28 Desember 2020

Rumah di Jalan Kolombo, Cerpen Horror

Note: Cerpen ini dibuat khusus untuk thread di Twitter, jadi gaya bahasa yang digunakan disini memang sengaja dibuat lebih santai dari biasanya. Enjoy!

------------------------------------------------------------------------------------------------


Rumah di Jalan Kolombo


Aku mau cerita sedikit. Ini pengalamanku waktu kelas tiga SMP. Daridulu aku nggak percaya hantu sih, tapi kalo ingat pengalaman ini suka takut sendiri.

Aku sekolah di SMPN 1. Waktu kelas tiga aku punya teman namanya Fikar. Fikar ini bukan angkatanku, jadi sebenarnya dia sudah dua kali tinggal kelas. Kebetulan karena jumlah cowoknya ganjil, aku yang kebagian duduk sebangku sama si Fikar ini. Di tahun-tahun sebelumnya aku selalu kebagian duduk sama cewek.

Awalnya aku senang kan, aku akhirnya punya teman sebangku cowok. Sebenarnya aku nggak masalah duduk sama cewek, tapi jujur aku jadi sering dijodoh-jodohin sama mereka. Ini bikin aku risih.

Tahun ketigaku di SMP dimulai. Aku mencoba akrab sama Fikar. Awalnya semuanya lancar, tapi terus aku mulai menemukan hal-hal yang agak aneh dari si Fikar. Fikar ini orangnya tertutup, dan dandanannya sedikit lusuh. Aku nggak keberatan sebenarnya, karena aku nggak mau pilih-pilih soal teman.

Tapi yang bikin aku nggak nyaman itu bau tubuhnya Fikar. Aku nggak tahu persis gimana bilangnya, kalo kubilang baunya agak mirip hewan yang udah mati, mirip bangkai. Tapi aku nggak pernah berani ngomong sama dia. Aku coba tahan duduk sebangku sama dia.

Suatu hari aku sama Fikar dapet tugas buat dikerjain bareng, karena ini tugas sebangku. Aku ngasih saran buat dikerjain di rumah Fikar, tapi dia menghindar.

Rumahmu dimana sih? Ngerjain di rumahmu aja gimana?“Tanyaku ke dia.

Jangan deh, rumahku kotor sama berantakan. Aku malu.” Fikar jawab gitu. Dia nggak begitu suka ditanya-tanya soal hal pribadi. Fikar lebih suka ngomong hal-hal umum yang nggak berhubungan sama keluarganya.

Kubilang, “Nggak apa-apa, rumahku juga kotor sama berantakan kok.” tapi Fikar tetap bersikeras nggak mau.

Fikar emang nggak pernah ngaku rumahnya dimana. Dan karena aku nggak mau maksa, jadi kuputusin buat ngerjain di rumahku aja sebagai ganti.

Kamu ke rumahku bisa kan, di Semiti? “

Fikar ngangguk. Dia setuju datang jam empat sore. Tapi Fikar baru datang menjelang magrib. Waktu datang ke rumah, sama seperti seragam sekolahnya, kaos yang dipakai Fikar baunya nggak enak. Disitu ibuku sampai heran.

Kuceritain kondisi Fikar ke ibuku diam-diam. Akhirnya ibuku kasihan. Dia bungkusin Fikar beberapa baju sama seragam baru cadangan punyaku. Fikar juga bolak-balik disuruh makan sama ibuku, karena ibu bilang tubuh Fikar kurus banget.

Dari situ aku sama Fikar ngerjain tugas sampai malam.

Tidur sini saja ya, Fikar.” Ibuku nawarin.

Nggak bisa, Bu. Saya harus pulang,” Fikar menolak. Ibuku berulangkali bujuk tapi Fikar tetap nggak mau. Dia kelihatan gelisah.

Takut ortumu marah? Bilang aja tugasnya belum selesai.” kataku, tapi Fikar tetap ngotot mau pulang.

Akhirnya kuanter si Fikar pulang ke rumah dia. Fikar sempat nggak mau kuantar, tapi kupaksa. Aku kasihan sama dia. Dan ternyata emang rumah Fikar jauh banget dari rumahku, apalagi dari sekolah. Pantas kadang dia telat ke sekolah.

Fikar bilang rumah dia ada di Jalan Kolombo. Waktu sampai disana keadaannya sepi banget. Jarak antar rumah satu sama yang lain juga agak jauh. Aku baru pertama kali lewat situ.

Sampai sini aja.” kata Fikar. Dia maksa turun, padahal belum sampai depan rumah. Dia lalu jalan dan kulihat dia masuk salah satu rumah.

Rumah Fikar ada di ujung. Keadaannya gelap gulita. Fikar hampir nggak punya tetangga, kecuali satu rumah lain yang bersebrangan sama rumah dia.

Disitu sebenarnya aku sudah merasa ada yang salah sama si Fikar ini, tapi aku nggak begitu mikir. Keadaan sudah malam dan aku cepat-cepat pulang.

Suatu hari Fikar nggak masuk sekolah sampai berhari-hari. Nggak ada surat keterangan dari orangtua dia. Dan selama ini, kalau ada urusan sekolah seperti ambil rapor, Fikar selalu ambil sendiri, nggak pernah diwakili siapapun. Aku heran kemana orangtua dia atau saudara dia.

Wali kelasku minta aku buat antar surat panggilan ke rumah Fikar, karena aku yang tahu rumah dia. Disitu aku sedikit takut, nggak tahu kenapa. Tapi karena nggak ada anak lain yang dekat banget sama Fikar selain aku yang jadi teman sebangku, akhirnya nggak ada pilihan lain.

Aku naik motor ke Jalan Kolombo. Keadaannya sudah sore. Perjalanannya lebih jauh dari yang kuperkirakan. Aku sampai sana sudah nyaris gelap. Agak susah mengingat jalan ke rumah Fikar, tapi aku coba terka-terka mana rute yang kira-kira benar.

Aku sampai di satu rumah yang aku yakin itu rumah Fikar. Kuketuk sekali, tapi nggak ada jawaban.

Permisi,” kataku keras-keras.

Sampai sepuluh menit kemudian belum ada jawaban. Aku merasa gelisah dan bingung harus gimana. Aku pengen cepat-cepat ngasih surat itu lalu pergi. Aku nggak melihat satu orang pun di sekitar situ, termasuk tetangga Fikar.

Aku berdiri mematung sambil mengetuk pintu rumah Fikar sesekali.

Cari siapa?” tanya sebuah suara kemudian.

Asalnya bukan dari dalam rumah, tapi dari luar. Aku menengok ke asal suara itu. Ternyata seorang laki-laki. Kalau kutaksir, umurnya kisaran empat puluhan. Dia nggak bawa apa-apa kecuali sebuah parang.

Saya teman Fikar, dari sekolah. Mau mengantar surat,” kataku sedikit terbata. Laki-laki itu menatapku tajam. Dia langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

Aku memutuskan buat menunggu. Setelah setengah jam, aku habis sabar. Keadaan sudah benar-benar gelap. Aku bermaksud memutar lewat belakang.

Akhirnya aku melihat Fikar.

Ngapain kau kesini?” tanya Fikar saat melihatku. Fikar justru kedengaran marah, padahal aku kesitu dengan niat baik.

Aku mau mengantar surat,” kataku, mendekat ke tempat Fikar berdiri. Tapi aku langsung merasa mual.

Tubuh Fikar bau bangkai, tapi kali ini berkali-kali lipat lebih parah.

Kau kemana saja sih?” tanyaku, setengah mati aku menahan perasaan ingin muntah. Fikar menolak memberi jawaban.

Sudah. Pergi sana. Jangan kembali lagi.”

Fikar malah mengusirku. Ia menyeretku sampai ke motorku. Ia lalu berpesan.

Bilang ke wali kelas, aku belum bisa berangkat untuk sementara.” katanya.


Dua hari kemudian Fikar masuk sekolah. Keadaannya masih sama. Seragamnya masih lusuh. Tubuhnya bau. Dan badannya makin kurus. Dia seperti jarang makan.

Aku merasa ada yang aneh sama kondisinya.


Gimana kabarmu?” kutanya Fikar. Ia mengambil sebuah napas dalam sebelum menjawabku.

Baik.” katanya. Ia memaksakan nada ceria yang terdengar tidak wajar. Suaranya melengking.

Kau ngapain aja sih, kenapa baru masuk?” Aku membombardir Fikar dengan pertanyaan lain.

Urusan keluarga. Sudah, jangan tanya-tanya lagi.” katanya, mengakhiri obrolan.

Aku mengamati sisi wajah Fikar. Pipinya nampak cekung. Matanya terlihat kelelahan. Dan tubuhnya. . ada apa dengan bau tubuhnya?

Berbagai pertanyaan yang tak bisa kujawab merasuki kepalaku. Kenapa Fikar selalu menguarkan bau nggak enak? Kenapa Fikar menghilang selama beberapa hari belakangan? Dan keluarga Fikar. . kenapa keluarga Fikar seperti tidak pernah memperhatikan anak itu?


Aku benar-benar ingin tahu yang terjadi dengan kehidupannya. Fikar seperti berada dalam banyak masalah. . dan dia perlu bantuan.

Beberapa kali, saat menatapku, Fikar terlihat seperti ingin meminta tolong. Aku tahu itu dari matanya yang memelas. Dia tak pernah bisa mengatakannya. Ada beban yang dipendamnya seorang diri. . dan kalau Fikar tidak ingin membagi beban itu padaku. . aku yang akan meringankannya.

Suatu hari aku memutuskan untuk membuntuti Fikar saat pulang sekolah. Dia berjalan naik angkot dan turun di sebuah jalan yang menurutku agak terlalu jauh dari rumahnya. Dari sana ia berjalan kaki.

Aku menitipkan motorku di salah satu rumah warga dekat pangkalan angkot, sebelum berjalan mengikuti Fikar. Aku melakukannya dengan sangat hati-hati, agar Fikar tidak menangkap basahku.

Sampai di Jalan Kolombo, yang kusadari selalu sangat sepi, Fikar berjalan tergesa menuju rumahnya. Ia masuk lewat pintu belakang rumah.

Dalam perjalanan membuntuti Fikar, aku melewati beberapa rumah yang nampak lengang. Kemana warga yang tinggal disini? Pikirku.

Fikar tidak kunjung keluar menjelang sore. Aku menunggu dengan bosan di bawah sebuah pohon dekat rumahnya. Tidak terlihat tanda-tanda anggota keluarga Fikar yang tinggal disitu.

Lalu, setelah lama menunggu, kulihat Fikar keluar dari pintu belakang rumah. Dia membawa sebilah parang, dan sebuah karung besar yang sudah berlubang di banyak tempat. Apakah dia akan merumput? Aku nggak yakin Fikar punya ternak yang perlu diberi pakan.

Aku merasa telah melakukan hal bodoh. Kalau aku ingin membantunya, seharusnya aku menuju rumahnya, dan berbicara baik-baik pada salah satu anggota keluarganya, paling tidak.

Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Fikar. Aku ingin bertemu ibunya atau salah satu saudaranya, kalau ada. Aku merasa sekarang adalah waktu yang tepat, mumpung Fikar sedang keluar.

Kuketuk pintu rumah Fikar. Nihil. Aku berinisiatif untuk masuk lewat belakang, seperti yang dilakukan Fikar. Saat berjalan perlahan melalui samping, aku menilai kondisi rumah Fikar. Rumah itu seperti tidak terurus, seolah sudah lama tidak dihuni. Padahal Fikar tinggal disitu.

Permisi?” Aku mengucapkan salam. Tidak ada yang menjawab.

Kondisi pintu belakang tidak dikunci, hanya digerendel dengan sebuah tali. Pintu itu terbuat dari papan yang memiliki banyak celah diantaranya. Aku mengintip dari celah itu. Kondisi di dalam gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa..

Assalamualaikum?” kataku. Lagi-lagi nihil. Aku mendorong pintu belakang membuka, dan melangkah masuk. Barangkali ibu atau saudara Fikar di dalam, dan mereka tidak mendengar salamku. Aku hanya ingin bicara dengan mereka sebentar.

Debu setebal dua senti menyambutku saat aku melangkahkan kaki untuk masuk. Kondisi dalam rumah jauh lebih parah daripada di luarnya. Banyak sarang laba-laba, dan benar dugaanku: seolah rumah itu sudah lama tidak dihuni.

Ada yang sangat keliru disini. Keadaannya benar-benar hening.

Halo?” kataku.

Entah apa yang mendorongku, tapi aku berjalan masuk semakin dalam. Aku merasa tindakan itu tidak sopan, tapi aku begitu ingin tahu. Setelah kira-kira sepuluh langkah, aku merasa menginjak sesuatu di lantai. Butiran-butirannya berbeda dari debu di sekitarnya.

Aku menyipitkan mata. Ternyata yang kuinjak adalah garam dapur, yang kelihatannya sengaja ditaburkan disana.

Saat aku mendongak, aku menyadari sebuah cahaya temaram berasal dari salah satu ruangan. Apakah orangtua Fikar ada di ruangan itu? Aku berjalan kesana.

Ternyata cahaya itu berasal dari lilin. Di ruangan itu terdapat sebuah kasur. Dan apa yang ada diatas kasur itu adalah gambaran yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.

Aku begitu syok dan diliputi ketakutan. Berbagai gambaran horor memenuhi benakku. Aku berlari keluar dan menabrak Fikar yang membawa karung di pintu belakang. Darah menetes-netes dari karung itu.

APA YANG KAU LAKUKAN DISINI, HAH?” Fikar berteriak marah. Ia membanting karungnya ke lantai.

Dia menyentakkan tanganku keluar dan mendorongku hingga terjatuh. Aku susah payah berdiri sampai terhuyung-huyung. Lututku tidak kuat menyangga badanku. Aku kembali terjatuh.

Apa yang ada di kasur tadi??? Kenapa orangtuamu dirantai begitu??” Aku menangis sejadi-jadinya. “KAU APAKAN MEREKA?” Aku berteriak tepat di wajah Fikar. Fikar balas berteriak di depanku.

Mereka penganut ilmu hitam! Dan mereka kelaparan! Aku yang merantai mereka dan mencarikan mereka makan dari bangkai hewan!” Fikar berteriak dan menunjuk karung berbau anyir yang kini tergeletak di tanah. “Kalau tidak mereka akan keluar dan membunuh orang-orang! Itu yang terjadi dengan warga sekitar sini!

Aku begitu tertegun dengan penjelasan Fikar.

Kenapa kau tidak meminta bantuan? Kenapa tidak ada polisi atau kepala desa yang datang mengusut? Kemana saudaramu?” tanyaku. Suaraku serak.

Bantuan siapa? Polisi? Politisi? Kau pikir mereka bisa diandalkan? Dan saudaraku—MEREKA SEMUA SUDAH MATI! SEKARANG PERGI DARI SINI!”

JANGAN PERNAH KESINI LAGI!” Fikar berteriak dengan marah sekaligus sedih. Ia lalu melepas sebuah kalung, semacam jimat, dan melingkarkannya di leherku.

SANA! PERGI SEKARANG JUGA, SEBELUM ORANGTUAKU BANGUN! DISINI BERBAHAYA! JANGAN PERNAH LEPASKAN KALUNG ITU!”

Aku berbalik dan berlari sekencang-kencangnya. Sejak itu Fikar tidak pernah terlihat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar