Cerpen "Tupperware" ini ditulis sebagai kontribusi kecil saya untuk Kobel (Koalisi Bela Literasi) dalam kampanyenya, "1000 cerpen untuk rektor USU."
#RektorTakutCerpen #MatiSatuTumbuhSeribu
================================
"Mun, botol Tupperware emak kok nggak ada ya?"
Imun gelagapan. Dia berpikir keras, mencoba mencari alasan, tapi tidak ditemukannya.
"Anu mak, dipinjem Bang Saroni."
Dia akhirnya berterus terang. Air muka emaknya berubah dari bingung menjadi geregetan lebih cepat dari lampu hijau di perempatan.
"Masak sih? Emak nggak lihat Saroni kesini deh."
Imun menyesal karena tidak berpikir lebih cepat. Ia tidak ingin imej Saroni yang sudah buruk di mata emaknya jadi tambah jelek, jadi mau tidak mau ia membuat dalih.
"Kemaren Imun yang kasih pinjem."
Ini tidak sepenuhnya bohong. Saroni adalah guru muda yang tinggal dan mengajar di kampungnya, sementara Imun adalah asisten pengajar disana. Sekolah mereka pergi kemah dan Saroni meminjam botol air dari Imun karena miliknya ketinggalan, dan Imun mengijinkannya. Ia akan dengan senang hati melakukannya kalau tidak ingat dengan emaknya yang sangat protektif kalau menyangkut koleksi Tupperware-nya.
"Oalah, mun. . Kamu ngapain sih deket-deket dia? Kamu kayak nggak tahu dia kaya apa. . Hati-hati dong mun."
Imun benci jika emaknya bicara soal Saroni seperti ini. Seolah Saroni adalah sesuatu yang menjijikkan. Seolah Saroni bukan manusia bermartabat.
"Dia baik kok mak. ." kata Imun membela.
"Baik? Nanti kalo kamu ketularan gimana? Emak nggak mau kamu jadi homo abnormal kaya dia!"
Imun menahan amarahnya. Kebanyakan orang-orang di kampung, seperti halnya emaknya, tidak melihat Bang Saroni dengan seberapa tulus ia mengajar atau seberapa baik usahanya membuat anak-anak di kampung jadi cerdas.
Awalnya Saroni diterima dengan baik, selama beberapa waktu ia mengajar dan semuanya berjalan tenang. Sampai dua bulan lalu, ketika orang-orang tahu kecenderungan Saroni yang tidak biasa. Beredar kabar di kampung kalau Saroni, guru muda yang tampan dan santun itu ternyata penyuka sesama jenis. Entah bagaimana mereka tahu, tapi ada murid yang mengadu dan berani bersumpah kepada siapapun yang mau mendengarkan kalau di salah satu pelajarannya Saroni telah dengan sengaja berkoar-koar tentang keberagaman orientasi seksual manusia (Saroni adalah guru konseling), dan bahwa "cinta tidak mengenal jenis kelamin" serta kalimat-kalimat senada berbahaya lainnya.
Imun kenal baik Saroni. Dia tidak menampik kalau dirinya mungkin pernah sekali (atau beberapa kali) melihat rekan kerjanya itu dibonceng laki-laki yang sama keluar dari desa selama beberapa waktu. Apapun yang dilakukan Saroni bukanlah urusan Imun, bukan juga urusan emaknya atau orang-orang di kampung. Ia mengajar dan melakukan tugasnya dengan baik, justru jauh lebih baik dari mereka yang mengaku bermoral. Saroni bukan guru yang suka menghukum atau menggunakan jam pelajarannya untuk menjual seprai di kelas.
Guru-guru lain tidak begitu menyukai Saroni, walau ia termasuk ramah. Saroni terang-terangan mengampanyekan toleransi tentang kelompok minoritas yang ditindas dan diperlukan tidak adil, dan Imun sama sekali tidak melihat masalah dari semua ini.
Emaknya terus nyerocos soal hal buruk tentang Saroni dan Imun sudah tidak tahan mendengarnya.
"Udah akhir zaman. . Amit-amit kalau sampai anak-anak di kampung kita ngikuti gaya hidupnya."
"Apaan sih mak? Stop ngata-ngatain Bang Saroni. Stop ngomongin hal yang nggak bener. Emak nggak lihat hal baik yang dia lakuin? Kenapa Emak nggak fokus sama sisi baik Bang Saroni sih?"
Imun meninggalkan emaknya yang masih marah-marah. Ia mengambil sepatunya dan mulai bersiap untuk berangkat kerja.
Ketika sampai di sekolah mereka, Saroni menghampirinya di ruang guru. Walau hanya asisten pengajar, Imun dapat meja juga disini, walau tidak besar.
"Sehat, mun? Sori botol airmu ketinggalan. Nanti siang kuantar ke rumah."
"Besok nggak apa-apa, bang."
Tapi Saroni tidak mendengarkan. Bersama-sama mereka berangkat ke kelas. Ketika sekolah usai Saroni kembali menghampirinya.
"Mau kubonceng sampai ke rumah?" Saroni menawarkan sepedanya. Dia memang berangkat dan pergi naik sepeda.
"Nggak usah, bang."
"Ya sudah, nanti botolnya ditunggu di rumah."
Imun mengangguk. Dia pasrah saja. Siapa tahu dengan begini, dengan Saroni ke rumahnya, sikap emaknya mau berubah.
Siang itu emaknya sedang membakar sampah di depan rumah ketika Saroni sampai. Imun tidak melihat kedatangannya sampai ia mendengar emaknya bicara. Imun yang sedang memasak mematikan kompornya dan keluar.
"Nggak perlu dibalikin, najis. Tahu-tahu keluargaku ketularan kau."
Imun tidak percaya emaknya melemparkan botol Tupperware yang telah dikembalikan Saroni ke dalam api, membakarnya bersama sampah. Imun jadi sangat, sangat marah.
Saroni terbelalak, tapi ia hanya diam dipermalukan seperti demikian.
"Emak apa-apaan sih?"
"Nggak apa-apa, mun. Aku pamit kalo gitu." Saroni memaksakan senyum dan berbalik. Imun menghampiri Saroni dan menahan lengannya untuk pergi.
"Imun. Sini!" Emaknya berkata tajam.
"Nggak mau! Kenapa sih orang-orang pada benci Bang Saroni! Terus kenapa kalau dia suka cowok?"
Imun menyuarakan kekesalannya.
"Kalo Tupperware emak lebih berharga dari Imun, Imun sama sekali nggak masalah! Tapi kalo Emak masih bersikeras memperlakukan Bang Saroni kayak sampah, Imun nggak mau tinggal diam."
"Jangan durhaka sama orang tua, mun!"
Imun mulai berteriak. "Aku nggak durhaka. Emak yang keterlaluan!"
"Homo itu nyalahin kodrat!" Emaknya berteriak lebih kencang. Imun tahu emaknya menujukan kalimat itu pada Saroni.
"Kodrat apa mak? Kodrat buatan manusia? Imun belajar kalau Tuhan itu menghargai semua jenis kasih. Nggak ada yang salah soal cinta. Biarkan Bang Saroni mencintai siapapun yang dipilih hatinya."
"EMAK NGGAK PEDULI, HOMO ITU CALON PENGHUNI NERAKA!"
"Mak, CUKUP!"
Imun begitu marah. Ia masuk ke rumah dan mengambil kotak makan, botol air, dan semua jenis Tupperware yang dipunyai emaknya.
"Cuma ini kan yang Emak pedulikan?"
Dengan geram Imun melempar satu per satu Tupperware milik emaknya ke dalam api pembakaran sampah. Emaknya mengawasi tindakan Imun dengan ngeri.
"Emak sama orang-orang di kampung cuma peduli sama surga! Dunia itu juga perlu dirawat mak!"
"Kita yang tiap hari nyampah sembarangan di kali apa pernah mikir, eh? Kalau ada bencana nanti emak mau nyalahin Bang Saroni juga? Kita bukan Tuhan, mak!"
Emaknya kehabisan kata-kata. Saroni mencoba merebut barang yang coba dibakar Imun tapi Imun menepis tangannya. Api berkobar semakin besar.
"Buat apa kita mengharapkan surga kalau kita nggak bisa memanusiakan manusia lain, mak? Kita semua punya dosa. Bang Saroni nggak lebih berdosa dari kita cuma karena dia suka laki-laki!" Kata Imun. Ia melempar kotak makan terakhir ke dalam api. Bau plastik terbakar memenuhi udara.
"Ayo, Bang. Aku udah nggak tahan lagi sama sikap Emak."
"Mun, jangan gini sama emakmu--"
"Imun nggak peduli! Emakku nggak pernah ambil pusing soal anaknya. Dia cuma peduli sama dirinya! Biar emak juga sadar. Kalo Imun harus masuk neraka karena membela yang menurut Imun benar, biar Tuhan yang nanti menilai."
Dan Imun pergi bersama Saroni. Dia merapikan kerudungnya dan tidak berbalik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar