1 September 2020

Dibawah Rinai Hujan

Dibawah Rinai Hujan (18+)


Desember tahun ini sangat basah. Hujan turun dua kali lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, meninggalkan jalanan becek penuh genangan air yang menyiprat kemana-mana jika seseorang ngebut. Aku sudah kena air kotor comberan itu setidaknya dua kali minggu ini, dan aku gagal menghindari dua-duanya. Walau aku sangat ingin marah, nyatanya aku tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap tahun memang selalu begitu. Tak pernah ada perubahan.

Tidak ada orang yang berniat memperbaiki jalan kampung, walau aspalnya telah rusak selama bertahun-tahun. Pak Camat sibuk dengan istri keduanya, sementara Kades di desa kami malah sibuk berjudi di salah satu warung kopi saat seharusnya dia duduk di kursi kerjanya di balai desa.

Kondisi jalanan kampung begitu parah karena lubang lebar menganga dimana-mana, dan lubang ini sangat menyesatkan para pengendara motor. Mereka sering tiba-tiba terjungkal karena tertipu genangan air yang tampak dangkal.

"Ron, angkatin jemuran di luar. Mau hujan!"

Ibuku memanggil dari belakang rumah. Musim hujan membuatku harus rela memakai pakaian apek setengah basah yang tidak rampung dijemur. Pakaian itu tidak pernah benar-benar kering selama seminggu ini karena intensitas hujan yang sedang besar-besarnya. Hujan nyaris tidak bisa ditebak.

Awalnya agak menyebalkan memang, tapi sekarang aku berhenti mengeluh. Aku punya ide sendiri untuk menikmati musim hujan, jika aku tahu caranya.

Orang sering bilang bahwa musim hujan adalah musim manten anyar, alias pengantin baru. Tapi bahkan non-pengantin sepertiku pun sering memanfaatkan keadaan musim hujan yang dingin ini untuk melampiaskan hasrat seksual, dengan siapa lagi kalau bukan dengan pacarku.

Jika kau ingin tahu, pacarku adalah laki-laki, sama sepertiku juga. Namanya Yoni dan aku lumayan mencintainya. Jika hujan turun, aku tidak lagi berlindung dibawah atap rumahku. Aku akan ke luar desa, ke tempat peternakan ayam tempat Yoni bekerja sebagai penjaga ternak.

Saat gerimis mendera berbarengan dengan aku selesai melipat baju apek di keranjang sore itu, aku mengambil sepeda jengki di ruang depan dan mengayuhnya menuju peternakan tempat Yoni berada. Ibuku tidak pernah tahu kemana aku pergi saat hujan, tapi sesungguhnya dia tidak peduli. Baginya aku sudah terlalu dewasa untuk diurusinya. Asal aku tahu waktu untuk pulang saja.


"Siapa?" tanya suara kaku memanjang yang sudah kukenal, saat aku mengetuk pintu.

"Aku, Amron." balasku.

"Oh. Bentar." Nada Yoni berubah antusias menyenangkan.

Aku menunggu dengan sabar sementara Yoni membuka pintu tingkap dari atas rumah panggung memanjang yang terbuat dari bambu dan kayu.

Sebetulnya aku benci kandang ayam, tapi disitulah pacarku sering menghabiskan waktunya. Jika kau memilih bertahan di desa, hanya ada sedikit pilihan pekerjaan, penjaga ternak ayam hanyalah salah satunya.

"Mau coba di tempat berbeda?"

Yoni langsung menawariku saat aku selesai meniti tangga. Aku sedikit tersipu dengan pertanyaan Yoni yang terus terang tanpa basa-basi. Tapi toh aku tetap mengiyakan ajakannya.

"Boleh, mau dimana?"

"Nanti kukasih tahu. Sekarang bantu aku kasih makan ayam dulu, biar cepat selesai."

Dengan enggan aku mengangguk. Yoni mengambil karung pakan ayam dari salah satu sudut ruangan dan membaginya pada wadah-wadah tempat makan ayam. Sementara itu aku menyalakan keran pancar, mengarahkan selang hijau panjang pada masing-masing wadah berbentuk bundar tempat para ayam itu minum.

Bau khas kandang memenuhi indera penciumanku saat aku berkeliling dengan Yoni, memastikan ayam-ayam di peternakan itu mendapat pakan dan minum yang cukup. Sesekali kulihat ada bangkai anak ayam yang mati diinjak-injak kawanannya. Di peternakan itu ayam-ayam broiler dibesarkan, setelah ditetaskan dari telur, dan akan siap panen dalam kurun waktu sebulan.

Setelah menyalakan lampu-lampu, dan Yoni sudah memastikan tidak ada lagi bangkai ayam yang belum disapunya, kami bersiap-siap keluar.

Aku menatap ayam-ayam itu.

"Nggak apa-apa ditinggal?" tanyaku pada Yoni. Ia sedang mencuci tangan.

"Iya, mereka bisa jaga diri." Yoni berkata melantur.

Sebelum ini kami tidak pernah meninggalkan rumah panggung itu. Kami biasa berhubungan seks disana, di dalam kandang, di atas sebuah dipan yang biasa digunakan Yoni untuk rebahan. Tapi Yoni sudah berkata sebelumnya  bahwa kami akan bercinta di tempat lain.

Saat Yoni menggerendel pintu kandang aku sedikit merasa iba pada ayam-ayam itu, entah kenapa. Hidup mereka begitu singkat dan nyaris tidak bermakna. Mereka hidup hanya untuk jadi santapan manusia. Agak menyedihkan sebetulnya.

Sepuluh menit kemudian, ketika Yoni mulai membonceng dengan sepedaku dibawah rinai hujan, ayam-ayam itu tergusur keluar dari pikiran, digantikan rasa deg-degan teramat sangat oleh fantasi kegiatan yang akan kami lakukan berikutnya. Aku mencengkeram ujung bajuku sementara Yoni mengayuh sepeda. Aku menahan gairah.


"Aku bawa kondom," Aku memberitahu Yoni sesaat kemudian. Dia tidak nampak senang dengan berita ini.

Yoni menoleh ke belakang, ke sadelku, "Ngapain sih pakai kondom segala? Nggak enak lah."

"Kata Bu Dokter, kalau nggak pakai kondom rawan kena HIV. Atau sifilis." Aku mengingat-ingat percakapanku dengan Dr. Minda saat ke puskesmas minggu kemarin, untuk mengambil hasil VCT. VCT adalah semacam tes untuk mengetahui status HIV.

"Ya kan kita cuma main berdua, nggak gonta-ganti pasangan. Lagian hasil tes-mu negatif kan?"

"Iya, tapi seenggaknya buat jaga-jaga."

Kudengar Yoni berdecak. "Tetap aja nggak enak ah. Nggak usah pakai."

Aku tidak senang dengan nada bicaranya. Kumarahi dia.

"Makanya dibiasain, biar enak. Kalo nggak mau pakai, ya nggak usah jadi main. Minggu lalu jadi jatah yang terakhir deh." Aku memperingatkannya.

"Oh, gitu sekarang. . Main ancam-ancam?" Ia menyindir. Aku menjitak kepalanya.

Yoni mengaduh kesakitan. "Apaan sih?"

"Lagian, mau sok-sokan sama virus. Kalau udah kena infeksi baru tahu rasa nanti. Makanya jangan bandel. Aku nggak mau mati muda ya. Walau HIV ada terapi antiviral-nya, kan lebih baik mencegah." Aku berkata panjang lebar.

Yoni bersungut-sungut setelah kuberitahu. "Iya deh."

"Nah, gitu. Ikut kataku saja. Daripada nggak kukasih jatah, kan?"

Aku cekikikan. Yoni tidak menjawab. Kupikir aku melihatnya memutar bola mata.


Yoni bersepeda dengan ngebut diantara jalan yang berlubang. Aku merasa beruntung karena hujan sore itu tidaklah deras. Hanya gerimis saja. Di pematang sawah yang hanya muat dilalui satu orang, Yoni menuntunku dengan satu tangan menuju sebuah gubuk di tengah-tengah sawah. Ia memarkiran sepedaku diantara pohon pisang yang menutupi persawahan.

"Yakin mau main disini?"

Aku memelototi tempat itu begitu sampai dengan sangat ragu-ragu. Terus terang saja, aku takut seandainya kami ketahuan.

"Daripada di kandang, bau tai ayam. Mending disini. Nggak ada tempat lain juga." Yoni menatapku.

Aku bertanya dengan sangsi, "Nggak takut kepergok orang?"

Yoni melihat berkeliling dengan mantap.

"Siapa coba orang yang pergi ke sawah pas hujan-hujan begini?" tanyanya.

Aku harus setuju dengannya. Kuusir rasa khawatirku.

"Ngomong-ngomong, ini gubuk siapa?" Aku bertanya.

"Punya bapak. Kan ini sawah punya bapak." jawab Yoni.

"Oh, syukurlah. Kukira punya orang,"

"Buruan."

Dengan tidak sabar Yoni mendorongku ke gubuk. Gairah menguasai tubuhnya. Walau bajunya sedikit basah oleh hujan, kulitnya terasa panas. Aku terjatuh diatas alas dipan. Di tempat itu ada bantal dan tikar yang mungkin biasa dipakai istirahat ayah Yoni saat ngaso di sawah. Dalam hati aku meminta maaf padanya dan pada leluhurku karena berbuat lancang.

Setengah beringas Yoni menyentakkan badanku, memitingnya. Yoni memberiku ciuman di leher bertubi-tubi, aku tidak tahan untuk tidak mendesah. Kucengkeram kepalanya dengan kedua tangan.

"Sabar. Pelan-pelan, Nggak usah buru-buru." kataku, membingkai wajahnya. Yoni memeras dadaku dengan penuh nafsu.

"Keburu Iwan datang ke kandang, nanti aku diaduin karena bolos giliran jaga."

"Tadi siapa yang ngajak kesini?" Aku mengingatkannya.

Yoni mengabaikan kalimatku. Ia beralih menciumku penuh di mulut. Kami bertukar ciuman. Aku agak kewalahan mengimbangi Yoni. Gerimis merajai di langit luar gubuk. Tetes-tetes air hujan yang menyentuh bumi menimbulkan suara merdu di antara kami. Aroma khas dari tanah menguar.

Yoni membaui ketiakku. Sejenak kemudian setelah Yoni melucuti seluruh pakaiannya ia berbaring telentang. Giliranku untuk mengulum puting Yoni. Dengan lidahku yang panjang kujilati kedua dadanya.

Anjing. Fuck.

Dengan bersemangat Yoni mengumpat saat lidahku menyentuh ujung putingnya, atau di waktu lain saat kami berhubungan badan. Ia selalu begitu. Entah kenapa kata-kata kotor itu membuatku semakin berhasrat.

Aku masih bepakaian lengkap. Semenit kemudian Yoni membantuku melepas satu per satu garmen yang kupakai. 

"Kaosmu bau apek, Jangan dicuci pakai Rinso," katanya tiba-tiba.

Aku merasa Yoni banyak bicara. Aku langsung membungkam mulutnya dengan ciuman. Ia tidak keberatan. Setelah itu kubuka resleting celana Yoni. Saat akhirnya kulepas celana dalamnya yang berwarna abu-abu, kuciumi benda berbentuk segitiga itu. 

"Heh, jangan gila." Yoni menjambakku dan mengarahkan kepalaku pada kemaluannya. Aku langsung menghisap benda tegang itu. Penis milik Yoni tidak sangat besar, tapi tidak kecil juga. Menurutku ukurannya pas.

"Jangan kena gigi," Yoni protes setelah beberapa waktu.

Aku berhati-hati memaju mundurkan kepalaku. Yoni lalu mengarahkan tangannya untuk meremas pantatku dengan gemas.

"Fuck," katanya, sementara aku membiarkan kemaluan Yoni merojoh masuk pangkal tenggorokanku.

Aku menyukai saat kemaluan Yoni memenuhi rongga mulutku. Benda itu berkedut. Dengan sedikit kasar Yoni menyodokkan batang miliknya semakin dalam, aku langsung terbatuk. Airmata muncul dari kedua ujung kelopak mataku saat itu juga.

"Sori," Yoni meminta maaf.

Dia menciumku di kening kemudian. Kami melanjutkan kegiatan.


Dengan minyak zaitun Yoni membasahi tangannya, ia memulai penetrasi dengan jari agar aku tidak kesakitan. Saat aku pertama kali melakukannya dulu, rasanya luar biasa sakit. Aku tidak bisa buang air selama tiga hari. Tapi sekarang aku malah ketagihan dengan sensasinya.

Aku dan Yoni pertama kali berhubungan seks awal musim hujan lalu, tepatnya pada bulan Oktober. Kami sudah berpacaran kira-kira dua tahun, dan sejak hawa semakin dingin bagi kami berpelukan saja tidak cukup menghangatkan badan. Kami perlu menguras keringat.

Saat dirasa lubang belakangku cukup untuk dimasuki, Yoni memulai penetrasinya. Ia menamparkan batang kemaluannya yang menegang keras pada pipi bawah bokongku. Aku memastikan kalau dia memakai kondom, walau agak kupaksa. Dengan menciumi punggungku Yoni melesakkan batang kemaluannya.

Ahhh. Ngh.

Rasanya nikmat sekali saat Yoni menggigit telingaku sementara ia menusukkan batangnya. Aku nyaris keluar saat itu juga. Yoni memepetkan tubuhku ke dinding gubuk sebelum mulai menghujamku dengan berbagai tusukan. Awalnya pelan, makin lama Yoni semakin beringas. Aku melenguh dengan lidah tertahan.

Air hujan yang dicurahkan langit, gubuk, bumi yang basah di sekitarku dan Yoni menjadi saksi saat kami berdua melakukan salah satu kegiatan paling suci dalam proses alam: bercinta. Di saat dunia di luar sana diliputi oleh masalah dan kehancuran, orang-orang yang saling membunuh, orang-orang yang saling bertikai dan bermusuhan, berhubungan seks adalah kontradiksinya. Bercinta adalah pelarian yang indah dari dunia yang keji dan tak kenal ampun.

Anjing. Fuck.

Berhubungan seks adalah seni. Yoni terus mengulang kata-kata umpatan itu. Aku semakin menegang dan bergairah dibuatnya. Aku pasrah saat Yoni berganti-ganti mengubah posisi penetrasi. Yoni mulai menjambak kepalaku sebelum memelukku dengan kewalahan. Aku tahu ia menikmati penetrasi itu sebanyak aku menikmati penetrasinya.

Saat bertukar posisi aku melingkarkan kedua tanganku di leher Yoni, sementara diatasku kulihat wajah Yoni yang memerah karena nafsu dan gairah. Ia mendesah dan terengah-engah saat menghujamkan kembali batangnya di bagian belakangku.

Dalam pikiranku yang berkabut oleh penetrasi Yoni, aku tidak bisa berpikir jernih. Aku melihat dan merasakan berbagai macam kebahagiaan dunia secara utuh dan nyata. Tidak ada sesuatu yang seindah dan senikmat itu yang pernah kurasakan sebelumnya. Aku bersumpah.

Sungguh liar. Aku merasa berdosa karena saking nikmatnya hubungan itu. Aku merasa seperti binatang. Seks adalah pengingat bahwa sejauh apapun manusia sepertiku mencoba membangun peradaban, manusia tetaplah makhluk dengan naluri binatang.

Berpeluh, Yoni memelukku erat saat ia terus dan terus menusukku dengan kemaluannya. Dingin hujan dan hawa yang mengigil teratasi dengan baik oleh panas tubuh yang kami bagi. Aku terkulai pasrah di pojok gubuk, Yoni ambruk saat ia akhirnya keluar tak lama setelahku.

Gerimis masih mendera. Kami berdua bersimbah keringat. Berpelukan erat, aku dan Yoni bertukar ciuman saat kami selesai dan mencapai puncak surga kami masing-masing. Kepalaku terasa ringan. Kami terus begitu selama beberapa waktu. Rasanya tidak ada kedamaian yang mengalahkan saat-saat setelah berhubungan seks seperti saat itu.


Tubuh telanjang kami mendingin. Setengah mengigil Yoni mencabut kemaluannya dariku. Ada bercak merah tercecer di tikar saat ia melakukannya.

"Astaga," Yoni panik. "Keluar darah."

Aku melihat darah yang tercecer itu dengan tatapan datar.

"Nggak apa-apa. Nggak sengaja kena kuku kayanya tadi. Lain kali dipotong dulu makanya." kataku santai.

"Sakit nggak?" Ia bertanya kuatir. Melihatnya peduli padaku begitu membuat hatiku menghangat.

"Enggak. Nggak kerasa kok."

Setelah kami berpakaian sepenuhnya, Yoni tampaknya masih merasa bersalah.

"Sori ya," Yoni merengkuhku dalam pelukan. Aku merasa hangat lagi. Hujan di luar seolah tak ada artinya. Aku ingin terus begitu.

"Gimana sih rasanya jadi bottom?" Ia bertanya kemudian.

"Enak kok. Makasih ya," Aku mencium dagunya.

"Bener? Aku yang makasih." Yoni mengacak rambutku. "Sori." katanya lagi.

"Halah, ngapain sih minta maaf terus?"

"Aku merasa bersalah."

"Iya, nggak apa-apa. Kan aku power bottom."

Di tempatnya Yoni terbahak. "Pulangnya aku gendong ya."

"Nggak usah." kataku. Tapi Yoni tidak mengindahkan. Ia membawaku dipunggungnya menuju sepeda.


Saat dengan susah payah Yoni membopongku diantara pematang sawah, kami justru oleng dan terperosok hingga akhirnya jatuh ke kubangan.

"MAKANYA!" Aku berteriak marah, diantara bibir dan mulut yang penuh lumpur, "LAIN KALI, NGGAK USAH SOK JADI PAHLAWAN!"

Yoni tertawa-tawa di kubangan. Dasar tidak tahu diuntung. Tapi malah peristiwa itulah yang membuat hari itu sangat layak untuk dikenang.

Dalam perjalanan pulang, diatas sepeda jengki, dibawah rinai hujan, dengan baju penuh bercak lumpur dan bau sperma, kami mensyukuri berkah dan kesialan hari itu.

Musim hujan masih panjang.

*
*
End

2 komentar:

  1. That was sooo good AND hot😍 you're a talented writer

    BalasHapus