SENTIMENTAL TRAIN
Untuk Danny Christ Kansil, dalam
kenangannya akan Mbah Ibu Sabini.
.
.
Danny kecil berlari-lari. Di belakangnya
Mbah Sabini mengikuti. Danny kecil selalu senang diajak ke stasiun kereta oleh
mbah-nya kendati tidak banyak hal yang bisa dilakukan disana, selain melihat
kereta yang keluar masuk stasiun. Mereka setidaknya ke situ sebulan sekali,
oleh alasan yang hanya diketahui Sabini.
“Ngapain kita kesini, mbah?” tanya
Danny. Saat itu dia berumur tujuh tahun dan sudah lebih dari sering diajak
melihat kereta-kereta yang lewat, ia sudah tidak gumun lagi.
Sabini duduk di salah satu bangku,
disebelah seorang wanita yang membawa banyak tas. Danny mengikuti mbahnya
duduk.
“Mbah kangen,” kata Sabini.
Selalu begitu jawabannya. Danny
tidak pernah diberitahu lebih lanjut. Mereka biasanya hanya duduk saja, melihat
orang yang lewat. Mereka tidak ngobrol pada siapa-siapa. Tidak ada yang menemui
mereka. Tidak ada anggota keluarga yang mereka jemput setelah bepergian jauh. Kadang-kadang
Danny ingin tahu, apa atau siapa persisnya yang dirindukan neneknya, tapi
jawabannya nihil.
“Mbah kan sudah sering
kesini. . sebenarnya mbah kangen siapa sih?” tanya cucu mbah Sabini itu seringkali.
Tapi mbahnya selalu menolak memberitahu. Adakah seseorang yang ditunggunya tak
pernah datang? Atau adakah Sabini kangen pada suatu kenangan di stasiun itu,
yang tidak mungkin terulang, hingga dirindukannya terus-menerus? Danny tak
pernah tahu.
“Kalau sudah sedikit lebih dewasa
nanti mbah kasih tahu. . “ Sabini menyanggah.
Saat itu seekor kucing betina
menghampiri Danny dan menyenggol-nyenggol lututnya, meminta dielus.
Hingga bertahun-tahun kemudian, Mbah
Sabini masih senang ke stasiun, walau ia tak benar-benar punya kepentingan
khusus disana. Danny yang sudah beberapa tahun lebih tua dan bukan anak kecil
lagi mulai bosan datang terus-menerus ke tempat itu setiap awal bulan. Dia juga
sudah lama menyerah bertanya apa maksud Sabini soal kebiasaan anehnya.
“Kau nggak ikut Simbah ke stasiun,
Dan?” tanya Ibu Danny suatu pagi. Ia sudah duduk di bangku kelas lima SD
sekarang, dan sedang melewatkan liburan tengah semester di rumah dengan bermain
gundu di luar ruangan.
“Bosan kesana terus.” jawab Danny
sambil mengitung kelerengnya. Ia mengoleksi beragam jenis gundu, dari yang
warna-warni hingga kelereng bulat bening yang lumayan langka.
“Ya sudah, biar Mbah berangkat
sendiri.”
Danny mendongak pada ibunya.
“Memangnya Mbah nggak apa-apa
sendirian ke stasiun?” Ia bertanya.
“Mbah bisa jaga diri. Nanti biar
dia diantar-jemput Bapak.”
Danny mengerutkan kening. “Sebenarnya
Mbah kangen siapa sih? Kenapa Mbah sering ke stasiun?”
Ibu Danny berpikir sebentar. Ia
memikirkan jawaban yang tepat. “Ibuk nggak bisa jawab, Danny. Maaf sekali.
Perasaan manusia itu rumit. Biar Mbah sendiri yang cerita kalau dia sudah
siap.”
Danny cemberut. Tapi ia sedikit
merasa bersalah ketika melihat neneknya pergi ke stasiun tanpanya. Bagaimanapun
fokus Danny teralihkan begitu ia mulai bermain. Ia memutuskan bahwa jawaban
dari pertanyaannya tidak begitu penting. Di halaman rumahnya yang berupa tanah
pasir, Danny menggali parit kecil dari ujung halaman ke ujung yang lain.
Danny mengukur kedalaman parit itu
dengan jari. Jika sedang tidak ada kawan untuk main adu kelereng, biasanya Danny
membuat lintasan balap kelereng dengan sekop kecil milik ayahnya. Setelah
dirasanya kedalaman parit itu cukup, Danny mengambil wadah berisi koleksi gundu
miliknya dan menumpahkan semua isinya ke dalam lintasan dari salah satu ujung.
Kelereng-kelereng itu langsung meluncur saling menyalip satu sama lain, menuju pangkal lain lintasan.
Ketika pulang dua setengah jam kemudian,
Sabini membawa sebuah bungkusan yang langsung diserahkannya pada cucunya. Danny
menyerbu membuka bungkusan itu dengan beringas.
“LOH? VIENNETTA?” kata Danny tidak percaya.
Ia girang bukan kepalang. Danny sudah lama mengidamkan es krim tiramisu cokelat-vanilla
yang harganya dua puluh kali lipat lebih mahal dari semangkuk mi ayam waktu
itu.
Ayah Danny menyeringai dari belakang
Sabini. Sementara Ibu Danny keluar dari dapur dengan menggelengkan kepala.
“Harusnya jangan dimanjain dong, Mbah.”
katanya.
“Danny sudah mengancam untuk mogok
makan kalau nggak dibelikan Viennetta,” kata Bapak, dan Danny langsung
memeletkan lidah kepadanya.
“Nggak apa-apa. Sekali-sekali.” Sabini
membela.
Danny beringsut untuk memeluk neneknya.
“Makasih ya, Mbah.”
“Nggak bilang makasih sama Bapak?”
Ayah Danny pura-pura merajuk. “Itu Mbah patungan sama Bapak lho buat beli
Viennetta.”
Danny memutar bola matanya kesal. Tapi
dia lalu memeluk mereka berdua dengan sayang. Danny lalu membawa es krim
sebesar siku itu ke dapur dan membaginya untuk mereka semua, dengan memberi
dirinya potongan terbesar.
Berminggu-minggu kemudian, saat
musim rambutan tiba, Danny berjalan ke depan dan menemukan Sabini sedang
menyapu daun yang gugur di halaman rumah. Terdengar bunyi srok-srok
dari sapu yang bergesekan dengan tanah berulang kali. Entah kenapa suara itu kedengaran
menyenangkan di telinga.
“Mbah nggak ke stasiun?” Danny
bertanya pada Sabini, keheranan. Ini di luar kebiasaan neneknya.
Sabini berhenti dari kegiatannya
dan tersenyum pada Danny. “Nggak. Mbah lagi nggak kangen.” kata Sabini.
Danny lalu mengambil sapu lidi lain
dari teras sebelum ikut menyapu bersama mbah-nya. Keduanya berjalan hilir mudik
di sepanjang halaman. Selama menyapu Danny menemukan banyak sekali ulat
srengenge yang berjatuhan dari pohon rambutan.
“Hati-hati Dan,” peringat Sabini.
Belum genap neneknya bicara, Danny
sudah kejatuhan ulat lain di kulit tangannya. Danny buru-buru mengenyahkan ulat
yang terasa membakar kulitnya itu dengan panik.
“Apa kata mbah?” kata Sabini. Ia bergegas
mengambil kotoran ulat di sekitar halaman. Danny meringis sementara Sabini
mengusapkan kotoran itu ke kulitnya yang perih terbakar.
Beberapa hari kemudian, Bapak
meminta pohon rambutan itu untuk ditebang. “Pohon itu sudah lama tidak berbuah,
dan lebih baik ditebang ketimbang hanya menjadi sarang hama.”
Danny tidak setuju dengan hal ini.
Ia meronta-ronta sementara beberapa orang mencoba menumbangkan pohon di halaman
rumahnya.
“Itu cuma pohon,” kata Sabini,
memegangi Danny. Tapi neneknya tidaklah mengerti. Bagi Danny, pohon itu lebih
dari sekadar kayu yang tumbuh di halaman rumah. Selama ini pohon itu telah
menjadi teman jika tidak ada orang di rumah. Danny sudah memanjat pohon itu ratusan
kali. Pada banyak waktu, pohon itu telah membantu sebagai tempat berteduh jika
hari sedang panas.
Danny mulai menangis melihat pohon itu
ditebang. Dalam hitungan waktu pohon rambutan di halaman rumahnya sudah rata dengan tanah.
“Mbah ngerti rasanya kehilangan.” kata
Sabini, tidak tega melihat cucunya terisak. “Ayo ikut Mbah.” ajaknya.
Danny pasrah ketika ia dibawa masuk
ke dalam rumah. Sabini membawa Danny menuju kamarnya.
Danny menyadari itu pertama kalinya
dia masuk kamar Sabini setelah berbulan-bulan. Sudah lama sekali sejak terakhir
kali Danny menginjakkan kaki disana. Tangisnya berangsur-angsur reda. Terakhir
kali Danny masuk kamar Sabini, itu adalah saat Danny merengek minta dibelikan
Viennetta, karena Ayah-Ibu Danny sudah kebal dengan segala macam jurus rengekan
Danny.
Sabini mengambil sebuah album foto
lawas.
“Mbah juga pernah kehilangan
seseorang,” Ia mulai bercerita.
“Dulu sekali. . Mbah punya seorang
sahabat. Kami adalah teman sekolah yang sangat akrab. Mbah sama dia sering naik
komuter keliling dari stasiun sepulang sekolah kalau benar-benar bosan. Tapi kemudian
sahabat mbah pindah ke provinsi lain. . “
Sambil membuka-buka album, Danny
melihat Sabini menyusurkan jari-jarinya pada sebagian foto lawas. Sebagian foto
itu telah berjamur atau terkena bercak.
“Kami masih menjadi sahabat pena. .
Tapi dia berhenti menyurati Mbah bertahun-tahun yang lalu. Mbah tidak pernah
tahu apa yang terjadi padanya. . menyakitkan sekali rasanya. Kalau kangen Mbah
kadang-kadang ke stasiun. Hanya itu yang bisa Mbah lakukan. . “
Sabini mengeluarkan salah satu foto
dari album dengan tangan gemetar. “Ini foto terakhirnya.”
Danny melihat pada seorang wanita berparas
rupawan yang terbingkai oleh kamera. Terdengar olehnya Sabini menghela
napas.
“Yang Mbah punya hanyalah kenangan
baik akan sahabat Mbah. Mbah menyimpan baik-baik kenangan itu. . Mbah pegang
erat-erat.” Sabini memegang pundak Danny. “Kalau pohon rambutan itu berharga
bagimu, Danny, buatlah kenangan tentangnya. Kenanglah pohon itu dalam ingatanmu
yang paling dalam.”
Danny menatap wajah keriput Sabini
lekat-lekat. Kelak, itu adalah pesan Sabini yang akan terus diingat Danny. Ketika
ia keluar sejam kemudian, keadaan halaman rumahnya sudah jauh berbeda. Halaman
rumah Danny jauh lebih terang dan bersih, meski sekarang terkesan asing. Perlu beberapa waktu bagi Danny
untuk beradaptasi.
Danny mengambil sebuah ranting pohon
rambutan yang tersisa, tergeletak begitu saja di halaman, lalu memasukannya ke
dalam kotak.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun,
atau mungkin satu dasawarsa berlalu. Danny sudah lama melupakan pohon rambutan
di halaman rumah, tapi kenangan akan pohon itu masih ada di dasar pikirannya. Sesekali
Danny teringat oleh pohon itu. Rantingnya masih Danny simpan dalam kotak di lemari.
Kini ranting itu sudah hancur menjadi serbuk kayu. Danny memasukan serpihannya
ke dalam botol kecil kaca bekas wadah merica. Ia menyimpannya bersama dengan
sebagian kelereng yang masih tersisa dari masa kecilnya
Danny mengamati serbuk kayu rambutan
itu ditengahi cahaya yang menerobos masuk lewat jendela kamar. Lalu terdengar
suara dari luar pintu.
“Dan, bisa kau antar Mbah Ibu ke
stasiun?”
“Iya.”
Danny meletakkan botol kaca itu
kembali ke lemari. Diantara baju-baju yang menggelantung, ada berbagai macam medali
dari semua lomba lari yang diikutinya. Kini Danny telah berumur tiga puluh
tahun, dan dia sedang akan menaklukkan nomor full marathon untuk balapan bulan
Agustus mendatang.
Sementara itu, Sabini akan bepergian
jauh. Mbahnya sudah lama berhenti mengunjungi stasiun kereta. Nenek Danny sekarang
hanya ke stasiun kalau benar-benar perlu. Berkat kecanggihan teknologi,
keajaiban Twitter—setelah banyak retweet oleh netizen dan kuasa Tuhan—Danny
berhasil menemukan kembali sahabat Sabini yang lama hilang.
Kini Sabini bermaksud mengunjunginya,
setelah keduanya sering bervideo call lewat hape anak-anak mereka.
“Mbah masih ingin
berlama-lama.” kata Sabini, ketika keduanya sampai di stasiun kereta.
Danny berjalan sebentar pada gang diantara stasiun, meninggalkan Sabini sendirian. Tidak banyak yang berubah. Walau stasiun kini sudah lebih tertib dan bersih, orang-orangnya masih sama saja. Berapa banyak anak jaman sekarang yang masih bermain kelereng? Ternyata masih banyak. Ia melewati segerombolan anak kecil yang bermain adu kelereng dengan garis di jalanan. Es Krim Viennetta telah lama menghilang dari pasaran, tapi barusan Danny melewati papan iklan Walls yang berencana akan membuat replikanya tahun depan.
Sesaat kemudian Danny telah kembali ke stasiun, bersiap melepas neneknya. Ketika melakukannya Danny merasa perasaannya campur aduk. Belakangan Danny menyadari, bahwa hidup sebenarnya mirip dengan naik kereta. Jika manusia hidup, keretanya akan melaju terus, sementara jika manusia mati, satu per satu dari mereka akan turun di stasiun berikutnya.
Pada akhirnya, setiap orang yang naik kereta akan turun di sebuah stasiun.
Beberapa orang berdesakan melewati Danny dan Sabini sementara mereka berjuang masuk ke salah satu kompartemen, Danny keluar dari gerbong kereta tepat ketika ular besi itu akan berangkat.
"Hati-hati ya mbah." bisik Danny, mengulang perkataannya pada Sabini di kereta tadi.
Danny mengawasi kereta yang membawa
neneknya pergi. Dia mengatasi kekuatirannya dengan lebih mudah sekarang. Dimanapun Sabini berada, Danny yakin dia akan baik-baik saja, Sabini akan sampai di stasiun yang tepat.
.
()
Surabaya, 2 April 2020
Catatan Penulis: Cerpen ini
diterbitkan bersama dengan kembalinya Es Krim Viennetta yang legendaris ke pasaran.
Walau belum pernah merasakannya, saya menghargai nilai sejarah dari es krim
ini. Nostalgia adalah hal yang membahagiakan, dan membantu kita melewati
masa-masa menyedihkan.
Kita semua perlu membuat sebanyak
mungkin kenangan baik karena kenangan-kenangan ini akan membantu kita kelak.
Judul cerpen ini, Sentimental Train, seperti biasa menyadur dari salah satu lagu AKB48 yang sering saya dengarkan. Sementara filosofi kereta disini terinspirasi dari pandangan seseorang terkait adegan Harry Potter seri tujuh di Stasiun King's Cross sesaat setelah Harry dikenai Kutukan Kematian, dan bertemu Dumbledore lewat mimpinya.
Terakhir, untuk Mas Danny, semoga cerita ini
menghibur. Alasan saya menulis adalah, selain untuk jenjang karir, saya ingin
menghibur sebanyak mungkin orang lewat tulisan saya.
Salam,
Beda Prasetia Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar