(A/N) Pertama - tama aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Nayaka Al Gibran, yang sudah mau mem-posting cerita ini di blog miliknya suatu kali dulu. Komentar yang kudapat dari pembaca di sana sedikit-banyak membuatku merasa yakin aku bisa menulis.
Ini adalah cerpen yang pada awalnya kutulis untuk lomba bulan bahasa 2015, tapi sayang sekali cerpen ini nggak menang. Aku kecewa karena tadinya kupikir cerita ini cukup bagus.
Meski begitu, setelah dua tahun berlalu, aku berpikir apa yang kutulis di sini terlalu naif. Kadang - kadang aku merasa malu sendiri ketika membacanya lagi. Tapi bagaimanapun, aku tahu aku tetap harus menaruhnya di blog ini.
Cerita ini kudedikasikan kepada nekochan-lovers, yang membuka mataku untuk sedikit lebih peduli pada lingkungan, dan pernah membuatku bangga menyebut diri sebagai maniak angkutan umum.
Terakhir, untuk kalian yang sedang memantengi layar hape atau komputer kalian, selamat membaca ;) ***
Sehabis Hujan (After Rain)
Bukan sekali ini Muhammad El Fahmi pulang berjalan
kaki. Ini sudah yang ke sekian kali dalam beberapa minggu terakhir. Kebiasaan
barunya ini bukan tanpa alasan; dia sengaja. Awalnya dirinya memang terpaksa
karena pada saat itu seluruh angkutan umum malah mogok beroperasi sebagai
bentuk protes terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak. Fahmi, yang enggan
menunggu dijemput ayahnya selepas kerja, memutuskan untuk berjalan kaki dari
stasiun ke rumahnya. Waktu itu dia baru beberapa langkah jalan, dan tiba – tiba
ada orang yang memberinya tumpangan. Betapa bersyukurnya ia saat itu.
Sekarang alih – alih naik angkot, dia memilih
berjalan kaki. Dia tidak perlu keluar ongkos untuk naik angkot dari stasiun,
karena setelah beberapa puluh langkah, ada saja yang akan memberinya tumpangan
secara gratis. Keberuntungan ini nyaris terjadi setiap hari, tetapi hari ini
adalah pengecualian.
Fahmi telah menempuh hampir sepertiga dari
perjalanannya ke rumah, tapi belum juga ada orang yang berbaik hati kepadanya.
Dia tidak mengeluh. Dirinya pernah sampai benar – benar berjalan kaki dari
stasiun ke rumahnya, dan bukan hanya sekali. Bagaimanapun ia telah cukup
terbiasa. Dan, segi positifnya adalah, jalan kaki itu lumayan menyehatkan. Ini
hanya seperti jalan santai setiap awal Agustus dalam peringatan ulangtahun
sekolahnya; dengan rute yang lebih pendek dan tanpa hadiah pintu alias
doorprize. Sekalian memperbesar betis - betis kakinya. Bagaimanapun, seorang El
Fahmi telah melakukan jalan santai lebih banyak daripada siapapun di sekolahnya.
Untuk itu dia merasa perlu diberi penghargaan MURI atau Guiness World Record.
Ha, yang benar saja.
Hari ini mendung; seperti halnya kemarin, dan
kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Mengingat ini akhir Oktober dan awal musim
hujan, mungkin besok juga akan mendung, dan besoknya, dan besoknya lagi. Fahmi
benar – benar bersyukur karenanya. Dia tidak tahan membayangkan dirinya berjalan
dibawah terik panas matahari yang terasa seperti membakar setiap helai rambut
hitamnya,membuat isi kepalanya mendidih.
Saat Fahmi telah menempuh sekitar sembilan ratus
enam puluh dua langkah, seseorang memanggilnya.
“Fahmi!”
Fahmi berhenti pada langkah sembilan ratus enam
puluh empat, dan menoleh ke asal suara. Seorang cowok kurus berseragam,
berwajah imut (setidaknya menurut Fahmi), baru saja turun dari angkot. Setelah
membanting uang di dasbor, dia bergegas berjalan kearah Fahmi. Ia tersenyum, dasi
abu – abunya berayun ditiup angin Oktober. Fahmi serta merta membalas senyumannya.
Cowok itu adalah Stevanus Gabriel.
“Jalan kaki lagi?” tanyanya.
Pertanyaan retoris itu hanya dijawab anggukan
singkat oleh Fahmi sebelum kembali berjalan. Kini keduanya sejajar. Ini adalah
salah satu saat dimana dirinya dan Ariel secara tidak sengaja bertemu.
Ketidaksengajaan ini juga sering terjadi. Di saat – saat lain, benang merah
takdir akan mempertemukan mereka di stasiun, atau di kereta dalam perjalanan ke
sekolah. Pada banyak kesempatan tersebut, keduanya akan membicarakan banyak hal.
Biasanya topik pembicaraan mereka adalah seputar tugas sekolah, ulangan,
remedial, (masih) tugas sekolah, cuaca atau hal – hal tidak penting lain, lalu tugas
sekolah lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. Mereka benar - benar mendapatkan
banyak tugas sekolah. Sungguh kelewatan.
Fahmi dan Ariel memang cukup dekat, sekalipun
keduanya berasal dari sekolah dan lingkungan yang berbeda. Fahmi adalah seorang
muslim dan bersekolah di salah satu SMK lokal di kotanya (orang – orang masih
menyebutnya STM). Sedangkan Ariel, yang merupakan seorang kristiani, bersekolah
di SMA Kanisius. Dari sekian perbedaan yang mereka miliki, persamaan
keduanyalah yang mempertemukan Fahmi dengan Ariel; mereka berdua sama – sama
maniak angkutan umum. Fahmi dan Ariel adalah sedikit dari segelintir orang yang
masih bertahan berdesak – desakan naik angkutan umum untuk ke sekolah, disaat
kebanyakan teman – teman mereka telah beralih naik motor begitu memperoleh izin
mengemudi.
Fahmi ingat samar – samar awal pertemuannya dengan
Ariel. Mereka sebelumnya adalah dua orang asing yang terlalu sering bertemu.
Tempat pertemuan mereka, tak lain dan tak bukan adalah angkutan umum dan
stasiun kereta. Keduanya mengambil jalur yang sama untuk berangkat ke sekolah:
mereka akan naik angkot atau bus dari rumah masing – masing sampai ke stasiun,
dan dari stasiun, mereka akan naik kereta ke sekolah mereka yang memang satu
arah. Bagi Fahmi, wajah Ariel yang imut menjadikannya mudah dikenali. Suatu
hari Fahmi begitu muak karena pertemuan - pertemuannya dengan Ariel hanya
selalu berupa komunikasi non-verbal atau aksi saling curi pandang, sampai
akhirnya dia mendamprat Ariel dan mengajaknya berkenalan. Dari situ keduanya
semakin dekat dan menjadi sahabat.
Pada masa itu Fahmi belum begitu suka dengan segala
tetekbengek mengenai angkutan umum. Panas, pengap, penuh sesak dan segala hal
tidak enak lainnya. Ariel lah yang telah merubah cara pandangnya mengenai
angkutan umum.
Ariel berkata kepadanya bahwa dengan naik angkutan
umum, kita telah ikut berkontribusi mencegah kemacetan lalu lintas, mengurangi
polusi udara, serta menghemat energi sekaligus. Jika semakin banyak orang naik
angkutan umum, maka pemborosan penggunaan bahan bakar minyak yang semakin
langka, serta pencemaran udara oleh kendaraan bermotor akan dapat dikurangi.
Naik angkutan umum juga jauh lebih aman daripada naik motor, selain turut
mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan bahwa kasus kecelakaan
tertinggi berasal dari pengguna sepeda motor.
“Semua dimulai dari diri kita sendiri.” kata Ariel
waktu itu. Ia juga bercerita kepada Fahmi tentang usahanya dalam menghasut
teman – teman satu kelasnya agar turut naik angkutan umum, atau bersepeda ke
sekolah alih – alih naik kendaraan pribadi, tetapi hanya sedikit yang benar –
benar mendengarkan dirinya.
Fahmi telah begitu sering mendengar pidato atau
kampanye tentang kepedulian terhadap lingkungan, tetapi baru kali itu dia benar
– benar terkesan. Dirinya dibuat terkagum – kagum oleh tindakan dan ucapan
Ariel. Mulai saat itu Fahmi menjadi sedikit lebih peduli terhadap lingkungan di
sekitarnya. Ariel telah berhasil membawa pengaruh dan perubahan positif pada
diri Fahmi.
Ariel juga berhasil menularkan obsesinya akan
angkutan umum kepada Fahmi. Kini keduanya memiliki cita – cita bersama untuk
mengelilingi dunia dan mencoba setiap angkutan umum dari masing – masing
negara; Metro di Mesir, Shinkansen di Jepang, Bus merah bertingkat di Inggris
dan Skotlandia, Subway di Eropa dan Amerika, Monorail di Malaysia, dan bahkan
mungkin perahu – perahu Venesia di Italia.
Hikmah lainnya saat naik angkutan umum, Fahmi
menyadari, adalah bahwa pikirannya bisa lebih santai dan tidak perlu fokus ke
jalanan. Dia hanya perlu berdiri sebentar atau langsung duduk. Bisa sambil
mendengarkan musik, membaca novel, atau menikmati pemandangan melalui kaca
jendela.
Tanpa Fahmi dan Ariel sadari, mereka telah sampai
pada sebuah pertigaan. Di ujung pertigaan tersebut terdapat sebuah belokan yang
merupakan jalan menuju ke rumah Ariel. Ketika sampai di belokan, sebelum Ariel
sempat mengucapkan salam perpisahan, Fahmi berkata tanpa tedeng aling-aling.
“Nggak ditawarin mampir?”
Ariel hanya memutar bola matanya, lalu menjawab.
“Lho kamu udah sering mampir ‘kan,tapi kalo mau
mampir lagi boleh kok. Yuk!”
Fahmi nyengir. Mereka berjalan menyusuri belokan.
Tak sampai sepuluh tahun, mereka tiba di rumah Ariel, yang memang tidak begitu
besar karena ia hanya tinggal berdua dengan ayah baptisnya (Ariel lebih suka
memanggilnya Paman). Ariel pernah bilang pada Fahmi bahwa orang tua kandungnya
telah meninggal sejak ia kecil dan ia adalah anak tunggal. Jadilah Ariel hanya
tinggal berdua dengan sang ayah baptis yang masih lajang.
Ariel mengambil kunci dari bawah pot dan membuka
pintu depan. Yang selalu tertangkap pertama kali oleh mata Fahmi ketika
memasuki ruang depan, adalah sebuah salib yang tergantung pada dinding di
sebelah tangga menuju kamar Ariel, yang memang terletak persis di depan pintu
masuk. Mereka melepas sepatu masing – masing dan menggantinya dengan sandal.
“Naik duluan sana. Sekalian bawain tasku, ya? Aku
ambil minuman dulu.”
Ariel membanting ranselnya ke sofa dan berjalan ke
dapur. Fahmi menyambar ransel tersebut dan mulai menaiki tangga ke atas. Ketika
sampai, ia mendorong pintu kamar Ariel. Keadaannya masih sama seperti ketika
terakhir dia memasukinya: tempat tidur memanjang di salah satu sudut, meja
belajar, serta seperangkat PC di sudut yang lain. Ada juga nakas; diatasnya
terdapat jam beker, Alkitab, bingkai foto Ariel dan sebuah rosario (Fahmi
pernah salah mengira itu adalah tasbih). Dinding – dindingnya dipenuhi poster
para pemain Liverpool FC, rangkaian polaroid yang ditempel dengan jepitan –
jepitan kecil pada seutas tali seperti jemuran, dan sebuah cermin persegi
panjang dengan berbagai stiker tertempel di pinggirannya.
Fahmi meletakkan kedua ransel di dekat meja belajar
dan langsung menyalakan PC. Ariel datang beberapa menit kemudian membawa sebuah
nampan berisi dua gelas minuman dingin dan setoples penuh camilan bebas-gula
(Ayah baptis Ariel adalah seorang dokter gigi). Ia meletakkan nampan tersebut pada
nakas disamping tempat tidur.
“Minum dulu, gih.” katanya.
Fahmi bergumam tidak jelas. Ariel hanya mengangkat
bahu lalu mengambil sebuah buku dari ranselnya dan mulai membaca. Seluruh
perhatian Fahmi tersita oleh layar monitor di depannya. PC dirumah Fahmi memang
tidak secanggih milik Ariel, dengan modem yang benar – benar lemot. Dia begitu
geram dan habis sabar setiap berhadapan dengan PC miliknya. Ingin sekali Fahmi
mengambil sebuah pentungan kasti dan menghancurkan PC nya sampai berkeping –
keping, tapi Fahmi tak pernah benar- benar berani melakukannya. Alih – alih,
dia berusaha menjelaskan betapa ketinggalan zaman PC miliknya kepada sang ayah,
dan memintanya untuk membelikan sebuah laptop atau paling tidak PC yang baru.
Sayangnya, ayahnya menolak dengan dalih bahwa PC bututnya masih bisa dipakai.
Fahmi hanya bisa menghela napas dan memutar bola matanya mendengar jawaban sang
ayah.
Tiga belas menit empat puluh dua detik kemudian,
Fahmi bosan juga. Dia mematikan komputer Ariel dan beralih mengambil minumannya
yang dari tadi terabaikan. Fahmi meminumnya sampai seperlima bagian sebelum
meletakkannya kembali. Dari sudut matanya, ia mendapati Ariel masih berkutat
menekuri buku yang entah berjudul apa, dan sesekali membalik halaman -
halamannya. Fahmi jadi teringat akan tugas - tugas rumahnya yang telah
menggunung dan sama sekali belum tersentuh; ini membuat kepalanya menjadi sedikit
pening. Ia lalu mengalihkan pandangan.
Dari jendela kamar Ariel, Fahmi menyadari bahwa
cuaca diluar telah jauh lebih murung dari sebelumnya. Lalu, tanpa bisa ia
cegah, titik - titik air mulai berjatuhan dari langit diluar, membasahi bumi.
Setelah berhari – hari mendung, setelah hari – hari yang murung tanpa sinar
matahari, akhirnya hujan benar – benar turun untuk pertama kali. Hati Fahmi
mencelos.
“Ah, sial. .” umpatnya.
Perhatian Ariel teralih dari bukunya. Ia memberi
Fahmi tatapan tajam. Ariel sama sekali belum menyadari bahwa diluar telah
hujan. Matanya lalu mengikuti arah pandangan Fahmi.
“Oh! Hujan ya?”
Berbeda dengan Fahmi, Ariel justru terdengar
gembira. Ia menutup bukunya sebelum meletakkannya di kasur. Dia berpijak pada
kakinya, dan berdiri. Sebersit ide melintas di benaknya.
“Ikut yuk?” ajaknya.
“Kemana? Keluar?” Fahmi mengerutkan dahinya.
“Iya. . bukannya udah jelas? Ayo!”
Ariel menyeret Fahmi keluar kamar sebelum yang
disebut belakangan sempat memprotes tindakan sepihaknya. Ia kelewat antusias.
Mereka turun, melompati anak tangga terakhir, lalu. .
“Eh, bentar.”
Ariel kembali naik keatas. Beberapa saat kemudian ia
kembali lagi dengan sebuah kamera polaroid miliknya. Setelah itu, Ariel
mengambil dua payung transparan dan menyerahkan salah satunya pada Fahmi. Fahmi
hanya memandangi payung tersebut sebelum meraihnya.
“Kita mau kemana sih?”
Ariel merasa tidak perlu menjawab pertanyaan
tersebut dan malah memberinya senyuman misterius sebagai ganti. Ia mengalungkan
kamera polaroidnya ke leher dan menenteng payungnya dengan tangan kanan,
berjalan ke arah pintu belakang. Fahmi memutar bola matanya, jengah. Ia ogah –
ogahan mengikuti langkah sang sahabat. Sempat terlintas di pikirannya untuk
kembali ke atas dan meninggalkan Ariel dengan segala ketidakjelasannya, tapi ia
urungkan niat tersebut. Rasa penasarannya mengalahkan segala keengganannya
mengikuti Ariel.
Fahmi menutup pintu di belakangnya sebelum berjalan menyusul
Ariel yang telah beberapa langkah di depannya.Ia agak menyesali idenya untuk
mampir ke rumah Ariel kali ini. Hujan sama sekali bukanlah sesuatu yang
terpikirkan olehnya. Dia salah mengira hujan baru akan turun paling tidak
minggu depan, dan hari ini hanya akan mendung seperti hari sebelumnya. Bagaimanapun,
Fahmi bukanlah orang yang hobi nonton berita, apalagi berita prakiraan cuaca.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak pada kebun
belakang rumah Ariel, melewati taman kompleks, terus berjalan hingga tiba pada
jalan beraspal yang tidak terlalu lebar. Keduanya menyeberangi jalan aspal
tersebut dan sampai pada sekelompok pepohonan. Di dekat situ ada jalan masuk
kecil berupa celah yang juga dinaungi pepohonan di kanan dan kirinya. Mereka
sampai.
Ariel telah membawa Fahmi ke sebuah tanah lapang
tanpa-rumput yang tersembunyi dibalik kelompok pepohonan yang mereka lewati
tadi. Detik berikutnya, Fahmi menyadari bahwa tanah lapang itu adalah sebuah lapangan
sepakbola; ada gawang pada masing - masing ujung lapangan. Di kedua sisi
samping lapangan, terdapat tempat duduk penonton berupa bangku besi rendah
bertingkat tiga yang memanjang dari ujung ke ujung yang lain.
Fahmi benar – benar tidak mengerti. Tak ada siapapun
kecuali mereka dan bangku panjang yang telah basah oleh air hujan. Tentunya
Ariel mengajaknya kesini bukan untuk nonton sepakbola, apalagi ditengah hujan
begini. Ia mengamati Ariel yang kini sedang berjalan agak ke tengah. Ariel
berdiri mematung, kepalanya sedikit mendongak, kedua matanya terpejam. Ia
menghela napas dalam – dalam. Menit berikutnya, Ariel menyilangkan kedua
tangannya dan menundukkan kepalanya. Fahmi hendak menginterupsi tindakan sang
sahabat, tapi urung ia lakukan karena Ariel terlihat begitu khusyuk dengan
entah apa yang ia lakukan.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan,
Ariel membuka kedua matanya. Fahmi, yang merasa terabaikan, langsung menyeletuk.
“Jadi sekarang kamu semacam anggota sekte penyembah
hujan apa gimana?”
Ariel menatap Fahmi seakan ia sudah gila.
“Anggota sekte
penyembah hujan? yang benar aja!”
“Nah? yang tadi itu ngapain?” tuntut Fahmi.
“Berdoa, dasar idiot. Emang kamu kira aku ngapain?”
Fahmi hanya mengangkat bahu.
“Tadi itu aku berdoa buat ayah sama ibuku. Mereka
meninggal waktu aku masih 4 tahun; kecelakaan mobil. Aku pernah bilang, ‘kan? Sebenernya
aku nggak begitu inget, tapi kupikir waktu itu hujan. . basah. Dan makam mereka
juga jauh dari sini, jadi aku cuma bisa nyekar tiap liburan Paskah sama Natal. ”
Hati Fahmi mencelos mendengar penjelasan Ariel.
“Oh. . aku bener – bener minta maaf. Kukira tadi
kamu ngapain.” Fahmi menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Nggak masalah.” Ariel tersenyum sekilas. Dia lalu
memandang ke arah tirai hujan di depan mereka, pandangannya menerawang. Samar –
samar Fahmi mendengar Ariel menghela napasnya.
“Kamu kangen mereka?” tanya Fahmi.
Ariel menatap sahabatnya selama beberapa saat,
seakan menilainya. Ia lalu mengedikkan bahu dan menggelengkan kepalanya sebelum
mengalihkan pandangan.
Hening. Hanya terdengar suara tetes air hujan di
sekitar mereka. Ariel telah kembali memejamkan matanya. Fahmi menatapnya lekat
– lekat. Rambut Ariel agak berantakan dan wajahnya lembap oleh cipratan air
hujan. Fahmi bertanya – tanya dalam hati bagaimana rasanya dibesarkan tanpa
kasih sayang orang tua, dan diam - diam ia bersyukur kedua orang tuanya masih
hidup serta sehat walafiat. Fahmi mengagumi ketegaran Ariel, ketegaran seorang
remaja tujuh belas tahun.
Ariel membuka mata ketika Fahmi belum juga
mengalihkan pandangan. Mereka saling bertatapan. Jika ada hal lain yang Fahmi
kagumi dari diri Ariel, itu adalah kedua matanya. Mata Ariel berwarna cokelat
jernih, berbeda dengan kebanyakan mata orang Indonesia yang pada umumnya
berwarna cokelat gelap. Fahmi pernah mendengar bahwa mata adalah jendela hati,
dan ia bisa melihat kejernihan hati Ariel melalui matanya.
Ariel kembali mengarahkan pandangannya pada hujan,
menatapnya seakan berusaha menghitung berapa jumlah tetes air yang turun per
detik. Sedangkan Fahmi menatap setiap tetes air yang jatuh dari tepi payungnya
seolah – olah itu adalah hal yang menarik.
“Aku suka hujan.” ujar Ariel tiba – tiba. Fahmi kembali
menatap Ariel. Ia tak tahu bagaimana menanggapi pernyataan tersebut, jadi dia
hanya membisu.
“Aku nggak ngerti kenapa orang – orang cenderung
benci sama hujan, padahal hujan itu menarik.” lanjutnya. “Suaranya. .” Ariel menutup
matanya sekejap, lalu “Aromanya. .” ia menghirup napas dalam – dalam. “Semuanya.
.”
Fahmi bisa mendengar
senyuman di setiap kata yang terucap dari bibir Ariel. Ia menunggu.
“Hujan itu anugerah, berkah, dan rezeki. Hujan
adalah rahmat Tuhan yang turun langsung dari langit, bukti cinta kasih Yang
Maha Kuasa pada seluruh makhluk-Nya, jadi jangan mencela hujan.Kalo kita
mencela hujan, berarti kita juga telah mencela Tuhan yang menciptakan hujan.”
Ariel menjelaskan.
“Tahu nggak? Aku baca itu di buku kumpulan khotbah
jum’at, lho. Waktu itu aku habis ikut misa di gereja, lalu mampir sebentar ke
perpus kota, dan secara gak sengaja nemu buku itu. Karena penasaran sama
khotbahnya orang Islam, jadi aku baca deh, dan kebetulan ada khotbah tentang
hujan.” Ariel nyengir. Fahmi menaikkan sebelah alisnya.
“Aku kurang percaya kalo hujan bisa bikin kita sakit.
Justru sebaliknya, hujan itu malah bisa jadi moodbuster.” ujar Ariel.
“Masa sih?”
“He’eh. Kamu gak pernah hujan – hujanan ?” Ariel
menatap Fahmi tidak percaya.
“Pernah lah.” Fahmi mengakui.
“Yaudah, ayo!”
Ariel meninggalkan payung bersama kamera polaroidnya
di bangku panjang, lalu menyeret Fahmi berjalan ke tengah lapangan. Dengan ragu
Fahmi menurunkan payungnya, kemudian meninggalkannya tergeletak begitu saja.
Mereka berdiri di tengah lapangan tanpa-rumput itu,
dibawah guyuran hujan yang tak terlalu deras. Tidak ada angin ataupun petir; hanya
hujan biasa, hujan pertama dalam musim hujan yang baru saja dimulai.Tetes –
tetes air hujan serta merta membasahi tubuh dan seragam mereka.
Tidak seperti dugaan Fahmi, air hujan yang turun mengalir
di tubuhnya sama sekali tidak terasa dingin, dan justru sebaliknya, terasa
benar – benar nyaman. Ariel memejamkan matanya, mendongakkan kepalanya sedikit.
Ia menikmati air hujan yang menetes membasahi wajahnya. Fahmi mengikuti
tindakan Ariel. Ia memfokuskan seluruh panca inderanya; mendengarkan suara
hujan yang terdengar begitu menenteramkan, menikmati air hujan yang terasa
nyaman di kulitnya, serta menghirup napas dalam – dalam; menikmati aroma hujan. Mereka
terus begitu selama bermenit – menit berikutnya, hingga volume hujan makin
mengecil, sampai akhirnya benar – benar reda. Hujan yang singkat.
Fahmi memandang pada langit monokrom di atas mereka,
matanya mencari - cari hingga ke kaki langit di kejauhan. Tak ada pelangi.
“Petrichor. .” celetuk Ariel tiba – tiba, ia menarik
napasnya dalam – dalam.
“Petrichor?” tanya Fahmi, bingung.
“Iya, petrichor.” Ariel kembali menarik napasnya. “Aroma
menyegarkan yang dikeluarkan bumi setelah hujan pertama, sehabis kemarau
panjang.” Ia menjelaskan, tersenyum kepada Fahmi. Fahmi lalu menarik napasnya,
mengikuti Ariel, membaui aroma menyegarkan yang menguar dari tanah di bawah
mereka. “Petrichor. . .” gumamnya kemudian. Ia lalu nyengir pada Ariel.
Dalam perjalanan pulang, sekalipun seragamnya basah
kuyup, Fahmi mendapati bahwa dirinya merasa jauh lebih baik. Ia merasa lebih
hidup dan optimis. Segala penat yang tadi ia rasakan telah hilang entah kemana,
seolah air hujan telah turut membasuh jiwanya, menghapus keletihannya, serta
mengangkat bebannya. Perasaannya begitu ringan. Ariel benar; hujan ternyata
bisa jadi moodbuster. Dan anehnya, Fahmi mengenali perasaan ini: seperti perasaan
yang ia dapatkan sehabis mandi.
Kini Fahmi menyadari bahwa segala sesuatu tergantung
pada cara pandang seseorang. Jika kita memandang hujan sebagai sesuatu yang
menyusahkan, maka hujan itu akan menyusahkan kita, dan begitu pula sebaliknya;
jika kita memandang hujan sebagai anugerah, maka kita akan mendapatkan manfaat
darinya.
Sekali lagi, Ariel telah berhasil merubah cara pandang
Fahmi terhadap sesuatu; kali ini hujan. Dan selalu ada pembelajaran yang ia
dapat. Hari ini, dirinya belajar bahwa hujan bukanlah sesuatu yang buruk, bahwa
hujan tak lain dan tak bukan adalah berkah dan rahmat Tuhan untuk alam semesta,
bahwa hujan diciptakan bukan untuk dicela atau dikeluhkan, tapi untuk
disyukuri.
Disyukuri, seperti pertemuannya dengan Ariel pada setiap
pagi dalam perjalanannya ke sekolah. Fahmi tersenyum, ia menatap sang sahabat
yang kini tengah menambahkan sebuah polaroid pada rangkaian koleksinya. Sebuah
polaroid yang berhasil Ariel ambil dengan kameranya sebelum mereka pulang. Di
dalam polaroid tersebut, dua remaja tengah saling merangkul dan tersenyum, rambut dan seragam mereka basah oleh air hujan. Dibaliknya,
Ariel telah menulis dengan tinta spidol permanen kata – kata:
El Fahmi dan
Gabriel, akhir Oktober 2015, Sehabis Hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar