had a home
But turns out it was just a pit stop
It was just a resting place
Before I go to somewhere else
I'm no longer young
My youth was over
My voice is no longer needed
Maybe I'm never needed to begin with
It's okay
I guess I'm a loner
I tend to push people away
Silly me, stupid me
But also
Smart me, independent me
I can hear Taylor singing Exile in the back
Now I can finally understand what it means
On a very personal level
Sometimes I have so much idealism within myself
Hey, thank you for the memories I guess
I have someone who takes care of me now
Even though I had to lost a group of people
I guess it makes my life easier now
I'm leaving
It's okay to go separate ways
To the people
Who says they're brave
Good luck
I'm never seeing you again

Readmore → Leaving

Things that make me happy

AKB48 songs. Ice cream. The smell of fresh coconut. White linen shirt. Big dick. The attention from my boyfriend. Cats. Watching films. Writing little stories. Taking pictures. Having sex with my lover. Cuddling with my friends. Troye Sivan's music. Taylor Swift's songs. Lois Duncan's books. Harry Potter books written by Britney Spears herself.

My happy time during the day is when I brush my teeth. I'm also happy to go around and travel, hiking, running 26 miles. I'm the happiest when I could dance like crazy. I'm happy when people think my smile is very sweet.

I'm happy that plants and trees exist. I'm happy when I'm thinking about going to the Egypt. And so many things else.
Readmore → Things that make me happy

23 is My Limit

I am deeply wounded
From the last war
My body reach it's peak
I can see myself dying
Slowly and slowly
I know I have won
From my last war
I got my victory
Yet I always say that 
I also have my limits
23 is my limit
I was so lonely
I was fighting for love
Was it worth it? (Yes it was)
Now I can feel my fears
But I won't give up now
I will be brave once again this time
People are trying
To shine their light on me
Keeping me warm
And the love that I've got
Is keeping me alive
I'm not gonna die yet
Readmore → 23 is My Limit

Trying to be positive

I know they say
"It's okay to be sad,
And to be vulnerable"
Now let me tell you my fears
I am on another war
I have seen this one coming
Sometimes it's hard
To get my fears under control
I'm trying to play with my strength though
I know I feel weak sometimes
But I'm not fighting alone this time
My friends got my back
I shall do my best, too
My very best
Now please
Give me the supporting words that I needed
I also need my sword
Clean and sharp
It's very hard to fight with bare hands
Wish me good luck
And don't pity me
I don't need your worries
I need your smile instead
To make me strong

Readmore → Trying to be positive

28 Desember 2020

Jurnal (Lagi)

Haruskah saya pindahkan cerita-cerita saya yang ada di Wattpad? Saya bingung. Cerita itu kebanyakan cringe (saya rasa) tapi demi kemajemukan konten blog, saya rasa perlu untuk mengeposnya disini.

Resolusi tahun 2021, saya mau mulai lari lagi ah. Semoga nggak sekadar wacana. Saya mau lebih banyak nulis. Kurang-kurangin main Instagram dan sosmed lainnya. Btw, tulisan ini ada yang baca nggak sih?

Komen dong!

Akhir-akhir ini, tepatnya beberapa bulan belakangan, saya mulai secara serius mendengarkan lagu-lagu Taylor Swift. Cewek satu itu boleh juga. Beberapa lagunya sangat dalam dan puitis. Saya mulai jatuh cinta sama dia gara-gara albumnya, Folklore. Saya kepengen beli, tapi takut mahal. Saya bertanya-tanya, haruskah saya beli CD aslinya? Saya nggak punya pemutar CD, btw. Lagian, Taylor Swift sudah kaya kok. Saya tetap dengar dari Spotify saja deh ya, nggak usah beli. Belum tentu juga di Surabaya ada yang jual CD asli-nya. Tapi kalau misal beneran ada, kapan-kapan saya beli deh. Hehe (Gimana sih, plin plan. Huu!)
Readmore → Jurnal (Lagi)

Jurnal (Entah Page Keberapa)

Saya perlu selingan menulis sesuatu yang santai, karena nulis hal-hal yang serius bikin kepala saya berasap.

Baru-baru ini saya ngepos cerita di Twitter dan banyak yang suka, Alhamdulillah. Semoga saya selalu punya semangat untuk nulis. Ingatkan saya nanti untuk mengoreksi typo, kalau ada waktu.

Saya sudah libur selama lima hari. Saya sedikit merasa anxious sebelum kembali bekerja. Dulu saya ingat saya begitu menyukai pekerjaan saya. Entah kenapa akhir-akhir ini bikin capek. Saya jadi kepengen resign. Tapi saya mau bertahan dulu.

Masalahnya, tidak ada pekerjaan lain yang bayarannya cocok dan bisa saya lakukan. Saya suka nulis, tapi menulis tidak menghasilkan uang banyak. Jarang menghasilkan, malah. Tapi yang penting sekarang saya tetap maju dan tetap berkarya, walau banyak sambat.

Doakan saya ya teman-teman, saya sendiri masih sering berdoa, walau tidak lagi percaya Tuhan. Haha

See you guys!

NB: Saya mau mulai review beberapa buku yang pernah saya baca juga disini, semoga nggak lupa deh.
Readmore → Jurnal (Entah Page Keberapa)

5 Oktober 2020

Unpublished: Adakah Cinta Sejati dalam Cinta Terlarang?

Catatan: Tulisan ini ditulis untuk lomba yang diselenggarakan Line Today, tapi saya tidak tahu kelanjutan lombanya bagaimana, jadi lebih baik saya pos di blog, walau sebenarnya tidak bagus-bagus amat. Selamat membaca! ;)


Adakah Cinta Sejati dalam Cinta Terlarang?

Oleh: Anton E. Aditama

Pernah dengar lagu Jadikan Aku yang Kedua milik Astrid? Atau lagu Cinta Terlarang-nya The Virgin? Dua lagu ini mungkin yang paling menggambarkan kehidupan saya selama ini.

Buat saya sih, di dunia ini nggak ada yang namanya cinta terlarang. Sebagian dari kita menafsirkan cinta terlarang sebagai perasaan cinta pada sesama jenis, atau menyukai seseorang yang sudah berpasangan. Bagi saya yang seorang agnostik, saya percaya bahwa Tuhan menciptakan berbagai jenis cinta, tidak hanya satu macam. Cinta yang selama ini umumnya kita kenal adalah cinta antara laki-laki dengan perempuan. Kisah Laila-Majnun. Romeo dan Juliet. Jayaprana dan Layonsari. Padahal ada cinta lain selain itu yang sudah dikisahkan sejak barabad-abad lalu.

Everything is fair in love and war - Semuanya sah dalam cinta dan perang, begitu kata pepatah dalam film 3 Idiots. Sah-sah saja menyukai seseorang dari gender yang sama atau mencintai seseorang yang sudah menjadi pasangan orang lain. Agama dan moral tidak bisa jadi pembatas. Mencintai saja takkan merugikan siapapun. Tapi keinginan untuk memiliki orang itu adalah sesuatu yang lain. Ini yang sering menjadi penghalang.

Bagi saya seorang laki-laki gay, sulit menemukan orang yang ingin serius menjalani hubungan dengan saya. Kebanyakan laki-laki yang datang kepada saya hanya ingin dipuaskan secara seksual. Tidak sedikit dari laki-laki ini yang sudah berpacaran dengan perempuan, tapi terlalu takut untuk melakukannya dengan pasangan mereka.

Aku nggak mau merusak masa depan mereka lah.”

Kalau sama perempuan aku takut nanti mereka hamil.”

Begitu jawaban yang pernah saya dapat. Orang-orang ini tidak pernah memikirkan bahwa saya, seperti halnya para perempuan itu, adalah manusia yang berpikir dan merasa. Saya menjadi tempat pemuas nafsu, hanya dicari saat dibutuhkan.

Berbeda dengan saya yang menganggap bahwa menjadi laki-laki gay adalah sesuatu yang wajar dan bukan gangguan kejiwaan (seperti yang bolak-balik digembar-gemborkan WHO) orang-orang ini tidak bisa menerima diri mereka. Mereka tidak bisa menerima fakta bahwa menjadi gay atau biseksual sama normalnya dengan menjadi heteroseksual.

Sebagian besar orang tidak ingin percaya pada penelitian sains yang membuktikan bahwa gay dan biseksual dibentuk karena konstelasi otak manusia yang berbeda saat bayi berada dalam kandungan. Saya mengalami masa kecil dan remaja yang nyaris normal. Bahkan seandainya orang membaca habis jurnal DSM V dan PPDG III Psikologi, mereka akan menolak setuju ketika saya berkata bahwa menjadi non-hetero tidak disebabkan karena keluarga yang brokenhome atau pergaulan yang keliru.

Saya telah belajar bertahun-tahun untuk menerima diri saya apa adanya. Sekarang saya sudah tidak peduli apa kata dunia. Yang saya inginkan hanyalah dicintai oleh seseorang yang benar-benar tulus. Seorang laki-laki yang menanggap bahwa saya pantas untuk dihargai selayaknya manusia, bukan budak pemuas seks.

Saat masih remaja, sambil mendengarkan lagu Astrid, saya berandai-andai bahwa orang yang saya sukai sebetulnya juga menaruh hati pada saya kendati mereka telah punya pacar. Saya tidak keberatan walau saya hanya menjadi pacar kedua. Saya cukup bahagia hanya dengan dicintai secara diam-diam.

Saya kini telah berumur dua puluh tiga tahun. Saya telah menjalani beberapa kali hubungan dan belum menemukan orang yang tepat. Mantan saya yang terakhir adalah seorang pria Inggris yang baik dan penyayang. Kami bertemu lewat aplikasi dating, dia berkunjung ke Indonesia tahun lalu. Kami menelurusuri Karimun Jawa dan mendaki Bromo bersama-sama. Saya merasa bahagia dan dicintai selama beberapa waktu. Tapi saya memutuskan hubungan itu setelah enam bulan lantaran saya tidak tahan lagi menjalani hubungan jarak jauh begitu dia pulang ke Inggris.

Kini saya berusaha menemukan pria lokal yang betulan mencintai saya. Tidak mudah memang. Tapi saya sering menghibur diri bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini. Saya tidak ingin menyerah dengan mimpi-mimpi saya.

Yang membuat saya benar-benar galau akhir-akhir ini, saya tengah jatuh hati dengan seseorang. Baru belakangan saya tahu kalau dia ternyata sudah punya pacar laki-laki yang jauh lebih imut dari saya. Mereka berdua adalah pasangan yang serasi dan saya tidak ingin merusak hubungan mereka. Kadang-kadang saya menangis memikirkan ini. Jika saya orang yang benar-benar tulus, seharusnya menyukai dari jauh saja sudah cukup. Tapi saya bukan orang semacam itu. Saya ingin dicintai dan diperhatikan oleh orang yang saya suka. Sayang sekali saya tidak bisa berbuat apa-apa soal ini.

Selama bertahun-tahun ini saya berkhayal bahwa suatu hari akan datang seorang laki-laki yang diciptakan Tuhan untuk saya dan hanya untuk saya saja. Laki-laki baik dan penyayang. Tapi bermimpi saja tidak cukup. Saya tahu saya harus mencarinya. Kadang saya mencoba terlalu keras, ini yang membuat saya sedih. Saya kadang-kadang berusaha sangat keras dan tidak mendapatkan apa-apa.

Pada suatu titik saya benar-benar putus asa dan ingin menyerah. Saya mencoba menyiasati ini dengan mengalihkan fokus saya. Saya menulis banyak puisi dan cerpen. Saya menerbitkan dua buku secara indie dan menjadikannya sebagai koleksi pribadi. Tadi pagi atasan saya yang tahu saya senang menulis memberitahu kompetisi menulis Skandal Asmara ini di Line Today dan setelah menimbang-nimbangnya, saya memutuskan ingin membagi cerita saya.

Harapan saya lewat cerita ini akan lebih banyak orang di luar sana yang menghargai cinta seperti yang saya miliki. Bahwa cinta tidak memandang gender. Cinta tidak bisa didikte bahkan oleh agama atau moral sekalipun. Negara tidak bisa menghalangi saya mencintai orang yang dipilih hati saya. Saya percaya pada keajaiban cinta sejati, dan saya akan memperjuangkannya bahkan kalau saya harus mati. (Oke, yang terakhir agak berlebihan, nggak perlu dihiraukan)

Jadi, inilah cerita saya.



Surabaya, 24 Maret 2020

Kepada LINE Today

Oleh Anton E. Aditama






Readmore → Unpublished: Adakah Cinta Sejati dalam Cinta Terlarang?

30 Juni 2020

If Only You Were In My Shoes

Catatan Terakhir Pride Month, 30 Juni.

Aku merasa asing dalam duniaku sendiri. Kemanapun aku pergi, yang kulihat adalah pasangan hetero bergandengan tangan, menikah, dan mempunyai anak. Beratus-ratus film romansa mengenai kisah pasangan heteroseksual memenuhi beranda situs streaming film ilegal, semuanya membuatku ingin muntah. Aku muak melihatnya.

Aku tahu pasangan non-hetero juga ada, mereka bersembunyi di seluruh negeri, seperti halnya penyihir dalam kisah Harry Potter. Para penyihir ini dianggap sebagai pembawa bencana dan wabah, sehingga pada Abad Pertengahan mereka ditangkapi dan dibunuhi dengan cara dibakar. Tapi dalam kasusku, ini adalah sebuah kenyataan.

Orang-orang gay dan lesbian terpaksa bersembunyi karena dianggap sampah, dianggap pembawa bencana dan pendosa, dan abnormal, karena sebuah cerita nabi di masa lalu. Kita tidak tahu apakah kisah itu benar-benar terjadi, tidak semua agama memercayainya. Dan seandainya kisah itu benar terjadi, benarkah mereka dihukum Tuhan hanya karena saling mencintai?

Mari kita telisik. Terakhir kali aku nonton film Serigala Terakhir, aku menyaksikan sang tokoh utama disodomi dengan tujuan direndahkan oleh para napi tahanan yang tidak menyukainya. Derajatnya sebagai manusia sama sekali diinjak-injak. Begitulah kira-kira yang dilakukan kaum Nabi Luth pada masanya. Mereka semua menggunakan sodomi untuk merendahkan laki-laki. Para laki-laki ini bahkan punya istri.

Yang dilakukan kaum itu tidak hanya sampai disitu. Mereka juga membunuh, memperkosa, dan melakukan perbuatan bejat lainnya. Mereka benar-benar tidak bermoral.

Menyamakan orang-orang non-hetero zaman sekarang dengan kaum Nabi Luth tidaklah relevan: mereka adalah dua kaum yang berbeda. Karena jika Tuhan sudah memusnahkan kaum Nabi Luth, mengapa sampai sekarang masih ada orang-orang non-heteroseksual?

Mari kita lihat faktanya: Tidak semua orang non-hetero melakukan sodomi. Jika mereka melakukannya, pastilah dalam keadaan suka sama suka, bukan untuk tujuan merendahkan. Pemerkosaan yang dilakukan orang non-hetero adalah lain hal, yang mana bisa dijerat hukum. Kita semua tahu bahwa pemerkosaan bisa juga dilakukan orang-orang heteroseksual.

Dan mengenai abnormal, mari kita simak fakta-fakta medis terakhir. Gay dan lesbian sudah lama dihapuskan dari daftar gangguan kejiwaan oleh WHO, sejak Mei 1990 tepatnya. Tapi ada lebih banyak orang bodoh yang sok tahu berusaha menceramahiku bahwa gay dan lesbian tidaklah normal, dan biar kusebutkan mereka.

Aku mengenal banyak diantaranya. Sebagian besar adalah teman-temanku. Sebagai seorang yang terbuka bahwa aku non-heteroseksual, sudah seringkali aku dinasehati dengan cerita nabi dan semacamnya. Mereka bersikeras memberitahuku bahwa aku tidak normal, dan aku akan berakhir di neraka.

Mereka tidak tahu saja. Aku sudah lebih banyak belajar, jauh melebihi mereka, sejak aku mulai sadar mengenai siapa diriku sebenarnya. Bayangkan kau menemukan dirimu homoseksual padahal kau baru tiga belas tahun! Awalnya aku juga tidak memercayainya. Perlu beberapa waktu sampai aku sadar.

Saat aku akhirnya mengetahui siapa diriku sebenarnya, aku diliputi ketakutan. Selama bertahun-tahun aku takut bahwa orang lain akan tahu siapa diriku, dan aku takut mereka menjauhiku. Atau lebih buruk, mereka akan mengganggapku hina.

Tapi aku sudah lama muak hidup dalam ketakutan. Aku benci terus-terusan gelisah sepanjang waktu. Aku seorang yang berjiwa kuat. Aku berusaha jujur pada akhirnya. Aku membiarkan orang-orang tahu siapa diriku. Aku harus membayar mahal karenanya. Walau aku menerima hinaan, tapi tidak sedetik pun dalam hidupku aku pernah menyesal.

Aku kehilangan sebagian besar temanku, walau aku tidak punya banyak teman. Sebagian dari mereka takut bahwa aku akan menerkam mereka kapan saja, padahal aku bukan pemerkosa. Aku tidak ingin bersedih karenanya.

Semakin menahun, aku menyadari bahwa ternyata aku sendirian. Tidak akan ada pangeran dalam cerita-cerita yang kubaca akan menyelamatkanku. Aku lah yang harus menyelamatkan diriku sendiri. Aku adalah pahlawan bagi diriku. Tidak ada orang lain.

Selama bertahun-tahun aku berjuang sendirian. Berjalan sendirian. Orang berusaha meyakinkanku bahwa cara berjalanku salah, keliru, tapi mereka tidak tahu rasanya berjalan dengan sepatuku. Mereka tidak tahu bahwa sepatu yang kupakai tidaklah selalu nyaman, tapi aku tidak akan menggantinya.

Aku menyukainya. Dan biarlah orang-orang tidak tahu. Aku sudah lama maklum. Aku akan terus berjalan. Di ujung jalan berkerikil yang tidak mudah ini, aku akan menemui pelangi dan langit biru yang menungguku.

Aku jadi teringat sebuah lirik lagu yang kudengar saat aku masih anak-anak. .

Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah kuning hijau di langit yang biru
Pelukismu agung. . Siapa gerangan. .
Pelangi-pelangi. . ciptaan Tuhan

Salam hangat,
sampai jumpa Pride Month tahun depan.
#BanggaBegini

Readmore → If Only You Were In My Shoes

21 Juni 2020

Surat dari Saya

Saya udah lama nggak nulis jurnal. . saya lagi berusaha menuhin buku jurnal saya yang terbengkalai.

Saya lagi bingung soal apa yang saya rasakan sekarang. Kesepian? Mungkin. Sedih? Nggak juga. Mungkin karena hari ini Minggu, saya nggak ada teman kantor yang biasanya menghibur saya. Saya agak sakit kepala, tapi nyeri-nya masih bisa ditoleransi.

Semoga nggak sering-sering gini. Saya pengen sering-sering nulis, tapi saya merasa kurang semangat. Kurang ide. Saya perlu lebih sering baca buku sepertinya.

Saya nggak tahu mau nulis apa lagi. Semoga hari kalian baik.

Salam.

Anton Erlangga / Beda Aditama.


Readmore → Surat dari Saya

26 Desember 2019

Dua Tahun Kemudian (Two Years Later)



Ehem. Kita semua pernah sengsara. Walau berat badan saya turun empat kilo setelah saya lulus SMK, nyatanya saya masih bisa pamer. Teman-teman perempuan saya mungkin iri karena saya kerja di Telkom Akses dan tubuh saya tetap slim, tapi mereka nggak tahu sih apa yang saya alami.

Apa yang terjadi nyaris dua tahun kemudian setelah saya membanting dua tas besar ketika saya pertama kali dapat kos-kosan di Krembangan, hanya saya dan Tuhan di suatu tempat yang benar-benar tahu. Bahkan seandainya kamu follow akun Instagram saya sekalipun, kamu nggak akan ngerti betul. Meski begitu, sebenarnya apa sih yang telah saya pelajari selama hampir dua tahun cengengesan wara-wiri di Telkom Gubeng? Mari kita simak.

1. Ternyata Saya Nggak Jelek-Jelek Amat. 



(Dokumentasi Pribadi)
Ya, saudara-saudara. Saya menyadari kalau, setelah dua tahun, ternyata saya nggak jelek-jelek amat. Di foto ini mungkin saya kelihatan dekil, tapi seorang bapak-bapak jelas nggak berpikir begitu. Suatu kali saya harus menyambung kabel (saya seorang teknisi lapangan) dan ketika itu ada bapak-bapak yang tersenyum pada saya di pojokan dan mengatakan kalau saya ganteng.

Tentu saja saya ge'er. Karena saya membawa nama Telkom Akses, jelas saya harus menjaga sikap. Saya hanya mengangguk dan berterima kasih, lalu saya lanjutkan kerjaan saya. Setelah beberapa waktu bapak-bapak itu tersenyum lagi pada saya dan mengulangi perkataannya kalau saya ganteng. Lagi-lagi saya mengangguk dan berterima kasih. Kejadian ini terus berulang hingga beberapa waktu. Ketika itu saya hanya berpikir bahwa bapak-bapak itu seseorang yang ramah dan murah senyum. Baru ketika saya selesai, saya diberitahu seorang pelanggan bahwa bapak-bapak itu ternyata gila dan saya diminta memaklumi tindakannya. Disitu saya melongo. Bapak-bapak tadi kelihatan waras sekali.


2. Ternyata Saya Pemberani

(Dokumentasi Pribadi)
Saya selalu mengatakan kalau diri saya pengecut. Rupanya saya keliru. Ketika saya kerja di Telkom Akses, saya harus menghadapi banyak ketakutan saya. Saya pernah harus menghadapi tak terhitung banyaknya anjing killer yang lebih galak dari Ibu saya sendiri. Walau dalam hati saya ingin menangis, saya selalu menguatkan diri saya. Di dunia nyata mungkin saya lebih suka kucing,  tapi setelah dua tahun berhadapan dengan beragam jenis binatang, termasuk tikus, semut dan kadal, ternyata anjing hewan yang oke juga. Betul lho.



3. Ternyata Saya Berbakat


(Foto: Borobudur Marathon)
Saya yang sering menganggap diri saya nggak bisa apa-apa, nyatanya telah berdosa pada Tuhan. Karena ternyata saya diberkati dengan begitu banyak kemampuan. Saya bisa menyambung kabel walau harus gagal seribu kali. Saya juga tahan menghadapi panas yang menyengat tanpa es teler yang saya rindukan di kampung saya.

Tapi yang mengubah hidup saya, saya menemukan mimpi saya yang sempat hilang. Karena tes lari dua belas menit yang diwajibkan perusahaan, disitu saya memulai kebiasaan lama saya yang telah lama saya tinggalkan, yakni lari. Dari situ saya beranikan diri saya mengikuti perlombaan marathon, dan Puji Tuhan, selama lebih dari satu setengah tahun menekuni hobi saya kembali, saya selalu berhasil finish dengan selamat. Di samping adalah foto saya ketika mengikuti Borobudur Marathon, dimana saya berhasil menempuk jarak empat puluh dua kilo selama lima jam. Ini adalah full-marathon kedua saya tahun ini.

Saya menyadari, bahwa yang ingin ditunjukan oleh Tuhan, meskipun saya mempunyai banyak kesalahan dan kegagalan, saya tetap berhak berbahagia tentang apa yang saya punya. Bagi kebanyakan orang, menjadi teknisi lapangan adalah pekerjaan yang menyengsarakan. Nyatanya tidak selalu begitu. Bagi saya yang tadinya bukan siapa-siapa, tidak bisa apa-apa, Living in Telkom adalah keajaiban yang terjadi di kehidupan saya sehari-hari. Miracle is real. Bagi saya, keajaiban itu nyata.

(Team Telkom SO Gubeng)


*

LIVING IN TELKOM Blog Competition==========================================

2nd Article. Pengalaman Seru Living in Telkom.



Readmore → Dua Tahun Kemudian (Two Years Later)

16 Desember 2019

Kerja di Telkom, Enak Nggak Sih?



Di dunia ini, dimana sih tempat kerja yang paling enak selain di Telkom? Hampir nggak ada! Ini benar lho. Mungkin selain jadi karyawan full-time di PT Mencari Cinta Sejati, Telkom-lah satu-satunya tempat kerja yang mentereng dan bikin saya nyaman sebagai budak kapital dan makhluk Tuhan yang santuy.

Pada kenyataannya, kerja di Telkom adalah impian banyak orang. Entah kenapa dulu saya nggak pernah mimpi begitu. Nggak ada angin, nggak ada hujan (kebetulan waktu itu hari sedang terik) tiba-tiba saya diterima bekerja sebagai teknisi Assurance untuk PT Telkom Akses per Februari 2018, dan kalau saya harus cerita bagaimana awalnya, wah, saya nggak keberatan sama sekali.

Feb '18. (Foto: Anton Aditama)
Saya yang tadinya bekerja sebagai waiter di sebuah resto dekat candi Borobudur, disarankan untuk melamar kerja di Telkom Akses oleh saudara Ibu saya, karena waktu itu sedang ada perekrutan. Saya kirimkan lamaran saya ke kantor Telkom di Jogja, tapi selama berbulan-bulan kemudian tidak ada kabar apapun. Disini saya sudah tidak berharap apa-apa karena sebelumnya saya sudah gagal melamar kerja berkali-kali. Saya sudah biasa ditolak dan nggak sedih-sedih amat ketika saya tidak kunjung dipanggil. Menjadi waiter adalah pilihan terakhir saya. Walau saya memang suka dengan pekerjaan ini, tapi 'kan nggak tiap hari saya bisa optimis soal berkarir.

Minggu-minggu berlalu tanpa ada kabar, lalu keajaiban terjadi.

Ada perekrutan PT Telkom Akses di Surabaya. Sekali lagi saya kirimkan lamaran via pos, dan beberapa hari kemudian saya dipanggil untuk mengikuti tes seleksi. Saya nggak berharap banyak, walau lirik lagu Surabaya oh Surabaya karya Titik Hamzah terus terngiang di kepala saya, saya jaga harapan saya dekat-dekat dengan tanah karena saya nggak akan tahan seandainya saya gagal lagi.

Sore itu juga, sepulang kerja saya diantar ke terminal untuk naik bus Eka, menempuh perjalanan sembilan jam dari Magelang ke Surabaya. Saya turun di Terminal Bungurasih dini hari buta. Setengah linglung, saya menunggu pagi tiba sebelum mencari bis kota. Sesuai arahan teman dan saudara Ibu saya, kernet bis, seorang wanita paruh baya, pesan dari HR, dan google map, saya menuju kantor Telkom di Kebalen.

Saya datang tepat waktu untuk mengikuti tes tertulis, dimana dalam ketergesaan sebagai waiter sore sebelumnya, saya lupa membawa alat tulis sama sekali. Setelah seorang karyawan HR mendelik dengan galak pada saya karena kebodohan saya sendiri, saya diuluri pulpen, rebutan dengan dua orang di sebelah saya yang juga tidak membawa alat tulis, dan segera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali asing. Ini tidak mudah karena tangan saya berkali-kali basah oleh keringat.

Ketika tes wawancara, saya agak waswas karena ini adalah bagian dimana saya sering gagal. Saya tidak pandai bicara atau mengutarakan pikiran. Meski saya sudah berlatih sekadarnya (dengan berulangkali membayangkan saya berada di acara talkshow) selama perjalanan dari Magelang ke Surabaya, saya masih tidak yakin. Dengan narsis saya membayangkan diri saya sebagai pewawancara dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang hampir mustahil. Karena jujur saja, nggak mungkin 'kan, saya bakal diwawancarai dengan gaya khas Tukul Arwana atau Andy F. Noya.

Saya bersama segudang pelamar lain menunggu diluar untuk dipanggil. Saya yang biasanya cengengesan nyaris tidak bisa senyum sama sekali. Ketika nama demi nama diminta masuk ke dalam, saya menunggu dengan menyilangkan jari, mengharapkan keberuntungan.

Setelah berjam-jam duduk setengah kelaparan, hingga pelamar terakhir keluar melewati pintu, saya tidak juga dipanggil. Ketika seorang karyawan HR melihat saya, saya diminta masuk dan ditanyai soal berkas. Karena saya mengirimkan lamaran via pos, berkas milik saya terpisah dengan yang lain. Setengah panik, saya menunjukkan bukti sms dari HR untuk mengikuti tes seleksi. Setelah menunggu lagi, saya diberitahu jika berkas milik saya tidak ada. Amplop map berisi lamaran dan fotokopi kertas-kertas penting saya tidak ditemukan dimanapun. Disitu saya terpana. Saya telah menempuh perjalanan tiga ratus lima puluh kilometer semalaman ditambah duduk menunggu seharian untuk diberitahu bahwa berkas saya tidak ada. Saya tidak bisa berkata-kata.

Beruntung mungkin, saya diminta menulis ulang lamaran saya, lalu diminta tetap mengikuti tes wawancara. Saya diajukan berbagai pertanyaan mengenai diri saya dan yang bisa saya lakukan. Saya merasa jawaban saya lemah dan wawancara itu tidak berlangsung sesuai harapan saya. Saya berjalan gontai keluar ruangan untuk selanjutnya mengikuti tes praktek.

Perlu beberapa waktu bagi saya untuk menemukan tempat tes praktek. Saya bolak-balik naik turun tangga seperti orang idiot. Selama wawancara yang menggelisahkan saya ditanya apakah saya takut ketinggian dan apakah saya sanggup bekerja di ketinggian. Ini membuat saya nyaris gila. Selama menunggu sebelumnya, saya telah mendengar beberapa pelamar bicara mengenai tes praktek, dan apa yang telinga saya tangkap membuat saya benar-benar ketakutan.

Jika saya berpikir wawancara adalah yang terburuk, rupanya saya keliru.

Kebalen. Feb '18 (Foto: Anton Aditama)
Saya melihat ke menara pemancar sinyal setinggi lima puluh kaki dan merasa horror. Saya bertanya-tanya apakah saya akan diminta naik menara itu. Setelah semenit yang terasa berjam-jam saya menemukan tempat tes praktek tepat ketika tes akan dimulai, yang berada di lapangan parkir belakang. Ternyata saya dan semua pelamar lain diminta untuk naik tangga, mengikatkan diri dengan safety harness ke tiang setinggi tujuh meter, dan mencoba meraih ujung penutup kotak distribusi terjauh.

Setelah demonstrasi penggunaan harness, saya gemetaran luar biasa. Perut saya serasa jungkir balik. Selama dua puluh tahun hidup saya, saya hampir belum pernah memegang tang dengan benar. Saya bahkan belum pernah naik tangga teleskopik sekalipun. Saya sama sekali tidak siap soal ini. Ketika tiba giliran saya, ditemani perasaan tidak nyaman didasar perut, saya menghadapi tes praktek itu dengan jiwa nekat.

Ketika diatas tangga, meski takut dan keteteran, tampak oleh saya langit sore yang indah. Saya sedikit terkesima dan merasa lebih dekat ke langit. Saya lilitkan harness saya ke tiang dan mencoba meraih penutup kotak distribusi terjauh. Orang-orang yang kelak akan menjadi teman saya melihat saya dari bawah. Diluar dugaan tes praktek itu berjalan lancar. Walau agak kikuk saya merasa mengikuti instruksi dengan baik dan turun dengan kaki gemetaran.

Ketika seleksi hari itu selesai, saya setengah berharap bahwa saya tidak diterima. Keinginan saya untuk bisa merantau ke Surabaya berbanding terbalik dengan kemampuan saya dalam kerja lapangan. Karena tahu saya tidak mungkin menginap dimana pun (saya tidak ada saudara) dan saya belum tahu kapan akan tahu hasil seleksi, saya memutuskan pulang. Setelah lebih dari dua belas jam berada di Surabaya, saya mengejar bis terakhir menuju Bungurasih dan naik bus Eka kembali ke Magelang malam itu juga. Saya ingat dalam perjalanan pulang naik bis, lampu-lampu kota Surabaya yang menyala indah melambai ke saya, dan saya membatin sampai berapa lama saya akan melihat lampu-lampu itu lagi.

Ternyata tidak lama.

Jawaban dari pertanyaan ini datang dua hari kemudian. Saya sampai di Magelang pukul empat pagi sehari sebelumnya dan masuk kerja di resto hari itu juga. Saya melewatkan dua hari berikutnya dengan banyak antisipasi, termasuk mencukur habis rambut saya.

Lalu ketakutan saya menjadi kenyataan: saya diterima bekerja di Telkom Akses sebagai teknisi lapangan. Saya bahagia sekaligus kuatir. Baru kemudian saya diberitahu jika nilai saya ternyata bagus.

Selama bulan-bulan berikutnya saya belajar segalanya dari nol. Saya menghadapi kesulitan-kesulitan yang belum pernah saya temui. Saya datang ke Surabaya tanpa mengenal siapapun, karena kurang fit saya mual-muntah sepanjang perjalanan sembilan jam dari Magelang. Terseok-seok dengan dua tas besar saya mencari kos-kosan paling murah yang bisa saya temukan. Masih jetlag akibat naik bus, saya mengikuti pelatihan yang memusingkan dan menguras otak. Saya mengalami masalah komunikasi karena ternyata kosakata, aksen, dan pelafalan bahasa Jawa di Magelang tidak sama dengan di Surabaya. Saya dianggap sombong karena saya seorang introver. Saya berulang tahun pada hari kedua pelatihan dan merasa kesepian karena tidak ada siapapun di sekitar saya yang mengetahuinya. Saya harus berjuang esktra untuk naik motor ditengah jalanan Surabaya yang brutal meski saya tidak mahir. Setelah itu semua, saya tidak tahu ternyata saya masih bisa selamat.

Kini saya menjalani kontrak kedua saya yang akan berakhir Januari depan, dan saya sedang sangat berharap bahwa akan ada kontrak ketiga. Jika saya melihat ke belakang, sudah banyak sekali hal yang saya pelajari. Tidak sekalipun dalam masa kecil atau remaja saya pernah membayangkan kalau takdir akan membawa saya untuk bekerja menghadapi hal yang paling saya takutkan.

Sudah tak terhitung banyaknya tiang yang saya naiki. Saya melompat dari satu atap rumah ke atap yang lain. Saya bisa menyambung dan menambat kabel tanpa banyak waswas. Saya makin mahir menyalip di jalanan yang penuh kendaraan. Semua berkat bantuan senior dan kawan saya di Gubeng, kantor dimana saya ditempatkan. 

Dalam kurun waktu itu saya pernah jatuh dari tiang dimana dua kuku saya harus dicabut sebelum tumbuh lagi, saya pernah jatuh ditabrak motor, saya pernah ratusan kali gagal menyambung kabel, tapi nyatanya saya belum kapok jadi teknisi lapangan. Kerja di Telkom mungkin nggak bikin saya bisa liburan ke Pulau Paskah di luar negeri atau gonta-ganti iPhone tiap bulan, tapi selama bekerja disini saya bisa membawa diri saya jalan-jalan ke Kenjeran dan Wonorejo yang nggak jauh-jauh amat.

Kerja di Telkom memungkinkan saya untuk membeli sekarung besar kuaci yang nggak habis saya cemil berbulan-bulan. Dan yang lebih berharga dari itu semua, kerja di Telkom bikin saya bisa koar-koar ke teman-teman saya yang hobinya pamer jerawat di media sosial.

Sebenarnya, yang ingin saya sampaikan, bagi saya yang terpaksa masuk sekolah teknik, yang tidak punya banyak bakat, bisa bekerja di Telkom adalah sebuah keajaiban. Untuk sebagian besar orang, yang saya alami hanyalah peristiwa kecil sepele, tapi bagi saya yang seorang penakut dan pengecut, menghadapi ketakutan saya adalah sebuah bukti bahwa saya pemberani.

Jadi, untuk sekarang ini meski tidak selalu mudah, Living in Telkom sebagai teknisi lapangan adalah hal yang saya syukuri.


Team SO Gubeng. Des '19 (Foto: Teddi Junandara)


====================Lomba Kompetisi Blog: LIVING IN TELKOM==================


Readmore → Kerja di Telkom, Enak Nggak Sih?

5 November 2018

Jurnal (Page 5)

Udah November nih.

Bulan ini saya ikut Semen Indonesia Trail Run, yang half-marathon tanggal 11 besok. Tinggal seminggu lagi (nggak sampe, malah) tapi saya nggak ada semangat buat latihaann. Gimana ya. . saya perlu dimotivasi. Padahal waktu KVRR 2018 kemaren saya rajin latihan lho. Hampir tiap hari saya lari malem-malem, keliling Surabaya buat latihan.

Tapi habis itu spirit saya merosot. Akhir bulan September kemaren saya sempat ikut Virtual Run yang edisi Voyage to Indonesia tapi entah kenapa medali sama jerseynya nggak nyampe-nyampe. Padahal saya ada di daftar pemenang. Duh.


Semoga saya nemukan kembali spirit saya yang ilang ya.

Readmore → Jurnal (Page 5)

1 September 2018

Jurnal (Page 4)

Saya mau curhaaaat.

Sebenernya saya capek jadi jomblo. Saya pengen banget punya pacar, cowok lho ya. Kalo cewek mungkin udah dari dulu saya dapet (salah sendiri gay)

Tapi ngomong-ngomong. . punya pacar itu belum tentu jaminan lebih bahagia. Ketika kita memutuskan berkomitmen sama seseorang, kita kehilangan sebagian dari kebebasan kita. Dan ada hal-hal lain yang bikin repot. Meski gitu. . kita juga dapet nilai-nilai berharga yang nggak kita dapetin ketika jadi jomblo.

Dukungan moral, misalnya. Sama dipeluk.

Makanya, saya mau berkomitmen sama orang yang tepat. Susah nyari yang beneran sayang sama saya. Baiknya saya nggak ngeliat fisik. Tapi kebanyakan orang cuma peduli soal seks. Pasti itu yang pertama dibahas. Kalo udah gitu saya jadi ilfil.

Saya munafik sih, tapi. . apa nggak ada hal bagus lain selain seks? Ya banyak lah. Traveling bareng, masak bareng, atau ngurus anak bareng.

Susah nyari orang yang mau diajak begitu, tapi saya ogah pesimis. Selama nunggu ketemu pacar idaman saya, saya mau menikmati masa-masa jomblo. Tapi rasanya suwe puol. Nggak nemu-nemu. Apa saya terlalu pilih-pilih? Ya daripada saya pacaran sama orang yang salah, mendingan saya jomblo dulu deh. Semoga waktu ketemu nanti, siapapun itu udah yang terakhir dan terbaik buat saya.
Readmore → Jurnal (Page 4)

Jurnal (Page 3)

1 September 2018

Hari ini saya ikut Med Run Unair kategori 10K. Jauh lebih sepi daripada Surabaya Marathon, tapi wajar sih karena emang bukan acara gede-gedean.

Di kabupaten saya sendiri dulu ada Borobudur International 10K, tapi saya malah belum pernah ikut.

Ceritanya habis ikut Surabaya Marathon saya dimasukin ke grup TA runners. Dari yang tadinya mau leren malah jadi makin aktif di kegiatan lari. Tapi emang banyak manfaatnya buat saya kok, hehe. Jadi Alhamdulillah, Puji Tuhan, semoga saya bisa terus konsisten.

Yang saya nggak habis pikir dari acara Med Run Unair ini. . saya ngiranya ini acara khusus lari. Tapi ternyata ada acara internal FK Unair juga toh. Justru acara larinya ini kesannya malah kaya acara sampingan, bukan acara utama.

Saya nggak bisa bilang saya kapok atau nggak. Tapi, meski gitu. . saya mau ambil yang baik-baik. Saya seneng dapet medali. Lumayan buat nambah koleksi, hehehe.
Readmore → Jurnal (Page 3)

22 April 2018

Jurnal (Page 2)

Hm. . I know I need to be more productive on my journal.

These last few days were great. Life is so much more better and being an adult is definitely work for me. I'm writing these on a happy mood LOL it's not guaranteed but I want to believe they are true.

Okay. I should'nt be surprised by people talking bad things behind my back because. . it's a too common thing. I need to get used. Well, why haven't I? Mom Eliz made me realize that we can easily be negative from anything around us, I need to work myself to be just as positive.

I want to consider this world as a cruel place, in order to prevent myself from counting too much on others, though I still need them of course.

I've been actively writing again and it's good, although I just lost another story that I struggled to finish the last three weeks. I'm expecting a good come out of it.

I have 30 minutes and these are what I got.
Readmore → Jurnal (Page 2)

3 Maret 2018

I don't want to end up like Poe

I don't know what to feel, what to write right know. I don't know if I've had enough sleep. I honestly don't know.
Readmore → I don't want to end up like Poe

1 Maret 2018

Jurnal (Page 1)

Halo.
Nama saya Anton, dan saya nggak punya panggilan yang lebih bagus selain itu.

Saya ingin menjadikan blog ini sebagai jurnal pribadi, karena saya perlu tempat untuk menjadi diri saya yang sebenarnya.
Readmore → Jurnal (Page 1)