29 Juli 2019

(Cerpen) Orang-orang di Stasiun

AN: Tadi saya mampir di stasiun Gubeng. Setelah lama kena WB, akhirnya saya punya kemauan buat nulis. Ini super pendek, dan saya lagi males ngepos ini di Wattpad. Terima kasih buat teman-teman yang membaca!^^

====

Orang-orang di Stasiun

Stasiun kereta jaman sekarang memang luar biasa sekali. Bersih, kafe dimana-mana dengan WiFi, dan anak-anak muda yang kebetulan nongkrong disana juga cakep-cakep sekali. Yuda sedang berada diantara mereka dan membaur.

Yuda tidak bilang kalau dirinya cakep, tapi Yuda juga tidak yakin kalau dia jelek, jadi apa sebenarnya istilah yang tepat? Mungkin kata yang pas untuk menggambarkan Yuda adalah 'biasa'. Yuda adalah cowok yang berpenampilan biasa saja.

Yuda melihat sekeliling dan mengamati anak-anak muda itu satu per satu. Mereka ini seumuran dengan dia atau barangkali mereka dua-tiga tahun diatasnya, dan sebagian besar dari anak-anak itu memegang hape. Ini lumrah sih, dan Yuda sudah terbiasa untuk tidak terlalu sinis seandainya anak-anak itu berselfie, karena kadang-kadang dia sendiri juga melakukannya.

Yuda tidak ingin mencuri dengar orang-orang tua yang mengobrol, tapi percakapan mereka kadang-kadang tertangkap juga olehnya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung, yang duduk di sudut bersebelahan dengan meja Yuda, berkata pada wanita lain yang lebih tua. Kelihatannya orang itu adalah ibunya, dan kecurigaan Yuda benar adanya.

"Aku melihat pemuda di belakang Ibu turun dari kereta. Yang menjemputnya adalah seorang laki-laki tua dan Ibu tahu apa yang dilakukan dua keparat itu? Mereka berciuman! Astaga, dasar tidak tahu malu. Menjijikkan sekali."

Wanita itu bergidik dan pura-pura muntah, tapi Yuda bukan satu-satunya yang benci mendengar ini.

"Kenapa kau resah sekali dengan apa yang bukan menjadi urusanmu, Yun? Aku tak melihat dimana letak salahnya." Balas sang Ibu.

Si wanita yang dipanggil Yuni tidak senang karena ibunya tidak sependapat dengannya.

"Mereka homo, aku bisa mengerti. Tapi mempertontonkan itu di depan umum? Tidakkah mereka punya akal sehat?" Yuni berkata emosi.

"Mereka bisa saja ayah dan anak." Sang Ibu menjawab kalem. "Dan kalau mereka pasangan sekalipun, aku tak mengerti kenapa kau keberatan. Mereka bukannya beradegan mesum. Kau dan aku sama-sama melihatnya; itu hanyalah kecupan biasa!" kata sang Ibu.

Yuni bersikukuh. Ia menukas, "Memang bukan adegan mesum, tapi jika anakku sampai melihatnya. . aku tidak ingin anakku tertular jadi seperti mereka!"

Sang Ibu menyahut, "Tertular?" Ia memasang wajah bloon. "Tertular katamu? Apa kau sebegitu bodohnya? Aku dan kau sama-sama melihat mereka dan tak seorang pun dari kita ingin meniru apa yang mereka contohkan! Perlu kau tahu, Yun, laki-laki yang kauhina barusan tepat duduk di seberangku saat di kereta dan selama di perjalanan aku tidak melihat sedikitpun dia berlaku kurang ajar. Kulihat anak ini sangat sopan dan ramah kepada teman sebangkunya. Pemuda itu sama seperti kita. Dia hanya orang biasa. Kenapa memangnya kalau dia dan pasangannya mempertontonkan kasih sayang di depan umum? Bukankah itu contoh yang bagus?"

Sang Ibu berkata panjang lebar. Yuda tercengang mendengarnya.

"Dunia kita sudah begitu penuh orang-orang bermusuhan. Orang yang gila berebut kekayaan dan jabatan. Orang-orang palsu yang hanya manis di muka, persetan dengan mereka semua. Jika aku yang mengasuh cucuku, sudah dari dulu kuperlihatkan dan kuajari dia beragam jenis cinta, supaya dia tidak jadi kolot dan pendengki macam kau! Kupikir aku telah cukup banyak mengajarimu?" Sang Ibu berkata geram, tapi si wanita yang dipanggil Yuni tetap bersikeras tidak mau mendengarkan. Yuda muak sekali mendengar dia bicara.

Dia tidak ingin mendengar mereka ngobrol lebih jauh lagi, tapi susah sekali memblokir percakapan karena meja mereka begitu dekat. Yuda pura-pura menyedot es limunnya yang tinggal setengah. Pada akhirnya Yuni tidak ingin merubah kepala batunya.

"Tetap saja, Ibu. Apanya yang wajar dari dua laki-laki berbeda umur saling bermesraan di muka umum? Tak ada yang ingin melihatnya!"

Yuda marah dan sudah akan pergi dari kursinya, tapi ia sangat kagum dengan apa yang didengarnya dari ibunda Yuni pada detik berikutnya.

"Cinta itu wajar dan normal seberapapun itu terlihat aneh atau konyol bagimu. Memang mudah untuk menilai orang dari luar, tapi kau tak pernah tau bagaimana perasaan diantara mereka! Kau seharusnya melihat pada keidiotanmu dan kebebalanmu: tak ada yang ingin melihatnya!" sembur sang Ibu. Yuni menekuk wajahnya tak suka.

Saat itu peluit berbunyi, dan kereta Sancaka dari arah Jogja tiba. Yuda berlari keluar dari kafe, menuju salah satu jalur pada kereta yang melambat hingga akhirnya berhenti. Di tengah kerumunan orang yang turun, dia menunggu seseorang untuk muncul dari gerbong. Orang yang selama berbulan-bulan ini ditunggunya dengan malam gelisah penuh rindu dan pesan-pesan gombal di What'sApp.

Orang yang menjadi alasan kenapa Yuda duduk menunggu di kafe stasiun selama berjam-jam, karena tidak sebagai laki-laki atau sebagai budak cinta, Yuda hanya ingin dipandang sebagai manusia seutuhnya. Dia hanya ingin dipandang seperti manusia lainnya.

Yuda belum pernah segelisah ini di Stasiun Gubeng. Setelah bermenit-menit yang terasa panjang, orang yang ditunggunya keluar.

"Hai!" kata Bastian kemudian, menyapa Yuda begitu dia mengenali kekasihnya. Bastian muncul dari gerbong enam dengan kopernya, terlihat segar dan sumringah. "Aku kangen," katanya, mencoba memeluk Yuda.

Tapi Yuda tidak punya waktu untuk menanggapi tetekbengek itu. Dia langsung menyeret Bastian dan menariknya ke kafe tempatnya nongkrong tadi. Koper Bastian terlupakan begitu saja di pinggir kereta. Seseorang perlu diajari bahwa menunggu untuk bertemu dengan orang yang kau cintai selama berbulan-bulan tidaklah mudah, dan dia tidak akan membiarkan seseorang menghinanya atau orang-orang sepertinya. Tidak jika pasangan lain bebas melakukannya sesuka hati. Tak ada yang boleh mendikte Yuda soal cinta karena sesuatu di selangkangannya atau berapa umur Yuda menurut akta kelahirannya. Demi Tuhan, Yuda adalah manusia.

Yuda berhenti di depan kaca bening kafe dimana Yuni dan ibunya duduk. Tanpa segan-segan, tanpa menghiraukan tatapan heran Yuni dan orang-orang yang lewat, dengan nekat Yuda melingkarkan kedua tangannya di leher Bastian dan menciumnya penuh di mulut. Bastian yang shock dan kebingungan menyambutnya begitu saja.

Sesaat orang-orang melongo. Yuni yang memekik ngeri langsung muntah betulan sementara ibunya tertawa gelak-gelak.

"Kau kenapa sih?" Bastian bertanya begitu mereka selesai.

"Nggak apa-apa, cuma kangen."

Dan Yuda berlalu mengambil koper Bastian, tidak memedulikan orang-orang yang menatap.

Saat itu dia tidak tahu, tapi Yuda akan menghabiskan waktunya berjam-jam kemudian menertawakan video miliknya yang viral.

Selesai.

Surabaya, Juli 2019. Cerpen fiksi by Anton Erl.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar