21 April 2020

Gayung (One-shot)

Berapa banyak sih teman masa kecil yang tetap menjadi sahabat kita hingga dewasa? Mungkin tidak banyak. Dalam beberapa kasus, ada teman kecil yang kemudian menjadi pasangan hingga menikah. Kelihatannya ini kisah cinta yang sempurna, ya. . membayangkan sahabat masa kecilmu berubah menjadi kekasihmu sendiri dan tak pernah terpisahkan. Tak ada cacat diantara hubungan kalian. .

Sayangnya hal ini tidak banyak dijumpai di kalangan non-hetero.

Di kehidupan gay dan lesbian yang serba tidak pasti, banyak yang dibuat patah hati karena sebagian orang yang mereka suka ternyata heteroseksual, menyukai lawan jenis mereka. Dulu, waktu Ipan masih awal remaja, dia mencoba sangat keras untuk menjadi heteroseksual seperti teman-temannya. Tapi tentu saja usahanya sia-sia. Karena usaha mengganti orientasi seksualnya sama saja dengan dia harus mengganti otaknya. Ini betul lho.

Orientasi seksual dibentuk saat bayi berada dalam kandungan. Saat itu konstelasi otak manusia terbentuk, otak yang menentukan apakah kau lebih suka rasa manis dari puding yang dibubuhi gula, atau rasa asin dari donat keju yang gurih. Otak yang sama juga menentukan apakah kau cenderung homoseksual atau heteroseksual--atau kalau kau cukup beruntung--diantara keduanya, biseksual. Karena konstelasi otak manusia yang rumit dan njelimet ini, bentuknya bagi tiap-tiap orang tidaklah sama antara yang satu dengan yang lain. Otak orang yang suka makanan asin strukturnya berbeda dengan orang yang suka makanan manis. Otak yang cenderung homoseksual juga berbeda strukturnya dengan otak yang cenderung heteroseksual. Semuanya normal dan semuanya wajar. Jadi, saran Ipan sih, kalau kau seorang laki-laki yang kebetulan menyukai laki-laki juga, terima saja takdirmu. Terimalah dirimu apa adanya.

Otakmu adalah karunia Tuhan 'kan? Kau dan Dia lebih tahu keadaanmu yang sebenarnya. Jangan dengarkan pemuka agamamu yang tidak mengerti keadaanmu (dan seenak jidat menuduhmu dirasuki setan dan menyalahi kodrat, hingga karenanya kau telah berdosa) karena jika mereka ingin kau berubah, silakan mereka protes sendiri pada Tuhan yang menciptakan otakmu. Itu juga kalau kau percaya Tuhan. . kalau tidak, yah, hidup buatmu mungkin lebih nggak ribet.

Orang berpikir, homoseksual bisa disembuhkan dengan berbagai ritual keagamaan. Konyolnya dulu Ipan percaya dengan hal ini. Memangnya gay atau lesbian itu semacam penyakit kutil, kok perlu penyembuhan segala? Ritual itu tak lebih dari omong kosong kesoktahuan manusia yang tidak mau belajar menerima keragaman orientasi seksual, hanya karena suatu kisah Nabi yang sebetulnya tidak berhubungan dengan orang-orang jaman sekarang. Bahkan ada dokter yang mencoba mengkapitalisasi sektor ini untuk kepentingannya sendiri, alih-alih menyarankan seseorang itu untuk menerima diri apa adanya.

Manusia 'kan bukan makhluk biner. Diantara manusia kulit hitam dan kulit putih, ada ras Asia yang memiliki kulit warna-warni: kulit orang Arab yang merona kemerah-merahan, kulit tan khas India, kulit pucat orang Jepang dan Korea, kulit sawo matang dan kuning langsat orang-orang Indonesia. Seperti sprektrum dalam pelangi, manusia sangat bermacam-macam warnanya, 

Dan seperti halnya pisang, ada berbagai macam bentuk penis kalau Ipan memperhatikan. Penis sebesar pisang kuntilanak, penis yang panjang dan menarik mirip pisang ambon, bahkan ada juga penis berukuran kecil yang mirip pisang mas. Ipan menilai seharusnya orang tidak perlu malu dengan ukuran penis mereka karena segala ukuran penis ini sangatlah normal. Size doesn't matter. Kalau menyangkut perempuan, bentuk payudara juga beragam, tapi Ipan tidak ingin menjelaskan lebih lanjut, karena bahkan ia tidak tertarik untuk membayangkannya.

Lanjut mengenai sahabat kecil, Ipan punya seorang teman yang sampai hari ini masih terus akrab dengannya. Sahabatnya ini bahkan tinggal dengan Ipan sekarang. Mereka tadinya adalah teman SD dan SMP, yang terus berlanjut hingga SMK (walau keduanya berbeda jurusan). Mereka sama-sama merantau ke Surabaya dari Magelang setelah lulus, dan kini berbagi satu kamar kos yang dibayar masing-masing dengan patungan. Setelah perjuangan Ipan menerima dirinya, yang sama sekali tidak mudah, kini dia bermaksud memberitahu sahabatnya soal jati dirinya. Ipan bercerita tentang semua rahasianya kepada Jati, sahabat yang dari kecil selalu bersamanya, kecuali tentang satu hal: Ipan takut membuka diri kepada Jati soal siapa dirinya yang sebenarnya.

Ipan adalah seorang gay. .  walau ini sebetulnya biasa saja.

Tapi 'kan orang suka heboh. Orang-orang senang sekali membuat keributan. Yang membuat situasinya tambah rumit bagi Ipan, ia menaruh hati pada sahabatnya ini. Ipan menyukai Jati sejak lama. Anak itu tumbuh dari seorang bocah kecil ingusan menjadi pemuda berbadan tegap yang membuat jantung Ipan deg-degan.

Saat ini anak itu sedang mandi, tapi tidak lama lagi dia akan selesai. Ipan sedang menunggu giliran mandinya sambil tidur-tiduran.

"Ngelamun terosss." sergah Jati. Ia mengagetkan Ipan karena langsung nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu. Kamar mandi mereka tepat berada di luar. "Kesurupan baru tahu rasa," timpalnya.

"Emang rasanya kesurupan gimana?" Ipan bangun, menopang diri dengan kedua tangan.

"Entah," kata Jati.

Ipan menahan napas melihat tubuh Jati yang terekspos dengan sempurna. Jati lalu melempar handuknya pada Ipan hingga mengenai mukanya. Ipan yang sudah kesusahan mengatur napas tambah dibuat panas dingin oleh Jati yang dengan blak-blakan berdiri telanjang di depan lemari. Walau sudah dua tahun tinggal bersama, tidak sekalipun Ipan pernah terbiasa atau setidaknya mengantisipasi hal semacam ini. Ipan mencengkeram handuk yang dilempar Jati dan nyaris menggigitnya. 

Ipan terlalu lama bengong sampai Jati harus mendampratnya,

"Heh. Mandi sana!" ganti botol sampo yang dilemparkan Jati pada Ipan. Anak itu memang gemar melempar-lempar barang. Ipan tidak senang dibuyarkan dari fantasinya.

"Iya, iya." Ipan malas-malasan memakai sandal.

Di kamar mandi, Ipan perlu seperempat jam lebih lama untuk menenangkan badai di antara selangkangannya. Air bak yang dingin rupanya tidak cukup untuk mendinginkan tubuhnya yang memanas. Bayangan tubuh Jati yang tanpa pakaian tergiang-ngiang di kepala Ipan.

Setengah jam kemudian, mereka sudah siap untuk lanjut menuju tempat kerja yang berbeda. Ipan bekerja sebagai teknisi, sementara Jati adalah pramusaji di restoran tidak jauh dari kantor Ipan.


Sore itu, sepulang kerja, Ipan bermaksud mengajak Jati menuju bandara segera setelah anak itu menjemput Ipan di tempat kerja.

"Jat, ke Juanda yuk?"

"Ngapain?"

"Lihat sunset. Udah lama kita nggak kesana."

"Oke. Kau yang bonceng tapi, ya?" 

Ipan mengangguk, setuju. Walau ia tidak begitu suka mengemudi di depan, Ipan lega karena Jati tidak menolak ajakannya. Biasanya Jati-lah yang diboncengi Ipan.

Daerah di sekitar jalan tol bandara adalah tempat yang ideal untuk melihat sunset, karena di tempat itu tidak ada gedung tinggi atau bangunan. Dulu Ipan dan Jati sering kesana, tapi karena kesibukan kerja akhir-akhir ini mereka sudah jarang melakukannya. Ketika sampai di jalanan terluar Surabaya yang dikenalinya, Ipan memarkir motor di semak-semak liar. Setelah menggemboknya dengan sebuah rantai karatan, Jati menyeret Ipan menuju dataran luas ditumbuhi alang-alang yang dulu biasa mereka sambangi. Matahari sudah mulai terbenam saat keduanya sampai di pinggir lereng tebing yang tidak terlalu terjal.

Ipan membaui udara, mencoba menikmati kedamaian sore yang tersisa. Samar-samar ia mencium bau ayam goreng dari warung tenda penyetan yang didirikan tidak jauh dari sana. Di sebelahnya Jati mengambil tempat yang tidak ditumbuhi alang-alang untuk duduk. Ipan serta merta mengikutinya. Sebagian gedung pencakar langit yang ada jauh di belakang menjadi latar yang membayangi mereka.

Jati menatap jauh ke cakrawala. Ipan menatap sisi samping wajah anak itu.

Pada saat-saat seperti ini, Ipan memikirkan untuk coming-out kepada Jati, mengaku tentang siapa ia sebenarnya pada sahabatnya. Tapi Ipan tidak pernah cukup berani melakukannya. Ipan takut Jati akan jijik dan menjauhinya. Sambil melihat sunset Ipan bergelut dengan dirinya. Ipan ingin kali ini dia memberanikan diri. . karena jujur saja, ia sengaja mengajak Jati kesini bukan hanya untuk menikmati matahari terbenam.

"Aku mau ngomong sesuatu Jat," kata Ipan memulai.

Matahari telah berada di ufuk. Warna jingga keemasan memenuhi kaki langit di Barat.

"Ngomong aja.  . ngapain basa-basi sih?"

"Aku takut kau ketawa atau gimana. . " Ipan menelan ludah. "Aku-"

Ipan sudah akan mengatakannya. Jantungnya berdegup kencang. "Sebenarnya aku. . "

Tapi tepat saat itu Jati menoleh. Tatapannya begitu menodong. Nyali Ipan serta merta menciut.

"Sebenarnya aku kangen rumah. . " Ipan berkata lirih, menghela napasnya yang tertahan. Hatinya mencelos. Bukan itu yang ingin dikatakannya, "Kau kangen Magelang nggak, Jat?" Ipan bertanya dengan kepahitan yang coba disembunyikannya.

Jati kembali melihat ke cakrawala, agak bingung ditanyai Ipan demikian. Anak itu seperti tidak jujur.

"Kangen sih, dikit. . tapi bukannya belum genap dua bulan sejak terakhir kita pulang?"

Dalam hati Ipan mengutuki dirinya. Selalu seperti itu. Sudah berulang kali Ipan berusaha memberitahu Jati, karena ketidakjujuran akan siapa dirinya membuat Ipan benar-benar tertekan. Tapi jika Ipan harus terus terang sekarang, akan ada banyak hal yang dipertaruhkan. . termasuk persahabatan mereka. Siapkah Ipan dengan konsekuensinya? Siapkah Ipan ditinggalkan Jati seandainya anak itu tidak bisa menerimanya?

Mataharti sudah tenggelam sepenuhnya di Barat ketika mereka selesai. Jati-lah yang mengambil alih membonceng Ipan dalam perjalanan pulang seperti biasa.

Benak Ipan dipenuhi kekalutan. Ia tidak ingin kehilangan Jati. Persahabatan mereka sangat berarti untuknya. Jati telah menjadi sahabatnya sejak Ipan masih kecil sekali. Entah bagaimana takdir selalu mempersatukan mereka hingga sekarang.

Ipan benar-benar takut kehilangan. . Walau seandainya Ipan kini punya lebih dari selusin orang yang bersedia mati untuknya sekalipun, mereka tidak akan bisa menggantikan Jati. Ipan memang punya sahabat di tempat kerja, dan di kampungnya, dan di tempat sekolah mereka dulu, tapi kendati hubungan pertemanan mereka baik, tetap saja mereka bukanlah Jati. . 

Diam-diam Ipan menangis, nyaris tanpa air mata, dalam perjalanan kembali ke kosan. Ia selalu sensitif jika menyangkut soal sahabat masa kecilnya. Luka dalam batin Ipan menganga. Di depan Jati memboncengnya, tanpa mengetahui bahwa Ipan berharap kepadanya. . tanpa menyadari bahwa Ipan mengaguminya. . mencintainya. Lebih dari sekadar sahabat.



Suatu malam hujan turun. Ipan sedang sendiri di kosan. 

Jati masih melanjutkan shift malam di resto, jadi ia baru akan pulang pukul sebelas. Ipan berpikir mungkin ada baiknya jika ia menulis pada Jati, memberitahukan perasaannya sedetail mungkin selama ini pada sahabatnya agar dirinya bisa lega, tapi dia tidak pandai dengan kata-kata. . Ipan sudah duduk selama setengah jam di depan meja dengan pulpen di tangan, tapi bahkan ia belum menulis satu huruf pun pada secarik kertas yang dirobeknya dari buku catatan kepegawaian. Membayangkan Jati merobek-robek kertas yang dengan sepenuh hati ditulisi Ipan dan memasukannya ke tempat sampah menjadi momok yang menghantui anak itu selama berbulan-bulan.

Jika membuat spanduk sepertinya akan terlalu berlebihan. Ipan ingin mengucapkannya langsung, ini praktis dan efektif, nyaris tanpa jejak, tapi hal itu membutuhkan keberanian yang besar. Ipan belum cukup mengumpulkan keberaniannya. . Ia bertekad akan mencoba lebih keras lain kali.

Sebelum ini, sedikitnya sudah dua kali Ipan mencoba coming out pada Jati. Rasanya nyaris seperti bunuh diri. Ipan sangat tertekan seringkali. Melela saja sudah susah setengah mati. .  mencoba memberitahu Jati bahwa Ipan juga menyukainya adalah malapetaka lain. Tapi Ipan tak bisa menahan dirinya. Jika saat itu Ipan masih pengecut. . sekarang pun dia masih pengecut juga. Kali pertama Ipan mencoba melela, ia dan Jati sedang nongkrong di sebuah kedai kopi. Ipan sudah memesan bubuk kopi Aceh Gayo yang lumayan mahal, berhadiah sketsa wajah, dan meletakkan wadah biji kopi itu tepat di depan sahabatnya.

"Jat. . Aku pengen kau tahu kalau aku. . " Ipan mendelik dan mengedikkan kepalanya pada bungkus kopi itu. Wajahnya yang mirip orang menahan berak tidak sanggup mewakili kata-katanya.

Ipan mengambil napas dalam-dalam. Ia sengaja menunjuk-nunjuk dan dengan gelisah menutupi huruf O pada kata "Gayo" supaya Jati bisa menangkap maksudnya. . tapi sia-sia saja. Jati gagal paham.

"Apa?" tuntut Jati. "Kau kopi. . kau meja? Kau mau ngomong apa sih?" Jati berusaha menebak.

Ipan frutasi sendiri, tapi dia tidak bisa menyalahkan Jati. Ipan tidak membuatnya sangat jelas bagi sahabatnya.

"Sejati Purnama. . Aku.  . Ahmad Kahuripan. . mau bilang kalau aku. . " Ipan berkata pelan, gemetaran. Jantungnya luar biasa deg-degan sementara kedua tangannya basah oleh keringat. Dengan tidak sabar dagu Ipan menujuk bungkus kopi G-A-Y-O, matanya mendelik, kakinya mengentak-entak di bawah meja . .tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidahnya.

"Jangan pakai kode dong, Pan. . aku mana paham kode-kodean." ujar Jati.

"ARGH!" Ipan  menggebrak meja. "KOPI GAYO INI ENAK BENAR, JAT!"

Ipan mengangkat gelas tester-nya. "Aku pengen kau tahu kalau kopi gayo ini ternikmat di dunia!" teriak Ipan, persis seperti orang gila. "AKU UDAH NGGAK SABAR UNTUK NYEDUH KOPI INI DI KOSAN!" Ia menunjuk bungkusan di meja dengan kalap, napasnya sedikit kos-kosan.

Sesaat hening. Orang-orang di sekitar mereka berhenti untuk melirik. Wajah Ipan memerah. Perlahan-lahan ia kembali duduk setelah mengangguk kepada orang-orang dengan gugup.

Jati memegangi dadanya. Ia berusaha memahami apa yang salah dari sahabatnya. Terakhir kali Ipan keluar kamar mandi tadi, dia masih nampak waras. "Kaget aku, Pan. Kupikir apa. Biasa aja dong. . " bisik Jati.

"Kau nggak apa-apa 'kan?" Ia menambahkan dengan kuatir.

"Nggak." Ipan menggertakkan gigi. Ia marah sekali pada dirinya sendiri.


Di lain waktu, Jati pernah mengajak Ipan ke bonbin. . waktu itu Ipan juga terpikir untuk coming out kepada Jati. Dalam hati Ipan senang sekali karena baginya pribadi ia menganggap ajakan itu sebagai sebuah kencan. Saat mereka di kandang gajah, Ipan berusaha membuat Jati paham kenapa ia tidak pernah pacaran dengan perempuan. . pertanyaan yang selama ini diajukan Jati. . bahwa jawaban yang jujur adalah bukan hanya karena ia seorang non-heteroseksual. . tapi juga karena Ipan hanya mencintai Jati. Tapi kata-kata yang diucapkan Ipan terlalu lirih sehingga kalimat itu hanya mengambang di kerumunan orang.

"Jat. . sebenanya akunggassuka cewek." Ipan sadar betul suaranya mirip orang yang sedang berkumur.

"Hah?" Jati terlalu asyik menonton anak gajah yang mendekati mereka.

"Aku. . Lupakan deh."

Keberanian Ipan surut sama cepatnya dengan monyet memakan pisang yang barusan mereka lempar (sebetulnya ini ilegal). Ipan malu jika mengingat saat-saat itu.


Pukul sebelas, Jati pulang dengan membawa pizza yang masih hangat dari panggangan.

"Belum tidur, Pan? Aku bawa pizza dari resto nih,"

Ipan ingin terus terang bahwa sebenarnya ia sengaja menunggu Jati, tapi hal itu diurungkannya.

"Gayamu Jat. . beli Pizza segala. Udah jadi anak kota benaran sekarang?" sebagai ganti Ipan menyindirnya.

"Bacot." kata Jati, sebagai ganti salam.

Mereka menikmati pizza itu dengan dua gelas es batu yang diserut Jati menjadi es doger buatan rumah. Mereka lanjut nonton Hereditary hingga tengah malam (Ipan benci film horror) tapi dengan senang hati ia menemani Jati. Ketika melakukannya Ipan merasa belum siap kehilangan momen-momen seperti ini. Jati terlalu berharga untuknya.

Setengah jam kemudian mereka sudah di tempat tidur, hanya ada satu kasur di kamar kos mereka. Keduanya berbaring bersisian. Ipan menatap ke langit-langit. Jati yang berganti celana boxer bisa melihat bahwa akhir-akhir ini sahabatnya tidak seperti biasanya. Ipan seperti bukan seseorang yang dikenalnya. Anak itu terlalu banyak pikiran.

"Kau kenapa sih, Pan?" Jati menyergah.

"Memangnya kaupikir aku kenapa?" Ipan bertanya balik.

"Kau tuh banyak ngelamun, ngerti? Benci aku lihatnya. Aku muak, ngerti? Lihat mukamu kaya orang bloon. Kau bukan kaya Ipan yang kukenal. Kalau kau pengen ngomong sesuatu, ngomong aja. Jangan dibuat beban sendiri. Kau punya aku buat berbagi beban, Ipan keparat. Jangan dipikul sendiri lah."

Berkali-kali Jati mengingatkan. Tapi benarkah begitu, Jat? Ipan sangsi. Karena tidak sebagai teman atau sahabat dekat, orang tidak pernah konsisten dengan apa yang mereka omongkan. Ipan tidak yakin dengan dirinya. Bahkan seandainya Ipan tahu apa yang harus dilakukan. . ia tetap butuh seorang teman untuk meyakinkannya. Tapi Jati tidak mungkin meyakinkan Ipan untuk mengungkapkan rahasianya, bagaimana jika Jati pergi dan tidak kembali?

Malam itu Ipan tidak bisa tidur. Semalaman dia terjaga memikirkan perasaannya. Di sampingnya Jati tertidur lelap. . kekenyangan oleh pizza. Kadang-kadang Jati menjadikan Ipan sebagai guling dan dengan senang hati Ipan akan melakukannya. Namun kadang Ipan sering diserang perasaan bersalah, gara-gara rasa sukanya pada Jati. Ia tidak ingin menyalahgunakan ketidaksadaran Jati untuk kesenangannya. Demi arwah setan di neraka, Ipan tidak ingin melecehkan sahabatnya sendiri. Lebih baik Jati membencinya daripada Ipan melecehkannya. 

Jam demi jam berlalu sementara Ipan masih terjaga. Sudah pukul dua dini hari saat Ipan mulai flashback, memikirkan masa lalunya dengan Jati. Persahabatan mereka bukannya tanpa cobaan, tapi mereka masih baik-baik saja hingga sekarang. Persahabatan mereka selalu menemukan jalannya kembali. Mereka mendapat pekerjaan di kota yang sama dan berangkat merantau bersama-sama. Sungguh takdir yang begitu baik. Tapi belakangan Ipan merasa. . hal seperti ini takkan mungkin berlangsung selamanya. Kan?

Walau menjadi dewasa tidak selalu menyenangkan, masa kecil mereka juga tidak selalu mudah. Jati pernah menjauhi Ipan saat dia memilih berkawan dengan geng dari kampung lain, tapi suatu hari Jati kembali kepada Ipan dan mengaku bahwa Jati merindukannya. Ipan juga pernah menjauhi Jati saat anak itu langganan juara kelas dan memenangkan berbagai perlombaan. Ipan iri karena Jati punya banyak sekali teman dari dalam dan luar sekolah hingga Ipan merasa dirinya tersingkirkan. Untuk menebus rasa bersalah Jati memutus pertemanan dengan mereka semua dan menjadikan Ipan sebagai prioritas. . Keduanya tidak pernah terpisahkan lagi setelahnya.

Semakin dewasa Ipan dan Jati belajar untuk tulus satu sama lain dan menerima satu sama lain apa adanya.

Dua bulan lalu ketika Ipan sakit, Jati menunggunya selama seminggu dan menolak masuk kerja sampai Ipan benar-benar sembuh. Kadang-kadang Ipan berpikir apakah Jati juga sama sepertinya. . Apakah Jati juga diam-diam menyukainya. . tapi hal ini nyaris mustahil. Jati mungkin hanya bersikap layaknya seorang sahabat biasa. Terlebih lagi mereka hanya punya satu sama lain di Surabaya.

Selain itu, yang membuat Ipan patah hari berat, Jati memiliki seorang mantan pacar perempuan yang mungkin masih dicintainya hingga sekarang. Gadis itu mematahkan hati Jati saat dia menikah dengan orang lain tahun lalu, meninggalkan Jati sendirian di Surabaya. LDR mereka rupanya tidak berjalan lancar. Namun Ipan tahu Jati tak pernah berpaling dari Nirma. Ia tak pernah membicarakannya, tapi Ipan tahu. Ipan berpikir pastilah hal itu begitu menyakitkan bagi Jati, kendati anak itu bukan tipe orang yang akan koar-koar di status What'sApp jika disakiti seseorang. Ipan tak pernah berani mengungkit-ungkitnya. . mengingat perasaannya sendiri pada Jati juga sama menyakitkannya.

Ipan kembali merasa melankolis. Sungguh lemah dirinya dimainkan oleh perasaannya sendiri. Ia harusnya mengedepankan logika dan bersikap rasional. Tapi Ipan malah kembali menangis, kali ini membasahi separuh bantal, tapi ia tetap berhati-hati agar tidak membangunkan Jati. Ipan akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan, dan dalam mimpinya ia menggapai-gapai Jati yang berusaha pergi meninggalkannya.


Tiga malam berikutnya, tepat pada malam bulan purnama, Jati memainkan gitar dibawah langit yang cerah tanpa bintang. Ipan dan Jati naik ke atap kosan mereka yang dibeton hingga lantai teratas. Sementara itu Ipan menyanyikan lagu lama "Jujur" milik Radja, yang masih liriknya masih terpatri jelas di balik kepalanya;

Wahai kekasih pujaan hatiku
Dapatkah kau memberiku satu arti
Sedikit rasa yang bisa kumengerti
Bukan sumpah atau janji

Jati meneruskan bait lirik yang ditinggalkan Ipan. Jati mulai menyanyi dan saat mendengarnya Ipan tahu bahwa lagu itu juga menggambarkan perasaan Jati pada mantan kekasihnya;

Buktikanlah bila kau ada cinta
Setulus hatimu bisa menerima
Sebatas kejujuran yang kau miliki
Bukan sekedar nestapa

Mereka bernyanyi disaksikan oleh syahdunya malam padang rembulan. Jati mengakhiri lagu itu dengan sedikit patah hati,

Jujurlah padaku bila kau tak lagi cinta
Tinggalkanlah aku bila tak mungkin bersama
Jauhi diriku
Lupakanlah aku. . selamanya

Ipan lalu menggumamkan "teroret teroret" yang konyol untuk menghibur Jati, dan hal itu berhasil. Jati tertawa keras karena memang persis seperti itulah melodi akhir lagunya. Pada saat-saat yang kritis itu Ipan berpikir bahwa kehilangan Jati akan menjadi kehilangan terbesarnya. Ipan akan sangat, sangat kesepian seandainya Jati pergi menghilang dari hidupnya. Kendati teman lain akan bersedia menemani Ipan, Jati adalah Jati. Hal-hal yang dilakukan orang lain tidak akan terasa sama jika bukan Jati yang melakukannya. .

Malam itu begitu indah. Sesuatu membuat Ipan dirasuki keyakinan bahwa Ipan harus melakukan apa yang harus dilakukannya. . karena tidak ada saat yang tepat untuk memberitahu Jati. Cepat atau lambat Jati akan tahu siapa Ipan sebenarnya, dan mau tak mau Ipan harus siap dengan resikonya. Ipan tidak bisa selamanya menye-menye kalau dia tidak ingin dihantui ketakutan selamanya.

Saat pagi menjelang, Ipan telah dikuasai sebuah tekad. Ia akan melela pada Jati. Tidak ada penundaan lagi.

Ipan terbangun karena alarm tubuh yang otomatis dan sedikit merasa waswas. Ia lalu berjalan ke kamar mandi dan mengambil gayung di luar sebelum kembali menuju kamar, menghadang Jati yang baru bangun.

"Jat. Tebak aku apa." Ipan berkata. Ia mengangkat gayung yang dibawanya tinggi-tinggi.

"Kau. .  gayung?" Jati menjawab, bingung.

Ipan tidak sanggup lagi. Ia bergerak maju. Ipan memegangi sisi wajah Jati dan tanpa aba-aba apapun mencium sahabatnya tepat di bibir. Sebuah kecupan hangat yang membuat mata Jati yang hitam membulat.

"Iya. . aku GAY-ung. Semoga kau paham," Ipan menyerahkan gayung itu pada Jati.

Ipan berjalan keluar dari kamar kos kemudian, meninggalkan Jati yang terbengong-bengong memegangi gayung kamar mandi mereka.

.

.


Selesai. (?)

Fiyuh. Baiknya dilanjut nggak nih? Kasih tahu saya di komen ya. . Salam sehat untuk semua.

.

.

Wkwk bercanda, ini ada lanjutannya kok. Tapi jangan lupa komen ya, kurangnya dimana. Dan yang menurut kalian menarik dari cerita ini apa, oke? Haha.

.

#


Jati mengejar Ipan hingga keluar kos.

"Maksudmu apa kau memberiku gayung?" Jati bertanya, mengacung-acungkan gayungnya. Ipan berbalik seketika.

"Aku gay, Jat!" Ipan berkata dengan nada lantang. "I'M SO FUCKING G-A-Y." Ipan berteriaktepat di muka Jati.

Sejenak hening.

"Terus?"

Terus? Terus katanya? Ipan tidak habis pikir. Kurang ajar sekali anak itu, pikir Ipan.

"Terus apa?" tuntut Ipan.

"Ya terus kenapa kalau kau gay?"

Benar juga. Terus kenapa kalau dia gay? Hampir-hampir Ipan tak bisa menjawab pertanyaan Jati yang satu ini.

"Kau nggak risih, atau jijik?" tanya Ipan merana.

"Kenapa harus risih? Aku tahu kok. . " Jati berkata terus terang.

"Hah? Masa?" Ipan tidak bisa memercayai telinganya. "Dan kau diam selama bertahun-tahun ini?"

"Aku tuh sahabatmu dari kapan sih, Pan? Bukan sehari dua hari, kan? Bukan setahun dua tahun ini. Kita sahabatan dari kecil. Aku sering kok mergoki kau nonton bokepmu di Twitter. . wajar lah."

Wajah Ipan memerah. Ia mencoba mengontrol air mukanya. Ia lalu memegangi sisi kepalanya, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Kau tuh anjing ya, Jat. Terus kenapa selama ini kau nggak pernah ngomong apa-apa?" Susah payah Ipan mencegah dirinya untuk tersenyum.

"Menurutmu aku harus gimana? Teriak-teriak di jalan kalau kau gay?"

Ipan jengah. Ia menjambak rambutnya. Bagaimanapun Ipan tidak bisa tidak merasa iba pada dirinya saat mengatakan, "Aku takut kehilangan kau, goblok. Selama ini aku bungkam karena aku takut kau bakal pergi, kalau aku terus terang." 

Jati mendadak sinis. "Kau takut kehilanganku? Kenapa? Kau jatuh cinta sama aku, eh?"

Lagi-lagi Ipan dibuat tidak berdaya oleh pertanyaan Jati. Wajahnya semakin merah padam.

"Kau tahu nggak, Pan? PERSETAN KALAU KAU GAY! BODO AMAT!" Jati mulai berseru. "Karena apa? Karena aku biseksual. . " Ia membuat kesaksian.

Ipan menggelengkan kepala, tetapi Jati meyakinkan sahabatnya.

"Iya, Pan. Aku biseksual, dan aku udah sadar daridulu. ."

Ipan tak bisa berkata-kata.

Jati melanjutkan, "Soal kau yang takut kehilangan. . kau nggak usah kuatir, karena aku juga suka sama kau, tolol. Aku udah kehilangan Nirma sama cowok lain. . aku nggak mau kehilangan kau sama cowok lain juga. Kau punyaku, Ipan Kontlo."

Jati menjatuhkan gayung yang dipegangnya, sebelum menarik kasar kerah baju Ipan dan menghimpitnya ke tembok, mencium orang yang selama ini dipertahankannya sebagai sahabat. Karena tidak sebagai teman atau sahabat dekat, menjadikan seorang Ahmad Kahuripan sebagai pacar tentu perlu momen yang tepat. Sekarang lah saatnya. Ipan menyambut ciuman dari Jati dengan perut yang seperti meledak saking bahagianya.

Keduanya tersengal saat selesai berciuman, tapi yang berarti bagi Ipan, ia merasa luar bisa lega. Ipan dan Jati melerai pelukan masing-masing. Mereka menggaruk kepala, salah tingkah saat tak tahu harus berbuat apa

Saat itu terdengar teriakan dari kamar mandi, memecah keheningan.

"WOI, INI GAYUNG KAMAR MANDI DIMANA?"

Baik Ipan dan Jati memekik, mengamati gayung yang terpuruk di kaki mereka.

"Eh?"
.

.

.
Selesai beneran, yeay.


Yup yup. Nama tokohnya Sejati Purnama dan Ahmad Kahuripan. Keren 'kan? Iya dong. Nggak ada catatan penulis. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah mampir untuk baca.


Surabaya, 21 April 2020.

Selamat Hari Kartini

9 komentar:

  1. Sukaaaaaa😍😍😍😍 baper tauuu baper bangettt

    BalasHapus
  2. Wahh appreciate it! Ditunggu karya yg lainnya ya✨

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasihhh karya2 saya yg lain bisa dibaca di blog ini hehe

      Hapus
  3. Keren kak, untung aja happy ending:(

    BalasHapus
  4. IDK HOW I FOUND THIS ON YOUR TWITTER!! I KNOW I'M LATE BUT I'M SO HAPPY THAT I FOUND THIS!! CAUSE I KINDA RELATE HAHSHSGA, ANW YOU'RE SOOOO TALENTED, I'M LOOKING FORWARD FOR YOUR ANOTHER STORIESS!! ❤

    BalasHapus