12 Maret 2020

Kertajaya Pagi Ini

Tahun Dua Ribu Dua Puluh.

Sepuluh tahun yang lalu, orang mungkin tidak akan berpikir kejadian menyeramkan bisa saja terjadi di tahun serba canggih ini. Tapi nyatanya, hingga cerpen ini ditulis, sebuah ancaman perang dunia ketiga, kebakaran besar-besaran di Australia, dan virus baru yang belum ditemukan penangkalnya, hanyalah sedikit dari daftar kekacauan di awal dekade baru yang dirayakan dengan begitu meriah.

Aldi bangun dari tidurnya dan merasa asing. Kejadian semalam langsung terpatri di benaknya yang tersingkap kabut. Semalaman dia bermain kartu di warung kopi sambil membicarakan topik-topik terhangat. Berangsur-angsur kesadaran Aldi pulih ketika ia mengucek matanya dan berkonsentrasi.

Aldi melirik jendela.

Pagi itu bukan pagi yang tidak biasa karena tukang bubur di perempatan masih tetap bangun dan menjual bubur seperti biasa. Sungguh aneh mengetahui dunia di luar sana begitu kacau balau, tapi dunia di depan Aldi tampak baik-baik saja.

Aldi beralih melirik hapenya dan sedikit merasa takut tentang apa yang akan diketahuinya. Sudah cukup banyak berita buruk yang bisa Aldi cerna dalam seminggu belakangan. Mengetahui terlalu banyak memang buruk, jadi lebih baik bagi Aldi kalau ia jauh-jauh dari hapenya untuk sementara waktu.

Kadang-kadang, sulit sekali bahkan hanya untuk bangun dari tempat tidur. Aldi merasa rapuh di atas ranjangnya yang nyaman. Jika memungkinkan, Aldi kadang berpikir macam-macam sebelum dan sesudah bangun tidur.

Orang yang kurang beruntung dari Aldi saat ini mungkin sedang tidur di atas kardus di emperan toko, atau mungkin terbaring di rumah sakit. Aldi teringat beberapa hari lalu tentang video anak perempuan korban perang di Timur Tengah. Anak itu bahkan tidak punya rumah atau orang tua karena keduanya hancur lebur oleh bom. Membayangkan berada di posisi anak itu membuat hati Aldi terasa berat. Di lain waktu, berpikir seperti ini membuat Aldi merasa lebih baik.

Pagi ini adalah saat-saat itu.

Aldi melatih dirinya untuk tidak merasa kasihan, karena rasa kasihan saja sama tidak bergunanya bagi anak perempuan itu seperti halnya doa-doa yang dirapalkan untuk memadamkan api yang melalap habis sebelas juta hektar tanah Australia.

Hidup Aldi mungkin jauh dari perang dan huru-hara, tapi bukan berarti dia tidak punya alasan untuk tidak bersemangat. Dia punya segudang masalah sama seperti manusia manapun. Meski begitu Aldi tetap bangun, mencuci mukanya, sebelum berpakaian dan bersiap untuk bekerja.

"Cuci tangan dulu." Marta mengingatkan Aldi ketika ia turun dan membuka tudung saji. Aldi mengangkat bahu dan berjalan ke wastafel.

"Nanti siang makan di luar ya, Al. Aku nggak masak cukup buat bekal siangmu." Marta nimbrung.

"He-eh." Aldi menjawab singkat.

Ketika selesai makan Aldi mencuci piringnya dan berjalan keluar rumah. Tempat kerja Aldi hanya setengah kilo jauhnya dari pagar rumah Aldi dan dia biasa berjalan kaki kesana. Ini hal yang lumayan, mengingat Aldi tidak pernah berolahraga.

Seorang penjual koran nyaris menabrak Aldi ketika ia keluar gang. Orang itu tidak minta maaf dan berlalu begitu saja. Aldi bertanya-tanya masihkah orang-orang membaca koran pada hari-hari ini. Ketika Aldi berjalan menyeberang ia melirik penjual koran tadi yang bersikeras bertahan dengan dagangannya.

Aldi sampai di tempat kerjanya sepuluh menit kemudian dan bersiap memulai shift pagi  yang membosankan. Sebagian orang yang berjalan lalu-lalang di depan pusat elektronik tempat Aldi bekerja tetap ngotot memakai masker walau ahli medis di belahan dunia manapun setuju bahwa penggunaan masker sama sekali tidak berpengaruh pada penyebaran virus corona terhadap orang yang sehat.

Satu jam berlalu ketika Aldi selesai dengan pekerjaan paginya, menyapu dan mengepel seluruh toko. Penjual koran yang tadi telah berpindah ke sisi jalan yang sini. Dia berteriak kencang,

"Koran! KORAN! Virus corona sudah masuk ke Indonesia! Begal kabur dari penjara! Koran!"

Tak ada satupun orang yang membeli. Aldi merasa pekerjaan orang itu sia-sia saja. Tapi orang itu tetap menjual korannya.

"Koran! Pembantu dibunuh majikan! Koran!"

Si penjual berteriak nyaring, membacakan headline berita pada masing-masing koran.

"Kenapa nggak kerja yang lain saja sih, mas?" Seorang yang lewat tidak bisa menahan dirinya. "Bukannya jualan koran sudah ketinggalan jaman?"

Aldi membenarkan perkataan orang itu.

"Nyatanya saya masih hidup 'kan?" kata si penjual koran. 

"Takkan ada yang membeli koran Anda." kata si pejalan kaki sebelum pergi.

Sang penjual koran hanya tersenyum.

"Nanti juga ada yang beli, kok." Ia berkata pada dirinya.

Aldi menggelengkan kepala. Ia mengamati penjual koran tadi berjalan menjauh dengan pakaian lusuhnya. Sudah bertahun-tahun orang itu berjualan di area sekitar sini. Aldi tidak pernah tahu namanya. Aldi tidak pernah benar-benar peduli. Yang pasti orang itu tidak pernah menyerah dengan dagangannya.

Setelah puas mengamati Aldi berpindah. Pusat elektronik itu langsung penuh oleh pembeli pada jam-jam awal toko buka. Aldi mengepel dan menyapu dari waktu ke waktu karena memang itulah pekerjaannya.

Pukul sembilan Aldi telah merasa cukup berhadapan dengan sapu dan tongkat pel, lalu mengistirahatkan dirinya di depan pusat elektronik. Ia menyulut rokoknya.

Jalanan Kertajaya yang ramai makin sesak oleh keberadaan pengendara motor dan mobil yang saling kebut-kebutan. Matahari pagi meninggi dan mulai membakar tengkuk orang-orang yang lewat. Mereka yang naik Avanza dan Honda Jazz boleh berbangga diri karena mereka bernaung dibawah atap mobil berpendingin udara.

Aldi menyesap rokoknya diantara dinding beton dan tanaman kamboja yang tumbuh di parkiran. Cuaca sudah cukup panas untuk membuat beberapa orang yang bertarung di jalanan kewalahan. Penjual koran yang dikenali Aldi sebelumnya muncul dengan nasi bungkus dan es teh plastikan.

Orang itu berhenti di depan pusat elektronik, meletakkan dagangan korannya dan mulai makan di tangga masuk toko. Orang-orang yang lewat menatapnya sinis. Bau badan si penjual koran, beserta pakaiannya yang lusuh membuat orang yang masuk ke pusat elektronik melontarkan makian kasar.

Aldi terhenyak di tempatnya. Si penjual koran tidak menghiraukan satupun tatapan risih atau cibiran mereka yang lewat. Ia makan dengan lahap. Seseorang lalu meludah dengan sengaja ke arah penjual koran. Ia berhenti menyendoki nasinya.

"Hanya karena pakaian saya kotor, bukan berarti Anda berhak menghina saya!" teriaknya pada orang yang meludah. Fuad, sekuriti yang bisa mencium bau keributan lebih cepat dari siapapun langsung bergegas turun ke dasar tangga.

"Pak, jangan mengemis disini." kata sang sekuriti, menilai penampilan si penjual koran.

"Saya bukan pengemis! Saya tidak meminta-minta! Saya seorang pekerja. Lihat, saya menjual koran. Saya hanya numpang makan disini."

"Ini bukan tempat makan. Minggir." Fuad berkata tegas. Orang yang meludah berlalu pergi.

"Baik!" kata penjual koran.

Aldi melihatnya berpindah ke kafetaria di dalam. Ia lalu makan di salah satu meja dan menyeruput es tehnya tanpa menghiraukan orang-orang yang mengeluhkan bau badan dan pakaiannya. Fuad tidak tinggal diam. Ia mencoba menyeret si penjual koran, tapi orang itu menepis tangannya

"Saya sudah makan di tempat yang benar! Biarkan saya makan dengan tenang!" si penjual koran berujar. Ia menahan amarahnya.

"Makan saja di luar!" Tanpa pikir panjang Fuad merampas koran dagangan orang itu dan melemparnya ke jalan.

"Pergi!"

Dengan berkaca-kaca Aldi melihat sang penjual koran keluar dengan nasinya yang masih setengah, dan memunguti dagangannya. Ia lalu makan diatas tumpukan korannya yang lecek. Tak ada yang menghiraukannya.

Pikiran Aldi akan si penjual koran tergusur keluar ketika ia melanjutkan shift paginya yang belum akan selesai setidaknya hingga lima jam kedepan. Ia menyapu dan mengepel, menyapu dan mengepel tempat itu berkali-kali. Bahkan sebelum Aldi sempat membeli makan siangnya, ketika pusat elektronik itu berada di puncak keramaian, mendadak orang-orang berlari menabraknya dengan berteriak.

Asap hitam membubung ke langit dari gedung pusat elektronik. Tempat itu terbakar hebat. Aldi keluar diantara orang-orang yang berebut naik lift, tersengal dan kehabisan napas.

Di antara kepulan asap, orang-orang panik, dan jalan Kertajaya yang macet parah, Aldi bisa mendengar seseorang berteriak lantang di tengah matahari yang bersinar terik.

"Koran! Koran! Ada begal kabur! Virus corona menyebar! KORAN!"
.
.
()

***

Surabaya, 12 Maret 2020.

Cerpen oleh Beda Prasetia Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar