SEMUA TAK SAMA
sebuah cerpen.
.
.
Untuk
Muhammad “Eky” Rizky
***
Satria
duduk. Bagi sebagian orang, pantai adalah tempat yang sakral. Bagi sebagian yang
lain, pantai adalah kuil tempat mereka berdoa melepas keluh kesah. Karena pada
dasarnya, tidak peduli dimanapun kita berdoa, alam semesta selalu mendengarkan.
Saat
matahari terbenam di ufuk, sejumlah kecil orang duduk di kedalaman air yang
dangkal. Tersapu ombak tenang, mereka mengenang saat-saat paling membahagiakan,
atau saat-saat terendah dalam hidup mereka, sambil menikmati damainya sore.
Tria
menyilangkan kedua tangannya dan merapalkan doa. Angin datang memberantaki
rambutnya, tapi anak itu tidak peduli. Ia tengah khusyuk. Angin itu juga yang
membawa pergi doa Tria yang terucap dari bibirnya—tak henti mengeluarkan pinta
dan napas yang tertahan.
Sore
itu Tria memohon agar ada satu orang saja yang membantunya.
Sepuluh
tahun Tria tersiksa dan dia tidak menyadarinya—tidak sampai beberapa waktu lalu.
Perlu waktu selama itu agar Tria tahu bahwa dirinya terluka batin yang parah, dan
ia tidak yakin apakah dirinya akan pernah sembuh.
“Aku
memohon kepada-Mu ya Bapa, dan kepada seluruh alam semesta, bantulah aku menyembuhkan
diriku. Dengan kerendahan hati kumohon bantulah aku,”
Tria
berbisik kepada kekosongan, yakin bahwa doanya didengar. Tiga kali ia mengambil
napas dalam sebelum membuangnya. Kaki Tria memijak pada pasir pantai yang
lembut dan ombak yang menenangkan. Ia membasuh mukanya dengan air laut sebelum
membenamkan diri sepenuhnya.
Itu
adalah sore yang sempurna.
Delapan
puluh kilometer dari sana, Rizky terbangun dari tidurnya dengan wajah berpeluh.
Walau berkali-kali diingatkan bahwa tidur sore adalah kebiasaan yang buruk, dia
tetap saja bandel. Geragapan Rizky meraih kacamata dari samping tempat tidur
sebelum memakainya.
Kesadaran
berangsur-angsur memasuki benak Rizky saat ia mengerjapkan mata. Rizky merasa
pusing. Baru saja ia tengah bermimpi. Dalam mimpinya ada seseorang yang minta
tolong kepadanya. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya.
Ada
seseorang di suatu tempat yang meminta tolong. . Rizky ingin tahu apa arti mimpinya
ini. Tapi kepalanya begitu pusing hingga mencegahnya berpikir lebih jauh.
Saat
itu pintu kamarnya dijeblak membuka. Mama Rizky ada di ambang pintu.
“Maaf
ganggu, Ky. Mama minta tolong antar pesanan jeruk teman Mama bisa ya Ky?”
Rizky
yang takut durhaka dan menghargai Mama-nya lebih dari siapapun mengangguk,
kendati dengan enggan.
“Rizky
cuci muka dulu.” katanya. Ia bangun dan berjalan menuju kamar mandi, langsung
menceburkan kepalanya dalam bak mandi.
Di
luar, Rizky merapatkan jaket dan menggas motornya. Ia meluncur di jalanan
Surabaya yang padat, menyalip berbagai kendaraan. Keluarga Rizky sedang panen
jeruk lemon dalam skala besar, mereka menjual dan menawarkan lemon itu ke
banyak orang secara online dan Rizky biasa mengantarkan lemon-lemon itu kepada
pemesan jeruk mereka.
Kali
ini yang memesan adalah seorang wanita bernama Widi yang tinggal di daerah
Rungkut. Rizky tiba disana saat hari gelap, nyaris tidak ada sinar matahari
yang tersisa di cakrawala. Yang membukakan pintu saat Rizky tiba adalah seorang
anak kecil yang mungkin seumuran keponakannya. Anak itu berlari memanggil ibunya.
“Mama,
ada mas-mas yang nganter lemon!” anak kecil itu memberitahu sang ibu.
“Iya
sebentar, Mama masih mandi.”
Sesaat
hening. Saat ditinggal sendiri Rizky merasakan hawa yang tidak enak di sekitar
ruang tamu.
“Saya
tunggu di luar saja Bu!” seru Rizky, buru-buru keluar.
Setelah
sepuluh menit yang terasa berjam-jam akhirnya si empunya rumah keluar dan
menyerahkan uang yang sudah terbungkus amplop.
“Maaf
nunggu lama mas, ini uangnya.” kata Widi.
“Iya
Bu, saya langsung cabut kalau gitu,”
Rizky
undur diri. Saat menutup pintu, samar-samar Rizky melihat bayangan menyeramkan
di ujung ruang tamu yang gelap. Secepat kilat Rizky membawa kabur motornya.
Setengah
jam kemudian Rizky sudah ada dibawah Satu Atap yang nyaman, ditemani ketiga
kroninya; Fikri, Azis dan Taufiq. Kafe itu ada di tengah kota dan Rizky
kadang-kadang kesana jika bosan di rumah. Atau, kalau dalam kasusnya sekarang,
saat ia ketakutan.
“Barusan
aku kayak dilihatin, deh.” Rizky memulai.
“Kebuka
lagi?” tanya Taufiq.
“Iya,
aku kayak lihat semacam mata merah, di rumah yang kuanterin lemon barusan.
Nggak begitu jelas sih, tapi hawanya nggak enak banget.”
“Nggak
usah terlalu dipikirin,” kata Fikri.
“Kalo
lagi capek kadang suka gini. . akhir-akhir ini capek banget aku. Suka
kebuka-buka sendiri. Aku nggak mau diganggu tapi susah ngontrolnya,” kata Rizky
letih.
Azis
yang tidak tahan dengan cerita menyeramkan langsung menginterupsi. “Serem
anjir. Jangan cerita hantu dong,” Ia memang paling penakut diantara mereka
berempat.
“Kamu
harus pandai atur waktu, jangan sampai kecapekan, mental kamu kebanting nanti.”
Fikri menasehati. “Kasihan badanmu juga.” Ia menimpali.
“Libur
aja dulu Ky. . kita semua butuh refreshing. Lagian kapan terakhir kita liburan bareng
coba? Cus. Ambil jadwal kosong.” ujar Taufiq.
Azis
ikut memberi simpati. “Bener kata Fikri. Kamu banyakin istirahat, jangan
memforsir diri.”
Rizky
mendengarkan teman-temannya dengan seksama.
“Iya
sih,” katanya setuju.
“Mau
ke Semarang? Kita ajak Anton sekalian. Dia katanya pengen ke pantai tuh.” Taufiq
memberi saran.
“Boleh,
japri aja anaknya.” ujar Fikri, sementara Azis nimbrung, “Kayanya aku nggak
bisa ikut deh guys, kalo liburan. Jadwalku pasti bentrok. Maaf ya. . ”
“Nggak
ada yang ngajak kamu juga sih, Zis.” Taufiq berkata sinis, walau ia tidak
betul-betul memaksudkannya.
“Jahat
banget.“ kata Azis, dan ia memalingkan muka dengan angkuh.
Fikri,
Taufiq, dan Rizky tertawa. Rizky sama sekali lupa akan mimpinya sore tadi
hingga pikran soal mimpi itu tergerus keluar dari benaknya.
Dua
minggu kemudian Rizky, Fikri, dan Anton mengepak masing-masing bawaan mereka. Ketiganya
bersiap untuk ke Semarang dan telah membeli tiket kereta yang berangkat dari
Stasiun Pasarturi. Sebetulnya Taufiq akan ikut, tapi ia tiba-tiba membatalkan
rencananya seminggu sebelum hari keberangkatan. Sebagai gantinya ia mengantar
mereka bertiga ke stasiun.
Di
gerbong nomor enam Anton duduk dengan Fikri, sementara Rizky duduk terpisah.
Kursi yang seharusnya diduduki Taufiq kosong dan tidak ditempati siapapun di
sebelah Rizky. Saat kereta mulai berjalan Rizky merasa agak kesepian karena
absennya Taufiq. Sesekali ia melempar pandangan ke belakang dimana Anton dan
Fikri sedang ngobrol seru. Tak ingin mengganggu mereka, Rizky lalu menyetel
playlist dari hapenya, yang berisi lagu-lagu Maia dan Anggun.
“Disini
kosong, ya?”
Belum
genap Rizky mendengarkan satu lagu, sudah ada seseorang yang menginterupsinya. Apakah
orang itu buta? Jelas-jelas kursi itu kosong. Dengan jengkel Rizky membetulkan
letak headsetnya dan mengangguk kaku.
“Iya,
kosong.” jawab Rizky. Selama sedetik ia melirik si pemuda yang baru saja
menganggunya, kini sedang berusaha memasukkan tas miliknya ke rak di atas. Cowok
itu sebetulnya lumayan cakep. . Rizky baru akan memakluminya ketika anak itu
dengan ceroboh menyenggol jatuh botol minum Rizky. Ia kembali dongkol.
“Hati-hati
dong,” kata Rizky, merengut. Ia mengingatkan diri untuk tidak mudah marah-marah
dan lebih mengontrol emosinya.
“Sori,”
kata anak itu, tidak terdengar seperti minta maaf. Ia memungut botol minum
Rizky dan mengembalikan benda itu pada tempatnya.
“Aku
duduk disini nggak apa-apa, ‘kan?” tanya anak itu lagi. Cowok ini sepertinya
memang setengah buta, karena tidakkah ia melihat bahwa Rizky sedang mencoba
menikmati lagunya? Dari hape Rizky menekan tombol plus pada volume, lagu Mantra
yang dilantunkan Anggun menghentak semakin keras. Ia sama sekali tidak mengacuhkan
si pendatang baru.
“Namaku
Tria.” Cowok disebelah Rizky rupanya belum akan menyerah untuk mengajaknya
bicara. Sepertinya Rizky harus menegaskan maksudnya dengan jelas.
“Maumu
apa sih?” kata Rizky, melepas headset dan menatap Tria.
“Nggak,
yah. . kupikir kau perlu teman ngobrol. Kulihat temanmu duduk di kompartemen
lain, jadi kutemani disini. . “ terang Tria, ia menunjuk Anton dan Fikri yang
sedang ngemil permen dan kacang, lalu buru-buru menambahkan, ”Hanya kalau
kau mau. . makanya aku nanya dulu tadi, ganggu atau nggak. . Sori deh kalau
ganggu,“
Rizky
sedikit melunak mendengar penuturan Tria.
“Yeah,
trims. . “ katanya sambil lalu. “Namaku Rizky.”
Rizky
menatap teman ngobrol barunya. Ia melepas headset dan duduk sedikit lebih
tegak.
“Rizky
ya. . salam kenal. Habis liburan di Surabaya rupanya? Atau anak rantau?”
Dalam
hatinya Rizky bimbang apakah sebaiknya ia jujur atau tidak. Ia memutuskan untuk
jujur.
“Nggak.
Keluargaku tinggal di Sidoarjo, tapi kalau main aku sering ke Surabaya sih.
Dulu keluargaku punya rumah di Surabaya tapi udah pindah. Kau sendiri?”
“Gitu
ya. . aku anak rantau. Di Surabaya ngekos.” kata Tria. Ia tersenyum, sebuah
senyum yang sungguh menawan.
Rizky
membetulkan letak kacamatanya. “Anak kos ta. . nggak masalah. Kuliah atau
kerja?”
Sedikit
demi sedikit penilaian Rizky akan Tria berubah. Keduanya langsung akrab pada
detik Rizky melonggarkan pertahanan dirinya. Tapi bukan berarti Rizky tidak
berhati-hati. Ia belum tahu apa motif Tria sebenarnya. . Ia belum percaya
sepenuhnya pada anak itu.
Sawah
dan ladang bergerak di jendela sementara kereta meluncur ke Barat.
Rizky
dan Tria ngoceh tentang banyak hal hingga tujuan akhir stasiun mereka. Tria
membelikan Rizky makan siang, yang dengan sungkan diterimanya. Keduanya
berpisah di pintu keluar Stasiun Semarang Tawang begitu kereta berhenti. Tria
berkata dia akan ke Karimun Jawa, dan memaksa memberi Rizky kontak What’sApp-nya.
“Nama
lagunya Gambang Semarang!” Anton memberitahu teman-temannya begitu ia turun. Mereka
disambut lantunan melodi yang memenuhi seluruh stasiun sementara ketiganya menyeret
koper milik masing-masing. Tapi baik Fikri atau Rizky tidak memerhatikan.
“Cie.
. siapa tuh?” Fikri lebih fokus pada cowok yang barusan pamit pada Rizky, kini berganti
melambai pada mereka.
“Arek
nggak jelas,” kata Rizky.
“Cakep
kok.” kata Anton, menilai Tria yang kemudian berjalan menjauh. “Cocok sama mas
Eky,” Ia menambahkan dengan cengiran.
“Haduh,
udah ya. . Yuk. Kita lanjut ke penginapan. Capek aku naik kereta ekonomi. . ”
“Sayang
Taufiq nggak jadi ikut, padahal seru banget kalau jadi berempat. Dia bisa
disuruh-suruh bawa tas kan. . “
“Kurangajar.”
kata Rizky.
Fikri
dan Anton tertawa.
Di
hari pertama di Semarang mereka mengunjungi Lawang Sewu dan Kota Lama, sementara
pada hari berikutnya mereka berkeliling ke Klenteng Sam Poo Kong, Puri
Maerokoco, dan sempat mampir ke sebuah pantai yang berhadapan langsung dengan Laut
Jawa.
Karena
masing-masing dari mereka hanya mendapat jatah libur dua hari, mereka tidak
bisa lanjut menyeberang ke Karimun Jawa dari pelabuhan Jepara. Meski begitu Rizky
telah mendapat cukup banyak foto bernuansa gaib dalam kunjungannya ke Lawang
Sewu, tempat yang menurutnya mistis, dari berbagai macam angel. Sejauh ini
tempat itu tidak mengecewakannya.
Dalam
perjalanan pulang, ketika berada dalam bus menuju terminal, seorang pengamen
wanita tua bermodalkan sebuah kecrekan menyanyikan lagu Semua Tak Sama
milik Padi. Baik Rizky, Fikri maupun Anton tertegun sementara si pengamen melafalkan
bait demi bait lagu itu;
Coba
'tuk melawan
Getir
yang terus kukecap
Meresap
ke dalam relung sukmaku
Coba
'tuk singkirkan
Aroma
napas tubuhmu
Mengalir
mengisi laju darahku
Semua
tak sama, tak pernah sama
Apa
yang kusentuh, apa yang kukecup
Sehangat
pelukmu, selembut belaimu
Tak
ada satu pun yang mampu menjadi sepertimu
Rizky
melihat ke luar kaca. Ia melihat pantulan bayangannya sendiri bersama kelebatan
gedung-gedung yang berseliweran di kaca. Lagu Semua Tak Sama yang
diyanyikan si pengamen seperti berbicara kepadanya.
Entah
kenapa, lagu itu seperti mengingatkan Rizky pada sosok Satria. Anak itu telah
beberapa kali mengirimnya pesan What’sApp sejak mereka berpisah dua hari lalu. Dari
status WA-nya, Rizky tahu dia sedang melewatkan hari-harinya menyusuri
pantai-pantai Karimun Jawa yang tenang dan sepi.
Rizky
merogoh hapenya di saku, bermaksud menghubungi Tria, tapi lalu dia mengurungkan
niatnya. Terpikir olehnya akan lebih baik kalau anak itu yang menghubungi Rizky
lebih dulu. Rizky tidak ingin terlihat terlalu tertarik berbicara kepadanya, walau dia
sebetulnya mulai terbiasa dengan anak itu.
Bus
berhenti sebentar. Lamunan Rizky akan Tria buyar. Seorang nenek penjual jajanan
pasar memanjat masuk lewat pintu depan. Ketika di dalam ia memaksa Fikri dan
Anton untuk membeli dagangannya. Pada akhirnya, karena alasan kemanusiaan,
mereka bertiga yang tidak tega dengan si nenek memborong semua gula kacang, peyek
cempli, wingko babat, dan lumpia kering yang masih akan tahan selama tiga hari
dengan sisa uang perjalanan mereka.
Nenek
itu mengucapkan banyak terima kasih, dan mendoakan mereka agar bertemu jodoh
yang baik dan rupawan. Si wanita tua pengamen ikut turun bersama nenek penjual
jajanan pasar di terminal berikutnya.
Ketika
mereka berganti bus patas tujuan Surabaya, setelah banyak penjual wara-wiri
menawarkan dagangan mereka, Rizky duduk di sebelah Anton sementara Fikri
terhimpit di belakang oleh dua bapak-bapak berbadan kekar. Dalam perjalanan itu
Rizky tertidur.
Malam
itu juga Rizky mendapat mimpi yang sama dengan mimpinya berminggu-minggu lalu,
tentang seseorang yang minta tolong kepadanya dari jauh. Ketika terbangun
beratus-ratus kilometer kemudian, bus yang Rizky tumpangi telah sampai di
gerbang tol terakhir sebelum masuk ke Bungurasih.
“Kau
oke?” Anton menanyai Rizky.
Rizky
tidak sadar sedari tadi Anton mengawasinya. Ia berdeham dan mengambil minum.
“Yeah,
aku nggak apa-apa. Kenapa?”
“Kau
meracau waktu tidur. Mimpi buruk kah?”
“Nggak
kok. . cuma aneh saja. Ada yang minta tolong tapi aku nggak tau siapa. . “
Rizky menceritakan detail mimpinya. “Aku dengar suaranya, tapi nggak ada
siapa-siapa. Dia minta tolong. Suara laki-laki. Aku mau tanya sama temanku apa
artinya mimpi ini. . ”
Anton
mengamati Rizky dengan prihatin.
“Waktu
di Lawang Sewu kau nggak kenapa-napa ‘kan?” tanya Anton. “Jangan dibawa beban.
Mungkin cuma kecapekan . . Biasanya juga aku mimpi aneh-aneh kalo pas
perjalanan jauh.”
“Nggak.
. sebelumnya aku udah mimpi kaya gini
juga. Aku penasaran, ini wajar nggak sih?”
“Ganggu
banget nggak?” Anton bertanya, “Kalau ganggu, mungkin kau emang harus tanya
temenmu deh. Dia ahli ‘kan?”
“Nggak
begitu ganggu sih. . “ kata Rizky, sedikit tidak jujur.
Anton
menepuk Rizky di pundak sebagai tanda simpati. Rizky beralih menatap jendela.
Di ufuk semburat merah mulai merajai langit. Sedikit demi sedikit fajar
menyingsing. Pagi telah tiba.
Tiga
minggu setelah kepulangan mereka dari Semarang, Rizky bertemu dengan Tria, atas
permintaan dari anak itu. Kalau boleh dibilang Rizky sebetulnya dipaksa, tapi
akhirnya dengan sukarela ia datang sendiri menuju kos Tria, ingin tahu apa
maksud anak itu. Biasanya orang-orang yang mencoba berkenalan dengan Rizky akan
menyerah dengan mudah setelah beberapa hari ngobrol dengannya, karena mereka
semua adalah sekumpulan pecundang yang lemah. Tapi Tria sejauh ini masih
bertahan. Ia masih mau membagi kisahnya dengan Rizky dan juga sebaliknya.
Selama
kurun waktu itu mereka telah ngobrol dua kali di tempat umum, Tria begitu
mempercayai Rizky karena bahkan ia sering menitipkan dompetnya saat mereka
makan berdua. Rizky sendiri masih ragu kenapa ada orang asing yang tiba-tiba
akrab dengannya. Apa sebenarnya maksud dari sikap Tria? Selama ini Tria
menunjukan gelagat kalau dia tertarik pada Rizky, tapi apakah Tria betul-betul
menyukainya?
Saat
Rizky menanyakan alasan kenapa Tria terus menghubunginya, jawaban yang
didapatnya hanyalah,
“Nggak
tahu. . waktu ketemu di kereta itu aku lumayan tertarik padamu. . seperti pernah lihat wajahmu di aplikasi. Tahu
yang kumaksud ‘kan? Aku ngrasa pengen kenal dekat aja.“ jelasnya.
Sejauh
ini Tria banyak mengeluh tentang mantan pacar laki-lakinya. Mereka telah
berpacaran selama sepuluh tahun, tapi mantan Tria ini malah menikah dengan
orang lain, yang notabene seorang perempuan.
Kejadian
ini membuatnya benar-benar terpukul. Rizky merasa Tria masih mencintai mantan
pacarnya itu. . Inilah yang membuat Rizky masih belum bisa percaya sepenuhnya dengan
Tria, bahkan hanya untuk menjadi sahabatnya. Rizky tidak ingin dijadikan pelarian.
Rizky
menunggu di luar gerbang sementara Tria turun. Anak itu membuka gerbang dengan
wajah mengantuk.
“Kapan
pulang?” tanya Rizky. Tria bercerita kalau dia pergi nonton wayang hingga larut
semalam.
“Jam
empat tadi,” jawab Tria pendek.
“Pantes
masih kusut gitu.” celoteh Rizky, tapi Tria tampak diam. Ia tidak seperti Tria
yang supel saat di kereta waktu mereka pertama bertemu.
Mereka
berdua masuk ke dalam kamar dua kali tiga meter yang dipenuhi barang-barang
Tria. Selain lemari, rak buku, tempat tidur yang berantakan, peralatan makan,
dan sebuah meja kayu dengan magic jar diatasnya, nyaris tidak ada ruang
untuk memajang foto, kecuali sepetak dinding di atas bantal tempat tidur Tria yang
ditempeli berbagai potret dirinya.
“Udah
lama kos disini?” Rizky mencoba memantik obrolan lagi, saat keduanya duduk
bersisian di tempat tidur, tapi yang dilakukan Tria hanyalah memberi Rizky
anggukan. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Semangat Rizky sedikit
menurun.
Selama
satu jam berikutnya hanya ada keheningan.
Tria
tidak menawari Rizky apapun, atau setidaknya menujukkan tanda-tanda kalau ia
menghargai kedatangan Rizky, setelah malam sebelumnya anak itu memohon-mohon
agar Rizky mau datang ke kosnya.
Menit
demi menit berlalu sementara mood Rizky makin memburuk.
Tria
sibuk dengan hapenya dan tidak sekalipun memperhatikan Rizky. Kesal, Rizky
bangkit dan keluar kamar Tria tanpa berpamitan. Dia sudah memakai sepatunya dan
sampai di ujung tangga terbawah ketika Tria mengejarnya hingga ke luar.
“Hei,
mau kemana?”
“Aku
pulang deh,” kata Rizky. “Aku ada janji juga sama temanku yang lain. . teman
yang jelas lebih menghargai waktuku.”
“Sori.
. Aku nggak tahu harus gimana. . Aku—“
“Kau
cuma harus ngomong,” Potong Rizky, menekankan kata terakhir. Ia
membanting gerbang kos Tria hingga besi teralisnya berderak, meninggalkan Tria
yang berdiri tertegun.
“Aku
ada sedikit masalah. . “ Rizky mulai
bercerita. Ia memijat pelipisnya yang kadang-kadang pusing. Sakit kepalanya
sering kambuh akhir-akhir ini. Setelah penampakan mata yang dialaminya tempo
hari, sedikitnya Rizky melihat dua penampakan lain di sekitar rumah saudaranya
dan sebuah kolam renang di Sidoarjo. Tapi bukan itu alasan dia mendatangi
Yusian. Rizky hanya butuh tempat berbagi saat ini, seseorang yang benar
mengerti keadaannya, dan Yusian adalah sedikit dari temannya yang demikian.
Mereka
mulai dengan meditasi seperti biasa. Rizky ingin mendapat pencerahan dari
masalahnya.
Tria
hadir mengusik hidup Rizky, dan ini lebih membuatnya repot dari hantu manapun,
karena alasan datangnya yang tidak jelas. Rizky tidak tahu apakah dia harus
membiarkan Tria atau mengabaikannya. Sebetulnya Rizky mulai menyukai anak itu,
tapi jika alasan Tria datang ke hidupnya hanya untuk main-main. . atau mencari
pelampiasan, jauh lebih baik bagi Rizky kalau dia diganggu seribu hantu saja.
Hantu jauh lebih mudah untuk diusir, sementara menghadapi manusia adalah hal
lain.
Manusia
adalah makhluk paling merepotkan. Jika ada pengecualian, Yusian mungkin salah
satunya.
Yusian
adalah seorang perempuan menyenangkan yang berdandan seperti anak punk-rock.
Gayanya santai sekali. Rizky menyukainya karena Yusian terkesan pintar, seperti
para cendekiawan. Kalau Rizky bukan gay, mungkin dia sudah memacari Yusian
sejak lama. Perempuan-perempuan dengan otak brilian sering membuatnya senewen
dan tidak tahan. Tapi Yusian tidak menyukai laki-laki, sama halnya dengan Rizky
yang tidak menyukai perempuan. Dia selalu menolak jika disebut paranormal,
walau ia suka berurusan dengan hal-hal klenik.
Yusian
adalah saudara kembar Devian, teman Rizky yang lain, tapi mereka nyaris tidak
pernah kelihatan bersama. Tidak seperti biasanya, Yusian kali ini membawa kartu
tarot. Walau Yusian bukan profesional, dia cukup ahli dalam hal ini.
Rizky
menceritakan pelik permasalahannya.
“Pernah
dibaca sebelumnya?” Yusian bertanya. “Tarot ini bukan untuk meramal masa depan.
. tapi kartu-kartu ini lebih untuk membantu kita menjabarkan masalah. Nantinya
kita bisa memutuskan jalan keluar yang lebih akurat,”
“Dulu
pernah, sekali.” jawab Rizky.
“Kalau
gitu kau tahu yang harus dilakukan. Aku nggak perlu banyak ngomong,” Yusian
tersenyum.
Rizky
mengambil tiga kartu tarot secara acak, dan menaruhnya secara berurutan. Rizky
membiarkan Yusian membuka kartu-kartu itu sebelum kemudian membacanya.
“Disini
ada kartu Death. . Ini salah satu kartu Arkana Mayor,“
Yusian
menujuk sebuah kartu bergambar ksatria tengkorak berbaju zirah menunggang kuda
putih, dan membawa bendera hitam dengan angka tiga belas bergaya Romawi. Latar
belakang kartu itu adalah sebuah negeri yang sepertinya tengah dilanda wabah. Dua
kartu yang lain bergambar masing-masing seorang pria. Pria yang pertama
mengenakan pakaian berjubah dan memegang tongkat panjang, sementara pria yang
lain sedang duduk bersila menghadap empat piala. Satu diantara empat piala itu
dipegang oleh sebuah tangan yang melayang.
Yusian
menarik kesimpulan dari kartu-kartu yang didapat Rizky.
“Kau
punya ketertarikan dengan orang yang baru kau temui akhir-akhir ini, hanya saja
kau masih belum yakin. . kau masih menebak-nebak. . sementara untuk orang yang
mendekatimu, dia baru saja selesai dengan sebuah hubungan lama dan bermaksud
memulai sesuatu yang baru. . tapi,”
Yusian
berhenti dan menujuk pada satu kartu yang ditengah, “Tapi diantara kalian belum
ada kecocokan. . masih ada sesuatu yang nggak nyaman pada hubungan kalian. .
Menurutku kau harus mencari tahu apa yang mengganjal ini. . Kalau kau ingin terus
lanjut,”
Rizky
mendengarkan dengan seksama sementara Yusian menatapnya tepat di mata,
“Saranku, coba jalani dulu apapun yang telah kalian mulai ini. . kalian samakan
dulu prinsip kalian. And that’s it.“
“Wow,”
kata Rizky. “Keren,” ujarnya takjub.
“Benar
berapa persen kira-kira, Ky?”
“Mungkin
sekitar sembilan puluh persen. . Kau hebat deh.”
“Nggak,
aku masih pemula kok,”
Yang
Rizky tidak mengerti dari kartu-kartu Tarot ini, apa jadinya jika ia mengambil
kartu yang lain? Apakah penjelasannya akan cocok juga?
“Cuma
ada satu pola untuk satu masalah, Ky. Pola ini nggak mungkin berulang lagi. . Kau
nggak bisa mengulang mengambil kartu yang lain untuk masalah yang sama. Tiga
kartu pertama yang kau ambil, itulah yang jadi pakem.”
Yusian
menjawab tanya Rizky meski anak itu tidak menyuarakannya. Yusian berkata lebih
lanjut.
“Alam
pikiran bawah sadar kita turut andil, Ky. . saat kau mengambil kartu-kartumu.”
Yusian
mengakhiri sesinya dengan sebuah senyum misterius. Rizky mengucapkan terima
kasih dan memeluknya. Mereka lanjut ngobrol tentang masalah Rizky yang lain,
penampakan yang ia lihat dan mimpi orang minta tolong yang sempat
mengganggunya.
“Aku
nggak ahli kalau soal tafsir mimpi Ky. . bisa jadi ada hubungannya dengan
masalahmu baru-baru ini. . Bisa juga itu cuma mimpi kosong. Jangan terlalu
diambil pusing.”
Setelah
pulang dari pertemuannya dengan Yusian, Rizky merasa agak bersalah dengan
sikapnya pada Tria siang tadi, walau sebetulnya anak itu sedikit banyak memang
pantas diperlakukan demikian.
Dia
lalu menelpon Tria malam itu, meminta maaf, tapi anak itu malah menangis.
“Aku
pengen berubah Ky. . Aku nggak mau gini lagi. Aku benar-benar pengen move on,
tapi ini susah. . Sepuluh tahun pacaran dan dia menikah sama orang lain. . aku
masih susah nerima.”
“Aku
mohon bantuanmu, Ky”
Rizky
sakit hati mendengarnya. Berani-beraninya dia? Rizky menghela napas dengan
keras. Suara tangis Tria menunjukkan bahwa dia benar-benar terluka. Ia baru
akan bersimpati ketika Tria mengatakan sesuatu yang menurut Rizky terdengar
sangat salah di telinganya.
“Aku
capek hidup kaya gini Ky! Aku nggak mau jadi gay! Aku pengen berubah jadi
normal!” Tria mulai meracau dari seberang telepon.
“Memangnya
kau power ranger, eh? Kaupikir kau itu Kamen Raider bisa berubah? Kau
konyol banget deh.” Rizky menahan emosi, “KAU TUH NORMAL, DASAR GOBLOK!“ Pada
akhirnya Rizky tidak bisa menahan makiannya.
Satria
menggeleng, tapi jelas Rizky tak bisa melihatnya.
“Kau
nggak ngerti Ky. . aku nggak mau
nyakitin orang tuaku. Mereka pengen aku nikah.”
“Ya
kamu nikah aja, kalau gitu.” Rizky mendengus. Ia menurunkan emosinya yang telah
mencapai ubun-ubun. Kendati Rizky tidak ingin kasihan pada Tria.
“Mana
bisa? Aku nggak mungkin nikah sama perempuan kalau keadaanku masih gini.”
Rizky
memutar bola matanya. Ia sudah terlalu hafal dan jengah dengan skenario semacam
ini. “Pernikahan yang menyakiti pasangan itu hukumnya haram, kau ngerti akidah ‘kan? Jelaskan itu pada
orangtuamu,” kata Rizky, mengulangi kutipan dari film Ketika Cinta Bertasbih.
Satria
hanya diam di seberang. Rizky masih bisa mendengar isakannya. Rizky mencoba
bersikap waras dan mengambil jalan tengah.
“Kalau
kau nikah, kau nggak hanya akan menyakiti dirimu sendiri atau keluargamu. Kau juga
bakal menyakiti calon istrimu serta keluarganya.”
“Karena
itulah. . Ky. Aku mohon bantuanmu. Aku nggak mau menyakiti siapapun, apalagi
orang tuaku.” Tria memelas.
Sungguh
ironis, pikir Rizky. Tidak ingin menyakiti siapapun, katanya? Bagaimana dengan
Rizky? Tidakkah Tria sadar dia barangkali juga menyakitinya?
Sisi
empati Rizky ingin menempatkan dirinya pada posisi Tria. . mantan kekasihnya
telah menghancurkan hidupnya. . Dia juga punya orang tua yang tidak mengerti
dirinya.
Pertahanan
diri Rizky runtuh. Anak itu memerlukan bantuan. Sisi malaikatnya menang.
“Oke,
aku bakal bantu,” Ia luluh.
Sebisa
mungkin Rizky membuat Tria berpikir cerdas dan logis, walau itu membuat Tria semakin
merasa dilema. Hal paling mendasar sekalipun, tentang jati dirinya. . Tria
masih belum paham. Anak itu masih terdoktrin bahwa menjadi dirinya sendiri
adalah suatu yang salah. Rizky ingin membebaskannya
.
Dua
hari kemudian atas nama persahabatan mereka yang telah tumbuh, dan sejumput
kecil rasa iba, Rizky membawa Tria pada seorang psikolog yang menjadi sahabatnya,
Ani, dan seseorang yang selama ini menjadi panutan dan tempat curhat Rizky,
Ustad Muif.
“Gay
itu bukan penyakit, jadi nggak ada yang namanya sembuh. Kau normal sama seperti
manusia hetero manapun. WHO sudah lama menghapus LGBT dari daftar penyimpangan
seksual. PPDG II Psikologi juga melarang mengkategorikan homoseksual ataupun
biseksual sebagai penyakit kejiwaan, karena memang bukan penyakit. . Lalu ada
jurnal DSM V. . Juga penelitian yang membuktikan bahwa homoseksualitas
ditemukan di lebih dari 1500 spesies hewan dan mamalia, termasuk manusia.“ Ani
menjelaskan secara panjang lebar.
“Biseksual,
homoseksual, heteroseksual, aseksual, semua adalah orientasi seksual dan
semuanya setara di hadapan Allah. Orang sekarang keliru merancukan LGBT dengan
kaum Nabi Luth.” Ustad Muif menjelaskan.
“Apa
yang dilakukan Kaum Luth? Mereka membunuh, memerkosa laki-laki dibawah umur,
mereka benar-benar rusak moral. Jelas sekali alasan kenapa Tuhan melaknat
mereka. Mereka melakukan sodomi atas dasar paksaan, bukan karena saling
menyayangi! Itu tidak bisa diterima, karena merendahkan martabat manusia.”
“Banyak
cendekiawan muslim jaman dulu yang menerima eksistensi homoseksual. . Hasan
al-Basri, Ibn al-Hazm. Ada juga al-Zuhri, al-Musytawli, Abu Hurairah, al
Muttaqi, al-Hindi, al-Zahabi, al-Suyuthi, mereka semua menolak hukuman terhadap
homoseksual. Dan tidak sekalipun dari mereka menyangkutkan homoseksual dengan
Kaum Luth. Kau juga pernah membaca cerita Abu Nawas, tentunya? Dia ada di Kisah
Seribu Satu Malam. Dia seorang penyair terkenal, dan seorang homoseksual, sama
halnya dengan kau! Walau sedikit nyeleneh, tapi dia muslim yang taat.”
“Lalu
ada Yahya bin Aktsam. . seorang al-Qadhi di masa khalifah al-Ma’mun,”
“Lama
setelah Islam ada dan berkembang, Kesultanan Ottoman Turki masih melakukan
praktik homoerotisme. . ini bisa dilihat dari warisan karya seni mereka. . walau
akhirnya Islam terkena pengaruh kekristenan Victorian Eropa yang menjunjung
tinggi heteroseksualitas. . Dulu orang-orang Eropa melarikan diri ke suaka di negara
mayoritas muslim yang menerima homoseksual. . Maroko misalnya. Semuanya ada dan
tercatat dalam sejarah. Orang jaman sekarang hanya sok tahu dan mudah menyalahkan
tanpa belajar fikih maupun sejarah,”
Tria
menangis lama sekali, mendengarkan penuturan dan nasehat dari Ani serta Ustad
Muif.
“Kau
yang paling berdosa terhadap dirimu sendiri. Bertaubatlah.”
Ustad
Muif memberi wejangan terakhir pada Tria, “Kalau orang tuamu benar mencintaimu,
yakinlah kau bisa meyakinkan mereka. Percayalah pada dirimu dan keyakinan yang
telah kau bangun, mereka akan menghargai keputusanmu.” katanya.
Walau
seperti terguncang, Tria tampak lebih baik dan tenang ketika mereka
meninggalkan Ani dan Ustad Muif pada sore hari berikutnya. Dan Rizky tidak bisa
lebih bersyukur karena setelah peristiwa itu keduanya semakin akrab. Tria
menjadi orang yang lebih menyenangkan, atau lebih tepatnya. . Rizky lebih tidak
merasa terbebani dengan keberadaan Tria.
Mereka
ngobrol, bercanda, nongkrong layaknya sepasang kekasih, walau belum ada ikatan
diantara mereka. Rizky tak pernah lagi mendapati mimpi tentang suara laki-laki
yang minta tolong yang sering membangunkan tidurnya. Satria kadang-kadang
sangat manja kepada Rizky. Pada suatu waktu mereka marahan sesekali. Tria
sempat marah karena Rizky pergi ke Lumajang tanpa memberitahunya selama berhari-hari.
Meski
begitu mereka selalu menemukan jalan untuk bersatu. Selama beberapa waktu
mereka bersama, tanpa kejelasan, tapi setidaknya mereka bahagia. Rizky sering menghabiskan
waktu di kos Tria hingga larut. Mereka tertawa bersama ketika Rizky mengajak
Tria berkenalan dengan kroni-nya.
Akan
tetapi rupanya kebahagiaan ini tidak berlangsung lama.
Rizky
sempat menghilang dua hari lalu karena ia tiba-tiba ragu, lantaran Tria tidak
pernah menyebut-nyebut atau mengakui hubungan mereka. Meski kadang-kadang Rizky
berpikir bahwa Tria adalah jodohnya, Rizky merasa dirinya digantungkan. Dia terus
bertanya-tanya soal Tria, apakah mereka sebatas sahabat? Ataukah mereka
kekasih?
Hal
itu berlangsung selama dua bulan. Rizky mengasingkan diri untuk mencari
jawabannya. Memasuki bulan Maret, segalanya menjadi jelas bagi Rizky ketika ia
harus menelan kenyataan pahit, segera setelah dia jujur mengenai alasan mengapa
dia menghilang kepada Tria.
“Maaf
Ky. . Aku sebenarnya nggak ada niatan untuk pacaran.”
Petir
seolah menyambar di suatu tempat. Tapi itu hanyalah ilusi pikiran Rizky.
Kupingnya berdenging mendengar penuturan bajingan keparat itu. Setelah semua
yang dilakukannya. . Setelah usahanya untuk membantu Tria. . Setelah
kebersamaan yang mereka habiskan. .
“Aku
udah coba lupain mantanku. . tapi dia terus menerus menghantuiku Ky. . “
Kendati
sudah bisa menerima dirinya, rupanya Tria masih dihantui masa lalunya dengan
mantan kekasihnya. Rizky tidak bisa menerima ini. Ia memutuskan bahwa sebaiknya
dirinya mundur.
Sakit
hati, Rizky memilih untuk hilang selamanya dari hidup Tria. Ia tidak lagi
datang ke kos Tria. Mengepalkan tangannya, Rizky memblokir nomor Tria dan
bertekad tidak lagi menghubunginya. Orang-orang boleh menilai bahwa sikap Rizky
tidaklah dewasa, tapi dia-lah yang menentukan siapa yang berhak keluar masuk
hidupnya. Dia-lah yang bertanggung jawab sendirian atas sakit hati yang
dideritanya.
Baginya
sekarang Tria hanyalah duri yang selama beberapa waktu tumbuh di taman hatinya.
. akan lebih baik kalau Rizky mencabutnya. Lebih baik bagi Rizky kalau dia
tidak diganggu.
Rizky
pulang ke rumah dengan merasa hancur.
Dua
minggu berlalu. Di suatu hari yang cerah Rizky datang ke Bungkul. Jika sedih,
kadang-kadang Rizky menghibur diri pada taman-taman disana. Ia menahan gejolak
hatinya jika sesekali teringat pada Tria.
Rizky
sering duduk di salah satu bangku di sudut. Biasanya ada anak kecil yang
mengamen disana. Anak kecil laki-laki berambut kusut bernama Tika.
Yang
aneh dari anak kecil ini, Rizky menyadari dia tidak pernah didekati anak-anak pengamen
yang lain. Tika juga tidak pernah berusaha mendekati mereka. Mungkin
penampilannya yang lusuh membuatnya minder, atau wajahnya yang selalu murung. Tapi
Tika selalu duduk di bangku itu jika kebetulan Rizky kesana.
Rizky
sudah cukup akrab dengan anak itu. Tika tidak pernah mengaku tinggal dimana,
tapi jika Rizky pergi ke taman itu kapanpun, anak itu pasti disana, mengamen
dengan sebuah harmonika patah. Dia juga hanya memakai sandal sebelah.
Rizky
sudah sering membelikan anak itu sandal, tapi saat Rizky kembali suatu hari
berikutnya sandalnya lagi-lagi hanya tinggal sebelah. Rizky bertanya-tanya adakah
anak-anak lain mengusilinya? Tika tidak pernah jujur. Anak lain seperti tidak
menyadari kehadirannya.
Saat
kali ini Rizky datang, Tika tidak kelihatan dimanapun. Rizky duduk termangu menunggu
selama setengah jam. Walau tidak benar-benar membantu, kehadiran anak itu
kadang mengatasi sedih hati Rizky.
Rizky
mencari-cari Tika ke seluruh taman. Nyaris sejam kemudian Rizky baru menemukannya,
dia ada di kompleks ayunan, sendirian.
“Aku
mencarimu,” kata Rizky. Tika hanya tersenyum. Rizky menyadari dia terlihat
lebih rapi dari biasanya. Ada yang menyisir rambutyna. Dan sandalnya kini utuh,
lengkap, tak ada yang hilang.
Dia
tidak berkata untuk membalas Rizky, sebagai gantinya ia mengulurkan harmonika patah
miliknya kepada Rizky.
“Maukah
kau menyimpannya?” Tika bertanya. Anak itu tetap kelihatan polos dan memelas
sekali, walau dandanannya sudah lebih necis.
“Kenapa?”
tanya Rizky.
“Aku
tidak memerlukannya lagi,” jawab Tika. “Sudah waktunya aku pergi,” katanya
“Kau
mau kemana?”
“Ada
keluarga yang mengadopsiku,”
Rizky
merasa iba sekali dengan anak itu, tapi kemudian dia merasa lega. “Baiklah,
kalo itu maumu. Aku akan menyimpannya dengan baik.”
Rizky
mengambil harmonika patah milik Tika dan memasukannya ke dalam sakunya. Tika memeluknya
lama sekali, ini membuat Rizky menangis.
“Jangan
sedih,” kata anak itu. “Setelah ini jangan mencariku lagi, ya. Kakak nggak perlu
kuatir, aku sudah bahagia dengan kondisiku sekarang.”
Saat
di rumah Rizky meletakkan harmonika patah milik Tika, dan lagi-lagi memikirkan
Tria. Hatinya pedih memikirkan bahwa ia takkan lagi menghabiskan waktu dengan keduanya,
tapi dia harus tegas. Rizky tidak boleh terus-terusan lemah dan bersikap menye-menye
selamanya. Sudah waktunya ia bersikap dewasa sesuai umurnya.
Rizky
mengambil kaset lawas milik Padi dan mulai menyetel lagu Semua Tak Sama,
dengan pemutar CD yang dibelinya dari pasar loak.
Dalam
benakku lama tertanam
Sejuta
bayangan dirimu
Redup
terasa cahaya hati
Mengingat
apa yang telah kau berikan
Waktu
berjalan lambat mengiring
Dalam
titian takdir hidupku
Cukup
sudah aku tertahan
Dalam
persimpangan masa silamku
Coba
'tuk melawan
Getir
yang terus kukecap
Meresap
ke dalam relung sukmaku
Coba
'tuk singkirkan
Aroma
napas tubuhmu
Mengalir
mengisi laju darahku
Rizki
tertidur dengan memeluk harmonika pemberian Tika, dan bersama dengan habisnya
lagu itu, ia bersumpah bahwa dia akan melupakan Satria.
Selama
minggu-minggu berikutnya Rizky melewatkan hari-harinya dengan membantu ibunya
berjualan lemon, dan sesekali berkumpul dengan kroni-kroninya: Taufiq, Azis,
Fikri, dan Anton.
“Aku
mimpi lihat kau jalan-jalan sama cowok, yang kau temui di stasiun itu.” kata
Fikri. Malam sebelumnya ia mengaku pada Rizky bahwa ia bermimpi tentang Tria
yang menyerahkan sebagian rambutnya pada Rizky, untuk disimpannya. Entah apa
maksud mimpi itu, Rizky tak ingin mengetahuinya.
“Kapan
hari bukannya kau ajak dia main WW, kok nggak kelihatan lagi?” Taufiq bertanya.
Rizky
tidak pernah menceritakan yang sebenarnya soal Tria kepada mereka. Rizky tidak
sanggup kalau harus menahan sakit hati dua kali.
“Udahlah,
nggak usah dibahas lagi.” Ia berkata lesu.
Mereka
memutuskan untuk kamping ke pantai bersama-sama akhir bulan itu di Malang,
sekali lagi, untuk merayakan ulang tahun komunitas mereka. Bagi Rizky, ia
mengikuti perjalanan itu lebih dikarenakan alasan pribadi.
Saat
disana, pada hari terakhir, tanpa disangka-sangka Rizky bertemu dengan orang
yang dalam lubuk hatinya masih diharapkannya.
“Sori,”
kata anak itu.
Rizky
mencoba bersikap tidak kaget saat Tria muncul dengan baju pantai dan celana
jins selutut. Sebetulnya dia tampak cakep, tapi Rizky tidak ingin membiarkan
anak itu kegeeran.
“Sori
untuk apa?” tanya Rizky, ia lebih bisa mengatasi dirinya sekarang. Ia bertanya
dengan tenang dan tanpa beban.
“Sori
karena bersikap menyebalkan.” jawab Tria.
Walau
Rizky tidak akan mengakuinya di depan umum, tapi sebetulnya dia masih memutar
lagu Semua Tak Sama milik Padi, yang mengingatkannya pada Tria, dan diam-diam
dia selau berharap bahwa anak itu masih mengharapkannya. Rizky berharap bahwa
Tria masih sering mengingatnya dan merindukannya.
“Tahu
dari siapa kalau kita kemping disini?” Rizky bertanya lagi. Sama sekali tidak
ada nada kecurigaan dalam suaranya. Kalimatnya murni pertanyaan.
“Taufiq
yang ngundang, si imut itu.”
Keduanya
menoleh pada Taufiq, yang tersenyum mengamati mereka dengan lesung pipi.
Pantai
sore itu terasa sangat damai. Horizon membelah laut dengan langit menjadi
pemandangan yang indah. Burung laut terbang di atas tenda-tenda mereka,
sesekali memakan roti yang sengaja disebar Azis dan Fikri di sekitar situs
kemping.
“Kita
mulai lagi, dari awal?” Tria bertanya tiba-tiba. Rizky memikirkan jawabannya
nyaris tanpa pertimbangan.
“Sebagai
apa, teman atau pacar?” Ia memilih bertanya balik. Di suatu tempat Anton
terlihat sedang memungut ranting, mencari kayu untuk dibakar.
Tria
tampak meyakinkan saat dirinya menjawab, “Kita jalani dulu. . kalau kita berdua
sama-sama yakin. . pacaran bukan hal yang harus dipersoalkan ‘kan? Sebagai
teman atau pacar tidak masalah,”
Kali
ini Rizky setuju. Entah darimana ia mendapatkan kekuatannya, tapi Rizky akan
sedikit lebih bersabar untuk Satria. Masih ada banyak waktu bagi mereka untuk
memperbaiki hubungan.
.
.
Epilog
Hari
itu terik.
Satria
mampir ke rumah Rizky untuk membantu anak itu memanen lemon lokal pada musim
buah tahun berikutnya, sebelum menimbangnya bersama-sama ke dalam kardus. Setelah
pasang-surut hubungan mereka, keduanya merasa cocok dan memutuskan untuk
pacaran kira-kira tiga bulan lalu. Sejak saat itu keduanya tak pernah
terpisahkan.
“Minum
dulu, Ky. Silakan, Nak Tria juga.” Mama Rizky membawa nampan minum dan
meletakannya di pinggir kebun. Ia masuk sambil tersenyum, mengerling pada
putranya dan mungkin juga calon menantunya. Mama Rizky sudah terbiasa melihat Rizky
dan Satria menghabiskan waktu bersama.
“Makasih
Tante!” Tria berseru, mengambil dua gelas limun dan menyerahkan salah satunya
pada Rizky, yang kini dengan bangga disebutnya sebagai kekasihnya. Keduanya bertukar
berciuman secepat kilat saat tak ada yang melihat. Mereka melirik satu sama
lain sambil nyengir, meneguk es jeruk limun dari gelas masing-masing, sebelum
kemudian terengah-engah. Mereka basah oleh keringat.
Saat
panen lemon usai Tria membawa klipping dan kepingan koran lawas, menyerahkannya
pada Rizky untuk digunakan sebagai alas kardus wadah lemon. Rizky membawa
koran-koran itu menuju garasi sambil membacanya. Tria mengikuti dari belakang.
Di
salah satu koran, mata Rizky terpaku pada berita lama, tanggal 4 September
2002, tentang kecelakaan seorang anak kecil yang tewas tertabrak mobil di jalanan.
Kliping itu menarik perhatian Rizky, karena foto hitam putih dari kepala berita
yang dipotong Tria menampilkan seorang tubuh mungil yang tertutup koran, masih
memegang sebuah harmonika metalik remuk, sementara kakinya yang terjulur hanya
memakai sebelah sandal. Rambut anak itu, yang bersimbah darah, nampak
awut-awutan.
Dengan
gemetaran Rizky membaca isi lanjutan dari kepala berita itu, di halaman tiga
belas. Wajahnya memucat ketika ia menemukan nama korbannya diidentifikasi
sebagai Artika Wardhana, seorang pengamen yatim piatu berusia enam tahun
yang tinggal bersama pamannya.
Rizky
jatuh terduduk, syok. Kedua lututnya bersimpuh sementara ia mencoba menguasai
diri. Disampingnya Tria merengkuh Rizky yang mulai menangis meraung, menanyakan
apa yang salah dengan korannya. Alih-alih menjawab, Rizky melerai tubuhnya dari
Tria dan berlari kencang ke kamarnya dengan airmata bercucuran. Rizky mencari
ke semua sudut tempat itu, tapi harmonika patah pemberian Tika tak pernah
ditemukannya.
.
.
Surabaya,
12 April 2020.
Catatan
Penulis
Cerpen
ini setengah fiksi. Pada dasarnya yang saya tulis disini adalah kisah nyata
yang saya adaptasi secara bebas untuk keperluan cerita. Sebagian tokoh pada
cerpen ini asli, dan sebagian adalah rekaan/saya plesetkan. Jika ada yang tidak
berkenan namanya digunakan pada cerpen ini, silakan menghubungi saya.
Di
cerpen ini saya ingin menunjukkan betapa nggak mudahnya menyatukan hati dua
manusia, bahkan dengan jenis kelamin sama sekalipun. Cinta tidak menjadi lebih
mudah hanya karena datang dari gender yang sama, justru sebaliknya. Cinta jenis
ini malah lebih ribet.
Banyak
ketidakkejelasan menyangkut percintaan, dan kadang-kadang ini merugikan salah
satu pihak. Sebagai korban ketidakjelasan perasaan manusia, dipaksa untuk
“nggak apa-apa” akibat suatu hubungan bukanlah hal yang menyenangkan.
Lewat
cerpen ini saya juga ingin minta maaf jika terkadang saya bersikap insensitif atau
menggampangkan persoalan. Betapa hal yang dialami kebanyakan anak-anak gay yang
tumbuh di keluarga heteronormatif sangatlah tidak mudah. Perjuangan untuk
menerima diri ditambah beban dari orang tua, sesuatu yang mungkin TIDAK saya
alami dengan amat susah.
Saya
ingin mengatakan anak yang tetap bertegang teguh pada dirinya/mimpinya dan
sebisa mungkin tetap menghormati orangtuanya adalah anak-anak yang mulia dan luarbiasa.
Semoga orangtua dari anak-anak ini juga belajar untuk menerima anak mereka
sebagai apa adanya, bukan karena keinginan aau ambisi pribadi mereka.
Catatan
Pribadi : Untuk mas Eky, cerpen ini mungkin
jauh dari harapan. Tapi semoga apa yang tertulis disini membawa hal baik untuk
hidup mas Eky. Aku berterima kasih karena mas Eky mau membagi kisah ini dan mempercayakan
padaku untuk menulisnya
Salam
sayang,
Beda
Prasetia Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar