Gambang Semarang
Praba belum pernah ke Semarang. Tapi dia tahu kalau kota itu ada di bagian utara. Secepat mungkin, begitu Praba mendapat jatah libur tiga hari miliknya yang paling berharga, ia mengepak semua pakaian dan apa saja yang dirasa perlu ia bawa ke ibu kota Jawa Tengah itu.
Sudah jauh-jauh hari Praba memesan tiket kereta. Ia berencana menemui kekasihnya, Agustinus, yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro yang ada di Tembalang.
Selama perjalanan di kereta Praba mengingat saat-saat membahagiakannya dengan Gusti. Mereka sudah pacaran selama enam bulan. Praba bertemu Gusti lewat aplikasi, seperti kebanyakan pasangan muda jaman sekarang. Setelah pedekate yang tergesa-gesa dan berbagai pesan penuh perhatian lewat What'sApp, Praba dan Gusti resmi menjadi pasangan. Keduanya merahasiakan hubungan mereka dari semua orang, tentu saja, karena dua laki-laki yang berpacaran masih dianggap tabu bahkan di tahun dua ribu dua puluh.
Lagu Gambang Semarang terdengar ketika Praba sampai di stasiun Tawang. Ia bahkan tidak tahu apa nama musik yang mengalun itu sampai seseorang yang tidak dikenalnya memberitahunya secara random.
"Mau kemana, mas?" Seorang tukang ojek menanyai Praba begitu ia berhasil mencapai pintu keluar stasiun.
"Nggak usah Pak, saya dijemput pacar saya." kata Praba bangga. Ia tersenyum pada layar hapenya sebelum membuat voice note.
"Gus, aku udah sampe di Semarangtawang. Jadi jemput 'kan?" katanya.
Pesan itu langsung sampai dan dibalas dengan pesan singkat.
"Ya." jawab Gusti.
Pendek banget. Praba membatin. Gusti baru sampai nyaris satu jam kemudian. Praba heran karena ia terlihat berantakan.
"Sori agak lama." katanya.
"Jauh ya dari kosmu di Tembalang?" Praba menyeret kopernya lebih dekat.
"Ketiduran." Gusti menjawab malas-malasan. "Yuk."
Semangat Praba menurun dengan sambutan yang kurang antusias ini. Ia telah menabung jauh-jauh hari, menunggu selama dua bulan ditambah satu jam yang membosankan di stasiun, dan ia bahkan tidak mendapat pelukan yang layak dari pacarnya?
Praba tidak bertambah lega ketika mereka berdua boncengan di atas motor. Gusti menunjukkan gestur yang kaku dan cenderung tidak peduli.
"Besok kayanya aku nggak bisa jadi nemanin ke Lawang Sewu, Pras. Aku masih ada tugas."
Praba sama sekali tidak senang dengan berita ini. "Loh, kau bilang tugas akhirmu sudah selesai kapan hari."
Ia mengingat percakapannya dengan Gusti seminggu yang lalu.
"Bukan salahku kalau ada tugas tambahan dadakan, Pras." Gusti membela diri. "Kau jalan sendiri nggak apa-apa 'kan?"
"Iya." Praba menjawab lesu. Ia melonggarkan pegangannya pada pinggang Gusti begitu mereka mencapai lampu merah.
Di kos, Praba membanting tasnya ke kasur Gusti dan membiarkan tubuhnya ambruk menindih bantal.
"Istirahat dulu. Nanti sore aku ajak ke Simpang Lima." terang Gusti.
Praba yang terlanjur ngambek karena diperlakukan dingin oleh pacarnya tidak sanggup bereaksi. Sebagai gantinya ia hanya bergumam,
"Hm."
Gusti sepertinya menyadari perubahan kondisi suasana hati Praba, tapi ia memilih untuk diam.
"Nggak minum?" Gusti menawari. Perlu satu menit penuh bagi Praba untuk memutuskan.
"Air putih aja." Ia berkata.
"Sini."
Gusti mengulurkan botol kaca bekas sirup yang berisi air putih dingin. Praba tidak bergerak satu senti pun.
"Jangan minum di kasur." Gusti menambahkan.
Praba lalu bangkit dan meraih botol itu. Ia meneguknya seketika, menempelkan kedua ujung bibirnya pada mulut botol. Segera setelahnya Gusti memeluk Praba dari belakang sementara anak itu minum.
"Maaf." katanya. "Di sini nggak bisa kaya di Malang. Aku takut ada yang lihat kita di jalan."
Praba sengaja berlama-lama dengan botolnya. Gusti memeluk Praba semakin erat dan menciumi punggung Praba. Praba bisa merasakan benda milik Gusti mengeras di belakangnya.
"Yuk." Gusti memberi isyarat yang langsung dipahami Praba.
"Nggak, capek. Mau tidur." Praba menjawab dengan angkuh, walau sebenarnya ia sudah menunggu saat-saat ini. Bagaimanapun ia terlanjur dongkol karena sikap cuek Gusti.
Gusti tidak langsung menyerah. "Bentar aja." Ia lalu membisikkan kata-kata yang membuat telinga dan wajah Praba merah seketika.
"Dasar bajingan." Praba mengutuk, tetapi dia melepas bajunya. "Kau ada kondom, 'kan?"
"Nggak usah pakai." kata Gusti.
"Pake." Praba membalas tegas.
"Terserah deh." Gusti lalu menghimpitnya ke dinding dan menciumi leher pasangannya.
Sore itu juga, setelah melewatkan jam-jam menyedihkan tanpa makan siang, Praba dan Gusti menuju Simpang Lima dengan setengah kelaparan. Praba sudah siap melahap habis cor beton Tugu Muda ketika mereka akhirnya memutuskan untuk makan dibawah tenda nasi goreng jawa yang didirikan dadakan. Ketika Praba menyeruput es tehnya yang kedua, dari perempatan ia melihat sekelompok pengamen lewat melantunkan musik yang familiar.
"Astaga, orang-orang beneran suka lagu ini, ya." Praba menyeletuk.
"Lagu apa?"
"Gambang Semarang."
Praba dan Gusti berhenti untuk mencermati musik yang mengalir ke pendengaran mereka.
"Oh, nggak tahu aku." terang Gusti.
Praba ingin menggeplak kepala pacarnya, tapi karena anak itu berada di luar jangkauan sebagai ganti ia menyindir, "Padahal kau tinggal lama disini."
"Yeah, cuma karena orangtuaku tinggal di Banyumanik, bukan berarti aku paham semua hal. Aku nggak bisa nulis aksara Jawa. Aku bahkan nggak tahu yang mana Sundari Soekotjo."
"Nah, kau nggak perlu sombong kalau kau goblok. Tapi, emang siapa sih Sundari Soekotjo? Kaya pernah dengar." Praba mengingat-ingat.
"Penyanyi keroncong. Idolanya orangtuaku. Kan, aku nggak perlu ngoleksi kasetnya seperti mereka."
"Iya, iya." Praba mencibir.
Selesai makan, keduanya melihat-lihat sekeliling jalan lapangan Pancasila. Tempat itu nyaris sangat penuh. Orang-orang dan pedagang tumpah ruah di jalan.
"Asyik ya disini. Coba bisa kesini tiap hari." Praba nimbrung.
"Halah, sama aja. Lama-lama juga kau bosan, seperti di tempat lain." Gusti berkata logis. Praba mengangkat bahu.
Setelah keduanya puas cuci mata, ngobrol, dan Praba telah mengambil cukup banyak foto untuk diunggah ke Instagram, mereka pulang dan mampir membeli es krim di Toko Oen di Jalan Pemuda.
"Di Malang ada juga es krim Toko Oen. Tapi nggak tahu rasanya mirip atau nggak dengan yang di Semarang."
Gusti hanya manggut-manggut. Sebelum ia sempat menginjak pedal gas begitu mereka keluar dari halaman Toko Oen, Praba sudah mengisyaratkan kalau mereka belum akan pulang.
"Gus, tahu Klenteng Sam Po Kong?" Praba bertanya.
"Iya tahu. Di Bongsari. Kenapa?" balas Gusti.
"Kesana, yuk. Belum tutup 'kan? Di Google Maps tulisannya tutup jam delapan."
"Kenapa nggak besok aja, sih? Buru-buru amat."
Praba menekuk bibirnya. "Besok kan kau nggak bisa nganterin. Ayolah,"
"Iya, tapi mau ngapain?" Gusti bertanya gusar.
"Berdo'a." Praba menjawab pendek. Gusti langsung terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menyanggah.
Mungkin tidak banyak yang tahu, tetapi Praba adalah seorang agnostik. Meski begitu ia kadang-kadang berdo'a (walau jarang) di tempat-tempat yang menurut orang-orang populer. Alasan berdo'a adalah alasan yang sulit ditolak Gusti bagi orang se-kritis Praba.
Karena tidak punya pilihan Gusti mengantar Praba walau dengan ogah-ogahan menuju Bongsari dimana Kleteng Sam Po Kong yang terkenal dibangun.
Praba adalah orang yang terakhir berdo'a dan menaruh dupa di altar.
"Kau do'a apa sih? 'Kan bisa do'a di kosan." kata Gusti.
"Aku do'a supaya ditunjukkan ke jalan kebenaran." Praba berkata polos.
"Memang orang seperti kau percaya dengan kekuatan doa?" Gusti bertanya sinis.
"Yah, walau kadang aku ragu Tuhan benar ada atau nggak, tapi 'kan seenggaknya aku mencoba. Siapa tahu Tuhan itu beneran ada." jelas Praba. "Bukan berarti aku bergantung sama do'a-do'a ku."
Praba lalu berkata panjang lebar.
"Sebenarnya do'a itu nggak masalah. Cuma orang-orang kebanyakan terlalu percaya dengan keajaiban berdo'a. Orang nggak mau berpikir logis. Mereka berpikir kalau berdo'a saja cukup, terlalu mengandalkan Tuhan yang belum tentu ada. Padahal kalau mau melek, kita susah apa-apa ditanggung sendiri. Kalau Tuhan beneran ada, dia cuma membiarkan, Gus. Tuhan tuh nggak pernah beneran bantuin kita. Dia cuma diem. Kita yang selalu usaha sendiri. Berdo'a itu seperlunya saja, biar kita tenang."
Gusti menguap keras-keras.
"Terserah deh, Pras. Aku nggak peduli seandainya kau mau jadi pendeta agnostik atau apa, aku udah pusing. Ayo pulang."
Dua hari berikutnya Praba berkeliling Semarang seorang diri sementara Gusti mengerjakan tugas akhir tambahan kuliahnya, atau begitu kira-kira yang disampaikan anak itu. Sebelumnya, enam bulan yang lalu Gusti magang di Malang selama satu setengah bulan. Dari sanalah Gusti dan Praba pertama kali bertemu setelah saling match di aplikasi. Mereka sepakat untuk menjalani LDR begitu Gusti kembali ke kota asalnya, Semarang, untuk merampungkan semester akhir pada pendidikan diploma. Sebelum-sebelum ini hanya Gusti yang selalu pergi menemui Praba di Malang.
Ini adalah kali pertama Praba di ibukota Jawa Tengah. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk pergi ke Lawang Sewu, Klenteng (lagi), Puri Maerokoco, serta berkeliling di daerah Meteseh.
Pada malam terakhir, setelah puas melepas kangen dengan kekasihnya, Praba bersiap-siap untuk mengepak pakaian dan oleh-oleh, dibantu oleh Gusti.
"Aku ada sesuatu." Gusti berkata di sela-sela melipat kaus kaki. Anak itu sudah tidak terlihat kaku dan dingin lagi, terutama dua hari belakangan. Dia bahkan bersikap kelewat ramah, malah. Mungkin hanya perlu penyesuaian setelah dua bulan tidak bertemu, pikir Praba.
Bagaimanapun, ada sesuatu yang ganjil dari cara menatap Gusti. Ia seperti tidak ingin memandang Praba tepat di mata ketika mereka berciuman atau berhubungan badan. Tapi Praba tidak ingin ambil pusing dan mempermasalahkan hal ini. Bisa jadi semua itu hanya firasatnya.
"Nih."
Gusti kembali dan menyerahkan kepada Praba sebuah benda persegi yang mungkin hanya dimiliki generasi sembilan puluhan kebawah: sebuah kaset pita. Itu adalah kaset lagu Gambang Semarang versi Sundari Soekotjo.
"Dapat dari Ibuku." Gusti berkata nyengir. Ia lalu berpesan, "Kalau kangen, tapi nggak bisa ke Semarang, putar aja kasetnya."
"Ya ampun. Ini gimana mutarnya? Aku nggak ada radio tape." Praba tampak terkesima.
"Beli aja Walkman. Di Bukalapak banyak yang jual kok. Tau walkman kan?"
Praba masih menatap kaset itu seolah itu adalah benda pusaka. "Oke, oke. Makasih ya, Gus." Praba lalu memeluk Gusti. "Aku sayang banget sama kamu." pungkasnya.
Gusti hanya diam dan tersenyum. Itu sudah cukup bagi Praba.
Pagi-pagi sekali, diantar oleh Gusti, Praba membawa kopernya yang jauh lebih penuh dari saat ia datang menuju stasiun Semarangtawang. Ia tersenyum lebar sekali, bahagia, sekaligus sedih karena akan berpisah dengan kekasihnya.
"Hati-hati ya," pesan Gusti. "Salam buat Mama." katanya juga.
"Makasih, aku bakal kangen kamu, Gus." Ia menyalami Gusti.
"Aku juga." Gusti mengulas senyum. "Maaf aku nggak bisa lama-lama. Kalau udah sampai di Malang jangan lupa What'sApp ya."
Gusti pergi.
"Bye. . " kata Praba, membalas lambaian tangan Gusti. Praba kaget sendiri karena biasanya ia mengucapkan 'See you later'. Ide bahwa Praba takkan bertemu lagi dengan Gusti adalah hal yang dibencinya.
Sambil menunggu kereta, Praba mencoba menghibur diri dengan bermain game. Setelah tiga puluh menit ia merasa bosan dan meletakkan hapenya kembali ke saku.
Lalu serta merta Praba teringat sesuatu yang penting.
Praba mengutuki dirinya karena ia telah meninggalkan kaset pemberian Gusti di kosan. Dengan bodohnya Praba menaruh kaset itu diatas tumpukan buku Gusti dan lupa mengepaknya ke dalam koper pagi ini.
"Sialan." umpatnya.
Praba hendak menghubungi Gusti tapi ia urungkan niatnya. Masih satu jam sebelum keretanya berangkat, dan daripada ia mati bosan menunggu di stasiun, lebih baik Praba kembali ke kosan untuk mengambil kaset itu. Masih cukup waktu baginya untuk dua kali bolak-balik stasiun. Lagipula Praba tidak sudi jika harus minta tolong pacarnya karena Gusti hanya akan mengirim kaset itu lewat pos.
Praba menitipkan semua bawaannya di tempat penitipan sebelum memesan gojek menuju Tembalang. Setelah berjalan seratus meter dari stasiun, tukang gojek yang dipesan Praba langsung meluncur membawanya ke kosan Gusti.
"Bentar ya, Pak." Praba berpesan pada gojek.
Awalnya Praba tidak curiga ketika semua gorden kos pacarnya tertutup. Praba mengambil kunci serep yang biasa diletakkan dalam sepatu Gusti diluar kosan karena pintu kos itu terkunci (mungkin Gusti sedang pergi), sebelum menjeblaknya membuka.
Tapi ternyata Gusti tidak pergi. Ia ada di dalam, karena hal pertama yang disadari Praba adalah tubuh pacarnya yang terkulai diatas kasur. Dia sama sekali tidak mengenakan pakaian. Di sampingnya, tertutupi selimut, adalah seorang perempuan yang dikenali Praba sebagai mantan pacar Gusti.
Keduanya terlelap dan belum menyadari kehadiran Praba.
Perlu beberapa waktu bagi Praba untuk mencerna yang dilihatnya, karena kenyataan pahit yang terpampang bertentangan dengan hal-hal manis yang belakangan terjadi. Praba merasa hancur sekali. Ia gemetaran luarbiasa, dadanya diliputi perasaan mencekam yang akan terus menghantuinya seumur hidupnya. Ia mengenal betul perasaan itu. . kekecewaan. Pengkhiatanan. Praba telah dikhianati.
Praba berjalan mundur dan nyaris menyenggol pot di depan kos. Ia keluar, sebelum berlari kembali pada tukang gojek yang menunggunya. Sekuat tenaga Praba menahan tangis selama perjalanan kembali menuju stasiun. Ia tersengal dan memukuli dadanya.
Sambil memunguti kepingan hatinya yang remuk, setelah membanting pecahan seratus tanpa meminta kembalian, Praba berjalan terseok menuju pintu masuk stasiun. Praba jatuh terduduk sebelum tangisnya pecah.
Praba tersedu-sedu. Di aula yang penuh orang, lagu Gambang Semarang mengalun dengan merdu, mengejeknya.
***
Surabaya, 14 Maret 2020.
Teruntuk pecinta kereta,
oleh Beda Prasetia Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar