3 Mei 2020

Only Today (Hanya Untuk Hari Ini)

Pernahkah kau merasa bersalah karena menyukai pacar seseorang? Aku pernah. Bukan hal yang menyenangkan. Jika ada satu kemampuan yang ingin kumiliki. . aku ingin bisa mengendalikan perasaanku.

Aku tahu betul kalau menyukai seseorang yang telah berpasangan adalah hal bodoh. . Perasaan manusia memang sangat bodoh. Kau tak bisa mendikte hatimu sesukamu. Kau tak bisa mengatakan hatimu untuk berhenti mencintai. . Kau tak bisa menutup hatimu sama halnya saat kau meminta matamu untuk terpejam, saat kau tidak ingin melihat film horror. . karena perasaanmu begitu rumit. Memuakkan.

Saat kau jatuh cinta, kau takkan bisa menolaknya. Kau hanya akan tersakiti jika mencoba menyangkal.

Perasaan manusia bekerja dengan cara-cara yang diluar nalar. Kau ingin berada dekat-dekat orang yang sama sekali tidak menginginkanmu. . atau seseorang yang sebetulnya tidak boleh kau cintai karena dia telah menjadi milik seseorang. Kau mengharapkan seseorang yang sama sekali tak acuh padamu. . Kau ingin dicintai olehnya. Dia adalah cowok tetanggamu yang tampan. .  tapi sayang sekali dia menyukai orang lain. Dan kau tak bisa berbuat apa-apa tentangnya. Kau hanya bisa menangis setiap malam di kamarmu. . memeluk guling dengan berlinang airmata sambil mendengarkan lagu-lagu Coldplay yang membuat patah hati.

Di dunia dalam kepalamu, kau mengharapkan orang yang kau sukai mencintaimu sama banyaknya dengan kau mencintai mereka. . tapi keberuntungan tidak selalu berada di pihakmu. Begitu juga denganku.

Namaku Aldi. Aku ingin bercerita padamu sedikit soal kisahku.

.

Only Today (Hanya Untuk Hari Ini)

oleh: @AntonErl

.

.
Belakangan aku melihat teman yang kusukai sejak lama, seorang cowok bernama Putra, sering membawa pacarnya ke rumah. Cewek yang dibawa pulang temanku kali ini berbeda. Sepertinya Putra sungguh-sungguh menyukainya. Selama ini aku melihat Putra bergonta-ganti pacar. . dia tidak pernah bertahan dengan seorang perempuan lebih lama dari dua minggu. . sampai sekarang.

Putra adalah tetanggaku. Orang-orang jelas berpendapat Putra adalah pemuda yang ganteng, karena banyak dari mereka yang menyukai Putra dan menyatakan perasaan padanya. Aku adalah salah satu dari orang-orang itu. Tapi aku tidak pernah berani menyatakan perasaanku pada Putra.

Terlahir sebagai gay saja sudah merepotkan, lebih-lebih kalau kau hanya menyukai satu orang dalam hidupmu. . dan dia ternyata adalah tetangga-samping-rumahmu.

Apalagi kalau kau mantan murid sekolah Muhammadiyah. Ini agak lebih merepotkan lagi. Walau rumah kami bersebelahan, tidak sekalipun aku pernah satu sekolah dengan Putra. Aku adalah muslim, dan aku pergi baik ke SD, SMP, dan SMA Muhammadiyah lokal pilihan keluargaku. Walau sekolah-sekolah itu cukup mentereng, jelas Putra tidak diterima di sekolah Muhammadiyah. . karena dia seorang Katolik. Putra bersekolah di SMP-SMA Kanisius yang ada di tengah kota.

Pernahkah kau membayangkan kalau dirimu adalah seorang homo, yang bersekolah di lingkungan dimana prinsip kemuhammadiyahan diajarkan? Aku sih pernah. Seorang Aldi Nauklis yang berusia enam belas tahun menemukan dirinya ternyata homoseksual, dan terjebak di tengah siswa-siswi SMA Muhammadiyah yang dituntut agamis. Memang, gay belum tentu tidak agamis. . tapi sekolah dan tokoh agama kan tetap menutup mata. Gay bakal dianggap menyimpang walau kujelaskan dengan mulut berbusa kalau tidak ada yang salah soal cinta.

Selama ini agama hanya mengakui hubungan dua lawan jenis, laki-laki dan perempuan. Padahal manusia terlalu rumit untuk mengenal satu jenis orientasi cinta saja. Kisah cinta diluar itu dianggap ketidakwajaran dan sesuatu yang harus dibinasakan, menyedihkan sekali.

Sejak dulu aku menganggap hidupku tidak adil karena aku tidak bisa cukup dekat dengan Putra. Keluarga dan lingkungan kami sangat berbeda.

Waktu itu aku tidak tahu. . tapi orang-orang Muhammadiyah ternyata juga mempelajari Alkitab. Aku masih punya Injil versi Markus yang kusimpan di lemari berdebu di kamarku. . karena guru-guru sekolah Muhammadiyah berpikir ada baiknya kami mempelajari Alkitab. Biar iman kami tidak mudah digoyahkan, kata mereka. Yang benar saja. Aku pribadi berpikir ajaran kasih sayang Kristus sama baiknya dengan prinsip Muhammadiyah.

Memang ada orang yang merasa ajarannya lebih baik. Padahal kalau dilihat, orang-orang Nasrani pada umumnya 'kan sama baiknya dengan orang-orang Muslim. Kenapa sih kita tidak bisa bergandengan tangan saja sebagai satu umat manusia? Terlepas dari siapapun Tuhan-tuhan kita, yang lebih penting adalah menyadari bahwa kita sama-sama manusia yang tidak akan pernah punya banyak kesamaan.

Yang perlu diingat adalah, kebenaran bagi setiap orang berbeda. Kebenaran tidak selalu bersifat mutlak. Kau tak bisa bilang pada orang yang merokok bahwa yang dilakukannya keliru, karena dia merokok bukan dengan tanpa alasan. Dia punya pemikiran dan keyakinan sendiri yang wajib dihormati siapapun. Mencoba menggoyahkan iman orang lain adalah sebuah kekeliruan karena sama saja dengan kita tidak menghargai cara berpikir mereka dan pengalaman hidup mereka.

Meski begitu, jika ada satu hal yang kusenangi tentang bersekolah di sekolah Muhammadiyah, itu adalah aku bisa belajar mengenai sosok Ahmad Dahlan. Dulu dia salah satu tokoh yang kusukai. Berapa banyak sih orang jaman sekarang yang tahu bahwa Ahmad Dahlan kecil ternyata bernama Muhammad Darwis? Semua anak Muhammadiyah harusnya tahu. . Yah, semuanya. Kecuali yang tidak pernah menyimak pelajaran sejarah.

Sementara aku pergi ke mushola setiap magrib, menghafalkan surat-surat pendek pada halaman belakang mushaf Al-Qur'an, dan mendengarkan kisah dua puluh lima nabi dan rasul, Putra menghadiri misa di Katedral. Dia menghadiri sekolah minggu bersama teman-teman gerejanya, mendengarkan kisah hidup Yesus dan semua tokoh dalam Alkitab Injil serta mengambil hikmah darinya. Kadang-kadang aku penasaran bagaimana cara Putra berdoa di gereja. Putra bukan temanku yang begitu akrab, tapi karena dia tetanggaku kadang-kadang Putra mampir ke rumah. Kami jadi agak dekat saat orang tua Putra menitipkan dia di rumahku ketika mereka harus pulang ke Medan tanpa dia.

Pada waktu-waktu tertentu di rumahku, aku melihat Putra berdoa, tidak dengan menadahkan tangan, tapi dia menangkupkannya. Ibuku menyediakan tempat khusus bagi Putra untuk berdoa di salah satu ruangan. Dari balik tirai aku mendengarnya mengucapkan sesuatu yang kira-kira bunyinya begini:

Salam Maria, penuh rahmat Tuhan serta-Mu,
Terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuh-Mu Yesus,
Santa Maria Bunda Allah, doakan kami yang berdosa ini
Sekarang dan sampai kami mati. Amin

Baru aku tahu kemudian kalau itu adalah doa salam Maria. Aku menganggap yang diucapkan Putra sangat keren, karena dia tidak berdoa dengan bahasa Arab yang susah kumengerti. Berhari-hari setelahnya aku dijewer ibuku karena mengganti doa sebelum tidurku dengan doa salam Maria yang menurutku indah, tapi sejak saat itu aku mengucapkan doaku dalam bahasa Indonesia:

Dengan menyebut nama Allah aku hidup, dan dengan menyebut nama Allah aku mati.

Tidak jauh berbeda 'kan? Mungkin itulah awal aku menyukai Putra: karena dia orang pertama yang kudengar berdoa menggunakan bahasa Indonesia. Walau aku menyukai doa-doa Islam karena pendek dan gampang dihafal, sebelum itu yang kudengar hanyalah teman-teman sekolahku berdoa dengan bahasa Arab yang memusingkan. Suara mereka cempreng dan tidak semerdu suara Putra saat berdoa. Aku tidak bisa melihat indahnya doaku sendiri sampai aku melihat terjemahnya.

Selama periode menginap di rumahku, tiap sore Putra ikut mengaji bersamaku di mushola. Papa-Mama Putra tidak protes saat tahu anak mereka jadi hafal Ayat Kursi lengkap dengan tajwidnya begitu pulang dari Medan.

Tapi setelah itu kami hanya dekat sebagai tetangga rumah biasa. Hubungan kami tidak berkembang atau jadi lebih akrab.

Putra tidak pernah menunjukan gelagat kalau dia peduli padaku, tapi perasaanku padanya tumbuh bertahun-tahun sebelum aku menyadarinya. Kini aku dan Putra sudah sama-sama lewat umur sembilan belas tahun. . Putra tumbuh menjadi seseorang yang dewasa, dan dia sepertinya sangat serius dengan hubungannya yang sekarang.

Nama pacar Putra yang sekarang adalah Santi. Aku tahu karena Putra mengenalkannya padaku beberapa waktu yang lalu saat aku menyapu di rumah. Aku sering berpura-pura menyapu petak halaman Putra juga, hanya agar Tante HildaMama kandung Putramengundangku masuk ke rumah mereka. Saat itu aku sedang duduk-duduk di teras, dan Putra pulang dari kuliah dengan seorang perempuan cantik yang bicara dengan kelewat sopan.

"Salam kenal, Tante. Saya Santi, satu tempat kuliah dengan Putra." Santi tersenyum tulus dan beringsut menyalami Tante Hilda dengan santun.

"Pacarmu ya, Put?" Kudengar Tante Hilda bertanya sembari menyambut uluran tangan Santi. Dia mengulas senyum. Langsung saat itu aku merasa iri, sekaligus patah hati. Walau selama ini aku cukup dekat dengan Mama Putra, tapi tidak dengan cara yang Santi sekarang dapatkan. Sampai kapanpun aku takkan berada di posisi dimana aku bakal dianggap sebagai calon mantu atau semacamnya. Aku hanyalah tetangga mereka.

Santi bergantian menyalamiku. Auranya seperti dia adalah seorang malaikat.

"Bukan, teman kuliah kok Ma." kata Putra. Dia mengerling padaku dan memberiku kedipan nakal. Aku hanya bisa meringis pada Putra saat menyalami Santi dan merasakan nyeri di ulu dada. Aku mencengkeram gagang sapu yang tadi kugunakan nyaris kelewat erat sebelum berpamitan.

"Maaf tante, saya pamit dulu. Saya mau bantu Ibu ngepel," Aku mencari-cari alasan.

Tante Hilda berusaha mencegah, "Kok buru-buru Mas Aldi? Makan dulu." 

"Lain kali saja tante. . saya pasti mampir lagi, keburu sore kalau nggak dipel. Nanti Ibu marah-marah terus,"

"Waduh, iya deh. Rajin banget, nggak kaya Putra. Dia mana mau kalau disuruh nyapu sama ngepel,"

"Apaan sih. Ya nggak usah dibandingin juga," Putra berkata keberatan.

Aku memalsukan sebuah tawa kepada mereka sebelum kembali ke rumah. Sapu lidi yang kubawa kulemparkan begitu saja sementara aku mengunci diriku di kamar.


Walau Putra menyanggahnya, aku tahu Santi memang sebenarnya pacarnya. Dan Putra tidak main-main. Aku berani bersumpah dengan Injil Markus di lemariku bahwa Putra mengajak Santi ke rumah lebih sering dari gadis manapun yang pernah dipacarinya. Aku berkali-kali mengingatkan diriku bahwa ini bukanlah urusanku. Aku bukan siapa-siapa Putra.

Hal yang sulit berhenti kulakukan adalah, aku kerap kali membandingkan diriku dengan Santi. Dia adalah tipe cewek berwajah bidadari yang akan membuat orang-orang luluh siapapun yang melihatnya. Dia terlihat kalem, tetapi matanya berkilau menyenangkan. Kalau aku bukan gay mungkin aku akan menyukainya juga.

Di rumah, aku jadi sering menatap poster Kyai Haji Ahmad Dahlan yang terpajang di rumahku dan bertubi-tubi kutekankan pada pikiranku bahwa aku takkan pernah pantas (atau bisa) bersama dengan Putra. Aku seorang dari kalangan Muhammadiyah, laki-laki pula, dan takkan mungkin akan berada di posisi Santi sekarang ini. Kadang-kadang ini berakhir denganku yang menangis tanpa sebab.

Orang tuaku mungkin akan mengharapkanku untuk menikahi seorang wanita, tapi demi arwah Ahmad Dahlan di alam kubur sana, aku hanya menyukai satu manusia. 
Demi Tuhan aku benar-benar menyukai Imanuel Putra. Sekalipun dia tidak memakai rok, sekalipun dia tidak berkerudung, sekalipun dia berjambang, sekalipun dadanya rata, sekalipun dia laki-laki sama sepertiku.

Cintaku tidak mengenal semua itu.

Demi iblis dan setan, lebih baik aku masuk neraka Jahanam daripada aku mendustai hatiku. Aku mungkin telah kafir karena mengagumi Putra lebih daripada aku mengagumi Nabiku, atau Tuhanku yang bersemayam di atas 'Arsy, singgasana-Nya yang Agung dan dikelilingi ribuan malaikat. Bahkan lebih daripada Ahmad Dahlan yang dijadikan panutan keluarga. 

Semua orang dalam agamaku berkata bahwa aku tidak boleh mencintai siapapun lebih daripada Penciptaku, tapi benar begitukah? Mau tak mau aku berpikir, bagaimana aku bisa menyukai Penciptaku yang tidak kelihatan, sebelum aku menyukai ciptaannya yang kelihatan lebih dulu? Demi Tuhan aku menyukai Putra, walau dia sama sekali tidak mengetahuinya. Aku tidak peduli bagaimana rupanya. Dialah cintaku satu-satunya.

Benarkah aku telah kafir? Benarkah aku salah mencintai seseorang? Betulkah bahwa setan telah merasuki jiwaku, sehingga aku harus dirukiyah agar aku berhenti menyukai Putra selama-lamanya?

Aku tahu diriku. Bukan setan yang menyesatkanku. Aku menyukai Putra semata-mata karena hatiku-lah yang memilihnya. Pada menit dimana kudengarnya melantunkan doa yang kupikir sangat indah. Aku jatuh cinta padanya. Tidak peduli apakah Putra laki-laki. Tidak peduli apakah keluargaku mungkin menganggapnya kafir, aku benar-benar tidak peduli.

Bagaimana bisa aku dituntut mencintai Tuhan yang tidak kuketahui rupanya sementara aku harus menahan perasaanku pada seorang anak manusia, ciptaan-Nya sendiri yang indah? Aku adalah makhluk yang lemah, memang, tapi aku tetaplah bermartabat. Tuhan memberiku indera untuk bekerja. Aku tidak bisa seenaknya mengabaikan apa yang jelas-jelas ada di depanku dan mengabaikan perasaanku yang tulus dari lubuk hati.

Aku harus mencintai makhluk-Nya dulu sebelum aku bisa mencintai Pencipta itu sendiri. Aku harus memanusiakan orang-orang tidak hanya dari agamaku sendiri, tapi juga orang-orang dari luar agamaku. Orang-orang dari luar gerakan Muhammadiyah. Bahkan hewan. Dan tumbuhan sekalipun. Dan bumi tempatku tinggal. Baru aku bisa mencintai Tuhan. Barulah cintaku sebagai manusia lengkap dan sempurna, walau tak bisa benar-benar demikian. Orang bisa saja salah menafsirkan Kitab Suci. Terserah apa kata orang dari agamaku. Sejak lama sudah kuputuskan bahwa perasaanku pada Putra tidaklah salah.


Namun setelah bertahun-tahun kupendam. . aku tak bisa menahannya. Cinta seorang Aldi Nauklis pada Imanuel Putra sangat tidak tertahankan, dan menyakitkan.


Santi kini lebih akrab dengan Putra dan aku sering melihat mereka bergandengan tangan. Mereka tidak malu untuk mengakui hubungan mereka di depan umum sekarang. Aku pura-pura berbahagia soal hubungan mereka. Seringkali aku merasa bersalah karena perasaanku, tapi berkali-kali kuingatkan diriku bahwa sampai kapanpun aku tidak berdaya soal hatiku. Aku berhak menyukai Putra dalam diam.

Hari-hari ini aku melihat Putra lebih sering main ke rumahku, karena Santi sering merepotkan diri membawakan keluargaku oleh-oleh juga saat dia mampir ke rumah Putra. Dia baik sekali. Putra memang beruntung karena mendapatkan Santi, tapi bagiku Santi jauh lebih beruntung karena mendapatkan Putra.

Karena Santi sering mampir ke rumahku, dia jadi sering melihat koleksi buku-bukuku juga. Putra juga ada disini karena ikut-ikutan Santi. Ini membahagiakan sekaligus menyedihkan. Aku senang karena Putra berada di dekatku, tapi aku mencoba berpegang pada kenyataan bahwa Putra ada di rumahku karena Santi dan bukan alasan lain.

Santi kuliah di salah satu universitas swasta dengan Putra. Dia jelas mahasiswa yang aktif pada banyak kegiatan kampus. Santi berpikir aku orang yang cerdas hanya karena aku mengambil jurusan Fisika di salah satu universitas negeri. Menurutnya aku lawan diskusi yang sepadan dibanding Putra. Dia tidak tahu saja kalau nilai-nilaiku sangat minim.

Suatu hari Santi minta diajari semua yang kuketahui soal Fisika kuantum tingkat universitas, karena menurutnya dosen di kampusnya terlalu rumit menjelaskannya. Penjelasanku yang payah ia puji berlebih-lebihan.

"Aku langsung paham begitu kau yang menjelaskan. Ya ampun, kok aku nggak pernah dengar soal kau, ya? Otakmu brilian. Kau nggak pernah menonjolkan diri di kampus pasti." kata Santi.

"Mana ada. Kau nggak akan percaya kalau kubilang nilaiku sebenarnya jeblok. Itu fakta," sanggahku.

"Masa sih. . Eh tapi kau kenal Pika nggak, dari jurusan Biologi? Dia dulu temanku waktu masih SMA."

"Pika? Bukannya dia yang sering—"

Belum sempat selesai kujawab, saat itu Putra muncul dengan wajah merengut dari ruang tamu,

"Belum selesai?" tuntutnya. Dia sepertinya bosan menunggui Santi dan aku selesai diskusi di teras. Aku tahu dia tidak marah padaku, tapi aku tetap berusaha memberi kesan bahwa aku sama sekali tidak mmempunyai ketertarikan pada Santi dengan menjaga jarak dengannya.

"Ganggu aja sih," Santi memutar bola matanya, pura-pura terganggu, tapi lalu dia bilang, "Lanjut lain hari, kalau gitu deh Al. Seru ngobrol sama kamu."

Putra langsung merangkul Santi dan mencium puncak kepalanya. Mereka pamitan pada Ibuku sebelum Santi diantarkan pulang oleh Putra, segera setelah ia berpamitan juga pada Tante Hilda. Dalam hati aku mengasihani diriku yang hanya bisa memandang mereka, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Malam itu, di kamar aku bersandar merosot pada pintu yang kututup rapat. Aku menatap seisi kamarku dengan pandangan nanar. Aku merasa duniaku gelap, walau berbagai piala dengan logo matahari dengan nama Muhammad menyemangati dari pojok kamar. Aku telah banyak berprestasi dan melakukan hal baik. Tidak seharusnya aku bersusah hati.

Beberapa saat kemudian dari luar kudengar suara motor Putra merangsek masuk ke garasi rumahnya, dan tangisku pecah.


Berjam-jam kemudian, karena tidak bisa tidur, aku memutuskan untuk shalat tahajjud. Aku hampir tak pernah melakukannya. Beragama berarti menyerahkan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan, dan mensyukuri seberapapun tidak menyenangkannya hidupmu. Pada situasi dimana kupikir aku tak bisa mengendalikan hidupku, kuserahkan segalanya pada Tuhan. Aku memutuskan bahwa walau Tuhan tidak selalu adil padaku, hidupku setidaknya masih lebih beruntung dari kebanyakan orang.

Aku anak orang berada dan bisa menempuh bangku kuliah. Aku menangis dalam sujudku. Kusebutkan nama Putra berkali-kali. Sajadahku nyaris basah. Aku tidak merasa bodoh karena mencintai seorang makhluk sedemikian dalamnya, karena seperti yang sudah kubilang, cintaku tidaklah salah. Aku tidak ingin menghakimi diriku.

Selesai berdoa, aku ingin membaca Al-Qur'an supaya pikiranku bisa terfokus, agar aku bisa berpikir jernih, agar aku mendapatkan perasaan tenang yang sangat pantas kudapatkan. Tapi lalu pandanganku jatuh pada lemariku. Aku teringat Injil Markus yang kusimpan disana. Aku merogoh pada laci lemariku dan mengeluarkannya.

Kubersihkan Injil itu, lalu kusandingkan dengan Al-Qur'an. Aku membayangkan diriku dengan Putra. Aku memeluk kedua kitab itu sebelum kemudian menangis lagi. Kali ini lebih keras. Aku meringkuk di kaki tempat tidurku.

Islam mengakui Injil sebagai miliknya juga, sebagai salah satu dari empat kitab suci Tuhan, walau kami tidak mengamalkannya. Mengamalkan Al-Qur'an berarti mengamalkan Alkitab juga, dan kitab-kitab sebelumnya, karena pada dasarnya semua kitab Tuhan adalah sejalan. Tapi mengapa orang sulit sekali untuk saling menghargai? Pikirku. Mengapa orang-orang sulit bersatu diatas perbedaan? Sebagian ayat pada Alkitab juga sama persis dengan beberapa ayat Al-Qur'an dan aku bertanya-tanya apakah Muhammad yang tidak pernah bisa membaca dan menulis menyadari hal ini.

Kubuka Injil Markus itu. Airmataku yang masih tersisa menetes pada halaman-halamannya sementara aku menulis nama Imanuel Putra di pojok kecil halaman paling belakang. Lalu kututup Injil itu. Aku terpikir untuk menulis surat. Aku akan menyatakan perasaanku pada Putra. Mungkin dengan itu aku bisa sedikit lebih lega.
  
Dia tidak harus membalasnya. Aku hanya harus mengungkapkannya. Kuambil sebuah pulpen dan secarik kertas. Kutulis nama Putra dengan segenap hati. Tulisan dalam surat itu mengalir begitu saja:


Kepada Imanuel Putra

Mungkin surat sudah agak ketinggalan jaman, tapi aku tidak punya cara lain untuk mengungkapkan isi hatiku. Jadi akan kubuat singkat saja.

Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali kudengar kau mengucapkan doa salam Maria yang terdengar begitu indah di rumahku bertahun-tahun lalu. Walau orang tuaku dan orangtuamu datang dari lingkungan yang berbeda, dari sekian banyak orang aku senang karena kebetulan kita berdua adalah tetangga.

Semoga kau tidak menganggapku menyebalkan. Kupikir aku bukan tetangga yang begitu buruk 'kan? Aku suka menyapu petak halaman rumahmu dengan harapan Mama-mu akan mengundangku masuk. 

Aku melihatmu tumbuh dewasa dari seorang anak kecil yang asing menjadi pemuda tampan yang diam-diam selalu kuperhatikan. Kuharap mengetahui ini tidak membuatmu tidak nyaman.

Aku tidak menyesal karena aku tidak cukup mengenalmu, karena tidak sebagai teman karib atau tetangga, dengan jarak yang begini saja rasanya sudah menyakitkan. Apalagi kalau kita berdua dekat. Akan lebih menyakitkan seandainya aku begitu akrab denganmu dari dulu. Aku tidak menyesalinya. Demi Tuhan tak kusesali satupun yang kurasakan padamu. Meski aku harus sakit karenanya.

Semoga kau berbahagia dengan Santi. Aku senang karena akhirnya kau menemukan cinta sejatimu. Aku juga ingin menyatakan bahwa sampai kapanpun kaulah cinta sejatiku, Imanuel Putra. Tak ada yang kusesali karena kau berakhir dengan orang lain.


Semoga kau menerima surat ini dalam keadaan baik.

Salam,

Muhammad Aldi Nauklis


Aku ingin bersikap sedikit egois.  . hanya untuk hari ini saja. Aku ingin memiliki Putra untuk satu hari. Jadi pada kolom notabene kutuliskan:


NB: Kalau kau bersedia, temui aku di Pantai Glagah hari Minggu sore. Ngobrol biasa. Datanglah sendirian. 

Kulipat surat yang kutulis dan kusisipkan pada Injil terjemahan bahasa Indonesia tahun 1974 versi Markus itu.

.

.

Hari minggu tiba.

Bertahun-tahun kemudian aku akan ingat bahwa bulan itu adalah musim hujan paling dingin dalam setahun, tapi aku tetap nekat datang ke Pantai Glagah. Jika kau sering mengamati matahari terbenam pada saat-saat itu, kau akan menyadari sunset paling bagus biasanya terjadi antara bulan Oktober hingga Januari. Itu hanya pengamatanku. Aku turun dari bus rute selatan dan keluar menyambut gerimis dengan mantel jaket yang kusingkapkan menutupi kepala.

Aku menggenggam kopi kalengan yang kubeli dari vending machine di pinggir jalan, sebelum berlari mengatasi gerimis yang mereda sebelum duduk di pemecah ombak. Pantai Glagah sebetulnya cukup indah, apalagi saat sore.

Aku membawa mushaf Al-Qur'an dan membacanya. Dalam tradisi turun-temurun Islam, kau dilarang membaca kitab suci dengan terdiam. Kau harus membacanya dengan suara, karena orang lain berhak mendengarkan keindahan ayat-ayat Tuhan juga. Kubaca mushaf itu dengan terbata-bata.

"Bacaan yang bagus." puji seseorang.

Setengah jam kemudian aku baru selesai mencecap tegukan terakhir kopiku saat kudengar seseorang berjalan ke arahku. Dia membawa Alkitab Injil versi Markus tahun 1974, yang beberapa malam lalu ketangisi halaman-halamannya.

"Maaf, habis ikut Misa." Aku menoleh dan mendapati Putra datang seorang diri, persis seperti yang kuminta.

Aku lega sekaligus senang karena Putra mau datang. Kututup Al-Qur'an milikku dan menyimpannya di saku jaket. "Nggak masalah. Trims udah mau datang," 

Dia berhenti sejenak, ragu-ragu, tapi kulihat dia memantapkan dirinya.

"Aku terima suratmu." kata Putra, "Jadi benar kau yang menulisnya?" Ia bertanya, sepertinya dengan deg-degan.

Aku mengangguk, "Yeah."

"Tak kusangka. ." Kudengar Putra meminta maaf.

"Sori." katanya.

"Kenapa?"

"Soal perasanmu, aku tak bisa membalasnya."

Aku mengedikkan bahu. "Nggak masalah, bukan salahmu."

Aku telah menghabiskan beberapa hari belakangan untuk menenangkan diri. Setelah kutinggalkan Alkitab dari lemariku di genggaman Putra pagi hari saat ia akan kuliah, sebisa mungkin aku menghindarinya hingga hari Minggu tiba.

"Yang penting aku udah nyatain perasaanku, dan aku udah lega sekarang." kataku. Aku benar-benar tidak bohong soal yang kukatakan.

"Aku akan memacarimu daridulu seandainya kau perempuan." kata Putra tiba-tiba. Aku sedikit kaget mendengar ini, tapi pada akhirnya kuulas sebuah senyum.

"Tak perlu menghiburku." kataku, lalu aku menyuarakan kekuatiranku soal surat yang kutulis tempo hari. "Kupikir kau malah jijik setelah baca suratku dan nggak mau datang,"

Putra mencoba memikirkan kata-kata yang tepat.

"Enggak. . aku cuma nggak nyangka aja." kata Putra. "Selama ini kita tetanggaan, dan selama itu pula kau menyukaiku. . " Ia menerawang.

"Kok bisa sih?" tanyanya.

Aku mengangkat bahuku. "Aku sendiri nggak tahu. Kau nggak bisa memilih siapa yang ingin kau sukai 'kan?"

"Sebetulnya bisa, tapi kau mungkin nggak ingin. . " Putra berkata. "Aku menghargai perasaanmu padaku, Al. Kuhargai juga keberanianmu karena menyatakan perasaan itu padaku. Pasti nggak mudah buatmu."

Putra memelukku. Aku balas memeluknya. Aku merasa sangat, sangat lega. Walau tidak lama. Aku menepuk-nepuk pundaknya. Setelah itu sunyi. Aku dan Putra melerai pelukan. Kami memutuskan berjalan sepanjang pesisir, menuju dermaga yang berkali-kali dihantam ombak pasang.

Aku dan Putra berdiri bersisian di atas batu-batu pemecah ombak. Berkali-kali kutarik napas dalam, mencoba berpegang pada ketenangan yang kudapatkan dengan susah payah berhari-hari ini.

Putra angkat bicara, "Kalau aku tidak berhasil dengan Santi, aku mungkin akan mencoba denganmu Al, suatu saat nanti."

Aku tertegun sekaligus bingung menanggapi ini, tapi lalu aku memilih bersikap defensif. "Nggak usah ngasih aku harapan hanya karena kau kasihan. Aku nggak akan menyesal kalau kau berakhir dengan Santi ke pelaminan sekalipun. Kau berhak mendapatkan kebahagiaanmu."

"Nggak, aku serius. Saat ini aku memang masih sayang Santi, sangat sayang dia. Tapi kita nggak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan 'kan?"

"Yeah," kataku.

Aku memejamkan mata. Kuhirup udara sore dan kukeluarkan lewat napas yang tertahan. Aku bersyukur untuk sore itu. Di sampingku Putra merangkulku. Aku beruntung karena bisa bersamanya, berdua saja, walau untuk satu hari itu saja. Hanya untuk hari ini saja. Aku tidak akan meminta lebih pada Tuhan. Takkan lebih dari ini. Setelah matahari terbenam Putra akan kembali kepada Santi dan melanjutkan hidupnya.

Dan aku akan melanjutkan hidupku.

Segalanya akan baik-baik saja.

Kubuka mataku dengan perlahan. Di Barat matahati telah terbenam.

.
 
.

()


Surabaya, 3 Mei 2020.

HANYA UNTUK HARI INI.


Catatan Penulis: 

Cerita ini ditulis berdasarkan lirik lagu Only Today milik AKB48. Walau lagunya ceria tapi dulu saya sering galau kalo dengerin lagu ini, haha. Dan karena Ibu saya dulu sekolah di SMA Muhammadiyah, yah, sedikit banyak saya diceritain soal masa putih abu-abunya. Sebagian inspirasinya datang dari sana juga.

Semoga cerita ini menghibur (atau nggak) :D

Trims sudah mampir guys. Mohon kritik & sarannya.

Salam hangat,

Beda Prasetia Aditama.

6 komentar:

  1. Cara pandang anda terhadap agama bukan terdengar seperti muhamadiyah tetapi seperti nahdlatul ulama, saya senang membaca tulisan anda😄

    BalasHapus
  2. Keren gaya penulisan dan alur ceritanya.. mks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak Kangsol sudah mampir. . Jangan kapok ya

      Hapus
  3. Sangat suka dengan cara pandang mas nya terhadap agama lain.
    Dan untuk ceritanya, sangat menghibur, gaya bahasanya sangat memanjakan pembaca sampe betah ngikutin sampe akhir cerita.
    Semangat untuk terus berkarya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak kak Ardianto untuk feedbacknya, tunggu cerita berikutnya ya!

      Hapus