“Hei, kau lapar?” Seorang yang memakai sarung, kelihatannya seorang santri, bertanya pada Ruka. Ruka sudah mengorek banyak tempat sampah, malam menjelang dan ia baru menemukan sebuah donat yang masih terbungkus plastik. Orang senang sekali membuang-buang makanan dan ironisnya ini agak menguntungkan bagi Ruka.
Donat itu sudah masuk ke lambungnya
dan belum cukup untuk meredam gejolak perut Ruka yang telah kosong seharian.
Jelas Ruka masih lapar.
Ruka melihat pada santri itu, yang
menangkap basah dirinya mengorek tempat sampah di depan pesantren. Dia membawa
bungkusan makanan. Ruka memberinya pandangan angkuh dan menggeleng.
“Nggak. Saya nggak lapar.” Ruka
berkata kaku, walau matanya selama sedetik tertuju pada bungkusan nasi.
“Nggak perlu sungkan.” kata si santri. Dia
mengulurkan bungkusan nasi miliknya. Santri ini bernama Asrori. Dia berparas
tampan, dan wajahnya teduh seolah ia sering wudhu berkali-kali.
Ruka menelan ludah dengan susah
payah. Tenggorokan Ruka benar-benar kering. Sisa-sisa donat tadi masih
tersangkut di tenggorokannya.
“Itu milikmu.” kata Ruka. “Aku nggak
mau minta-minta. Aku bukan pengemis.”
“Nggak usah keras kepala. . Ambil
aja kenapa sih?”
Ruka menahan diri walau perutnya
melilit. “Nggak usah, terima kasih.” Ia memalingkan muka, berbalik memunggungi
Rori.
“Kalau harga dirimu sebegitu
tingginya. . kau bisa membersihkan kamarku setelah ini.” kata Asrori, menahan
Ruka. Tangannya bersentuhan dengan siku lengan Ruka.
Tangan Rori terasa begitu halus di
lengan Ruka. Ia menatap wajah teduh santri itu, dalam hati menimbang
pilihannya. Ruka merasa itu bukan pilihan yang buruk. Tidak ada ruginya buat
dia ‘kan?
“Baik.” kata Ruka.
Asrori tersenyum pada cowok yang
berhasil diluluhkannya. Selama sesaat Ruka terbius oleh pesona Rori. Walau Ruka
tidak percaya Tuhan, dia merasa Rori kelihatan seperti malaikat.
“Siapa namamu?” tanya Rori. Ia membawa
Ruka masuk ke kompleks pesantren, yang entah bagaimana sangat sepi, menuju kamarnya
di lantai dua. Ia meminta cowok itu untuk membersihkan diri di kamar mandi.
“Ignatius Haruka.” jawab Ruka,
sementara ia membasuh muka, tangan, dan kaki.
“Haruka? Kau punya darah Jepang?
Atau kebetulan ayahmu Wibu?” Rori bertanya dari ambang pintu kamar mandi. Ia
menyandarkan diri di kusen.
Ruka menatap Rori yang menolehkan
wajahnya, mengawasi Ruka.
“Kakekku punya darah Jepang, ya.”
Asrori manggut-manggut. Ia lalu
menuntun Ruka menuju kamarnya.
“Kok disini sepi? Kemana
orang-orang?” tanya Ruka.
Rori melemparkan pandangannya ke
sekeliling. “Harusnya jam segini nggak boleh keluar-keluar sih. . tapi tadi aku
lapar banget.”
“Loh terus nasimu—"
“Aku udah makan di warung kok. .
Itu tadi buat jaga-jaga kalau tengah malam aku bangun. . kadang suka lapar.”
Rori menenangkan Ruka.
“Astaga, makanmu banyak juga ya?”
Asrori mengedikkan bahu. Di
pesantren ia memang tidak pernah kelaparan, tapi dia juga tidak diizinkan makan
sebanyak yang ia mau.
Keduanya masuk. Kamar Rori lumayan
luas dan menyenangkan. Haruka melihat berkeliling kamar persegi itu. Hal yang
pertama dilihatnya adalah sebuah globe yang digantung di langit-langit menjadi
semacam lampu diskotik. Tapi selain itu tidak ada hal aneh yang tidak berada di
tempatnya. Kamar itu memang sedikit berantakan, tapi takkan sulit untuk
membereskannya.
Rori membiarkan Ruka duduk di
kursinya. Ia mengambil peralatan makan miliknya dan menyerahkannya kepada Ruka
sebelum duduk di tempat tidur.
“Hei, berdoa dulu.” Rori menukas.
Ruka meletakkan sendoknya dengan
tidak sabar. “Aku atheis. . aku harus berdoa pada siapa?”
Sesaat Rori tertegun, tapi lalu
Haruka menadahkan tangannya.
“Tuhan, kalau Kau memang
benar-benar ada di suatu tempat. . terima kasih atas berkat yang Engkau berikan
kepadaku. Terima kasih sudah mempertemukanku dengan malaikat penyelamat. Semoga
Engkau memberkati nasi goreng oriental ini dan semoga Engkau memberi berkat
keselamatan dan kebahagiaan kepada yang membelikannya, keluarganya, dan anak
cucunya kelak. Amen.”
“Senang?” Ruka bertanya sementara
Rori menaikkan alis.
“Doa yang indah.” Rori lalu berkata
tergelak.
Sesaat sunyi, sementara Ruka makan.
Walau ia sepertinya sangat kelaparan, Rori mengamati Ruka makan dengan elegan
sekali.
“Ayahmu sadar kalau Haruka itu nama
cewek kan?” Rori bertanya untuk memecah keheningan.
“Ya, dan sepertinya dia menyesal
memberiku nama itu. Aku nggak masalah sih dinamai Haruka. . Di luar sana ada
yang lebih parah. Bukan sekali dua kali aku ketemu cowok yang namanya Putri
atau Dewi.”
Ruka mengangkat bahu.
“Aku belum tahu namamu.” Ia berkata
kemudian.
“Asrori Azhar. Dipanggil Rori.”
“Makasih Rori, aku berutang padamu.
. ” Ruka mengacungkan sendoknya, sebelum memasukannya ke mulut.
“Nggak juga. Habis ini kan kau
bersih-bersih kamar.” Rori menyeringai.
Ruka mengangguk. Ia menyelesaikan
nasi goreng oriental itu dalam seperempat jam sebelum minum dari galon air
Rori.
Sementara Rori berbaring dengan
bertumpu kedua tangannya di kasur, Ruka mulai membersihkan ruangan.
Pertama-tama ia menuju rak buku, tempat yang dianggapnya paling sakral di
kamar. Ilmu pengetahuan haruslah didahulukan, pikir Ruka.
Ia merapikan berbagai kitab dengan
huruf arab yang tidak dimengertinya dengan hati-hati. Saat beralih ke rak kedua
Ruka tiba-tiba nyeletuk;
“Astaga. . kukira ini buletin
religius keagamaan atau apa. . Nggak tahunya kau nyimpan majalah porno? Ya
Tuhan. Aku saja nggak punya ini.”
Ruka mengacungkan majalah porno itu
tinggi-tinggi. Muka Rori memerah setelah tertangkap basah. Ia merebut majalah
dari tangan Ruka dan bermaksud mengalihkan topik pembicaraan, tapi kemudian Rori
mengakui dosanya.
“Kebanyakan santri punya itu sih. .
“ Ia menggaruk belakang kepalanya, yang memang gatal karena Rori kehabisan
sampo. Sudah tiga hari ini dia tidak keramas. “Bahkan guru agamaku juga. Aku
nggak mau jadi sok suci sih. . nggak ada manusia yang sempurna. Aku jelas punya
dosa juga.” Rori membela diri.
“Ya, ya. Bukan urusanku.”
Ruka lanjut membersihkan kamar. Ia
memunguti baju-baju Rori dan melipatnya. Kamar itu ternyata lebih berantakan
daripada yang dikiranya.
“Kenapa kau luntang-lantung di jalanan?”
Rori berusaha mencari topik karena Ruka sepertinya tidak pintar berinisiatif
dalam urusan ngobrol.
“Aku kabur dari rumahku. Udah dua
minggu ini sih.” ujarnya.
“Kenapa kabur? Kau sinting atau
gimana?” Rori menimpali.
“Menurut keluargaku gitu. . Mereka
tahu kalau aku gay.”
Sesaat Rori tak bisa berkata-kata.
“Wow.” Ia lalu berucap diluar
dugaan.
“Menurutmu aku sinting?” Ruka
bertanya.
“Kau kelihatan waras sih. . “ Rori
menilai wajah Ruka. Ia menuntut diceritai lebih, “Terus?”
Ruka mencoba memilih jawaban yang
dirasanya pas sementara menepuk-nepuk kaset yang berdebu. “Aku udah muak hidup
di rumah. . diatur-atur terus. Bosen apa-apa serba gampang. . Ujung-ujungnya
mereka nuntut harus gini gitu. Pengen hidup bebas. . ngrasain hidup yang sebenarnya.“
Ia lalu melempar kaset itu ke kotak
kardus berisi barang-barang bekas.
“Kau cakep.” kata Ruka tiba-tiba,
menoleh pada Rori.
“Menurutmu begitu?” Pipi Rori
bersemu merah, kali ini oleh pujian Ruka, bukan karena malu.
Ruka mengangguk.
“Trims.” kata Rori, tidak tahu
harus bilang apa. Entah kenapa jantungnya deg-degan.
“Kau juga cakep. . Imut gitu.” Rori
memilih jujur soal pendapatnya tentang Ruka. Sebetulnya Rori merasa ia tidak pernah
pandai memuji.
“Aku bukan imut. Wajahku cuma. .
yah, sedikit oriental. Warisan kakekku.”
Kamar itu memiliki dua tempat tidur,
Ruka merapikan seprei salah satu tempat tidur yang kosong, yang tidak dihuni
Rori.
“Kau sendirian disini?” tanya Ruka.
“Ya. . teman sekamarku barusan pindah
pesantren. . Dia nggak betah disini.“
“Kenapa?”
“Mungkin karena ulahku.” Rori
tersenyum jahil. “Aku bukan teman sekamar yang ideal.”
“Yeah, kau agak kemproh.
Bagian mana dari “kebersihan sebagian dari Iman” yang nggak kau pahami?”
Rori tersenyum salah tingkah karena
Ruka mengutip salah satu pepatah terkenal mengenai kebersihan. Rori menggaruk
kepalanya yang sudah tidak gatal.
“Aku bakal lebih rajin setelah
ini.” katanya.
“Amen.” Ruka berucap dengan nada
menyindir.
“Sialan.” Rori melemparinya dengan
bantal. Ruka menangkisnya.
Setengah jam kemudian kamar itu
sudah jauh lebih rapi dari sebelum Ruka memasukinya.
“Beres.” Ruka menyilangkan kedua
tangannya. “Ada lagi, Tuan?”
Dipanggil demikian membuat pipi
Rori bersemburat merah lagi.
“Bangsat.” Ia misuh. Ruka
sepertinya pandai membuatnya salah tingkah.
Ruka lalu duduk di lantai. Matanya
menatap seisi ruangan. Ada permadani gantung yang kelihatannya mahal. Ruka
bertanya-tanya berapa banyak nasi bungkus yang bisa dibelinya dengan menjual
permadani itu. . Rori sepertinya berasal dari keluarga berada.
“Naik sini.” pinta Rori, menunjuk
tempat kosong di sebelahnya di tempat tidur.
Ruka sesaat ragu-ragu, tapi lalu ia
merebahkan punggungnya di kasur yang sama dengan Rori.
Mereka berbaring bersisian seperti
dua malaikat kembar, walau penampilan keduanya sangat berbeda. Rori menyadari
ia dan Ruka tampak sangat kontras. Ruka memakai jins sobek-sobek dengan
dandanan serba hitam, sementara dirinya memakai sarung, dan kemeja putih yang
longgar menyejukkan. Rori menemukan tato kecil berupa salib di belakang telinga
Ruka. Lagi-lagi Rori yang memulai pembicaraan.
“Jadi . . tadinya kau
Katolik?”
“Yep. Tadinya.”
“Kenapa murtad?”
“Aku udah muak sama Tuhan.”
“Gitu ya. . “
Rori menyadari Ruka bukan teman
ngobrol yang asyik. Komunikasi mereka hanya berjalan satu arah. . atau
barangkali itu bukan topik yang disukai Ruka untuk dibahas. Rori menatap Ruka
yang terdiam lama, menatap langit-langit. Apa kira-kira yang dipikirkan orang
seperti Haruka terhadap santri sepertinya? Rori menerawang, ikut melihat
langit-langit.
Lalu tiba-tiba tangan Ruka mendarat
di selangkangannya. Ia memijat benda milik Rori itu, sebelum akhirnya bangun.
“Punyamu tegang.” kata Ruka datar.
Rori tidak sanggup untuk menepis
tangan itu.
“Yeah.”
Ruka tidak melepaskan tangannya,
malah ia semakin giat memijat benda diantara paha Rori. Rori merasa celana
dalamnya semakin sesak.
Asrori menggigit bibirnya. Ia sama
sekali tidak punya niat tercela ketika bermaksud membantu anak itu. Walau
selama ini Rori diam-diam melakukannya dengan santri lain, tapi ia tidak
bermaksud melakukannya dengan Ruka. Tapi entah kenapa atmosfir di kamarnya
tiba-tiba memanas. Ia membiarkan Ruka melakukannya, walau itu bertentangan
dengan logikanya.
Rori kaget ketika Ruka membuka
sarungnya dan ia memasukan benda diantara selangkangannya ke mulut Ruka. Ruka menjilati
benda tegang di antara paha Rori dengan sukarela.
Setelah beberapa isapan Rori
memegang kepala Ruka dengan lembut, berniat menjauhkannya.
“Kau ng—nggak harus melakukannya.”
kata Rori, sedikit tersengal karena gairah. Ia mencoba menjauhkan wajah Ruka,
walau sebetulnya ia tidak benar-benar berniat menepis.
“Kau sudah berbuat baik. . dan aku
harus membalasnya.” Ruka tersenyum dan mencium benda milik Rori. Benda itu
semakin menegang.
“Ini salah.” ujar Rori, tidak
tahan. Mukanya sudah sangat merah.
“Aku atheis. . Kau yang berdosa,
bukan aku. Aku nggak punya dosa.” timpal Ruka.
Ia tersenyum kecil. “Bukankah
Tuhanmu Maha Pemaaf?”
“Iya, tapi bukan berarti aku boleh
menyepelekan dosa sekecil apapun.” kata Rori, menghela napas.
“Aku yakin Tuhan memaafkanmu karena
menyimpan majalah porno. Aku yakin juga kalau Tuhan memaafkanmu hanya karena aku
membalas budi karena kau sudah berbuat baik. Tuhan itu Maha Pengasih dan
Penyayang ‘kan?”
“Memang. .tapi apakah bijaksana
kalau kita menyalahgunakan kebaikan dan sifat kasih sayang Tuhan?”
Ruka tidak menjawab. Ia melanjutkan
kegiatannya. Sia-sia saja perlawanan kosong Rori. Rori tidak sanggup menolak
Ruka. Benda miliknya sudah kepalang tegang. Ia melenguh sementara Ruka
menaikturunkan kepalanya pada benda milik Rori. Nyaris setengah jam kemudian sebelum
akhirnya Rori keluar.
Spermanya berceceran di mulut Ruka.
“Eh? M-maaf.” Ia memegang dagu Ruka,
mencoba mengusap bekas cairannya dengan sarung.
Ruka menurut dengan patuh. Ia
memejamkan mata sementara Rori membersihkan mukanya dengan lembut. Melihat
ekspresi wajah Ruka membuat Rori menegang lagi, tapi ia menahan diri.
“Nggak masalah. Ngapain minta
maaf?” tanya Ruka.
“Yah. . Bukan salah setan yang
menggoda manusia, salah manusia-lah yang teperdaya oleh bujuk rayu setan.”
Ruka tertawa. “Wkwkwkwk. Kau rendah
hati banget ya ternyata. . daritadi aku mbatin apa kau ngrasa lebih suci
dariku?”
“Kenapa? Karena aku santri?”
“Yep.”
“Nggak sih. . kau kan manusia sama
sepertiku. Kita nggak tau siapa yang lebih baik. Yang pasti tiap manusia,
sereligius apapun dia pasti punya kesalahan. Dan seberapa banyak dosa manusia.
. dia pasti pernah berbuat baik. Biar Tuhan yang menilai. Tuhan yang lebih tahu
perbuatan tiap-tiap manusia.”
“Udah cocok jadi ustad tuh. . “
ledek Ruka. Tapi lalu ia berkata serius. “Waktu pertama ketemu di depan tadi. .
kupikir kau orang beragama yang menyebalkan, seperti yang biasa kutemui. Rupanya
kau orangnya lebih santai. .“
“Yah. . Beragama nggak berarti
harus menyebalkan kan. . Banyak ustad dan kyai yang keliru senang menghakimi. .
Senang mencibir. . bukannya malah merangkul. Mereka secara nggak sadar justru
malah membuat orang-orang menjauh. . bukannya makin dekat sama Tuhan.”
Ruka bangkit. Ia sepertinya sudah
selesai.
“Kau mau kemana?” tanya Rori.
“Pulang. Udah rampung ‘kan?
Atau kau masih ingin ceramah? ” Ruka bertanya balik.
Sekejap Rori lupa bagaimana caranya
berpikir. Ia tidak membayangkan bagaimana kejadian setelah membawa Ruka ke
kamarnya. Tentu saja anak itu harus pulang.
“Pulang? Ke rumahmu?”
“Nggak lah. . Aku tinggal di
sekitar sini, sama temanku yang pemulung.”
Rori tampak terperanjat.
“Oh. . Oke.”
Ia lalu mencari dompetnya. Rori
menyerahkan pecahan seratus ribu kepada Ruka. Ruka hanya menatap uang itu.
“Aku bukan pelacur. .” kata Ruka
“Ya, memang bukan. Tapi kau tetap perlu
uang ‘kan? Ambil.” kata Rori. “Dan apa salahnya jadi pelacur? Itu juga
pekerjaan ‘kan?” kata Rori. “Melacur lebih baik daripada mencuri atau merugikan
orang lain.”
“Jangan sampai guru agamamu dengar
kau ngomong begitu. . “ Ruka nyengir, dan ia menyambar uang itu dari tangan
Rori sebelum anak itu sempat berubah pikiran.
“Apa kau selalu begini?”
“Apa? Menolong orang? Well, nggak
sih. . kalau lagi lega aja.” Rori mengangkat bahu.
“Ya udah. Aku pamit kalau gitu. .
Makasih.“ Haruka memohon undur diri.
Tapi sebelum itu. .
“Tunggu.”
Asrori menahan Ruka ketika ia akan membuka
pintu.
“Trims.” kata Rori, dan ia mencium
Ruka tepat di bibir. Mata Ruka membulat, dan ia balas menyambut mencium Rori
dengan lembut.
Ruka tersenyum dalam perjalanan
pulang. Uang pemberian Rori digenggamnya erat-erat. Uang itu wangi, seperti
minyak yang sering dipakai para santri.
Malam itu terasa hangat.
.
.
Surabaya, 6 April 2020.
Catatan: Inspirasi cerpen ini
muncul lagi setelah saya dengerin lagu Kupu-Kupu Malam. . sebelumnya saya
pengen banget bikin cerpen dengan tokoh seorang santri dengan seorang anak jalanan. Dan
inilah dia. Tumben bisa selesai dalam beberapa jam wkwkwk. . sedang lancar menulis.
Semoga hari teman-teman
menyenangkan.
Salam,
Beda Prasetia Aditama.
awesome!!!
BalasHapusMakasih mas Fikri, mampir lagi yaaa
Hapus