14 November 2017

Sehabis Hujan

(A/N) Pertama - tama aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Nayaka Al Gibran, yang sudah mau mem-posting cerita ini di blog miliknya suatu kali dulu. Komentar yang kudapat dari pembaca di sana sedikit-banyak membuatku merasa yakin aku bisa menulis.

Ini adalah cerpen yang pada awalnya kutulis untuk lomba bulan bahasa 2015, tapi sayang sekali cerpen ini nggak menang. Aku kecewa karena tadinya kupikir cerita ini cukup bagus. 
Meski begitu, setelah dua tahun berlalu, aku berpikir apa yang kutulis di sini terlalu naif. Kadang - kadang aku merasa malu sendiri ketika membacanya lagi. Tapi bagaimanapun, aku tahu aku tetap harus menaruhnya di blog ini.

Cerita ini kudedikasikan kepada nekochan-lovers, yang membuka mataku untuk sedikit lebih peduli pada lingkungan, dan pernah membuatku bangga menyebut diri sebagai maniak angkutan umum.

Terakhir, untuk kalian yang sedang memantengi layar hape atau komputer kalian, selamat membaca ;) ***




Sehabis Hujan (After Rain)


Bukan sekali ini Muhammad El Fahmi pulang berjalan kaki. Ini sudah yang ke sekian kali dalam beberapa minggu terakhir. Kebiasaan barunya ini bukan tanpa alasan; dia sengaja. Awalnya dirinya memang terpaksa karena pada saat itu seluruh angkutan umum malah mogok beroperasi sebagai bentuk protes terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak. Fahmi, yang enggan menunggu dijemput ayahnya selepas kerja, memutuskan untuk berjalan kaki dari stasiun ke rumahnya. Waktu itu dia baru beberapa langkah jalan, dan tiba – tiba ada orang yang memberinya tumpangan. Betapa bersyukurnya ia saat itu.

Sekarang alih – alih naik angkot, dia memilih berjalan kaki. Dia tidak perlu keluar ongkos untuk naik angkot dari stasiun, karena setelah beberapa puluh langkah, ada saja yang akan memberinya tumpangan secara gratis. Keberuntungan ini nyaris terjadi setiap hari, tetapi hari ini adalah pengecualian.

Fahmi telah menempuh hampir sepertiga dari perjalanannya ke rumah, tapi belum juga ada orang yang berbaik hati kepadanya. Dia tidak mengeluh. Dirinya pernah sampai benar – benar berjalan kaki dari stasiun ke rumahnya, dan bukan hanya sekali. Bagaimanapun ia telah cukup terbiasa. Dan, segi positifnya adalah, jalan kaki itu lumayan menyehatkan. Ini hanya seperti jalan santai setiap awal Agustus dalam peringatan ulangtahun sekolahnya; dengan rute yang lebih pendek dan tanpa hadiah pintu alias doorprize. Sekalian memperbesar betis - betis kakinya. Bagaimanapun, seorang El Fahmi telah melakukan jalan santai lebih banyak daripada siapapun di sekolahnya. Untuk itu dia merasa perlu diberi penghargaan MURI atau Guiness World Record. Ha, yang benar saja.

Hari ini mendung; seperti halnya kemarin, dan kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Mengingat ini akhir Oktober dan awal musim hujan, mungkin besok juga akan mendung, dan besoknya, dan besoknya lagi. Fahmi benar – benar bersyukur karenanya. Dia tidak tahan membayangkan dirinya berjalan dibawah terik panas matahari yang terasa seperti membakar setiap helai rambut hitamnya,membuat isi kepalanya mendidih.

Saat Fahmi telah menempuh sekitar sembilan ratus enam puluh dua langkah, seseorang memanggilnya.

“Fahmi!”

Fahmi berhenti pada langkah sembilan ratus enam puluh empat, dan menoleh ke asal suara. Seorang cowok kurus berseragam, berwajah imut (setidaknya menurut Fahmi), baru saja turun dari angkot. Setelah membanting uang di dasbor, dia bergegas berjalan kearah Fahmi. Ia tersenyum, dasi abu – abunya berayun ditiup angin Oktober. Fahmi serta merta membalas senyumannya. Cowok itu adalah Stevanus Gabriel.

“Jalan kaki lagi?” tanyanya.

Pertanyaan retoris itu hanya dijawab anggukan singkat oleh Fahmi sebelum kembali berjalan. Kini keduanya sejajar. Ini adalah salah satu saat dimana dirinya dan Ariel secara tidak sengaja bertemu. Ketidaksengajaan ini juga sering terjadi. Di saat – saat lain, benang merah takdir akan mempertemukan mereka di stasiun, atau di kereta dalam perjalanan ke sekolah. Pada banyak kesempatan tersebut, keduanya akan membicarakan banyak hal. Biasanya topik pembicaraan mereka adalah seputar tugas sekolah, ulangan, remedial, (masih) tugas sekolah, cuaca atau hal – hal tidak penting lain, lalu tugas sekolah lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. Mereka benar - benar mendapatkan banyak tugas sekolah. Sungguh kelewatan.

Fahmi dan Ariel memang cukup dekat, sekalipun keduanya berasal dari sekolah dan lingkungan yang berbeda. Fahmi adalah seorang muslim dan bersekolah di salah satu SMK lokal di kotanya (orang – orang masih menyebutnya STM). Sedangkan Ariel, yang merupakan seorang kristiani, bersekolah di SMA Kanisius. Dari sekian perbedaan yang mereka miliki, persamaan keduanyalah yang mempertemukan Fahmi dengan Ariel; mereka berdua sama – sama maniak angkutan umum. Fahmi dan Ariel adalah sedikit dari segelintir orang yang masih bertahan berdesak – desakan naik angkutan umum untuk ke sekolah, disaat kebanyakan teman – teman mereka telah beralih naik motor begitu memperoleh izin mengemudi.

Fahmi ingat samar – samar awal pertemuannya dengan Ariel. Mereka sebelumnya adalah dua orang asing yang terlalu sering bertemu. Tempat pertemuan mereka, tak lain dan tak bukan adalah angkutan umum dan stasiun kereta. Keduanya mengambil jalur yang sama untuk berangkat ke sekolah: mereka akan naik angkot atau bus dari rumah masing – masing sampai ke stasiun, dan dari stasiun, mereka akan naik kereta ke sekolah mereka yang memang satu arah. Bagi Fahmi, wajah Ariel yang imut menjadikannya mudah dikenali. Suatu hari Fahmi begitu muak karena pertemuan - pertemuannya dengan Ariel hanya selalu berupa komunikasi non-verbal atau aksi saling curi pandang, sampai akhirnya dia mendamprat Ariel dan mengajaknya berkenalan. Dari situ keduanya semakin dekat dan menjadi sahabat.

Pada masa itu Fahmi belum begitu suka dengan segala tetekbengek mengenai angkutan umum. Panas, pengap, penuh sesak dan segala hal tidak enak lainnya. Ariel lah yang telah merubah cara pandangnya mengenai angkutan umum.

Ariel berkata kepadanya bahwa dengan naik angkutan umum, kita telah ikut berkontribusi mencegah kemacetan lalu lintas, mengurangi polusi udara, serta menghemat energi sekaligus. Jika semakin banyak orang naik angkutan umum, maka pemborosan penggunaan bahan bakar minyak yang semakin langka, serta pencemaran udara oleh kendaraan bermotor akan dapat dikurangi. Naik angkutan umum juga jauh lebih aman daripada naik motor, selain turut mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan bahwa kasus kecelakaan tertinggi berasal dari pengguna sepeda motor.

“Semua dimulai dari diri kita sendiri.” kata Ariel waktu itu. Ia juga bercerita kepada Fahmi tentang usahanya dalam menghasut teman – teman satu kelasnya agar turut naik angkutan umum, atau bersepeda ke sekolah alih – alih naik kendaraan pribadi, tetapi hanya sedikit yang benar – benar mendengarkan dirinya.

Fahmi telah begitu sering mendengar pidato atau kampanye tentang kepedulian terhadap lingkungan, tetapi baru kali itu dia benar – benar terkesan. Dirinya dibuat terkagum – kagum oleh tindakan dan ucapan Ariel. Mulai saat itu Fahmi menjadi sedikit lebih peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Ariel telah berhasil membawa pengaruh dan perubahan positif pada diri Fahmi.

Ariel juga berhasil menularkan obsesinya akan angkutan umum kepada Fahmi. Kini keduanya memiliki cita – cita bersama untuk mengelilingi dunia dan mencoba setiap angkutan umum dari masing – masing negara; Metro di Mesir, Shinkansen di Jepang, Bus merah bertingkat di Inggris dan Skotlandia, Subway di Eropa dan Amerika, Monorail di Malaysia, dan bahkan mungkin perahu – perahu Venesia di Italia.

Hikmah lainnya saat naik angkutan umum, Fahmi menyadari, adalah bahwa pikirannya bisa lebih santai dan tidak perlu fokus ke jalanan. Dia hanya perlu berdiri sebentar atau langsung duduk. Bisa sambil mendengarkan musik, membaca novel, atau menikmati pemandangan melalui kaca jendela.

Tanpa Fahmi dan Ariel sadari, mereka telah sampai pada sebuah pertigaan. Di ujung pertigaan tersebut terdapat sebuah belokan yang merupakan jalan menuju ke rumah Ariel. Ketika sampai di belokan, sebelum Ariel sempat mengucapkan salam perpisahan, Fahmi berkata tanpa tedeng aling-aling.

“Nggak ditawarin mampir?”

Ariel hanya memutar bola matanya, lalu menjawab.

“Lho kamu udah sering mampir ‘kan,tapi kalo mau mampir lagi boleh kok. Yuk!”

Fahmi nyengir. Mereka berjalan menyusuri belokan. Tak sampai sepuluh tahun, mereka tiba di rumah Ariel, yang memang tidak begitu besar karena ia hanya tinggal berdua dengan ayah baptisnya (Ariel lebih suka memanggilnya Paman). Ariel pernah bilang pada Fahmi bahwa orang tua kandungnya telah meninggal sejak ia kecil dan ia adalah anak tunggal. Jadilah Ariel hanya tinggal berdua dengan sang ayah baptis yang masih lajang.

Ariel mengambil kunci dari bawah pot dan membuka pintu depan. Yang selalu tertangkap pertama kali oleh mata Fahmi ketika memasuki ruang depan, adalah sebuah salib yang tergantung pada dinding di sebelah tangga menuju kamar Ariel, yang memang terletak persis di depan pintu masuk. Mereka melepas sepatu masing – masing dan menggantinya dengan sandal.

“Naik duluan sana. Sekalian bawain tasku, ya? Aku ambil minuman dulu.”

Ariel membanting ranselnya ke sofa dan berjalan ke dapur. Fahmi menyambar ransel tersebut dan mulai menaiki tangga ke atas. Ketika sampai, ia mendorong pintu kamar Ariel. Keadaannya masih sama seperti ketika terakhir dia memasukinya: tempat tidur memanjang di salah satu sudut, meja belajar, serta seperangkat PC di sudut yang lain. Ada juga nakas; diatasnya terdapat jam beker, Alkitab, bingkai foto Ariel dan sebuah rosario (Fahmi pernah salah mengira itu adalah tasbih). Dinding – dindingnya dipenuhi poster para pemain Liverpool FC, rangkaian polaroid yang ditempel dengan jepitan – jepitan kecil pada seutas tali seperti jemuran, dan sebuah cermin persegi panjang dengan berbagai stiker tertempel di pinggirannya.

Fahmi meletakkan kedua ransel di dekat meja belajar dan langsung menyalakan PC. Ariel datang beberapa menit kemudian membawa sebuah nampan berisi dua gelas minuman dingin dan setoples penuh camilan bebas-gula (Ayah baptis Ariel adalah seorang dokter gigi). Ia meletakkan nampan tersebut pada nakas disamping tempat tidur.

“Minum dulu, gih.” katanya.

Fahmi bergumam tidak jelas. Ariel hanya mengangkat bahu lalu mengambil sebuah buku dari ranselnya dan mulai membaca. Seluruh perhatian Fahmi tersita oleh layar monitor di depannya. PC dirumah Fahmi memang tidak secanggih milik Ariel, dengan modem yang benar – benar lemot. Dia begitu geram dan habis sabar setiap berhadapan dengan PC miliknya. Ingin sekali Fahmi mengambil sebuah pentungan kasti dan menghancurkan PC nya sampai berkeping – keping, tapi Fahmi tak pernah benar- benar berani melakukannya. Alih – alih, dia berusaha menjelaskan betapa ketinggalan zaman PC miliknya kepada sang ayah, dan memintanya untuk membelikan sebuah laptop atau paling tidak PC yang baru. Sayangnya, ayahnya menolak dengan dalih bahwa PC bututnya masih bisa dipakai. Fahmi hanya bisa menghela napas dan memutar bola matanya mendengar jawaban sang ayah.

Tiga belas menit empat puluh dua detik kemudian, Fahmi bosan juga. Dia mematikan komputer Ariel dan beralih mengambil minumannya yang dari tadi terabaikan. Fahmi meminumnya sampai seperlima bagian sebelum meletakkannya kembali. Dari sudut matanya, ia mendapati Ariel masih berkutat menekuri buku yang entah berjudul apa, dan sesekali membalik halaman - halamannya. Fahmi jadi teringat akan tugas - tugas rumahnya yang telah menggunung dan sama sekali belum tersentuh; ini membuat kepalanya menjadi sedikit pening. Ia lalu mengalihkan pandangan.

Dari jendela kamar Ariel, Fahmi menyadari bahwa cuaca diluar telah jauh lebih murung dari sebelumnya. Lalu, tanpa bisa ia cegah, titik - titik air mulai berjatuhan dari langit diluar, membasahi bumi. Setelah berhari – hari mendung, setelah hari – hari yang murung tanpa sinar matahari, akhirnya hujan benar – benar turun untuk pertama kali. Hati Fahmi mencelos.

“Ah, sial. .” umpatnya.

Perhatian Ariel teralih dari bukunya. Ia memberi Fahmi tatapan tajam. Ariel sama sekali belum menyadari bahwa diluar telah hujan. Matanya lalu mengikuti arah pandangan Fahmi.

“Oh! Hujan ya?”

Berbeda dengan Fahmi, Ariel justru terdengar gembira. Ia menutup bukunya sebelum meletakkannya di kasur. Dia berpijak pada kakinya, dan berdiri. Sebersit ide melintas di benaknya.

“Ikut yuk?” ajaknya.

“Kemana? Keluar?” Fahmi mengerutkan dahinya.

“Iya. . bukannya udah jelas? Ayo!”

Ariel menyeret Fahmi keluar kamar sebelum yang disebut belakangan sempat memprotes tindakan sepihaknya. Ia kelewat antusias. Mereka turun, melompati anak tangga terakhir, lalu. .

“Eh, bentar.”

Ariel kembali naik keatas. Beberapa saat kemudian ia kembali lagi dengan sebuah kamera polaroid miliknya. Setelah itu, Ariel mengambil dua payung transparan dan menyerahkan salah satunya pada Fahmi. Fahmi hanya memandangi payung tersebut sebelum meraihnya.

“Kita mau kemana sih?”

Ariel merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut dan malah memberinya senyuman misterius sebagai ganti. Ia mengalungkan kamera polaroidnya ke leher dan menenteng payungnya dengan tangan kanan, berjalan ke arah pintu belakang. Fahmi memutar bola matanya, jengah. Ia ogah – ogahan mengikuti langkah sang sahabat. Sempat terlintas di pikirannya untuk kembali ke atas dan meninggalkan Ariel dengan segala ketidakjelasannya, tapi ia urungkan niat tersebut. Rasa penasarannya mengalahkan segala keengganannya mengikuti Ariel.

Fahmi menutup pintu di belakangnya sebelum berjalan menyusul Ariel yang telah beberapa langkah di depannya.Ia agak menyesali idenya untuk mampir ke rumah Ariel kali ini. Hujan sama sekali bukanlah sesuatu yang terpikirkan olehnya. Dia salah mengira hujan baru akan turun paling tidak minggu depan, dan hari ini hanya akan mendung seperti hari sebelumnya. Bagaimanapun, Fahmi bukanlah orang yang hobi nonton berita, apalagi berita prakiraan cuaca.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak pada kebun belakang rumah Ariel, melewati taman kompleks, terus berjalan hingga tiba pada jalan beraspal yang tidak terlalu lebar. Keduanya menyeberangi jalan aspal tersebut dan sampai pada sekelompok pepohonan. Di dekat situ ada jalan masuk kecil berupa celah yang juga dinaungi pepohonan di kanan dan kirinya. Mereka sampai.

Ariel telah membawa Fahmi ke sebuah tanah lapang tanpa-rumput yang tersembunyi dibalik kelompok pepohonan yang mereka lewati tadi. Detik berikutnya, Fahmi menyadari bahwa tanah lapang itu adalah sebuah lapangan sepakbola; ada gawang pada masing - masing ujung lapangan. Di kedua sisi samping lapangan, terdapat tempat duduk penonton berupa bangku besi rendah bertingkat tiga yang memanjang dari ujung ke ujung yang lain.

Fahmi benar – benar tidak mengerti. Tak ada siapapun kecuali mereka dan bangku panjang yang telah basah oleh air hujan. Tentunya Ariel mengajaknya kesini bukan untuk nonton sepakbola, apalagi ditengah hujan begini. Ia mengamati Ariel yang kini sedang berjalan agak ke tengah. Ariel berdiri mematung, kepalanya sedikit mendongak, kedua matanya terpejam. Ia menghela napas dalam – dalam. Menit berikutnya, Ariel menyilangkan kedua tangannya dan menundukkan kepalanya. Fahmi hendak menginterupsi tindakan sang sahabat, tapi urung ia lakukan karena Ariel terlihat begitu khusyuk dengan entah apa yang ia lakukan.

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Ariel membuka kedua matanya. Fahmi, yang merasa terabaikan, langsung menyeletuk.

“Jadi sekarang kamu semacam anggota sekte penyembah hujan apa gimana?”

Ariel menatap Fahmi seakan ia sudah gila.

Anggota sekte penyembah hujan? yang benar aja!”

“Nah? yang tadi itu ngapain?” tuntut Fahmi.

“Berdoa, dasar idiot. Emang kamu kira aku ngapain?”

Fahmi hanya mengangkat bahu.

“Tadi itu aku berdoa buat ayah sama ibuku. Mereka meninggal waktu aku masih 4 tahun; kecelakaan mobil. Aku pernah bilang, ‘kan? Sebenernya aku nggak begitu inget, tapi kupikir waktu itu hujan. . basah. Dan makam mereka juga jauh dari sini, jadi aku cuma bisa nyekar tiap liburan Paskah sama Natal. ”

Hati Fahmi mencelos mendengar penjelasan Ariel.

“Oh. . aku bener – bener minta maaf. Kukira tadi kamu ngapain.” Fahmi menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Nggak masalah.” Ariel tersenyum sekilas. Dia lalu memandang ke arah tirai hujan di depan mereka, pandangannya menerawang. Samar – samar Fahmi mendengar Ariel menghela napasnya.

“Kamu kangen mereka?” tanya Fahmi.

Ariel menatap sahabatnya selama beberapa saat, seakan menilainya. Ia lalu mengedikkan bahu dan menggelengkan kepalanya sebelum mengalihkan pandangan.

Hening. Hanya terdengar suara tetes air hujan di sekitar mereka. Ariel telah kembali memejamkan matanya. Fahmi menatapnya lekat – lekat. Rambut Ariel agak berantakan dan wajahnya lembap oleh cipratan air hujan. Fahmi bertanya – tanya dalam hati bagaimana rasanya dibesarkan tanpa kasih sayang orang tua, dan diam - diam ia bersyukur kedua orang tuanya masih hidup serta sehat walafiat. Fahmi mengagumi ketegaran Ariel, ketegaran seorang remaja tujuh belas tahun.

Ariel membuka mata ketika Fahmi belum juga mengalihkan pandangan. Mereka saling bertatapan. Jika ada hal lain yang Fahmi kagumi dari diri Ariel, itu adalah kedua matanya. Mata Ariel berwarna cokelat jernih, berbeda dengan kebanyakan mata orang Indonesia yang pada umumnya berwarna cokelat gelap. Fahmi pernah mendengar bahwa mata adalah jendela hati, dan ia bisa melihat kejernihan hati Ariel melalui matanya.

Ariel kembali mengarahkan pandangannya pada hujan, menatapnya seakan berusaha menghitung berapa jumlah tetes air yang turun per detik. Sedangkan Fahmi menatap setiap tetes air yang jatuh dari tepi payungnya seolah – olah itu adalah hal yang menarik.

“Aku suka hujan.” ujar Ariel tiba – tiba. Fahmi kembali menatap Ariel. Ia tak tahu bagaimana menanggapi pernyataan tersebut, jadi dia hanya membisu.

“Aku nggak ngerti kenapa orang – orang cenderung benci sama hujan, padahal hujan itu menarik.” lanjutnya. “Suaranya. .” Ariel menutup matanya sekejap, lalu “Aromanya. .” ia menghirup napas dalam – dalam. “Semuanya. .”

Fahmi bisa mendengar senyuman di setiap kata yang terucap dari bibir Ariel. Ia menunggu.

“Hujan itu anugerah, berkah, dan rezeki. Hujan adalah rahmat Tuhan yang turun langsung dari langit, bukti cinta kasih Yang Maha Kuasa pada seluruh makhluk-Nya, jadi jangan mencela hujan.Kalo kita mencela hujan, berarti kita juga telah mencela Tuhan yang menciptakan hujan.” Ariel menjelaskan.

“Tahu nggak? Aku baca itu di buku kumpulan khotbah jum’at, lho. Waktu itu aku habis ikut misa di gereja, lalu mampir sebentar ke perpus kota, dan secara gak sengaja nemu buku itu. Karena penasaran sama khotbahnya orang Islam, jadi aku baca deh, dan kebetulan ada khotbah tentang hujan.” Ariel nyengir. Fahmi menaikkan sebelah alisnya.

“Aku kurang percaya kalo hujan bisa bikin kita sakit. Justru sebaliknya, hujan itu malah bisa jadi moodbuster.” ujar Ariel.

“Masa sih?”

“He’eh. Kamu gak pernah hujan – hujanan ?” Ariel menatap Fahmi tidak percaya.

“Pernah lah.” Fahmi mengakui.

“Yaudah, ayo!”

Ariel meninggalkan payung bersama kamera polaroidnya di bangku panjang, lalu menyeret Fahmi berjalan ke tengah lapangan. Dengan ragu Fahmi menurunkan payungnya, kemudian meninggalkannya tergeletak begitu saja.

Mereka berdiri di tengah lapangan tanpa-rumput itu, dibawah guyuran hujan yang tak terlalu deras. Tidak ada angin ataupun petir; hanya hujan biasa, hujan pertama dalam musim hujan yang baru saja dimulai.Tetes – tetes air hujan serta merta membasahi tubuh dan seragam mereka.

Tidak seperti dugaan Fahmi, air hujan yang turun mengalir di tubuhnya sama sekali tidak terasa dingin, dan justru sebaliknya, terasa benar – benar nyaman. Ariel memejamkan matanya, mendongakkan kepalanya sedikit. Ia menikmati air hujan yang menetes membasahi wajahnya. Fahmi mengikuti tindakan Ariel. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya; mendengarkan suara hujan yang terdengar begitu menenteramkan, menikmati air hujan yang terasa nyaman di kulitnya, serta menghirup napas dalam – dalam; menikmati aroma hujan. Mereka terus begitu selama bermenit – menit berikutnya, hingga volume hujan makin mengecil, sampai akhirnya benar – benar reda. Hujan yang singkat.

Fahmi memandang pada langit monokrom di atas mereka, matanya mencari - cari hingga ke kaki langit di kejauhan. Tak ada pelangi.

“Petrichor. .” celetuk Ariel tiba – tiba, ia menarik napasnya dalam – dalam.

“Petrichor?” tanya Fahmi, bingung.

“Iya, petrichor.” Ariel kembali menarik napasnya. “Aroma menyegarkan yang dikeluarkan bumi setelah hujan pertama, sehabis kemarau panjang.” Ia menjelaskan, tersenyum kepada Fahmi. Fahmi lalu menarik napasnya, mengikuti Ariel, membaui aroma menyegarkan yang menguar dari tanah di bawah mereka. “Petrichor. . .” gumamnya kemudian. Ia lalu nyengir pada Ariel.

Dalam perjalanan pulang, sekalipun seragamnya basah kuyup, Fahmi mendapati bahwa dirinya merasa jauh lebih baik. Ia merasa lebih hidup dan optimis. Segala penat yang tadi ia rasakan telah hilang entah kemana, seolah air hujan telah turut membasuh jiwanya, menghapus keletihannya, serta mengangkat bebannya. Perasaannya begitu ringan. Ariel benar; hujan ternyata bisa jadi moodbuster. Dan anehnya, Fahmi mengenali perasaan ini: seperti perasaan yang ia dapatkan sehabis mandi.

Kini Fahmi menyadari bahwa segala sesuatu tergantung pada cara pandang seseorang. Jika kita memandang hujan sebagai sesuatu yang menyusahkan, maka hujan itu akan menyusahkan kita, dan begitu pula sebaliknya; jika kita memandang hujan sebagai anugerah, maka kita akan mendapatkan manfaat darinya.

Sekali lagi, Ariel telah berhasil merubah cara pandang Fahmi terhadap sesuatu; kali ini hujan. Dan selalu ada pembelajaran yang ia dapat. Hari ini, dirinya belajar bahwa hujan bukanlah sesuatu yang buruk, bahwa hujan tak lain dan tak bukan adalah berkah dan rahmat Tuhan untuk alam semesta, bahwa hujan diciptakan bukan untuk dicela atau dikeluhkan, tapi untuk disyukuri.

Disyukuri, seperti pertemuannya dengan Ariel pada setiap pagi dalam perjalanannya ke sekolah. Fahmi tersenyum, ia menatap sang sahabat yang kini tengah menambahkan sebuah polaroid pada rangkaian koleksinya. Sebuah polaroid yang berhasil Ariel ambil dengan kameranya sebelum mereka pulang. Di dalam polaroid tersebut, dua remaja tengah saling merangkul dan tersenyum, rambut dan seragam mereka basah oleh air hujan. Dibaliknya, Ariel telah menulis dengan tinta spidol permanen kata – kata:

El Fahmi dan Gabriel, akhir Oktober 2015, Sehabis Hujan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar