16 Desember 2019

Kerja di Telkom, Enak Nggak Sih?



Di dunia ini, dimana sih tempat kerja yang paling enak selain di Telkom? Hampir nggak ada! Ini benar lho. Mungkin selain jadi karyawan full-time di PT Mencari Cinta Sejati, Telkom-lah satu-satunya tempat kerja yang mentereng dan bikin saya nyaman sebagai budak kapital dan makhluk Tuhan yang santuy.

Pada kenyataannya, kerja di Telkom adalah impian banyak orang. Entah kenapa dulu saya nggak pernah mimpi begitu. Nggak ada angin, nggak ada hujan (kebetulan waktu itu hari sedang terik) tiba-tiba saya diterima bekerja sebagai teknisi Assurance untuk PT Telkom Akses per Februari 2018, dan kalau saya harus cerita bagaimana awalnya, wah, saya nggak keberatan sama sekali.

Feb '18. (Foto: Anton Aditama)
Saya yang tadinya bekerja sebagai waiter di sebuah resto dekat candi Borobudur, disarankan untuk melamar kerja di Telkom Akses oleh saudara Ibu saya, karena waktu itu sedang ada perekrutan. Saya kirimkan lamaran saya ke kantor Telkom di Jogja, tapi selama berbulan-bulan kemudian tidak ada kabar apapun. Disini saya sudah tidak berharap apa-apa karena sebelumnya saya sudah gagal melamar kerja berkali-kali. Saya sudah biasa ditolak dan nggak sedih-sedih amat ketika saya tidak kunjung dipanggil. Menjadi waiter adalah pilihan terakhir saya. Walau saya memang suka dengan pekerjaan ini, tapi 'kan nggak tiap hari saya bisa optimis soal berkarir.

Minggu-minggu berlalu tanpa ada kabar, lalu keajaiban terjadi.

Ada perekrutan PT Telkom Akses di Surabaya. Sekali lagi saya kirimkan lamaran via pos, dan beberapa hari kemudian saya dipanggil untuk mengikuti tes seleksi. Saya nggak berharap banyak, walau lirik lagu Surabaya oh Surabaya karya Titik Hamzah terus terngiang di kepala saya, saya jaga harapan saya dekat-dekat dengan tanah karena saya nggak akan tahan seandainya saya gagal lagi.

Sore itu juga, sepulang kerja saya diantar ke terminal untuk naik bus Eka, menempuh perjalanan sembilan jam dari Magelang ke Surabaya. Saya turun di Terminal Bungurasih dini hari buta. Setengah linglung, saya menunggu pagi tiba sebelum mencari bis kota. Sesuai arahan teman dan saudara Ibu saya, kernet bis, seorang wanita paruh baya, pesan dari HR, dan google map, saya menuju kantor Telkom di Kebalen.

Saya datang tepat waktu untuk mengikuti tes tertulis, dimana dalam ketergesaan sebagai waiter sore sebelumnya, saya lupa membawa alat tulis sama sekali. Setelah seorang karyawan HR mendelik dengan galak pada saya karena kebodohan saya sendiri, saya diuluri pulpen, rebutan dengan dua orang di sebelah saya yang juga tidak membawa alat tulis, dan segera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali asing. Ini tidak mudah karena tangan saya berkali-kali basah oleh keringat.

Ketika tes wawancara, saya agak waswas karena ini adalah bagian dimana saya sering gagal. Saya tidak pandai bicara atau mengutarakan pikiran. Meski saya sudah berlatih sekadarnya (dengan berulangkali membayangkan saya berada di acara talkshow) selama perjalanan dari Magelang ke Surabaya, saya masih tidak yakin. Dengan narsis saya membayangkan diri saya sebagai pewawancara dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang hampir mustahil. Karena jujur saja, nggak mungkin 'kan, saya bakal diwawancarai dengan gaya khas Tukul Arwana atau Andy F. Noya.

Saya bersama segudang pelamar lain menunggu diluar untuk dipanggil. Saya yang biasanya cengengesan nyaris tidak bisa senyum sama sekali. Ketika nama demi nama diminta masuk ke dalam, saya menunggu dengan menyilangkan jari, mengharapkan keberuntungan.

Setelah berjam-jam duduk setengah kelaparan, hingga pelamar terakhir keluar melewati pintu, saya tidak juga dipanggil. Ketika seorang karyawan HR melihat saya, saya diminta masuk dan ditanyai soal berkas. Karena saya mengirimkan lamaran via pos, berkas milik saya terpisah dengan yang lain. Setengah panik, saya menunjukkan bukti sms dari HR untuk mengikuti tes seleksi. Setelah menunggu lagi, saya diberitahu jika berkas milik saya tidak ada. Amplop map berisi lamaran dan fotokopi kertas-kertas penting saya tidak ditemukan dimanapun. Disitu saya terpana. Saya telah menempuh perjalanan tiga ratus lima puluh kilometer semalaman ditambah duduk menunggu seharian untuk diberitahu bahwa berkas saya tidak ada. Saya tidak bisa berkata-kata.

Beruntung mungkin, saya diminta menulis ulang lamaran saya, lalu diminta tetap mengikuti tes wawancara. Saya diajukan berbagai pertanyaan mengenai diri saya dan yang bisa saya lakukan. Saya merasa jawaban saya lemah dan wawancara itu tidak berlangsung sesuai harapan saya. Saya berjalan gontai keluar ruangan untuk selanjutnya mengikuti tes praktek.

Perlu beberapa waktu bagi saya untuk menemukan tempat tes praktek. Saya bolak-balik naik turun tangga seperti orang idiot. Selama wawancara yang menggelisahkan saya ditanya apakah saya takut ketinggian dan apakah saya sanggup bekerja di ketinggian. Ini membuat saya nyaris gila. Selama menunggu sebelumnya, saya telah mendengar beberapa pelamar bicara mengenai tes praktek, dan apa yang telinga saya tangkap membuat saya benar-benar ketakutan.

Jika saya berpikir wawancara adalah yang terburuk, rupanya saya keliru.

Kebalen. Feb '18 (Foto: Anton Aditama)
Saya melihat ke menara pemancar sinyal setinggi lima puluh kaki dan merasa horror. Saya bertanya-tanya apakah saya akan diminta naik menara itu. Setelah semenit yang terasa berjam-jam saya menemukan tempat tes praktek tepat ketika tes akan dimulai, yang berada di lapangan parkir belakang. Ternyata saya dan semua pelamar lain diminta untuk naik tangga, mengikatkan diri dengan safety harness ke tiang setinggi tujuh meter, dan mencoba meraih ujung penutup kotak distribusi terjauh.

Setelah demonstrasi penggunaan harness, saya gemetaran luar biasa. Perut saya serasa jungkir balik. Selama dua puluh tahun hidup saya, saya hampir belum pernah memegang tang dengan benar. Saya bahkan belum pernah naik tangga teleskopik sekalipun. Saya sama sekali tidak siap soal ini. Ketika tiba giliran saya, ditemani perasaan tidak nyaman didasar perut, saya menghadapi tes praktek itu dengan jiwa nekat.

Ketika diatas tangga, meski takut dan keteteran, tampak oleh saya langit sore yang indah. Saya sedikit terkesima dan merasa lebih dekat ke langit. Saya lilitkan harness saya ke tiang dan mencoba meraih penutup kotak distribusi terjauh. Orang-orang yang kelak akan menjadi teman saya melihat saya dari bawah. Diluar dugaan tes praktek itu berjalan lancar. Walau agak kikuk saya merasa mengikuti instruksi dengan baik dan turun dengan kaki gemetaran.

Ketika seleksi hari itu selesai, saya setengah berharap bahwa saya tidak diterima. Keinginan saya untuk bisa merantau ke Surabaya berbanding terbalik dengan kemampuan saya dalam kerja lapangan. Karena tahu saya tidak mungkin menginap dimana pun (saya tidak ada saudara) dan saya belum tahu kapan akan tahu hasil seleksi, saya memutuskan pulang. Setelah lebih dari dua belas jam berada di Surabaya, saya mengejar bis terakhir menuju Bungurasih dan naik bus Eka kembali ke Magelang malam itu juga. Saya ingat dalam perjalanan pulang naik bis, lampu-lampu kota Surabaya yang menyala indah melambai ke saya, dan saya membatin sampai berapa lama saya akan melihat lampu-lampu itu lagi.

Ternyata tidak lama.

Jawaban dari pertanyaan ini datang dua hari kemudian. Saya sampai di Magelang pukul empat pagi sehari sebelumnya dan masuk kerja di resto hari itu juga. Saya melewatkan dua hari berikutnya dengan banyak antisipasi, termasuk mencukur habis rambut saya.

Lalu ketakutan saya menjadi kenyataan: saya diterima bekerja di Telkom Akses sebagai teknisi lapangan. Saya bahagia sekaligus kuatir. Baru kemudian saya diberitahu jika nilai saya ternyata bagus.

Selama bulan-bulan berikutnya saya belajar segalanya dari nol. Saya menghadapi kesulitan-kesulitan yang belum pernah saya temui. Saya datang ke Surabaya tanpa mengenal siapapun, karena kurang fit saya mual-muntah sepanjang perjalanan sembilan jam dari Magelang. Terseok-seok dengan dua tas besar saya mencari kos-kosan paling murah yang bisa saya temukan. Masih jetlag akibat naik bus, saya mengikuti pelatihan yang memusingkan dan menguras otak. Saya mengalami masalah komunikasi karena ternyata kosakata, aksen, dan pelafalan bahasa Jawa di Magelang tidak sama dengan di Surabaya. Saya dianggap sombong karena saya seorang introver. Saya berulang tahun pada hari kedua pelatihan dan merasa kesepian karena tidak ada siapapun di sekitar saya yang mengetahuinya. Saya harus berjuang esktra untuk naik motor ditengah jalanan Surabaya yang brutal meski saya tidak mahir. Setelah itu semua, saya tidak tahu ternyata saya masih bisa selamat.

Kini saya menjalani kontrak kedua saya yang akan berakhir Januari depan, dan saya sedang sangat berharap bahwa akan ada kontrak ketiga. Jika saya melihat ke belakang, sudah banyak sekali hal yang saya pelajari. Tidak sekalipun dalam masa kecil atau remaja saya pernah membayangkan kalau takdir akan membawa saya untuk bekerja menghadapi hal yang paling saya takutkan.

Sudah tak terhitung banyaknya tiang yang saya naiki. Saya melompat dari satu atap rumah ke atap yang lain. Saya bisa menyambung dan menambat kabel tanpa banyak waswas. Saya makin mahir menyalip di jalanan yang penuh kendaraan. Semua berkat bantuan senior dan kawan saya di Gubeng, kantor dimana saya ditempatkan. 

Dalam kurun waktu itu saya pernah jatuh dari tiang dimana dua kuku saya harus dicabut sebelum tumbuh lagi, saya pernah jatuh ditabrak motor, saya pernah ratusan kali gagal menyambung kabel, tapi nyatanya saya belum kapok jadi teknisi lapangan. Kerja di Telkom mungkin nggak bikin saya bisa liburan ke Pulau Paskah di luar negeri atau gonta-ganti iPhone tiap bulan, tapi selama bekerja disini saya bisa membawa diri saya jalan-jalan ke Kenjeran dan Wonorejo yang nggak jauh-jauh amat.

Kerja di Telkom memungkinkan saya untuk membeli sekarung besar kuaci yang nggak habis saya cemil berbulan-bulan. Dan yang lebih berharga dari itu semua, kerja di Telkom bikin saya bisa koar-koar ke teman-teman saya yang hobinya pamer jerawat di media sosial.

Sebenarnya, yang ingin saya sampaikan, bagi saya yang terpaksa masuk sekolah teknik, yang tidak punya banyak bakat, bisa bekerja di Telkom adalah sebuah keajaiban. Untuk sebagian besar orang, yang saya alami hanyalah peristiwa kecil sepele, tapi bagi saya yang seorang penakut dan pengecut, menghadapi ketakutan saya adalah sebuah bukti bahwa saya pemberani.

Jadi, untuk sekarang ini meski tidak selalu mudah, Living in Telkom sebagai teknisi lapangan adalah hal yang saya syukuri.


Team SO Gubeng. Des '19 (Foto: Teddi Junandara)


====================Lomba Kompetisi Blog: LIVING IN TELKOM==================


Tidak ada komentar:

Posting Komentar