4 September 2019

(Cerpen) - Yang Terdalam

Author's Note:

Entah kenapa saya tiba-tiba kepikiran sama lagu ini. . terus dibuat deh fic-nya. Ini lagu Peterpan pertama yang saya baca dari lirik yang ditulis mbak saya di belakang bukunya bertahun-tahun lalu. Ada yang kangen sama Peterpan?

*Cerita ini pindahan dari akun Wattpad saya

***

Yang Terdalam

.

.

Jordi menerima surat undangan pengambilan rapornya dengan was-was. Ketika di rumah ia memperlakukan surat itu seperti bom yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ia menunggu selama beberapa waktu sambil memikirkan cara yang tepat untuk bicara dengan orang tuanya.

Saat ayah ibunya pulang dari acara resepsi salah satu rekanan mereka, ia menyeret seseorang yang paling rasional diantara pasutri itu ke seberang dapur.

"Nda, bolehkah Paman Ghani yang mengambil raporku?" tanya Jordi berbisik, mengamati ayahnya yang terlalu lelah untuk peduli. Asti melihat sesuatu di mata anaknya; sebuah tujuan. . walau ia tak tahu apa.

"Bunda akan senang kalau dia mau, tapi. . " Asti menatap anaknya dengan curiga. "Ini bukan caramu untuk menghindar, kan?"

"Menghindar?" Jordi memaksakan tawa gugup. "Nggaklah. Ngapain? Nilaiku nggak seburuk punya Nitya, asal Bunda tahu." jawab Jordi. Nitya adalah adiknya yang baru duduk di kelas empat SD.

"Jangan meremehkan adikmu." Asti mewanti putranya sebelum menyerah, ia memutuskan tak ingin tahu. "Ya sudah. Tapi jangan memaksa pamanmu kalau dia menolak."

Jordi berlari ke garasi dan sudah menggas motornya sebelum Asti sempat melepas sepatu haknya.


Ghani sedang memangkas pokok alfalfa di muka rumah ketika keponakannya muncul dari arah pagar. Ia berhenti sebentar untuk mengelap keringat dan menyambut tamunya--jelas dengan sangat ramah.

"Aku sedang sibuk. Jangan mengangguku." katanya datar.

Jordi mengabaikan sang paman. "Bolehkah aku meminjam gitar paman?"

"Ada diatas."

"Aku tahu." Ia segera bergegas ke tangga dengan langkah gedebuk.


Jordi sedang memetik gitar akustik yang telah dimiliki pamannya sejak SMA ketika Ghani masuk dengan membawa dua gelas es limun yang pinggirannya berembun.

"Tentu kau kesini tak hanya untuk menganggu liburku?"

Si empunya gitar meletakkan gelas Jordi di tepian meja. Jordi menunjuk dengan dagu pada surat yang ia letakkan tak jauh dari situ. Ghani membuka surat itu dengan satu sentakan sebelum mulai membacanya.

"Sebegitu buruknya kah nilaimu hingga kau memintaku untuk mengambil rapormu?"

"Ya." kata Jordi, untuk menyingkat situasi.

"Aku sibuk."

"Sibuk apa? Menyiangi rumput?"

"Aku sibuk." ulang pamannya.

Jordi tak kehabisan akal. Ia memetik gitar di pangkuannya dan mulai melantunkan lagu yang mungkin memiliki arti untuk pamannya.

"Kupendam semua yang kuinginkan. . Tak akan ku ulangi. ."

"Kulepas." koreksi Ghani. Jordi berhenti untuk mengamati reaksi sekecil apapun dari mata pamannya. Ada yang berubah.

"Di buku panduannya tertulis, 'kupendam'." sanggah Jordi. Peterpan masih sangat populer. Saat itu belum ada internet, jadi ia belajar menghafal lirik lagu dari buku panduan lirik dan chord gitar yang dijual murah di pinggir jalan.

"Buku itu salah." terang Ghani. "Kecuali kau mau membantuku beres-beres, pergilah dari sini." usirnya. Ia membuka pintunya lebar-lebar. "Aku takkan datang. Minta saja pada ibumu. Dia tentu lebih mengerti kenapa anaknya tak berusaha lebih keras dari tahun sebelumnya."

"Nilai-nilaiku sebenarnya bagus." kata Jordi, menghela napasnya.

"Lalu?" Ghani menyulut rokok di sakunya saat dirinya mulai pusing.

Jordi langsung pada pokok masalah. "Tidakkah paman merindukannya?"

"Apa sebenarnya maumu? Siapa yang kau maksudkan?" tanya Ghani. Ia sedang coba menebak apa motif anak dari adiknya ini.

"Kekasih paman." Jordi berterus terang saat pamannya menyesap rokok.

"Aku tak punya kekasih." katanya, bersamaan dengan keluarnya karbon monoksida dari bibir.


Jordi mengambil sesuatu dari folder di tasnya. "Aku tahu sesuatu terjadi antara paman dengan guruku." katanya hati-hati. "Paman tak bisa marah. Aku tak sengaja membacanya. Maksudku, kau tak bisa mengharapkanku untuk tidak ingin tahu."

Ia meletakkan berlembar-lembar surat dan kartu pos berbeda warna ke atas meja. "Kau sudah akan membakar surat-surat itu, tapi aku tahu kau takkan sanggup. Aku memungutnya dari tempat sampah."

Ghani mengenali berbagai amplop dan sampul yang coba dibakarnya bulan lalu. Dia memijat pelipisnya.

"Bagaimana kabarnya?" kata Ghani akhirnya. Asap kembali mengepul dari celah mulutnya.

"Dia jelas senang mengajar." ucap Jordi. "Dia benar-benar menguasai bidangnya, tapi dia juga merindukan seseorang." Ia menatap figur pamannya. Ghani sangat tampan, dan seksi. Usianya hampir empat puluh, tapi penampilannya benar-benar menipu.

"Kau." pungkas Jordi. "Aku langsung tahu itu tulisan Pak Landi sekalipun surat-surat itu anonim. Caranya menulis sangat berbeda, sangat tidak umum. Tak ada murid kelas kami yang bisa menirunya menulis huruf K sebagus itu."

"Dulu aku sering melihatnya ke kantor pos. Ketika ia berhenti melakukannya, aku hanya berpikir menjadi filateli sudah ketinggalan jaman."

Jordi tersenyum pada pamannya. Ghani angkat bicara.

"Memang. Dia berhenti menyuratiku berbulan-bulan lalu. Ketika aku terus menyuratinya dengan perangko tambahan, yang jumlahnya sekarang mungkin cukup untuk makan sebulan, dengan harapan ia akan membalas suratku. . hal itu tak pernah terjadi."

"Ketika aku akan membakar kantor pos karena mungkin saja mereka membajak suratku. . Landi muncul." Akhirnya Jordi mendengar Ghani mengucap nama itu. Kedengarannya sungguh berbeda jika keluar dari mulut pamannya.

"Dia mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti. . bahwa hubungan kami tidak bisa lanjut. . karena alasan moral yang sungguh konyol."

"Tapi dia bilang dia masih mencintaiku. Sampai kapanpun. Cinta kami tak bisa terus terwakilkan oleh kata-kata diatas kertas. Sama sekali tidak cukup. Takkan pernah. Ia memintaku untuk tidak menemuinya lagi. . Aku menurutinya."

Sesuatu yang baru terpikirkan melintas di benak Jordi. Ia mengingat jam-jam di kelas saat gurunya selesai mengajar.

"Pak Landi berpikir dengan begitu dia merasa bebas, dengan merelakan orang yang ia cintai. Ia tahu ia tak bisa selamanya mengikatmu."

"Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pak Landi semakin tertekan. Dia mengambil tugas tambahan untuk mengajar Aritmatika di kelas kami. Justru. . ketika ia mencoba kelihatan tegar itu, dia malah semakin rapuh."

Ghani menyeka matanya yang sedikit berair.

"Setiap Rabu dia selalu ke taman di belakang sekolah. Aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya." ujar Jordi. "Kapan terakhir kali paman melihatnya?"

Ghani mengepalkan tangannya. Kenangan itu membawa rasa sakit yang menyesakkan di ulu dada. Rasanya jauh lebih baik jika ada yang menghajarnya alih-alih membuatnya sakit hati.

"Kau sudah terlalu banyak tahu untuk bocah seusiamu. Berhenti ikut campur dan urusi urusanmu sendiri." katanya dingin. Ia sudah berbalik dengan gelasnya, tapi keponakannya menolak hasil banding.

"Berapa umur paman ketika kalian saling jatuh cinta, eh? Berapa umurmu ketika kalian pergi ke konser Peterpan di Tidar?"

Ghani menggelengkan kepalanya, menolak kenangan itu merangsek ke bagian depan memori otaknya.

"Tidakkah paman ingin menemuinya. . hanya untuk sekali ini? Setidaknya sekarang kau punya alasan."

Jordi bangun dari duduknya dan menyerahkan gitar di pegangannya pada Ghani. Ia meremas bahu pamannya, mencoba membuatnya yakin. Ghani menatap keponakannya lekat-lekat setelah lama berpikir keras.

"Kau memang anak adikku." katanya.


Hari Rabu minggu berikutnya, ketika Jordi selesai dengan semua tetek-bengek urusan akhir tahun ajaran, dia cepat-cepat menyeret pamannya yang masih tidak percaya bahwa nilai rapornya memang bagus-bagus.

Jordi meninggalkan Ghani di Aula untuk pergi menemui guru bahasanya.

"Ada seseorang yang menunggu Anda. Di Aula." katanya pada Pak Landi. Untung sekali gurunya itu sedang bebas, jadi mereka langsung menuju ke bangunan depan sekolah melalui koridor yang penuh oleh wali murid.

Guru favoritnya itu punya gerak-gerik yang sangat lugu. Kacamata kuno yang ia pakai memberinya kesan manis, dan cerdas. Tubuhnya terlalu kecil untuk laki-laki seusianya, walau sebenarnya ia memang masih muda untuk ukuran guru.

Ghani bangkit dari duduknya ketika orang yang dipikirkannya muncul begitu saja dengan keponakannya. Ia tiba-tiba gugup setelah sesaat lalu yakin. Landi, yang barusan terkejut, walau ia berhasil menyamarkannya, hanya menatap Ghani sesaat sebelum berlalu pergi.

Jordi mengejarnya. "Pak Guru!"

Landi mengabaikan Jordi. Sang murid mengikuti gurunya hingga ke taman belakang sekolah.

"Pak Guru." kata Jordi. Ia memberanikan diri, "Anda mencintainya, 'kan?" kejarnya.

"Bukan urusanmu." jawab Landi.

"Mungkin bukan, tapi dia. . paman saya. . dia masih menunggu Anda."

Sunyi lama. Mereka terus berjalan sebelum Landi memutuskan berhenti. Keduanya berada di bawah pohon apel putsa besar. Jordi ikut berhenti, tapi mulutnya gantian berbicara.

"Sebelumnya saya tak mengerti kenapa paman saya tak pernah menikah." katanya pada Landi. "Maksudku, dia sangat tampan. Tak ada gadis yang akan menolaknya. Tapi, sekarang saya menyadari, bahkan seandainya seluruh gadis itu berdada rata dan bisa dua bahasa serta Aritmatika sekaligus. .  mereka tetap takkan bisa seperti Anda."

Landi membisu. Matanya menyiratkan kesedihan. Saat itu dari suatu tempat Ghani muncul dengan gitarnya.

"Kulepas semua yang kuinginkan

Tak akan kuulangi

Maafkan jika kau kusayangi, dan bila kumenanti"

Bajingan keparat itu menyanyikan lagu yang sangat dibenci Landi. Benar-benar keterlaluan. Tidak bisa diterima. Yang disebut belakangan memejamkan matanya, menggeleng.

"Pernahkah engkau coba mengerti

Lihat aku disini

Maafkan jika aku bermimpi

Salahkah tuk menanti"

Jordi melihat guru bahasanya itu menunduk, sementara pamannya mendekat. Kini Ghani sudah di belakang mereka.

Takkan lelah. . aku menanti

Takkan hilang. . cintaku ini

Hingga saat kau tak kembali kan kukenang di hati saja. .

Lagu itu terlalu singkat bagi Jordi. Ia beringsut menjauh ketika pamannya menyanyikan bait terakhir. Saat itu Ghani sudah menarik Landi yang menangis ke dalam pelukannya.

"Kau . . telah . . tinggalkan hati yang terdalam. .

Hingga. . tiada. . cinta yang tersisa di jiwa. . "


.

Fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar