4 September 2019

Cerpen: Empat Sekawan

Meja nomor sembilan di kantin SMEA Rokan selalu ditempati empat murid sekawan yang populer sekali. 

Itu dulu.

Sekarang meja itu kosong. Kalau orang-orang kebetulan lewat, guru ataupun murid, mereka akan menatap meja itu dengan sedih.

Empat sekawan sudah bubar, dan yang tersisa dari mereka adalah kenangan orang-orang akan meja itu.

Meja itu selalu paling berisik, paling misterius, dan paling penuh ide karena empat murid yang dulu duduk di sana sangat kompak dan sangat akrab.

Mereka mendiskusikan rahasia dan ide-ide gila tentang menyabotase pelajaran guru-guru yang dianggap paling menyebalkan, dan mereka jugalah yang paling pertama mengumpulkan sumbangan kalau ada murid yang orangtuanya meninggal.

Saat itu tanggal sepuluh Oktober,  aku masuk sekolah setelah libur tengah semester usai. Ketika jam istirahat pertama mulai dan orang-orang berebut memesan makanan, aku melihat Yayan duduk sendirian di meja nomor sembilan. Ia makan disana dengan tenang.

Aku jadi ingat kalau dulu Yayan sering duduk di situ sebelum empat sekawan terbentuk. Yayan-lah awal dari semuanya. Dulu tidak ada yang mau duduk dengannya karena sifat Yayan yang tertutup sampai Guta, Ruri dan Hasta mendekatinya.

Ia mengunyah soto di mangkuknya dalam diam dan sesekali mengusap ujung mulutnya. Ia seperti sesak napas sebentar sebelum meraih gelas es jeruknya yang berembun dan kembali tenang setelahnya.

Persahabatan empat sekawan meregang ketika di akhir tahun kedua SMEA mereka, Guta, salah satu dari empat sekawan meninggal karena kecelakaan motor. Ada hal lain yang turut menyebabkan berakhirnya grup itu walau orang tak pernah benar-benar tahu.

Tiga hari kemudian aku mendapati Yayan duduk di meja nomor sembilan lagi. Setelah berminggu-minggu terabaikan tiba-tiba dia kembali ke situ. Aku tahu Yayan mungkin merindukan saat-saat dulu empat sekawan masih ada. Ia bertahan duduk di sana seorang diri.

Orang-orang melihat pada Yayan dengan pandangan iba, tapi tak ada yang benar-benar bertindak karena Yayan selalu menjawab kalau dia baik-baik saja ketika ditanya.

Aku berjalan pada Hasta, satu-satunya empat sekawan yang masih ada selain Yayan, yang kebetulan satu kelas denganku. Ruri sudah pindah sekolah untuk melanjutkan tahun ketiga di SMEA yang lain.

"Nggak inginkah kau duduk disana?"

Aku menunjuk meja tempat Yayan duduk. Hasta hanya menggeleng saat kutanya dan membawa makanannya ke tempat lain. Ia juga sekarang makan sendirian di bawah pohon murbei sekolah yang tak pernah berbuah, menjauh dari yang lain.

Aku mengikutinya.

"Kau nggak kasihan sama dia?" tanyaku.

"Memangnya dia kenapa? Dia nggak apa-apa kok. Kau saja yang over sensitif."

Hasta mereferensikan kata dia seolah Yayan adalah orang asing, atau yang lebih buruk, seperti musuh.

"Kau yang kurang peka." Aku menghardiknya. "Sampai kapan kau mau mendiamkannya?"

"Aku nggak mendiamkannya." Hasta berdalih. Dasar pembohong.

"Aku tak tahu masalah apa yang menimpa kalian, tapi aku tahu kau menyalahkan Yayan karena kematian Guta. Itu konyol. Kalian sudah bersumpah untuk terus bersama-sama!"

Wajah Hasta mengeras.

"Kau nggak tahu apapun, Zakia. Berhenti mencampuri urusanku. Minggir."

"Baik!" Aku berkata ketus. "Aku memang nggak tahu apa-apa. Kupikir kau lebih loyal daripada ini. . rupanya aku keliru. Tapi ingat Hasta, persahabatan itu sampai mati."

Aku mengulang kalimat Guta yang pernah diulang Ruri, yang diulang Hasta, dan juga Yayan.

Aku meninggalkan Hasta dengan makanannya yang terlanjur dingin.


Kali berikutnya aku melihat Yayan makan sendirian di meja nomor sembilan aku benar-benar tak tahan. Aku membawa makananku dengan ragu-ragu dan duduk tepat di depan Yayan.

"Aku boleh duduk disini, kan?" Aku tahu aku sedikit memaksa, tapi lebih baik begitu daripada aku bernasib sama seperti yang lain, yang coba mendekati Yayan tapi menyerah di tengah jalan.

"Tentu saja." Yayan menjawab pelan. Entah terpaksa atau tidak, anak itu mengulas senyum.

Di dunia ini tidak ada yang namanya senyum palsu. Orang-orang tersenyum secara naluriah, dan beberapa orang merasa harus tersenyum karena alasan tertentu, walau mereka tidak ingin. Semua senyum itu asli. Kau hanya tidak tahu apa yang mendasari senyuman itu.

"Kabar baik?" Diluar dugaan Yayan menanyaiku lebih dulu.

"Ya." Aku menjawab. Aku mengerling pada makanannya. "Kau nggak bosan makan itu?"

"Ini?" Ia menunjuk mangkuk sotonya sendiri. "Nggak ada yang lebih enak dari Soto Ambengan." Yayan berkata polos.

"Kupikir kau harus coba sesuatu yang lain." Aku menggeser soto Yayan dan menukarnya dengan burger buatan ibuku.

"Itu bekasku." Yayan mencoba merebut mangkuknya kembali.

"Terus? Nggak ada racun-nya kan?"

Yayan menyerah. "Kau bawa bekal?" Ia keheranan.

"He eh. Ibuku sok merepotkan diri. Dasar emak-emak." Aku mengangkat bahu.

"Ini enak." kataku. "Mungkin karena bekasmu."

Yayan nyengir. Ia sepertinya sudah lebih ceria sedikit sampai Hasta lewat. Wajah Yayan berubah menjadi tanpa ekspresi. Ia seperti akan berkata sesuatu, tapi tidak jadi.  Aku sebisa mungkin berusaha tidak menyinggung soal kawan-kawan lamanya.

Jika dua sekawan yang lain tak sanggup memenuhi janji mereka, aku yang akan melanjutkannya.


Sehari setelah kejadian di kantin aku melihat Ruri di luar ruang Tata Usaha. Sudah pasti ia mesti bolak-balik mengurus keperluannya yang belum selesai. Aku menghampirinya.

"Kau pikir kau bisa menghindar, eh?"

Ruri menatapku dengan pandangan dingin.

"Aku nggak ingat pernah ada urusan sama kau, Zakia."

"Bukan sama aku." Aku menyeretnya ke sudut yang sepi dan mengedikkan kepala ke sosok Yayan yang nampak di kejauhan.

"Memangnya kenapa soal Yayan?" tanya Ruri. Apakah dia begitu bodoh? Aku marah.

"Dia yang paling kesepian karena Empat Sekawan bubar, kau tahu? Aku nggak peduli apa masalah kalian sebelumnya, tapi kalian telah bersumpah! Kau berutang itu sama Yayan!"

Aku menuntut Ruri. Ia seperti diserang.

"Kau pikir aku nggak nyesal?" Ia menjawab kasar. Ruri tampak merana dan merasa bersalah sekali.

"Aku nggak ngerti kenapa keadaannya jadi rumit sekali. . Semua berawal dari Yayan yang nyatain perasaan dia ke Guta. ." Ia menjelaskan. "Aku nggak bisa menyalahkan Yayan yang punya perasaan seperti itu ke dia. . tapi singkatnya Guta bereaksi berlebihan. Dia bilang sesuatu yang kelewatan. . jadi aku menghajarnya."

Ruri menelan ludahnya. Ekspresinya sedikit memucat.

"Kupikir mata kirinya setengah buta. . waktu dia pulang itu, dia kecelakaan kan? Polisi bilang mukanya lebam karena nabrak trotoar. . tapi bukan itu yang terjadi. Aku memukulnya sebelum dia kecelakaan."

Ruri memegang kepalanya. "Aku nggak bermaksud. . Aku nggak senang Guta meninggal, oke?"

Dia mulai menangis. "Waktu kudengar Guta kecelakaan aku langsung ke rumah sakit. . Guta kritis, tapi kudengar dari ibunya kalau dia sempat minta maaf soal kelakuannya. . "

Aku mendengarkan dengan kuping berdenging. "Bukan salahmu. Kau juga baca laporan polisi kalau truknya nerobos lampu merah kan? Kejadiannya jam dua pagi. . kau pikir di jam segitu orang lebih berhati-hati?" kataku.

Ruri melanjutkan, "Aku tahu aku nggak bersalah, tapi aku turut andil. . aku nggak mungkin merasa bebas. . "

"Sudah," kataku. Tenggorokanku tercekat. "Sudah."

Aku kasihan melihat Ruri yang terpuruk.


Di kantin Yayan duduk sendirian di meja nomor sembilan. Meja itu dulu sering digunakan main monopoli jauh sampai jam pulang sekolah lewat. Di masa sekarang ini Yayan sering menghabiskan jam selepas sekolahnya disana. . seolah dengan begitu semuanya akan kembali seperti dulu.

Yayan menyusurkan jari jemarinya di meja itu. . disitu pernah ada empat orang yang bersumpah kalau mereka bakal bersama apapun yang terjadi. Yayan tidak menyalahkan kawannya yang memilih pergi karena dia-lah yang merusak semuanya. .

Ia menunduk ketika dari arah belakang Hasta muncul dan memegangi pundaknya.

"Maaf." Didengarnya Hasta berbisik.

Yayan mulai terisak. Air matanya tumpah hingga ke ujung dagu dan bercampur dengan kuah sotonya. Ia mencengkeram gelas es jeruknya yang berembun.

Saat itu aku dan Ruri muncul.

Aku bertahan di tempatku berdiri sementara Ruri menghambur pada dua sekawannya.

Mereka duduk berangkulan mengelilingi meja nomor sembilan.

Akan ada saat dimana tiga sekawan yang tersisa akan kembali menjadi empat seperti sedia kala, tapi untuk sekarang aku membiarkan mereka bertiga.

Aku berjalan lurus menuju koridor yang sepi.

.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar