17 Agustus 2020

Kepada Pak Guru (Andrea Bustomi)

Author's note: cerpen ini sebelumnya kukirimkan pada kak Diyan (@nurdiyansah) untuk coba didorong ke media, tapi tulisan ini dirasa terlalu panjang (dan terlalu pribadi) dan karena saya belum punya waktu utk bikin versi pendeknya, biar tulisan aslinya saya post dulu di blog biar ada yg baca. Supaya nggak jamuran juga, hehehe.

Salam,

Anton E. Aditama


****



Kepada Pak Guru (Andrea Bustomi)

.
.

Di sekolahku, di Jalan Pemuda, ada seorang guru muda yang mengajar matematika untuk sekolah menengah atas. Sudah jadi rahasia umum kalau aku sangat bodoh dalam mata pelajaran ini, karena itu aku sangat membencinya. Matematika terlalu rumit untuk otakku yang suka dipenuhi halusinasi. Otakku sering memikirkan skenario yang aku tahu takkan pernah terjadi di hidupku sampai kapanpun. Misalnya, aku sering membayangkan kalau aku sedang berada di panggung besar, menerima penghargaan karena telah melakukan suatu hal mulia untuk umat manusia. Aku juga sering bermimpi kalau aku memenangkan sebuah perlombaan yang di dunia nyata takkan pernah kuikuti, seperti kejuaraan anggar atau turnamen catur internasional dan dipuji-puji orang karenanya. Betapa narsisnya aku.

Tapi tidak apa-apa sih. Bermimpi kan gratis. Lagipula berangan-angan adalah tanda kalau diriku waras.

Namaku Jipan. Aku sekarang duduk di kelas dua belas. Ini tahun terakhirku di SLTA. Hanya perlu setahun lagi bagiku untuk berhadapan dengan neraka bernama matematika, setelah itu aku akan bebas, akhirnya! Walau kupikir aku akan senang lepas dari neraka ini, tapi sepertinya aku bakal sedih juga, karena tiba-tiba saja aku dapat guru yang becus mengajar.

Saat naik kelas tiga, aku tidak berharap kalau aku bakal bertemu guru matematika yang bernama Andrea Bustomi. Pak Tomi ini sebenarnya guru yang sangat biasa. Dia seorang guru muda lulusan universitas negeri di jalan bawah Kaliurang, yang sampai hari ini masih bungkam soal kasus perkosaan yang terjadi di institusinya. Pak Tomi mulai mengajar kira-kira empat tahun lalu, setahun sebelum aku masuk SMA.

Dulu aku tidak pernah paham. Sebetulnya, apa sih gunanya belajar matematika? Maksudku, matematika memang perlu sesekali, tapi seberapa sering di dunia nyata kita perlu mengukur luas tabung, atau ukuran volume limas? Mengapa aku harus terus-terusan dihantui pertanyaan 'berapa harga semangka per kilo' di soal matematika? Seberapa penting aljabar digunakan di kehidupan sehari-hari coba. . barangkali malah tidak pernah. 

Kalau jawaban menurut Pak Tomi sih, belajar matematika perlu agar kita terbiasa menggunakan otak kiri. Otak kiri ini mengatur cara berpikir satu arah yang detail dan sistematis. Kita diharapkan untuk berpikir rasional.

Wah, pantas saja aku benci matematika. Aku terlalu sering berkhayal dan tidak suka berkonsentrasi. Tapi karena ini tahun terakhirku, aku bertekad mendapatkan nilai matematika yang sempurna. Minimal diatas rata-rata lah. Dan beruntungnya, di tahun terakhirku, aku mendapat guru yang bisa diandalkan.

Pak Tomi sangat tenang saat mengajar. Ngomongnya jelas. Ia tidak menyebalkan seperti guru-guru yang lain. Pak Tomi tidak sering curhat tanpa alasan. Pak Tomi tidak membuat muridnya bosan dengan cerita panjang bertele-tele soal betapa bangganya ia dengan anak pertamanya yang telah lulus sarjana dan menjadi orang sukses, karena Pak Tomi belum menikah dan belum punya anak. Pak Tomi tidak berjualan seprei di kelas. Ia juga tidak menyombongkan kalau dirinya pernah menang olimpiade matematika nasional saat sekolah dulu, walau guru lain sering menggembar-gemborkan kalau mereka adalah lulusan terbaik dari almamater mereka.

Tapi bukan berarti Pak Tomi tanpa cela. Gaya pakaian dan rambutnya sangat ketinggalan jaman. Orang mungkin akan mengira ia sama tuanya dengan guru lain. Padahal umurnya baru dua puluh sembilan tahun. Yang paling parah dari semuanya, mungkin, Pak Tomi memakai kacamata gagang kawat berlensa tebal model kuno. Guru-guru lain saja sudah tidak memakai kacamata model itu. Pak Tomi kalah beken dengan guru-guru lain yang berpenampilan necis dan kekinian. Ia kelewat sederhana, nyaris dibawah standar.

Tapi entah kenapa aku menyukainya. Pak Tomi menjadi dirinya yang sebenarnya. Ia kelihatan dewasa sebelum umurnya. Pak Tomi barangkali sepantaran dengan kakak sepupuku, yang bulan lalu menikah dengan pacarnya. Pak Tomi belum lama mengajar, tak lebih dari empat tahun,  tapi ia punya kesabaran seperti guru-guru lain, yang telah mengajar selama puluhan tahun. Menghadapi ratusan murid sekolah menengah yang sebagian besar bersikap kurang ajar bukan hal mudah. Aku salut dengan Pak Tomi, dan guru-guru lain.



Berimajinasi memang menyenangkan, tapi belakangan aku merasa. . berpikir logis itu lebih menenangkan jiwa. Akhir-akhir ini aku mencoba berpikiran logis. Aku mencoba memperdalam belajarku soal matematika dan berkonsentrasi keras.

Ada satu hal yang lebih sulit dari berkonsentrasi dan mengerjakan ulangan matematika. Karena aku seorang remaja delapan belas tahun, sulit bagiku untuk mengontrol libidoku di kelas. Karena meningkatnya hormon testosteron dalam tubuhku, aku jadi gampang terangsang. Aku menonton video porno diam-diam, untuk menyalurkan hasratku.

Tadinya aku tidak tahu kalau aku biseksual. Titik balik dari penemuan jati diri ini adalah saat aku mimpi basah berhubungan seks dengan pria. Ini agak membingungkan awalnya, karena aku pada dasarnya seorang pria juga. Aku semakin sadar kalau aku lebih sering memerhatikan teman cowokku alih-alih teman cewek di kelas. Ini sudah berlangsung lama, tapi aku sering menahannya. Karena ajaran agamaku, aku merasa ini adalah hal yang salah. Tidak seharusnya laki-laki terangsang pada laki-laki juga. Aku berpikiran bahwa jika aku melawan hasratku cukup keras, aku akan bisa mengubah diriku akhirnya. Tetapi malah tidak bisa. 

Aku tahu aku masih menyukai perempuan, karena aku pernah berhubungan seks dengan mantan pacarku. Dia seorang gadis dari kelas lain. Ia memutuskanku awal tahun ajaran lalu, dan berkata bahwa ia ingin fokus belajar. Aku sedikit banyak mengerti posisinya. Ini tahun terakhir kami di SMA. Hidup tidak melulu soal kenakalan remaja. Kami harus belajar menjadi orang yang bertanggung jawab. Kami telah akil baligh. Kami harus bisa bersikap dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan.

Akan tetapi, pada akhirnya, aku hanyalah seorang remaja delapan belas tahun yang blo'on dan sembrono. Aku tidak kuasa atas perasaanku. Walau sudah lama kutepis perasaan terlarang ini, aku lebih suka terangsang oleh teman laki-lakiku saat mereka berganti pakaian pada pelajaran olahraga. Walau aku mencoba membayangkan lekuk tubuh perempuan dalam fantasiku, aku tidak bisa memungkiri bahwa tubuh telanjang laki-laki sama erotisnya dengan tubuh telanjang perempuan. Aku terus menerus merasa ketakutan, merasa bersalah. Walau aku sebenarnya ingin menikmatinya, mencuri pandang pada teman-temanku itu, hidupku tidak tenang. Aku takut orang akan menyadari tindakanku dan menangkap basah diriku. Aku ingin merasa nyaman, tapi aku malah tertekan.

Karena tidak tahan akhirnya, aku langsung menceritakan ini pada orangtuaku, aku berkata sejujur-jujurnya, dan mereka membawaku pada seorang psikolog keluarga. Barangkali, ini adalah salah satu tindakan benar dan paling berani yang kulakukan sebagai remaja. Ini adalah titik balik paling penting dalam kehidupan remajaku.

Yang melegakan adalah, psikolog itu menjelaskan kepadaku dan keluargaku kalau kondisiku ternyata hal yang lumrah dan normal. Biseksual tidak bisa dikategorikan sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan. WHO sudah lama menghapusnya, sekitar dua dekade lalu. Psikolog itu membantuku menerima diriku. Aku sudah tidak lagi menemuinya sejak konseling terakhir kami berbulan-bulan lalu. Aku sudah nyaman dengan diriku yang sebenarnya. Aku sudah menerima kalau diriku biseksual.

Tiba-tiba aku merasa sangat lega. Ternyata yang kurasakan normal. Beban besar seolah diangkat dariku. Hal bagus lain adalah, setelah mendengar penuturan psikolog itu, orangtuaku menjadi suportif. Mereka berkata kepadaku kalau seandainya aku punya pacar laki-laki, aku tidak perlu sungkan mengenalkannya pada mereka. Ayah dan ibuku jadi lebih memerhatikanku, aku merasa aman dan diterima dalam keluargaku sebagai anak mereka. Saudara-saudaraku juga menerimaku. Aku merasa luarbiasa senang.

Aku tahu, apa yang kumiliki ini adalah sebuah privilese. Tidak semua anak punya orangtua pengertian. Ada anak yang diusir dari rumah oleh orangtua mereka, karena keadaan mereka kurang lebih sama sepertiku. Para orang tua ini denial. Jika ada orang tua yang membaca ini, kuharap mereka bisa mencontoh orangtuaku.

Aku sering membaca kisah sedih di internet, dan yang meremukkan hati adalah kisah-kisah ini nyata adanya. Anak-anak sepertiku, laki-laki dan perempuan, dikucilkan dan dihajar di keluarga mereka sendiri karena kondisi mereka yang berbeda, tidak seperti remaja pada umumnya. Kebanyakan dari mereka adalah transpuan atau transpria. Orangtua mereka tidak terima kalau anak mereka berubah menjadi 'banci' atau 'wandu'. Para orang tua ini hanya tidak paham dengan kondisi anak mereka.

Yang lebih parah adalah, orang-orang itu mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, bukan untuk memperdalam ilmu agama, tapi dengan harapan agar anak-anak mereka "sembuh". Seolah dengan begitu akan menyelesaikan masalah, padahal persoalannya tidak sesederhana itu. Miris kalau mereka mengira mereka bisa menyembuhkan anak mereka. Anak-anak itu tidaklah sakit. Tidak ada kata sembuh atau "kembali normal" untuk mereka.

Mereka hanya berbeda. Berbeda bukan berarti tidak normal.

Baru-baru ini, seorang teman bercerita padaku bahwa ia ingin bunuh diri. Lila dikirim orang tuanya ke pesantren gara-gara ketahuan kalau dirinya lesbian. Dari surat yang dialamatkan padaku (dia dilarang memakai handphone) Lila bercerita kalau ia sudah tidak tahan lagi berada disana. Ia tidak diizinkan mengakses internet atau media sosial. Lila menjalani rukiyah setiap harinya secara bertahap, tapi ia berkata bahwa kondisinya sama sekali tidak berubah sejak ia mulai menjalani terapi itu. Anak itu merasa gagal. Ia merasa jijik dengan dirinya. Aku hanya bisa meyakinkannya untuk bertahan semampunya, walau Lila bilang ia tidak pantas hidup. Ia berkata bahwa ia tidak cukup berbakti pada orangtuanya. Lila berkata dirinya adalah aib keluarga. Kuyakinkan dia dalam surat balasanku bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya, bahwa dia normal dan berharga. Tidak seharusnya dia ada di pesantren itu, kecuali dia ingin belajar agama. Aku berjanji padanya bahwa ia akan melewati masa-masa itu. Kondisi ini membuatku gemas karena aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku ingin menangis kalau membaca suratnya.

Sekali lagi, jika ada orang tua yang membaca ini, aku sangat berharap kalian menerima keadaan anak kalian apa adanya. Anak kalian bisa saja berbohong di depan kalian, berpura-pura menjadi "normal" demi menyenangkan kalian. Dalam hatinya ia telah lama tertekan. Kalian takkan pernah tahu beban apa yang ditanggungnya. Ia memakai topeng hanya agar kalian tidak merasa jadi orangtua yang gagal dan menganggapnya normal, sementara dia sendiri menderita dan hancur.

Bukan gay, lesbian, biseksual atau transgender yang menghancurkan masa depan anak kalian. Tapi penolakan orang-orang, terutama penolakan orang tua-lah, yang menghambat jalan hidup mereka. Anak-anak ini terus memikirkan penolakan demi penolakan yang akan mereka hadapi, selama bertahun-tahun hidup mereka. Disaat seharusnya yang mereka cemaskan hanyalah nilai ujian dan PR-PR dari sekolah, mereka menanggung beban karena berbohong pada diri mereka sendiri soal jati diri mereka. Jika mereka mencoba jujur, orang akan mengganggap mereka anak yang aneh dan kelainan,  atau salah pergaulan. 

Bagi sebagian orang, penerimaan yang layak didapatkan setiap anak begitu sulit diberikan, karena prejudis yang berlebihan dan kurangnya pengetahuan. Orang akan menganggap anak-anak remaja yang gay, lesbian, biseksual atau trasngender sebagai sesuatu yang menjijikkan, seperti kotoran sapi. Atau mungkin lebih hina. Diskriminasi justru datang dari keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman. Para orangtua tidak memahami bahwa anak-anak ini normal. Mereka tidak memahami bahwa anak-anak gay atau lesbian ini hanyalah anak-anak biasa pada umumnya.

Kadang aku merasa ingin marah. Aku bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman tanpa gangguan apapun. Tanpa hinaan atau tatapan tajam dari siapapun. Tanpa siraman air panas atau lemparan setrika. Tanpa tangan kasar yang menampar dan menjambakku karena aku seorang laki-laki yang menyukai laki-laki sekaligus perempuan.  

Jika aku berada dalam masalah orangtuaku akan menenangkanku. Mereka akan berkata "Kita hadapi sama-sama ya mas." sementara mereka mengelus pundakku. Orangtuaku begitu suportif. Yang lain tidak begitu beruntung.

Setelah mengakhiri hari yang lain dengan mendengar penderitaan orang, aku merasa bersyukur atas hidup yang kuterima. Walau doa tidak banyak membantu, aku sering berdoa untuk orang-orang tak kukenal di luar sana, yang hidupnya menderita karena ekspresi gender mereka atau orientasi seksual mereka. Aku merasa beruntung, betul. Aku ingin bisa membantu orang-orang di luar sana dengan apa yang kupunya, dengan apapun yang bisa kulakukan. Aku akan terus menyuarakan hak-hak mereka, agar mereka bisa mendapatkan penerimaan dan ketenangan hidup sepertiku.

Di tempat tidur, aku merenung panjang. Malam itu aku bertekad untuk membantu orang sepertiku yang menderita bagaimanapun caranya, sebelum jatuh terlelap.

.

Sebelum aku bisa menyelamatkan dunia dengan kepahlawananku yang tidak seberapa, terlebih dahulu aku harus mengerjakan PR matematika. Aku biasa mengerjakan PR-ku di sekolah, diantara jam pelajaran, mepet tenggat waktu seperti teman-temanku yang lain. 

Kami menyukai adrenalin. Kami suka perasaan tergesa-gesa pada jam-jam menegangkan sebelum sekolah dimulai. Sebagian dari temanku sengaja tidak mengerjakan PR hanya agar mereka dimarahi. Mereka senang dibentak-bentak. Anak-anak ini menikmati saat-saat guru berteriak dengan ludah muncrat kemana-mana, sementara mereka malah sengaja cekikikan untuk memancing emosi. Benar-benar kurang ajar. Saat jam istirahat anak-anak itu akan menirukan mimik guru-guru yang marah itu, sambil berdiri diatas meja, tertawa-tawa. Beberapa anak memang suka mencari gara-gara. Mereka yang berjiwa rebel, pelanggar peraturan nomor satu. Tukang tidur di kelas. Pulang sebelum waktunya.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman-temanku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Barangkali mereka perlu melepas stres.

Hidup kami terlalu banyak PR. Saking banyaknya, kami tidak bisa lagi hanya mengerjakannya di sela-sela jam istirahat atau pagi hari sebelum pelajaran. Saat mapel Biologi, alih-alih menyalin catatan teks anatomi tubuh manusia, kami akan mengerjakan PR Sejarah, dan saat pelajaran Sejarah, yang sampai  minggu lalu membahas Eropa pada Abad Pertengahan (kami diharuskan membaca buku setebal tiga ratus halaman yang luarbiasa membosankan) kami akan mengerjakan PR Bahasa Inggris. Hanya sedikit guru yang mau mendengarkan (atau malah tidak ada) bahwa memberi PR tidak akan membuat kami rajin belajar, karena kami tetap saja akan mengerjakan PR itu di sekolah. Siapa yang bebal, sebetulnya? Selain murid-murid top yang langganan juara kelas, mustahil ada murid yang mengerjakan PR mereka di rumah. Sungguh naif jika para guru berpikir kami tidak punya kehidupan selain sekolah. Kami adalah anak muda. Kami perlu bersenang-senang.

Belum lagi pelajaran Matematika. Setidaknya pelajaran itu tidak separah tahun-tahun terdahulu.

Jika sebelum ini satu-satunya hal yang kusukai dari matematika adalah guru yang mengajar (yakni Pak Tomi) kini pelan-pelan aku mulai menyukai mapel satu ini. Gara-gara Pak Tomi juga. Dia tidak pernah memberi kami banyak PR, untungnya. Dia juga tidak gemar marah-marah. Kami memasuki bab baru sebelum ujian semester.

"Banyak guru yang mengatakan bahwa matematika itu mudah. Memang benar. Tapi untuk matematika menjadi mudah, orang harus paham dulu. Ini yang agak susah. . membuat orang paham dengan konsep matematika. Terlalu banyak guru meremehkan murid mereka dengan mengatakan "Matematika itu mudah", tapi mereka lupa, bahwa hal paling mudah sekalipun bisa menjadi sulit kalau kau tidak tahu cara menyelesaikannya. Matematika itu sulit. Tapi bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Matematika hanyalah mengenai kumpulan masalah dan cara penyelesaiannya."

Pak Tomi memulai pelajaran pagi itu. Biasanya dia memilih murid paling bodoh di kelas untuk sekadar ditanyai atau untuk disuruh mengerjakan soal matematika ke depan kelas. Aku yang paling sering jadi sasaran.

"Givan, katakan padaku mengapa matematika relevan untuk kehidupan nyata?" Pak Tomi mendadak melempar tanya padaku. Aku mengulang jawaban yang diberikan guru itu berminggu-minggu lalu,

"Karena matematika adalah representasi kehidupan kita. Hidup adalah kumpulan masalah, dan matematika adalah cara penyelesaiannya. Matematika adalah ilmu logika. Untuk menyelesaikan suatu masalah, kita perlu logika. Matematika adalah cara yang ampuh untuk melatih logika kita."

"Bagus, kau masih ingat." Pak Tomi memujiku. Aku mencoba untuk tidak besar kepala. "Nah, karena kita memasuki bab baru, sebelum itu aku ingin kalian mengulang semua materi yang telah kita pelajari semester ini. . "

Aku hanyut dalam lamunan. Sementara mengambil penggaris dan mulai membuka materi yang kupelajari semester itu, mau tidak mau aku jadi teringat setiap pelajaranku dengan Pak Tomi yang dulu.

Akan kuceritakan padamu sebuah rahasia. Mungkin kau sudah tahu aku biseksual sekarang. . tapi kau belum tahu siapa yang menjadi subjek fantasiku. Biar aku tidak terus kepikiran, aku akan mengatakannya padamu, tapi tolong jangan menghakimiku. . karena orang itu sebenarnya adalah pak guruku sendiri.

Dia adalah Pak Andrea Bustomi.

Aku sering membayangkan saat ruangan kelasku kosong. Hanya ada aku dengan guru itu.

Aku membayangkan Pak Tomi menindihku di mejanya. Ia akan melucuti pakaianku, dan memasukkan kemaluannya yang besar dan berkedut dalam lubang belakangku. Ini imajinasi yang terlalu liar, tapi begitulah yang sering kupikirkan. Maaf jika ini agak vulgar, tapi aku ingin bercerita sejujurnya. Aku sering tegang dan terangsang sendiri jika membayangkannya.

Aku menyalahkan hormon remajaku karena memikirkan hal-hal seperti ini. Sebisa mungkin aku menahan diriku dan bersikap hormat pada Pak Tomi. Kadang-kadang aku merasa bersalah karena membayangkan hal-hal tidak pantas.

Mengapa Pak Tomi sangat menggairahkan? Aku tidak habis pikir karenanya. Aku sering tidak bisa berkonsentrasi. Aku membayangkan tangannya yang memegang spidol menjambakku sementara tubuhku dihimpit ke papan tulis. Ia akan membisikkan kata-kata romantis sementara memelukku dari belakang.

Aku bukan predator atau pemerkosa. Aku boleh saja terangsang, tapi aku tidak bisa sembarangan melampiaskannya. Aku selalu belajar kontrol diri, dalam hal apapun. Dan untungnya aku selalu berhasil, walau celana dalamku sering menjadi basah.

Ada satu momen membahagiakan dengan Pak Tomi, salah satu saat langka dimana aku tidak berpikir jorok atau kurang ajar di kelas. Kejadiannya minggu lalu. Suatu hari Pak Tomi mengajar kami lebih lama karena hari itu guru Seni Musik sedang cuti sakit. Pak Tomi yang sedang piket mengisi jam kosong menggantikan Pak Budi yang biasa mengajar.

Ia meminta anak-anak di kelas menyanyikan lagu pilihan mereka, diiringi Pak Tomi yang ternyata pandai memainkan keyboard. Semua anak lain menyanyikan lagu luar negeri berbahasa Inggris yang sedang nge-hits. Sedangkan aku, saat giliranku tiba aku membawakan salah satu lagu kesukaanku, Dareka no Tame ni

Aku bernyanyi dengan menahan napas, suaraku tidak begitu bagus, tapi aku merasa percaya diri.

"Kutahu bahwa Tuhan selalu senantiasa. . memperhatikan seluruh umat manusia
Ia adil dan adil mengasihi semua orang tanpa terkecuali. . 
Dari hari saat ku dilahirkan sampai sekarang
Kehangatan yang bagai sinar matahari menyelimuti dengan lembutnya. . 
Demi seseoranglah, kita hidup dunia 
Apakah sekiranya yang dapat kulakukan?"

Aku mengingatnya dengan jelas. Saat aku bernyanyi, semua orang diam dan mendengarkan. Sinar matahari pukul tiga sore menyirami seisi kelas. Ketika aku mengakhiri lagu itu, dengan lembut Pak Tomi menekan tuts keyboard dengan jari-jarinya, menghasilkan melodi yang indah.

"Daripada hanya melihat berita perang yang sedih. . Agar suaraku tersampaikan, aku kan terus bernyanyi. . "

Di akhir kelas, aku sengaja berlama-lama mengemasi tasku. Setelah ketua kelas memimpin doa dan memberi salam pada guru, semua murid bubar. Aku masih tinggal untuk menali ulang simpul sepatuku, tidak ikut yang lain antri keluar kelas. Seperti yang kuharapkan, Pak Tomi memanggilku untuk membantunya.

"Van, bisa kau bantu aku bawakan keyboard ini ke ruang guru?"

"Baik, Pak." Aku langsung mengiyakan. Pak Tomi mengajakku ngobrol sementara kami berjalan kesana.

"Lagu yang bagus. Suaramu juga bagus. Siapa penyanyi aslinya?" Pak Tomi memujiku. Aku merasa kedua sisi wajahku panas. Warna merah menjalar hingga ke belakang telingaku, tapi Pak Tomi tidak memerhatikannya.

"JKT48. Mereka menyadurnya dari AKB48." Aku menjawab.

"Oh, kau penggemar mereka?"

"Bukan, kakak saya. Saya hanya kebetulan menyukai lagunya."

Pak Tomi mengangguk-angguk. Aku menyambung obrolan itu.

"Kakak saya punya DVD teaternya jika Bapak ingin melihat." kataku. Guru matematika itu berpikir sebentar.

"Baiklah." Pak Tomi menjawab pernyataanku saat ia masuk melewati pintu. Kami sampai di ruang guru tidak lama kemudian. Tidak ada siapa-siapa di sana.

"Sampai sini saja," pintanya.

Aku menolak.

"Biar saya yang menaruhnya," 

Aku beringsut menuju ruang inventaris. Anak kelas tiga biasa masuk kesini untuk meminjam alat musik jika ingin bermain band. Aku membuka kunci ke ruang inventaris dan menaruh keyboard yang kubawa disana. Setelahnya aku menyerahkan kunci ruang inventaris pada Pak Tomi, tapi tidak langsung pergi. Aku tidak ingin beranjak dari ruang guru, belum setidaknya. Aku ingin berlama-lama disana. Tidak setiap hari aku bisa berdua saja dengan Pak Tomi seperti sekarang ini.

"Terima kasih, Givan." Pak Tomi mengungkapkan syukurnya. Mungkin itu caranya mengusirku, tapi aku tidak beranjak. Alih-alih aku menginisiasi obrolan.

"Saya tidak tahu Anda mahir bermain keyboard." kataku. Pak Tomi mendongak dari mejanya.

"Tidak juga. Skill yang tadi itu sebenarnya pas-pasan. Pak Budi jauh lebih mahir." Ia merendah. Aku mengabaikan yang terakhir.

"Siapa penyanyi kesukaan Bapak?" tanyaku kemudian.

"Taylor Swift." Pak Tomi menjawab, di luar dugaan. Kupikir ia akan menjawab Vina Panduwinata, atau Titiek Puspa, tapi ternyata diriku salah.

"Ah, saya nggak mendengarkan lagu-lagunya." kataku

Pak Tomi mengerutkan dahi. "Kenapa tidak?"

"Karena semua orang lain sudah mendengarkannya." Aku menjawab.

Guru itu menaikkan alis. "Kenapa kau berpikir begitu?"

"Harus ada yang berbeda, 'kan? Kata seorang guru, jika kau tidak bisa jadi yang terbaik. . jadilah berbeda."

Pak Tomi tersenyum, nyaris seperti menahan tawa. Ia menunjukku. "Sini,"

Aku merasa deg-degan. Aku beringsut mendekatinya.


Dari dekat, Pak Tomi kelihatan sangat tampan, bahkan dengan setelan kuno-nya yang sekarang. Karena ruangan yang kosong, aku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Tapi kuusir bayangan itu jauh-jauh. Kutanamkan dalam benakku bahwa Pak Tomi adalah guru, dan aku harus menghormatinya, bahkan dalam pikiranku.

Pak Tomi menatapku dengan tatapan yang hangat. Ia masih memakai kacamata yang sama. Aku bertanya-tanya, apa yang dipikirkan oleh guru muda sepertinya soal diriku? Adakah Pak Tomi teringat dengan masa mudanya saat sekolah dulu? Adakah Pak Tomi menganggapku murid menyebalkan yang suka cari perhatian? Jujur aku takut Pak Tomi menganggapku begitu. Aku hanya ingin bersamanya. Tidak lebih sebagai seorang murid yang mengagumi gurunya. Tapi dari gelagatnya, Pak Tomi sepertinya tidak pernah pura-pura bersikap ramah, atau menyembunyikan rasa jijik yang diam-diam disembunyikan banyak guru pada muridnya. Ini terlihat dari ekspresi mereka. Pak Tomi selalu kelihatan tulus, dan mengayomi. Karena itulah aku menyukainya. Selain parasnya yang rupawan bagiku.

Setelah satu menit berlalu yang terasa seabad, Pak Tomi memberiku nasehat yang barangkali akan berguna bagiku. Mungkin itu yang dipikirkannya saat mengatakan;

"Kau tahu. . Aku senang kau menjadi dirimu. Tapi kalau aku boleh memberimu saran. . jangan terlalu kaku, oke? Jangan batasi dirimu. Kau murid yang berbakat, seperti halnya semua temanmu. Bacalah sebanyak mungkin buku. Pelajari sebanyak mungkin ilmu. Dengarkan sebanyak mungkin musik. Lihatlah sebanyak mungkin film. Dengan begitu kau akan belajar. Begitulah yang kulakukan dulu."

"Dengan mencoba banyak hal, kau akan tahu apa yang kau suka dan apa yang tidak kau suka. . begitulah caranya kau menemukan dirimu yang sebenarnya. Masa remaja adalah masa pencarian. Kau akan menemukan alasan kenapa kau ada di dunia. . Kau akan menemukan banyak masalah, tapi kau akan bertahan. Kau akan membuat banyak kesalahan, tapi kau akan belajar."

Pak Tomi menepuk pundakku. Dengan senyumnya yang menawan ia mengucapkan kalimatnya yang terakhir,

"Masa remaja itu keras. Dengarkanlah musik, begitulah caraku dulu bertahan. Coba dengarkan Taylor Swift. Lagu-lagunya bagus. Cocok untuk anak muda sepertimu."

Aku terdiam lama. Aku merasa terbius oleh kata-kata Pak Tomi. Omongannya terdengar lebih nyata dari kebanyakan pidato atau kata-kata motivasi yang pernah kudengar. Aku tidak bisa tidak setuju dengannya.

"Baik, akan saya dengarkan."

Siang itu aku mampir pusat perbelanjaan dan menuju toko kaset CD dan DVD. Aku menemukan CD Taylor Swift di bagian rak tengah, dipajang diantara CD Jessie J dan Rihanna. Saat di rumah aku mendengarkan CD itu. Beberapa lagu terdengar familiar, mungkin aku sudah pernah mendengarnya disetel oramg lain atau digunakan untuk iklan. 

Menepati janjiku seminggu lalu, hari ini aku membawakan CD Flying Get yang kupinjam dari kakakku dan membawanya pada Pak Tomi. Di akhir pelajaran saat jam istirahat aku menuju ruang guru. Ia sedang menyesap kopi saat aku ke mejanya.

"Saya sudah membeli CD Taylor Swift, lagunya memang bagus. Saya menyukai beberapa diantaranya. Terima kasih," kataku langsung. 

Pak Tomi menerima CD dariku dan menaruhnya di laci mejanya.

"Aku masih punya beberapa CD Taylor Swift kalau kau mau meminjamnya. Mampirlah ke tempatku sore ini."

Dengan sangat antusias aku mengiyakan ajakan itu. Sisa pelajaran hari itu terasa sangat lama karena aku tidak sabar. Aku bolak-balik melihat jam, tapi benda itu seolah tidak bergerak. Ketika akhirnya bel pulang menggema di seluruh sekolah aku berlari menuju parkiran dengan langkah lebar.

Pak Tomi memboncengku di motornya. Kami meluncur berkendara di sepanjang jalan menuju Jalan Kidang, disitu Pak Tomi menyewa sebuah rumah kontrakan berhalaman luas yang ditempatinya sendirian. Aku senang karena Pak Tomi belum menikah. Aku merasa memiliki kesempatan. Pikiran narsisku berkata Pak Tomi barangkali menyukaiku juga. Karena jika tidak, untuk apa dia mengajakku ke rumahnya?

"Selamat datang, anggap saja rumah sendiri."

Aku tersenyum. Pak Tomi mempersilakanku duduk di sofa. Aku tidak langsung duduk, melainkan melihat-lihat. Rumah kontrakan Pak Tomi sangat minimalis. Ia hidup dengan sederhana. Selain meja kursi di ruang tamu, nyaris tidak ada perabotan lain yang biasa ditemui di rumah-rumah.

Pak Tomi menyeduh teh melati dan menaruh es batu dalam gelas sebelum membawanya kepadaku.

"Terima kasih, Pak Guru." Aku menerima gelas itu dan langsung meminumnya. Aku sedikit tersedak karena ternyata Pak Tomi tidak membubuhkan gula. Itu kali pertama aku minum teh tawar.

"Kalau di sini, panggil mas Andrea saja nggak apa-apa. Aku nggak sedang mengajar 'kan?"

Aku mengangguk paham. "Baik mas." kataku, merasa sedikit kaku, sebelum tertawa lepas. Saat itu mataku tertuju pada pemutar musik stereo lawas di rak milik Andrea (aneh memanggilnya begitu). Tentu saja dia punya benda itu, dia lahir di tahun sembilan puluhan.

"Darimana Anda mendapat ini?" Aku bertanya, untuk berbasa-basi.

"Aku membelinya dari pasar loak,"

"Masih baguskah kondisinya?"

"Coba saja."

Aku mengamati koleksi CD dan kaset milik Andrea. Aku memilih satu kaset Nike Ardilla dan menyetelnya. Aku girang luar biasa ketika mendengar suara keluar dari headset lawas pemutar musik itu. Kaset itu masih bisa diputar.

"Wah, masih nyala!" seruku. "Dulu ayah punya yang model seperti ini, tapi sudah lama rusak."

Andrea tersenyum. Ia mengerling pada koleksi CD album Taylor Swift. "Boleh dipinjam, asal dikembalikan." Aku mengangguk jahil, sambil menggaruk telingaku.

Sore itu Andrea memasak untuk kami berdua, telur orak-arik dan sayur bayam. Kami lanjut menonton film sampai larut malam. Aku merasa hal itu adalah saat paling membahagiakan dalam hidupku.

"Kau boleh menginap disini kalau tidak keberatan, besok pagi kuantarkan kau mengambil seragam sekolahmu." katanya.

"Benar? Terima kasih!" Aku langsung memeluknya. Aku melakukannya begitu saja. Sebelum aku sempat menyadari tindakanku, dan berpikir ulang seribu kali bahwa orang yang baru saja kupeluk adalah guruku sendiri, aku meminta maaf.

"Maaf, seharusnya saya minta izin terlebih dahulu. Saya boleh memeluk Anda 'kan?" tanyaku.

"Nggak masalah. Tentu saja." Andrea tersenyum, memaklumi. Aku melerai pelukan kami. Suasana menjadi sedikit canggung setelahnya, tapi aku bersikap bodoamat. Ia lalu berkonsentrasi pada film yang kami tonton. 

Aku masih memakai seragam sekolahku. Dari tempatku duduk, yang sangat dekat dengan Andrea, aku bisa merasakan panas tubuhnya. Saat itu lagu Born to Die milik Lana del Rey berputar memenuhi ruangan, dari pemutar musik yang dibiarkan menyala.

"Anda menyukai Lana del Rey juga?"

"Yeah, tidak semua lagunya. Hanya sebagian." Lagi-lagi guruku itu tersenyum. Aku terpesona dibuatnya.

Selama ini aku hanya mengenal Andrea sebagai Pak Tomi, guru matematika-ku yang tenang saat mengajar. Tidak banyak cincong. Ia selalu dikelilingi catatan soal rumus, dan murid-murid yang kebingungan tentang persamaan matematika. Baru sekarang aku melihatnya dengan pakaian santai. Ia kelihatan jauh lebih muda tanpa imej guru yang dengan susah payah coba dibangunnya.

Belakangan aku melihat sisi Andrea yang lain. Ia seorang Swiftie. Ia bisa bermain alat musik, dan di rumah ia adalah seorang lelaki yang tinggal sendirian tanpa siapa-siapa. Selama ini Pak Tomi selalu menghindari topik keluarga di sekolah, walau guru-guru lain suka menyebut-nyebut anak mereka atau kerabat keluaga mereka. Aku jadi sungkan bertanya padanya sekarang, karena tidak sebagai Pak Tomi atau Andrea, bagiku dia adalah orang yang sama saja. Aku hanya baru melihat sisi lain dirinya.

Kenapa, saat di rumah seperti sekarang, Andrea juga tidak menyinggung soal keluarganya? Sejak tadi aku ingin bertanya, tapi aku merasa itu adalah hal yang pribadi buatnya. Aku memutuskan untuk menghargai privasinya. Jika dia ingin bercerita soal keluarganya, dia sudah melakukannya dari dulu, pada jam-jam pelajaran seperti halnya guru-guru pada umumnya.

"Silakan lanjut menonton. Ada yang harus kukerjakan." kata Andrea tiba-tiba.

Dia beralih menuju sebuah meja kayu di sudut. Aku tidak ingin menganggunya, tapi aku tidak tahan untuk tidak ingin tahu yang dilakukannya. Sulit bagiku berkonsentrasi pada TV, saat Andrea ada di sudut lain ruangan.

"Apa yang sedang Anda lakukan?" tanyaku sepuluh menit kemudian, kulihat Andrea sedang berkutat dengan berbagai buku pelajaran tingkat sekolah menengah.

"Menyiapkan materi untuk pelajatan besok." katanya.

Tentu saja. Bagaimana aku lupa kalau dia adalah guru? Aku memberinya waktu untuk sendiri. Sebelum aku sempat mencapai ruang duduk tempat kami menonton film dari TV, Andrea berseru kepadaku.

"Kau tidak ada PR untuk dikerjakan?" tanyanya. Aku berhenti, merasa tertangkap basah.

"Sebetulnya ada." kataku nyengir, sedikit was-was. "Saya biasa mengerjakannya di sekolah." Aku berkata jujur, dengan perasaan malu yang kutahan.

"Sebaiknya kau kerjakan sekarang," katanya. Aku bisa mendengar nada memerintah seorang guru yang biasa kudengar saat di kelas, dan aku langsung diingatkan oleh sosoknya yang tegas pada saat-saat tertentu. Aku merasa terintimidasi.

Aku mengambil tas sekolah milikku.

"Jika saya perlu referensi tambahan, bisakah saya meminjam buku Anda?" tanyaku. Andrea memandang lewat tumpukan bukunya.

"Tentu boleh, tapi jika kau tidak tahu. . ada sebuah terobosan teknologi mesin pencarian daring bernama Google." katanya, menyindir.

"Oh, betul."

Aku duduk bersila di lantai, bertumpu pada meja tempatku meletakkan tas. Aku pura-pura mengerjakan PR-ku, karena sebetulnya aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku malah berkhayal, memandang punggung Andrea yang sedang sibuk dengan kegiatannya. Menit berikutnya aku bertanya-tanya, pernahkah aku jatuh cinta sebelumnya? 

Aku mungkin pernah pacaran, tapi pernahkah aku jatuh cinta? Aku tidak tahu apa definisi cinta yang sebenarnya. Apa nama perasaan indah yang kurasakan saat itu, saat aku menatap Andrea Bustomi, guru matematika-ku sendiri, yang bagi banyak orang sangat kuno dan ketinggalan jaman?

Aku memikirkan film romansa yang baru saja kami tonton. Si tokoh utama menyatakan perasaannya pada gadis yang disukainya, dan gadis itu menerimanya. Apa yang terjadi kalau Andrea tahu selama ini dia-lah yang mengisi kepalaku, hatiku, seluruh sel dalam tubuhku, pada jam-jam menyiksa pelajaran matematika?

Andrea Bustomi tidak pernah tahu, karena aku selalu menyimpan perasaanku. Aku selalu memandangnya sebagai guru, tidak lebih dari itu. Aku jarang memikirkan bahwa Andrea, seperti halnya diriku, punya kehidupan di luar sekolah. Apa yang terjadi kalau aku memberitahunya soal perasaanku?

Mungkin reaksinya tidak akan begitu buruk. Mungkin ia akan memaklumiku. Seharusnya aku tidak perlu merasa takut. Aku berjalan menuju Andrea, menatap punggungnya. Aku akan mencoba jujur padanya.

"Saya menyukai kacamata Anda." kataku tiba-tiba. Aku lalu mengatakan sesuatu yang lebih fatal, yang mungkin akan kusesali hari berikutnya.

"Maksudku, yang ingin saya katakan. . sebetulnya saya menyukai Anda."

Andrea berhenti dari kegiatannya. Ia menggeser kursinya dan menatapku serius.

"Suka dalam hal apa?" Andrea bertanya dengan nada hangatnya yang biasa.

"Saya menyukai Anda, seperti halnya Layonsari menyukai Jayaprana, seperti halnya Majnun menyukai Laila. . seperti halnya Juliet menyukai Romeo. . "

Aku lupa bahwa itu bukan film romansa. Aku lupa ini bukan novel roman picisan. Aku lupa bahwa kenyataan tidaklah sama dengan fantasi palsu dalam film. . aku merasa hancur berkeping-keping saat Andrea melepas kacamatanya dengan lelah, dan menatapku secara serius dari kursi yang didudukinya. 

"Maaf sekali. . tapi sebaiknya jangan," katanya. Kalimat itu meremukkan harapanku. 

"Kenapa? Anda risih?" tanyaku. Di suatu tempat di ruangan itu lagu Exile mengalun sedih, aku mendadak melankolis, terbawa suasana.

"Bukan begitu. . Kita tidak boleh. . "

"Kenapa, apakah Anda hanya menyukai perempuan?"

"Bukan itu."

"Lalu, kenapa tidak boleh? Apa karena alasan moral yang konyol?"

"Banyak alasan. Aku seorang guru. Lebih-lebih kau muridku sendiri."

"Anda hanya guru kalau di sekolah, apakah tempat ini terlihat seperti sekolah? Anda yang pertama menyarankan untuk jangan membawa-bawa profesi anda disini." Aku terus mendebat Andrea.

Ia berdiri sekarang. Sosoknya menjulang diatasku. Aku terus diingatkan bahwa aku sedang bicara dengan guruku sendiri.

"Tetap saja, ini salah. Aku jauh lebih tua darimu, kau tidak lebih dari tujuh belas tahun 'kan?" Andrea angkat bicara.

"Lalu? Umur saya delapan belas. Saya sudah dewasa." Obrolan itu lebih serius dan menegangkan dari yang kukira. 

"Memang, tapi belum sepenuhnya. Kau belum tahu benar siapa dirimu," Andrea menukas.

"Siapa diri saya, kalau begitu? Jika Anda lebih tahu?" tanyaku putus asa.

"Kau harus mencari tahunya sendiri."

"Mengapa Anda mengira saya tidak tahu apa-apa tentang diri saya? Saya tahu banyak hal, " suaraku tercekat sekarang, karena perasaan ingin menangis yang memenuhi tenggorokanku. Andrea kembali pada sosok guru-nya, yang biasa kutemui di sekolah. 

"Aku hanya tidak ingin memanfaatkanmu untuk kepentinganku," katanya diplomatis.

"Saya ingin Anda memanfaatkan saya, seperti yang biasa Anda lakukan di kelas matematika."

"Apa maksudmu?"

"Anda biasa menyuruh saya mengerjakan soal matematika, walau saya sangat membencinya, karena Anda menganggap saya murid paling bodoh di kelas. Entah apa maksud Anda, tapi saya tidak pernah keberatan."

"Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tahu apa bocah sepertimu? Kau masih bingung soal dirimu." Pak Tomi berkata dingin. Ia tidak terima aku menuduhnya dengan sebuah prasangka.

"Saya tidak bingung," kataku, tersinggung.

"Kau belum punya pendirian. Selama ini kau menurut saja saat kusuruh."

"Itu karena saya menghormati Anda." Aku berkata dengan patah hati, ". . karena saya menyukai Anda."

Aku sudah akan menangis, tapi kutahan air mataku dengan tidak berkedip.

"Kalau kau berkenan, aku akan pindah ke lain ruangan. Ada tugas yang harus kuperiksa." Andrea beranjak dari mejanya.

"Baik." kataku, "Saya juga tidak jadi menginap." Aku memberitahunya.

"Kau mau kemana? Jangan pulang sekarang, ini sudah malam." Ia berkata saat aku mulai mengemasi buku dan tas milikku.

"Lantas? Jangan perlakukan saya seperti anak kecil. Saya bisa pulang sendiri. Saya punya dua kaki, kalau Anda lupa. Saya terbiasa keluyuran sampai malam, Anda tidak perlu kuatir."

"Selamat beristirahat, Pak Guru. Maaf menganggu waktu Anda."

Aku pamit untuk pulang. Aku merasa patah hati. Aku baru saja ditolak guruku sendiri. Tapi aku tidak bisa bersedih lama-lama. Surat dari Lila datang saat aku di rumah, dan aku langsung membacanya. Surat itu singkat, dari tulisannya seolah surat itu ditulis dengan tergesa-gesa. Isinya sungguh tidak masuk akal,

Kau membawa pengaruh buruk buatku, Aku tidak ingin berteman dengan orang sepertimu. Aku sakit. Kau juga sakit, Givan. Orangtuaku benar. Semoga suatu hari kau berhenti membual. Terapiku sudah hampir berhasil, sebaiknya kita tidak usah berteman. Jangan mengangguku lagi

Kholila.


Aku benar-benar tidak habis pikir. Ada apa dengannya? Apakah Lila ditekan kedua orang tuanya untuk menulis surat itu? Mungkin saja. Aku tidak tahu apakah aku harus membalas suratnya. Tulisan itu membuatku merasa lebih buruk dari sebelumnya.

Aku semakin larut dalam kesedihanku. Aku bermaksud mendatangi ayah ibuku, sebelum aku teringat bahwa aku sudah delapan belas tahun. Aku harus menyelesaikan masalahku sendiri. Aku bukan lagi remaja labil yang harus terus-menerus dibimbing. Pskilog keluargaku sudah mengajariku cara untuk menjabarkan masalahku, emosi berlebihanku.

Masalah psikis seperti halnya luka yang harus dirawat. Ia tidak terlihat, tapi ia ada. Maka kubuka jurnalku. Kutulis apa yang membuatku paling sedih malam itu. Kujabarkan masalahku dengan detail, dan coba kucari solusinya.

Seharusnya aku tahu, aku tidak bisa mengharapkan Pak Tomi untuk membalas perasaanku. Lagipula, aku ini siapa? Aku tidak lebih dari muridnya yang berpikiran dangkal.

Aku mengesampingkan CD Taylor Swift dari Pak Tomi yang kubawa di tasku dan mencari dalam playlistku sebuah lagu yang kudengarkan jika merasa sedih, Stop Crying Your Heart Out milik Oasis, dan berangkat tidur.

Aku terbangun esok hari kemudian. Aku merasa tidak ingin sekolah. Tapi kucoba melawan perasaan itu. Aku tidak ingin bersikap manja. Jika Pak Tomi ingin aku bersikap dewasa, maka akan kubuktikan padanya. Pada diriku sendiri.

Aku datang ke sekolah tepat waktu. Kukerjakan PRku semuanya. Aku melewati pagi itu dengan tenang. Tapi saat bertemu Pak Tomi di koridor siang hari kemudian, ia mengacuhkanku. Di kelas ia juga berhenti menanyaiku dan berpura-pura aku tidak ada di sana. Padahal aku terus memerhatikannya. Aku mulai sedih lagi. Aku benci diabaikan olehnya.

Sepulang sekolah aku datang kepada ibuku, bukan karena ia seorang perempuan, tapi kupikir dia lebih mengerti soal hati. Tetap saja aku tidak bisa menyelesaikan masalahku. Kurasa selama orangtuaku ada, aku selalu bisa merepotkan mereka. Salah mereka-lah aku ada di dunia ini.

"Ibu bilang jika aku menyukai seseorang, aku tidak perlu sungkan mengatakannya. . . nah, aku ingin jujur pada Ibu. Aku menyukai guru matematikaku." Aku berkata dengan lugas.

Ibu berpikir lama. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah sebuah pertanyaan,

"Kau yakin?"

"Sangat yakin." Aku menjawab mantab.

"Er, seperti apa orangnya? Ibu tidak ingin menghakimimu. . tapi Ibu perlu tahu dulu."

"Ibu pernah melihatnya di sekolah. Dia laki-laki yang mengajar matematika. Umurnya dua puluh sembilan, hampir tiga puluh. Menurutku dia sangat tampan, walau orang lain bilang dia kelihatan tua sebelum umurnya. Menurut Ibu bagaimana?" 

"Bukannya aku meragukanmu, Ji. Tapi saat Ibu seumuran denganmu dulu, Ibu juga menyukai seseorang. Tapi perasaan itu cuma datang sementara, Ji. Harusnya kau tanya dirimu, jika kau yakin dengan perasaanmu, maka kau tidak perlu bertanya pada Ibu lagi."

"Menurut Ibu, aku harus mengapakan perasaan ini?" 

"Apa gurumu tahu?" Dia balik bertanya.

"Yeah, aku memberitahunya, tapi dia menolaknya."

"Tentu saja dia menolakmu. Baginya kau pasti hanyalah bocah. Saran Ibu, kau fokuslah belajar dulu. Fokus pada kelulusanmu dan pendidikanmu. Tunggu selama setahun kedepan. Jika perasaanmu padanya masih bertahan, nyata adanya, maka perjuangkanlah. Saat itu kau bukan lagi muridnya, kau sudah benar dewasa dan kau mulai bisa mengajaknya kencan, kalau dia mau. Kalau dia menolakmu, jangan memaksanya. Carilah orang lain."

Aku mengangguk mendengar jawaban Ibuku. Jawabannya sangat masuk akal. Ia selalu bisa diandalkan. Aku memberitahu hal lain yang membuatku resah.

"Ada masalah lain. Yang ini lebih mendesak." Kuceritakan soal Lila dan keluarganya. Aku ingin menemuinya.

Aku mencari nomor telepon pondok pesantren tempat Lila berada lewat data dari google maps. Lalu kuminta Ibuku menelepon pondok pesantren itu dan mengaku sebagai bibi Lila. Saat telepon itu tersambung, aku langsung merebutnya.

"Halo? Lila? Ini aku!" Aku berkata dengan menggebu. Di seberang telepon Lila terpekik.

"Jipan? Aku nggak nyangka. ." Ia berkata, "Astaga. . Kupikir siapa,"

"Gimana keadaanmu?" Aku bertanya menyambar, dan aku senang ia kedengarannya tidak apa-apa. Tapi ia malah meminta maaf. Lila agak memelankan suaranya, sepertinya percakapan telepon itu diawasi.

"Maaf soal suratmu. Orangtuaku tahu kita bertukar surat, mereka memaksaku menulis yang terakhir itu, dan mereka juga yang mengirimkan lewat pos."

 Ternyata benar dugaanku.

"Terima kasih untuk suratmu yang terakhir. Aku bakal bertahan dulu, aku akan berpura-pura jadi cewek heteroseksual, mereka takkan tahu." Lila berkata berbisik.

"Kenapa kau kedengaran bahagia?" Aku curiga dia bersenang-senang sendirian, ada hal yang tidak kuketahui yang tidak bisa dituliskannya dalam suratnya yang terakhir. Aku bisa mendengar nada geli dalam suaranya saat ia bilang,

"Well. . sekarang aku punya pacar, di pesantren."

"NGGAK MUNGKIN," Aku berteriak dengan sembrono,

"Pelankan suaramu," Lila berkata dari seberang telepon. Ia tidak menggubrisku.

"Sehari setelah suratmu tiba itu, ada orang lain yang masuk pesantren. Namanya Hasna. Orang tuanya menitipkan dia ke pesantren untuk 'diobati' juga, sama sepertiku. Singkatnya kami sepakat berpura-pura bahwa kami sembuh. Saat ada guru bersama-sama kami berteriak "homo laknat!" tapi diam-diam kami saling menyemangati kalau tidak ada yang melihat. Kami merasa cocok, dan kami pacaran sekarang."

Aku ingin tertawa, tapi aku menahannya.

"Syukurlah kalau begitu. ."

Lila tidak diizinkan menelpon lebih dari setengah jam, walau aku ingin ngobrol lebih lama dengannya.

Tapi setidaknya aku tahu bahwa Lila baik-baik saja. Mulai saat ini sepertinya aku tidak perlu terlalu kuatir dengannya. Mendengarkan saran Ibuku, kugunakan sisa tahun ajaranku untuk fokus belajar menghadapi ujian. Aku ingin kerja dulu selama setahun setelah lulus SMA, sebelum aku mulai mengincar perguruan tinggi favoritku. Nilai-nilaiku harus cukup, dan aku ingin membiayai sendiri kuliahku.

Pada hari ulang tahun Pak Tomi, aku pergi ke toko sepatu. Dari uang yang kutabung, kubelikan ia sepasang boots Dr Marten yang agak mahal, tapi harga itu pantas dengan kualitas sepatunya. Guru kesayanganku perlu tampil lebih modis. Di dalam sepatu itu kutitipkan surat yang kutulis padanya, yang berisi tekad bahwa aku ingin menjalani hubungan yang serius dengannya.

"Kembalilah saat kau sudah lulus," begitulah balasannya kepadaku. Ia kembali memperlakukanku dengan biasa di kelas, seolah tidak terjadi apa-apa. 

Tidak ada pacaran. Tidak ada hura-hura. Dengan sabar aku akan menjalani tahun terakhirku di SMA.

Saat meletakkan sepatu itu secara diam-diam di meja guru milik Pak Tomi, aku tidak tahu bahwa berbulan-bulan kemudian aku akan berdiri di atas panggung, menyampaikan pidato kelulusanku, yang kutujukan pada Pak Tomi, karena di luar dugaan aku menjadi salah satu lulusan terbaik.

"Agak mustahil membayangkan aku berdiri sekarang karena menerima nilai ujian sempurna dalam mapel matematika. Hal ini menjadi mungkin karena seorang guru datang di kelasku suatu pagi dan mengubah hidupku selamanya.

Kalau dipikir-pikir, banyak hal mustahil yang terjadi setiap harinya di luar sana. Bagi sebagian orang, laki-laki yang juga mencintai laki-laki kedengaran mustahil dan tidak masuk akal. . tapi bagi sebagian yang lain. .  hal ini adalah kenyataan hidup. Inilah yang menjadi kenyataanku.

Salah satu nasehat terbaik yang kuterima dari guru yang mengubah hidupku adalah. . jangan membatasi diri. Guru itu mengenalkanku pada seorang musisi yang lagu-lagunya tidak pernah absen kudengarkan hingga sekarang, lagu-lagu itu menemani jam belajarku, juga saat-saat paling gelapku. . 

Aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku, yang paling dalam,

Kepada Pak Guruku. . Andrea Bustomi. ."


.
.

The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar