2 April 2020

Sentimental Train


SENTIMENTAL TRAIN

 

Untuk Danny Christ Kansil, dalam kenangannya akan Mbah Ibu Sabini.

.

.

Danny kecil berlari-lari. Di belakangnya Mbah Sabini mengikuti. Danny kecil selalu senang diajak ke stasiun kereta oleh mbah-nya kendati tidak banyak hal yang bisa dilakukan disana, selain melihat kereta yang keluar masuk stasiun. Mereka setidaknya ke situ sebulan sekali, oleh alasan yang hanya diketahui Sabini.

“Ngapain kita kesini, mbah?” tanya Danny. Saat itu dia berumur tujuh tahun dan sudah lebih dari sering diajak melihat kereta-kereta yang lewat, ia sudah tidak gumun lagi.

Sabini duduk di salah satu bangku, disebelah seorang wanita yang membawa banyak tas. Danny mengikuti mbahnya duduk.

“Mbah kangen,” kata Sabini.

Selalu begitu jawabannya. Danny tidak pernah diberitahu lebih lanjut. Mereka biasanya hanya duduk saja, melihat orang yang lewat. Mereka tidak ngobrol pada siapa-siapa. Tidak ada yang menemui mereka. Tidak ada anggota keluarga yang mereka jemput setelah bepergian jauh. Kadang-kadang Danny ingin tahu, apa atau siapa persisnya yang dirindukan neneknya, tapi jawabannya nihil.

“Mbah kan sudah sering kesini. . sebenarnya mbah kangen siapa sih?” tanya cucu mbah Sabini itu seringkali. Tapi mbahnya selalu menolak memberitahu. Adakah seseorang yang ditunggunya tak pernah datang? Atau adakah Sabini kangen pada suatu kenangan di stasiun itu, yang tidak mungkin terulang, hingga dirindukannya terus-menerus? Danny tak pernah tahu.

“Kalau sudah sedikit lebih dewasa nanti mbah kasih tahu. . “ Sabini menyanggah.

Saat itu seekor kucing betina menghampiri Danny dan menyenggol-nyenggol lututnya, meminta dielus.

 

Hingga bertahun-tahun kemudian, Mbah Sabini masih senang ke stasiun, walau ia tak benar-benar punya kepentingan khusus disana. Danny yang sudah beberapa tahun lebih tua dan bukan anak kecil lagi mulai bosan datang terus-menerus ke tempat itu setiap awal bulan. Dia juga sudah lama menyerah bertanya apa maksud Sabini soal kebiasaan anehnya.

“Kau nggak ikut Simbah ke stasiun, Dan?” tanya Ibu Danny suatu pagi. Ia sudah duduk di bangku kelas lima SD sekarang, dan sedang melewatkan liburan tengah semester di rumah dengan bermain gundu di luar ruangan.

“Bosan kesana terus.” jawab Danny sambil mengitung kelerengnya. Ia mengoleksi beragam jenis gundu, dari yang warna-warni hingga kelereng bulat bening yang lumayan langka.

“Ya sudah, biar Mbah berangkat sendiri.”

Danny mendongak pada ibunya.

“Memangnya Mbah nggak apa-apa sendirian ke stasiun?” Ia bertanya.

“Mbah bisa jaga diri. Nanti biar dia diantar-jemput Bapak.”

Danny mengerutkan kening. “Sebenarnya Mbah kangen siapa sih? Kenapa Mbah sering ke stasiun?”

Ibu Danny berpikir sebentar. Ia memikirkan jawaban yang tepat. “Ibuk nggak bisa jawab, Danny. Maaf sekali. Perasaan manusia itu rumit. Biar Mbah sendiri yang cerita kalau dia sudah siap.”

Danny cemberut. Tapi ia sedikit merasa bersalah ketika melihat neneknya pergi ke stasiun tanpanya. Bagaimanapun fokus Danny teralihkan begitu ia mulai bermain. Ia memutuskan bahwa jawaban dari pertanyaannya tidak begitu penting. Di halaman rumahnya yang berupa tanah pasir, Danny menggali parit kecil dari ujung halaman ke ujung yang lain.

Danny mengukur kedalaman parit itu dengan jari. Jika sedang tidak ada kawan untuk main adu kelereng, biasanya Danny membuat lintasan balap kelereng dengan sekop kecil milik ayahnya. Setelah dirasanya kedalaman parit itu cukup, Danny mengambil wadah berisi koleksi gundu miliknya dan menumpahkan semua isinya ke dalam lintasan dari salah satu ujung. Kelereng-kelereng itu langsung meluncur saling menyalip satu sama lain, menuju pangkal lain lintasan.

 

Ketika pulang dua setengah jam kemudian, Sabini membawa sebuah bungkusan yang langsung diserahkannya pada cucunya. Danny menyerbu membuka bungkusan itu dengan beringas.

“LOH? VIENNETTA?” kata Danny tidak percaya. Ia girang bukan kepalang. Danny sudah lama mengidamkan es krim tiramisu cokelat-vanilla yang harganya dua puluh kali lipat lebih mahal dari semangkuk mi ayam waktu itu.

Ayah Danny menyeringai dari belakang Sabini. Sementara Ibu Danny keluar dari dapur dengan menggelengkan kepala.

“Harusnya jangan dimanjain dong, Mbah.” katanya.

“Danny sudah mengancam untuk mogok makan kalau nggak dibelikan Viennetta,” kata Bapak, dan Danny langsung memeletkan lidah kepadanya.

“Nggak apa-apa. Sekali-sekali.” Sabini membela.

Danny beringsut untuk memeluk neneknya. “Makasih ya, Mbah.”

“Nggak bilang makasih sama Bapak?” Ayah Danny pura-pura merajuk. “Itu Mbah patungan sama Bapak lho buat beli Viennetta.”

Danny memutar bola matanya kesal. Tapi dia lalu memeluk mereka berdua dengan sayang. Danny lalu membawa es krim sebesar siku itu ke dapur dan membaginya untuk mereka semua, dengan memberi dirinya potongan terbesar.

 

Berminggu-minggu kemudian, saat musim rambutan tiba, Danny berjalan ke depan dan menemukan Sabini sedang menyapu daun yang gugur di halaman rumah. Terdengar bunyi srok-srok dari sapu yang bergesekan dengan tanah berulang kali. Entah kenapa suara itu kedengaran menyenangkan di telinga.

“Mbah nggak ke stasiun?” Danny bertanya pada Sabini, keheranan. Ini di luar kebiasaan neneknya.

Sabini berhenti dari kegiatannya dan tersenyum pada Danny. “Nggak. Mbah lagi nggak kangen.” kata Sabini.

Danny lalu mengambil sapu lidi lain dari teras sebelum ikut menyapu bersama mbah-nya. Keduanya berjalan hilir mudik di sepanjang halaman. Selama menyapu Danny menemukan banyak sekali ulat srengenge yang berjatuhan dari pohon rambutan.

“Hati-hati Dan,” peringat Sabini.

Belum genap neneknya bicara, Danny sudah kejatuhan ulat lain di kulit tangannya. Danny buru-buru mengenyahkan ulat yang terasa membakar kulitnya itu dengan panik.

“Apa kata mbah?” kata Sabini. Ia bergegas mengambil kotoran ulat di sekitar halaman. Danny meringis sementara Sabini mengusapkan kotoran itu ke kulitnya yang perih terbakar.

Beberapa hari kemudian, Bapak meminta pohon rambutan itu untuk ditebang. “Pohon itu sudah lama tidak berbuah, dan lebih baik ditebang ketimbang hanya menjadi sarang hama.”

Danny tidak setuju dengan hal ini. Ia meronta-ronta sementara beberapa orang mencoba menumbangkan pohon di halaman rumahnya.

“Itu cuma pohon,” kata Sabini, memegangi Danny. Tapi neneknya tidaklah mengerti. Bagi Danny, pohon itu lebih dari sekadar kayu yang tumbuh di halaman rumah. Selama ini pohon itu telah menjadi teman jika tidak ada orang di rumah. Danny sudah memanjat pohon itu ratusan kali. Pada banyak waktu, pohon itu telah membantu sebagai tempat berteduh jika hari sedang panas.

Danny mulai menangis melihat pohon itu ditebang. Dalam hitungan waktu pohon rambutan di halaman rumahnya sudah rata dengan tanah.

“Mbah ngerti rasanya kehilangan.” kata Sabini, tidak tega melihat cucunya terisak. “Ayo ikut Mbah.” ajaknya.

Danny pasrah ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah. Sabini membawa Danny menuju kamarnya.

Danny menyadari itu pertama kalinya dia masuk kamar Sabini setelah berbulan-bulan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali Danny menginjakkan kaki disana. Tangisnya berangsur-angsur reda. Terakhir kali Danny masuk kamar Sabini, itu adalah saat Danny merengek minta dibelikan Viennetta, karena Ayah-Ibu Danny sudah kebal dengan segala macam jurus rengekan Danny.

Sabini mengambil sebuah album foto lawas.

“Mbah juga pernah kehilangan seseorang,” Ia mulai bercerita.

“Dulu sekali. . Mbah punya seorang sahabat. Kami adalah teman sekolah yang sangat akrab. Mbah sama dia sering naik komuter keliling dari stasiun sepulang sekolah kalau benar-benar bosan. Tapi kemudian sahabat mbah pindah ke provinsi lain. . “

Sambil membuka-buka album, Danny melihat Sabini menyusurkan jari-jarinya pada sebagian foto lawas. Sebagian foto itu telah berjamur atau terkena bercak.

“Kami masih menjadi sahabat pena. . Tapi dia berhenti menyurati Mbah bertahun-tahun yang lalu. Mbah tidak pernah tahu apa yang terjadi padanya. . menyakitkan sekali rasanya. Kalau kangen Mbah kadang-kadang ke stasiun. Hanya itu yang bisa Mbah lakukan. . “

Sabini mengeluarkan salah satu foto dari album dengan tangan gemetar. “Ini foto terakhirnya.”

Danny melihat pada seorang wanita berparas rupawan yang terbingkai oleh kamera. Terdengar olehnya Sabini menghela napas.

“Yang Mbah punya hanyalah kenangan baik akan sahabat Mbah. Mbah menyimpan baik-baik kenangan itu. . Mbah pegang erat-erat.” Sabini memegang pundak Danny. “Kalau pohon rambutan itu berharga bagimu, Danny, buatlah kenangan tentangnya. Kenanglah pohon itu dalam ingatanmu yang paling dalam.”

Danny menatap wajah keriput Sabini lekat-lekat. Kelak, itu adalah pesan Sabini yang akan terus diingat Danny. Ketika ia keluar sejam kemudian, keadaan halaman rumahnya sudah jauh berbeda. Halaman rumah Danny jauh lebih terang dan bersih, meski sekarang terkesan asing. Perlu beberapa waktu bagi Danny untuk beradaptasi.

Danny mengambil sebuah ranting pohon rambutan yang tersisa, tergeletak begitu saja di halaman, lalu memasukannya ke dalam kotak.

 

Berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau mungkin satu dasawarsa berlalu. Danny sudah lama melupakan pohon rambutan di halaman rumah, tapi kenangan akan pohon itu masih ada di dasar pikirannya. Sesekali Danny teringat oleh pohon itu. Rantingnya masih Danny simpan dalam kotak di lemari. Kini ranting itu sudah hancur menjadi serbuk kayu. Danny memasukan serpihannya ke dalam botol kecil kaca bekas wadah merica. Ia menyimpannya bersama dengan sebagian kelereng yang masih tersisa dari masa kecilnya

Danny mengamati serbuk kayu rambutan itu ditengahi cahaya yang menerobos masuk lewat jendela kamar. Lalu terdengar suara dari luar pintu.

“Dan, bisa kau antar Mbah Ibu ke stasiun?”

“Iya.”

Danny meletakkan botol kaca itu kembali ke lemari. Diantara baju-baju yang menggelantung, ada berbagai macam medali dari semua lomba lari yang diikutinya. Kini Danny telah berumur tiga puluh tahun, dan dia sedang akan menaklukkan nomor full marathon untuk balapan bulan Agustus mendatang.

Sementara itu, Sabini akan bepergian jauh. Mbahnya sudah lama berhenti mengunjungi stasiun kereta. Nenek Danny sekarang hanya ke stasiun kalau benar-benar perlu. Berkat kecanggihan teknologi, keajaiban Twitter—setelah banyak retweet oleh netizen dan kuasa Tuhan—Danny berhasil menemukan kembali sahabat Sabini yang lama hilang.

Kini Sabini bermaksud mengunjunginya, setelah keduanya sering bervideo call lewat hape anak-anak mereka.

“Mbah masih ingin berlama-lama.” kata Sabini, ketika keduanya sampai di stasiun kereta.

Danny berjalan sebentar pada gang diantara stasiun, meninggalkan Sabini sendirian. Tidak banyak yang berubah. Walau stasiun kini sudah lebih tertib dan bersih, orang-orangnya masih sama saja. Berapa banyak anak jaman sekarang yang masih bermain kelereng? Ternyata masih banyak. Ia melewati segerombolan anak kecil yang bermain adu kelereng dengan garis di jalanan. Es Krim Viennetta telah lama menghilang dari pasaran, tapi barusan Danny melewati papan iklan Walls yang berencana akan membuat replikanya tahun depan.

Sesaat kemudian Danny telah kembali ke stasiun, bersiap melepas neneknya. Ketika melakukannya Danny merasa perasaannya campur aduk. Belakangan Danny menyadari, bahwa hidup sebenarnya mirip dengan naik kereta. Jika manusia hidup, keretanya akan melaju terus, sementara jika manusia mati, satu per satu dari mereka akan turun di stasiun berikutnya.

Pada akhirnya, setiap orang yang naik kereta akan turun di sebuah stasiun.

Beberapa orang berdesakan melewati Danny dan Sabini sementara mereka berjuang masuk ke salah satu kompartemen, Danny keluar dari gerbong kereta tepat ketika ular besi itu akan berangkat.

"Hati-hati ya mbah." bisik Danny, mengulang perkataannya pada Sabini di kereta tadi.

Danny mengawasi kereta yang membawa neneknya pergi. Dia mengatasi kekuatirannya dengan lebih mudah sekarang. Dimanapun Sabini berada, Danny yakin dia akan baik-baik saja, Sabini akan sampai di stasiun yang tepat.

.

()

Surabaya, 2 April 2020

Catatan Penulis: Cerpen ini diterbitkan bersama dengan kembalinya Es Krim Viennetta yang legendaris ke pasaran. Walau belum pernah merasakannya, saya menghargai nilai sejarah dari es krim ini. Nostalgia adalah hal yang membahagiakan, dan membantu kita melewati masa-masa menyedihkan.

Kita semua perlu membuat sebanyak mungkin kenangan baik karena kenangan-kenangan ini akan membantu kita kelak.

Judul cerpen ini, Sentimental Train, seperti biasa menyadur dari salah satu lagu AKB48 yang sering saya dengarkan. Sementara filosofi kereta disini terinspirasi dari pandangan seseorang terkait adegan Harry Potter seri tujuh di Stasiun King's Cross sesaat setelah Harry dikenai Kutukan Kematian, dan bertemu Dumbledore lewat mimpinya.

Terakhir, untuk Mas Danny, semoga cerita ini menghibur. Alasan saya menulis adalah, selain untuk jenjang karir, saya ingin menghibur sebanyak mungkin orang lewat tulisan saya.

 

Salam,

Beda Prasetia Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar