11 November 2020

Always Remember Us This Way (Cerpen)

Always Remember Us This Way


Aku ingat saat pertama kali pacaran dulu. Aku ingat ciuman pertamaku. Orang bilang kita tidak bisa melupakan cinta pertama, bagiku pepatah ini benar adanya.

Dulu saat aku SMP, aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Aku bukan satu-satunya yang berbuat demikian. Lagipula waktu itu motor belum terlalu ngetren seperti sekarang. Kebanyakan murid SMP kelas tiga sepertiku pulang dengan jalan kaki dari sekolah sampai rumah.

Cinta pertamaku adalah laki-laki. Dulu aku belum tahu kalau aku biseksual. Pemuda yang dulu kusukai barangkali sudah bekerja sama sepertiku sekarang. Aku penasaran bagaimana rupanya saat ini. Well, aku masih ingat dengan jelas siapa nama pemuda itu.

Namanya Pambudi. Dia dulu tinggal satu rukun tetangga denganku selama beberapa tahun. Sore ini aku ingin mengenang saat-saat indah itu sekali lagi.

Maka kutinggalkan motorku di parkiran kantor saat lewat pukul empat. Aku naik angkot dari Jl Trembesi hingga ke Jl Harapan dimana bangunan SMP tempatku sekolah dulu masih berdiri dengan kokoh. Aku turun dari angkot bersamaan dengan sebagian besar murid SMP yang pulang dari kegiatan ekstrakurikuler. Mereka menghambur besebrangan arah denganku.

Ternyata segelintir anak masih berjalan kaki sama halnya denganku dulu. Dengan sumringah aku berjalan menenteng tas selempang kerjaku di jalan yang dulu biasa kulalui. Aku menjulang diantara kepala murid-murid yang hanya setinggi dadaku. Aku tidak sadar betapa diriku dulu sangat mungil saat seumuran mereka.


Dulu, di sepanjang jalan aspal ini, aku dan Pambudi sering pulang bersama-sama berjalan kaki.

Aku masih ingat betul.

Kami akan pulang sangat sore setelah bermain game berjam-jam di warnet dekat sekolah. Aku masih ingat langit berwarna oranye yang membara akibat matahari terbenam di barat. Saat itu adalah saat-saat dimana aku masih naif. Aku masih sangat muda dan penuh semangat. Aku merasa bisa melakukan apa saja.

“Pak Lukas itu ngeselin banget, ya? Guru killer. Mana kalo ngasih PR nggak kira-kira.” Budi akan membicarakan pelajaran hari itu. Ia tidak begitu suka dengan Pak Lukas Mardi, guru Matematika.

“Kadang-kadang sih. Tapi banyak yang bilang Pak Lukas galak karena ia tidak mau diremehkan murid-muridnya.” Aku tidak bisa ingat kenapa aku bersikap defensif pada Pak Lukas.

“Aku lebih suka Bu Yuni.” Pambudi lalu akan bicara demikian. Ia memang ngefans dengan guru Bahasa Jawa satu itu. “Kalo ngajar sabaaar banget,”

Iya sih. Kalo Bu Yuni sih banyak yang akan setuju kalau dia emang sabar orangnya.”

Ibumu udah sembuh?” Lalu aku akan bertanya demikian. Mungkin hampir selalu. Aku heran kenapa Budi tidak bosan-bosan kutanyai pertanyaan itu saat itu. Pada saat-saat itu memang ibunda Pambudi sudah berulang kali jatuh sakit. Aku ingat juga kalau pada masa itu sedang ada wabah.

Udah mendingan, daripada semalem.” kata Budi. Ia tidak terlalu suka jika ditanya soal ibunya. “Jangan langsung pulang yuk,” ajaknya kemudian.

Waktu itu aku akan sedikit merasa keberatan. Ada yang salah dari ide menunda pulang hari itu. Tapi pada akhirnya, entah karena apa kuiyakan saja ajakan Budi. Kami kemudian akan duduk-duduk di rerumputan, menonton pertandingan bola di lapangan Selak hingga nyaris gelap. Menunda waktu pulang lebih lama. Ibuku akan ngomel jika aku berbuat demikian, tapi aku merasa tidak terburu-buru saat itu.

Aku dan Budi akan ngobrol tentang apa saja. Selalu ada hal untuk dibicarakan. Guru-guru kami. Orang tua kami. Game terbaru. PR kami hari itu. SMA yang akan kami tuju.

“Sebetulnya aku benci pulang.” kata Budi tiba-tiba. Jika saat itu saat-saat lain, aku pasti akan heran. Tapi aku mengerti kenapa saat itu Budi lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ia tidak bisa melihat ibunya sakit terus-terusan.

Tante Hana, ibu Budi, didiagnosa kanker limfoma setahun lalu. Meski ada ayah Budi yang menjaga dan merawat bundanya, aku tahu Budi tetap tidak tega dengan kondisi sang ibu. Aku sering ingin menawarkannya menginap di rumahku, tapi itu tindakan yang benar-benar egois. Aku telah bersama Budi seharian. Tante Hana pasti ingin bersama Budi kendati beliau sakit.

Saat hari akhirnya benar-benar gelap, kami baru berpamitan satu sama lain.

Aku ingat perasaan kosong saat akhirnya aku ditinggalkan Budi. Aku ingat mata bening milik Budi saat ia bicara padaku,

“Makasih udah nemenin. Sampai ketemu besok ya, Al.”

Sayangnya “besok” tidak selalu berarti “besok” jika Budi yang mengucapkan. Kalau ayah Budi harus bekerja, mau tidak mau Budi-lah yang merawat ibunya dari rumah. Aku baru akan bertemu Budi setelah beberapa hari. Ia mendapat izin khusus dari kepala sekolah untuk bersekolah dari rumah. Aku yang akan membawakan PR-PRnya dan sedikit menjelaskan materi hari itu.

Jika kuingat sekarang, sebetulnya aku lumayan menikmati saat-saat itu. Aku bisa sering bertemu Budi di rumahnya. Yang menggangguku hanyalah kondisi Tante Hana yang memprihatinkan.

Suatu sore Budi sedang menyalin gambar sistem peredaran darah punyaku saat kuajak ia keluar. Hari sudah menjelang magrib.

“Main keluar bentar yuk Bud, daritadi kau belajar terus.”

“Tunggu ayahku pulang, ya.” Ia akan meminta demikian.

Saat Om Handi akhirnya sampai rumah, aku dan Budi akan meniti jalan aspal sepanjang dinding semen yang memagari padang di pinggiran kampung. Kami akan membeli bakpao Cik Lili sambil mendengarkan lagu-lagu Plural, sebuah band lokal, diputar dari stasiun radio amatir dari salah satu rumah.


Beberapa anak yang berjalan membarengiku menatapku dengan pandangan ingin tahu saat aku berhenti di persimpangan dimana dinding semen yang merupakan batas desa dibangun puluhan tahun lalu berakhir. Dinding itu akan berlumut kalau musim hujan. Tapi jika musim kemarau begini kondisinya kering dan cukup enak untuk diduduki.

Aku duduk di dinding semen itu setelah berjalan beberapa ratus meter. Dengan sedikit usaha aku mengenang momen-momenku yang terekam disana. Kenangan yang paling berkesan adalah saat aku untuk pertama kali mencium Budi.

Saat itu aku menyaksikan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Budi menangis tersedu-sedan.

“Nggak usah sedih ya Bud,” Aku takkan tega melihatnya bersimbah air mata. Tapi sebetulnya aku tidak punya hak sama sekali untuk berkata demikian, karena aku tidak tahu beban yang dirasakannya.

Pada waktu itu, ketika melihat kondisi Budi rapuh karena penyakit ibunya, sesuatu dalam diriku mendorongku mengatakan hal-hal yang tidak biasa dikatakan anak laki-laki pada anak laki-laki lainnya. Tapi toh aku tetap mengatakan hal-hal itu.

“Aku sayang kamu, Bud. Kau nggak perlu kuatir soal ibumu. Dia bakal baik-baik saja,”

Aku tidak tahu apakah itu kalimat penghiburan yang bagus, tapi orang-orang sering mengatakannya ‘kan? Aku hanya ikut-ikutan. Tapi kalimat pertama yang keluar dariku itu sebetulnya tulus dari lubuk hati.

Lalu aku akan melakukan sesuatu yang lain, yang tidak biasa dilakukan sesama anak laki-laki. Aku mencium Budi, mula-mula dikeningnya. Lalu di pipi. Kemudian di bibir. Aku tidak tahu kenapa aku berbuat demikian, tapi aku merasa naluri melindungi dari dalam diriku mendorongnya.

Entah kenapa Budi tidak menolak.

Dia tidak akan berkata apa-apa sebagai gantinya. Alih-alih, karena suara Budi merdu, ia akan menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris yang dulu tidak begitu kupahami artinya. Lagu itu juga sering diyanyikan kakak perempuanku, Margaretha.

So when I'm all choked up

But I can't find the words

Every time we say goodbye

Baby, it hurts

When the sun goes down

And the band won't play

I'll always remember us this way

Yang kutahu, itu lagu yang bagus. Aku akan memeluk Budi dan berjanji melindunginya. Kami akan berpisah setelah magrib. Saat itu aku tidak sadar, tapi aku sangat mencintainya. Lebih dari sekadar sahabat atau teman sekolah.

Aku mencium Budi pada bibirnya, lagi, dan dia tidak keberatan. Sampai sekarang itu satu-satunya ciuman yang paling kuingat kuberikan pada seseorang, lebih daripada orangtuaku sendiri.

Beberapa minggu kemudian Tante Hana meninggal. Aku ingat memeluk Budi yang menangis keras di pemakaman. Aku tidak sanggup berkata-kata saat itu. Tapi hatiku remuk.

Om Handi pindah bulan berikutnya karena ia begitu patah hati ditinggal mati istri yang amat sangat dicintainya. Sejak saat itu aku tidak melihat Budi lagi. Aku tidak bisa menemukannya di Facebook, Twitter, atau setiap sosial media yang kupakai. Tapi dalam hati aku menganggap Budi adalah pacarku secara sepihak. Dialah cinta pertamaku. Aku baru menyadarinya berbulan-bulan kemudian.

Aku mulai merindukan Budi saat ia tidak ada. Lalu aku akan menangis. Tapi pada saat-saat seperti sekarang ini, pada sore hari yang cerah dan hangat penuh sinar matahari, entah kenapa otakku melabeli momen itu sebagai kenangan yang indah. Aku kangen oleh sosok Budi, meski sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya.


Sore itu, saat aku bangun dari dudukku dari dinding semen, lagi-lagi aku mendengar lagu Plural disetel setelah bertahun-tahun tidak kudengar. Band Plural sudah tidak se-ngetop dulu.

Aku mulai berjalan ke rumah. Pekerjaan hari itu tidak banyak, tapi entah kenapa aku tetap merasa letih yang tidak berhubungan dengan berjalan kaki. Ketika aku sampai di pekuburan umum yang ada di pinggiran kampung, kulihat sosok pemuda yang tak pernah kulihat sedang berdoa dari salah satu makam. Aku mengenali makam itu sebagai kuburan Tante Hana.

Kuberhentikan langkahku. Aku menunggu pemuda itu selesai berdoa. Seperempat jam kemudian, saat si pemuda beranjak keluar, aku mencegatnya dan menyapa pemuda itu di luar gerbang makam.

“Hei, “ sapaku.

“Halo,” Ia membalas ramah. Aku seperti mengenali nada bicara orang itu.

“Yang kau doakan barusan siapa?” Aku bertanya terus terang.

“Aku dari makam Ibuku.” jawab si pemuda. Aku tertegun.

“Ah. . Namamu Pambudi. . ?” Aku lanjut bertanya.

Si pemuda tampak berusaha berpikir, sebelum sebuah nama keluar dari mulutnya. “Aldi kah?”

“Yep.” kataku.

“Puji Tuhan.” Ia berkata.

Budi memelukku. Aku memeluknya balik.


Aku benar-benar tidak menyangka. Kuajak Budi ke lapangan Selak. Aku merasa luarbiasa gembira.  Rasa letihku sirna seketika. Kami duduk-duduk di rerumputan dan ngobrol lagi seperti dulu.

Aku tak henti-hentinya memandangi Pambudi. Kini ia seorang laki-laki dewasa. Dalam kepalaku, berulangkali terdengar Lady Gaga melantunkan sebuah lagu yang bertahun-tahun ini terlalu sering kuputar,

Lovers in the night

Poets tryin' to write

We don't know how to rhyme

But, damn, we try

But all I really know

You're where I wanna go

The part of me that's you will never die

So when I'm all choked up

And I can't find the words

Every time we say goodbye

Baby, it hurts

When the sun goes down

And the band won't play

I'll always remember us this way

Oh, yeah

I don't wanna be just a memory, baby, yeah

Hoo, hoo, hoo, hoo

Hoo, hoo, hoo, hoo

Hoo, hoo, hoo, hoo, hoo




END

3 komentar:

  1. Bro this one is so sweet and beautiful 😍 keep up the great work!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anne thank you so much for always leaving comments <3

      Hapus
  2. Vibrant, nostalgic, beautiful. The first piece of writing that i read by you and it is my favourite.

    BalasHapus