5 Juni 2020

Pahlawan Bukan Pembela Kebenaran

AN: Sudah lama saya pingin nulis cerita ini, terinspirasi dari lagu AKB48 - Seigi no Mikata Janai Hero yang dibawakan Team B. Menurut hemat saya, ini lagu yang sweet sekali. Tentang seorang murid berandal. Tanpa banyak cingcong, berikut cerpen yang berhasil saya buat berdasarkan imajinasi saya saat mendengarkan lagu ini. Selamat membaca ^^


Pahlawan Bukan Pembela Kebenaran

oleh: Ahmad Jamal (Nama Arab saya untuk Anton Aditama, haha!)

.

.

Di dunia ini banyak sekali anak nakal. Kita bisa melihat anak-anak ini sebetulnya tidak betul-betul serius dalam urusan kenakalan mereka--sebagian hanya ikut-ikutan yang lain--tapi kadang-kadang mereka bisa keterlaluan sekali. Selama ini aku berusaha agar tidak kelihatan mencolok, tapi bagaimanapun aku berusaha tidak nampak konyol di depan orang-orang, tetap saja aku menjadi bulan-bulanan mereka.

"Hei, banci. . dari mana nih?"

Aku berusaha mengabaikan kalimat itu, walau sebenarnya kupingku panas saat mendengarnya. Aku berjalan melewati koridor sekolah dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Bagaimanapun aku tidak ingin menarik keributan. Kalau kuladeni, aku juga tidak akan menang karena aku kalah jumlah. Cowok-cowok itu selalu main keroyokan. 

Kata "banci" disematkan kepadaku karena pembawaanku yang sedikit feminim. Padahal apa salahnya sih laki-laki yang feminim? Bersikap lembut selalu diidentikkan dengan kelemahan. Padahal perlu kekuatan yang sama besarnya untuk menjadi lembut, sama besarnya saat kita berusaha untuk terlihat kasar.

Kekasaran diidentikkan dengan maskulin, padahal kasar adalah sifat yang merusak. Menjadi laki-laki yang lembut bukan berarti lemah, kau hanya menggunakan kekuatanmu untuk sesuatu yang tidak merusak. . sesuatu yang lebih baik dan berguna untuk orang banyak.

Pepatah bilang, kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan juga. Aku percaya pepatah semacam ini. Tapi tidak halnya dengan sebagian besar laki-laki. Ada seorang murid kelas sebelah yang sering diejek grup cowok yang sama yang mengejekku tadi, karena dia pernah ketahuan mencuri. Dia selalu melawan ejekan itu dengan perkelahian.

Dia sudah mengakui perbuatannya, meminta maaf, dan berjanji untuk tidak mengulanginya di depan seluruh sekolah, tapi label "maling" masih terus melekat kemanapun anak itu pergi di sekolah.

Cowok itu, Adnan, tidak diam seperti yang kulakukan. Dia selalu melawan balik. Adnan tidak sungkan menghajar siapa saja yang bicara buruk tentangnya. Yang membuatku bersimpati padanya adalah, aku pernah dibelanya juga, setidaknya satu kali.

Aku berhutang budi padanya.

Dia sepertinya tahu bagaimana rasanya dirundung. Kupikir itulah alasannya membelaku. Adnan tidak tega melihatku dirundung juga karena aku dianggap lembek oleh orang-orang. Dirundung jelas tidak menyenangkan, seberapapun besarnya kesalahan yang kau lakukan. Adnan memang pantas dihukum karena perbuatannya, tapi bukan berarti dia tidak layak diperlakukan sebagai manusia. Adnan tidak pantas mendapat suatu penghakiman yang terus-menerus begini. Seolah kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Seolah Adnan hanya pernah berbuat salah saja.

Padahal ia jauh lebih berarti dari kesalahan-kesalahannya.

Saat melihat Adnan dirundung, aku merasa lebih beruntung. Aku lebih bisa diterima karena "banci" hanya sedikit lebih diatas derajatnya ketimbang "maling.". Walau pada akhirnya kami dianggap sampah juga, setidaknya banyak murid perempuan yang mau dekat-dekat denganku, karena aku laki-laki yang lembut dan dianggap tidak berbahaya. Sedangkan Adnan, ia benar-benar dijauhi dan sendirian. Aku bisa melihat bahwa anak itu sebenarnya kesepian. Ia membutuhkan teman.

Untukku pribadi, aku memilih untuk memberi Adnan kesempatan kedua, dengan harapan dia akan berubah. Tapi ternyata itu tidak cukup.

Tidak semudah itu.

Mungkin tidak ada lagi barang-barang aset sekolah yang hilang, tapi menurut buku catatan siswanya, Adnan masuk ruang bimbingan konseling setidaknya empat puluh satu kali selama semester ini. Sebagian besar akibat berkelahi. Sungguh ajaib kalau ia belum dikeluarkan dari sekolah. Ia tidak tahan dijuluki "maling" terus-terusan oleh sebagian besar anak, dan walau menurutku sangat wajar kalau dia menghajar cowok-cowok yang menghinanya, seharusnya dia mulai terbiasa.

Darimana aku tahu hal ini? Guru BK sendiri yang memberitahuku. Kadang-kadang aku merasa sedikit depresi jika mengingat perlakuan orang-orang di sekolah padaku, dan aku memerlukan konseling dengan bantuan Guru BK.

Jika Adnan sampai masuk ruang konseling yang ke empat puluh dua kalinya, itu sudah agak keterlaluan. Dia akan menciptakan rekor. Adnan seharusnya mulai belajar untuk mengabaikan komentar buruk soal dirinya, seperti yang kulakukan, dan mulai fokus untuk berprestasi.

Guru BK memintaku untuk menemani Adnan, karena dia beranggapan bahwa aku punya pengalaman yang sama dengannya, dan kami mungkin akan bisa saling membantu. Walau aku kurang yakin dengan rencana ini, toh hal itu tetap akan kulakukan. Aku menyetujui rencana ini karena merasa aku punya kesempatan.

Beberapa bulan lagi aku sudah akan lulus. Aku ingin punya kenangan baik di masa-masa terakhir sekolahku. Kepada Adnan akan kutunjukkan bahwa kelembutan akan mengalahkan kejahatan dan kekeraskepalaan.

Jadi kudekati dia. 

Sepulang sekolah, aku menunggu Adnan yang terakhir keluar dari kelasnya. Dia berjalan melewatiku begitu saja tanpa menoleh.

"Tunggu." kataku. Aku menahannya di dekat pintu.

"Kau pernah membelaku sekali dulu, waktu aku dirundung, dan aku belum berterima kasih." Aku berkata terus terang. Adnan kelihatan bingung sekaligus tidak tertarik. Nyaliku langsung ciut oleh tatapannya, tapi aku berusaha tidak gentar seandainya aku tidak diinginkan di lingkungan pergaulannya.

"Aku mau jadi temanmu," kataku. Adnan hanya mendengus.

"Seperti yang bisa kau lihat, aku nggak pernah butuh teman. Aku bisa jaga diri." Ia berkata keras kepala.

"Yeah, tentu saja." kataku.

Aku membiarkannya pergi, tapi aku bertekad untuk tidak menyerah. 

Esoknya, aku berpura-pura meminjam kamus pada Sinta, teman sekelas Adnan. Mulai saat itu aku sering main ke kelasnya sekadar untuk mencari perhatian, sekaligus mengecek keadaannya. Saat aku merasa bahwa dia takkan marah seandainya kudekati, aku mencoba membuat diriku terlihat berguna.

"Aku punya kunci jawaban untuk ulangan Sejarah yang berikutnya, kau mau?" Kutawarkan salinan jawaban ulanganku pada Adnan. Aku bisa melihat bahwa dia kesulitan mencari alasan untuk menolak.

"Nggak usah deh, Pris, kau nggak perlu repot-"

Aku yakin dia hanya gengsi saat mengatakan itu, jadi kusodorkan saja salinan itu padanya. Adnan menerimanya. Aku tahu dia bersusah payah menyembunyikan rasa senang, jadi kutinggalkan dia di bangkunya sebelum aku kembali ke kelas.

Minggu berikutnya Adnan berterima kasih padaku karena dia mendapat nilai ulangan Sejarah yang bagus. Dia akhirnya menerimaku menjadi temannya setelah beberapa saat, walau kami belum bisa dibilang akrab.

Adnan membiarkanku duduk semeja dengannya di kantin sekolah, dan aku memberinya nomorku kalau-kalau dia perlu bantuan dalam mengerjakan PR-nya. Adnan mulai berpikir bahwa aku ternyata bisa diandalkan. Walau aku bukan termasuk murid teladan, nilai akademikku tidak jeblok-jeblok amat.

Dia mulai membelaku lagi jika aku sedang diganggu, dan dari situ entah mengapa aku merasa yang dilakukan Adnan romantis sekali. Aku jadi sering memikirkannya.

Sebetulnya ini agak keliru, aku tidak boleh meromantisasi kekerasan dari seorang anak berandal, tapi aku tidak bisa menahannya.


Jika sedang bersamaku, Adnan lebih bisa menahan diri di sekolah, tapi bukannya dia berhenti berkelahi. Aku memang memintanya untuk mengabaikan cibiran yang dilontarkan padanya, tapi jika jam sekolah usai dia masih berkelahi secara sembunyi-sembunyi. Tempo hari aku melihatnya sendiri sedang tonjok-tonjokan di luar dinding sekolah.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan yang dilakukannya. Apa manfaatnya berkelahi sih?

"Kau tuh nggak perlu buang-buang tenaga," nasehatku pada Adnan esok berikutnya. "Ngapain sih meladeni mereka? Nggak ada untungnya, tahu nggak."

Adnan hanya diam saja. Aku terus memarahinya.

"Memangnya kalau kau nggak berkelahi, kau kehilangan kelelakianmu, eh? Itu namanya goblok," kataku di depan muka Adnan. Aku terus nyerocos.

"Kenapa sih kebanyakan cowok itu egois? Cowok selalu membesarkan ego mereka. Kau malu kalau bersikap lembut pada mereka atau bagaimana?" tuntutku.

Setelah lama diam Adnan angkat bicara. "Aku tahu jalan kekerasan itu salah, tapi ini bukan cuma soal harga diri. But you have to stand up for yourself, Prismana." 

Ia beranjak. Aku agak terkesiap karena dia menyebut namaku.

"Ya udah deh, terserah." Aku mulai lelah memberitahunya.


Walau aku ingin tidak setuju oleh perkataan Adnan, tapi nyatanya malam itu aku termenung. Di tempat tidurku, aku terngiang oleh yang dikatakan Adnan pagi tadi. Sudah berapa lama aku menjadi cowok yang berusaha lembut, pikirku? Sudah berapa lama aku mencoba cara halus? Orang-orang masih berbuat seenaknya kepadaku.

Ada satu pelajaran yang selama ini kulupakan. Jika aku diam saja dalam penindasan, maka kedamaian yang tercipta hanyalah semu. Kedamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi, kata Gus Dur. Damai tidaklah ada artinya kalau aku diam saja melihat ada yang ditindas, damai bukanlah damai kalau diriku sendiri ditindas. Hanya ada satu kata: lawan!

Kuncinya adalah dengan terus melawan.


Kali berikutnya kulihat Adnan berkelahi, aku memakluminya untuk pertama kali. Saat itu aku sengaja membolos untuk membeli CD terbaru yang sedang diskon di toko kaset yang ternyata tutup, saat kulihat Adnan tengah dikeroyok geng cowok dari sekolahku yang suka membuat onar. Ia kewalahan karena kalah jumlah. Aku ingin membantunya, tapi aku merasa gentar sehingga memalingkan muka. Aku gemetaran di tempatku berdiri.

Sebuah pikiran menghinakanku tepat ketika aku mencoba berpaling dari ketidakadilan yang barusan kulihat. Aku bukanlah cowok berhati lembut, pikirku. Aku hanyalah seorang pengecut. Tidak lebih.

Kutanyakan satu hal penting pada diriku: Apakah Adnan diam saja saat aku dirundung suatu kali dulu? Tidak. Dia membelaku. Apakah aku akan membiarkannya dihajar sendirian kali ini, disaat ia kalah jumlah?

Aku benar-benar merasa malu. Lalu tiba-tiba kurasakan kemarahan yang entah darimana datangnya.

Aku mengambil beberapa batu berukuran sedang dan memasukannya ke dalam tasku.

Kulihat anak-anak berandal tadi mengejar Adnan hingga ke lapangan. Mereka membentuk lingkaran, mengepungnya. Aku menggabungkan diri dengan perkelahian itu dan mengeluarkan kamus Bahasa Inggris sepuluh miliar yang biasa kugunakan untuk menghafal kosakata ringan.

Aku merasakan adrenalin yang luarbiasa saat menghantamkan kamus itu ke muka-muka orang yang selama ini menghinaku. Aku memukul-mukulkan tasku ke segala arah secara membabibuta. Aku kini mengerti kenapa Adnan suka berkelahi. Ia ketagihan.

Aku kena pukul satu dua kali. Ada yang menjambakku, mencekik leherku, tapi aku berhasil bertahan. Adnan dan aku saling memunggungi ketika kami bersatu melawan cowok-cowok itu.

Pada akhirnya tidak ada dari kami yang menang. Semua orang kena hantam dan kena pukul. Semua orang babak belur. Pada akhirnya anak-anak itu lelah berkelahi dan pergi.

Sesaat kemudian keadaan kembali tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Adnan duduk terengah-engah. Aku merasakan kedamaian yang sebenarnya sekarang. Seragam Adnan dan seragamku sama-sama robek. Aku melihat padanya dan menghampirinya, bermaksud memberikan terima kasihku yang dari dulu belum sempat kuungkapkan.

Aku memegangi sisi kepala Adnan dan memberinya ciuman di bibir sebagai tanda terima kasih. Ia tidak keberatan. Walau aku tidak mengatakannya, kuharap dia tahu bahwa bagiku dia adalah seorang pahlawan, walau bukan membela kebenaran.

Adnan diam mematung sementara aku memunguti buku-bukuku yang terserak. Dengan pipi yang tersipu, kusampirkan jaketku ke pundak dan aku pulang menyeret tasku.

.

()

Surabaya, 5 Juni 2020

Terima kasih sudah membaca. Semoga menghibur. Mohon kritik & saran :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar