23 April 2020

Otona Ressha

Kereta Kedewasaan tak sempat kunaiki lagi

Melihatnya berlalu

Kurasakan sakit di dalam hati ajari aku sesuatu

 

Otona Ressha. Dulu aku tidak paham maksud lagu ini. . tapi setelah melewati masa remaja yang nyaris hanya satu kedipan mata, akhir-akhir ini aku mulai paham arti sebenarnya lagu itu. Aku mulai sering memutarnya di playlist Spotify yang kusetel dalam mode berulang.

Selalu begitu jika aku sedang suka suatu lagu. Mendengarkan Otona Ressha membuatku ingin menceritakan pengalamanku sendiri, yang mungkin akan menjadi pengingatku nanti mengapa lagu itu terasa begitu dekat dalam hati.

Saat kecil aku sering bermain di rel kereta dengan adikku. Gubeng Klingsingan I KA. Disitulah gang rumahku. Jalannya tidak lebar dan mepet dengan rel kereta api yang keluar masuk stasiun Gubeng.

Ngomong-omong soal Gubeng, dulu aku sering naik komuter ke Sidoarjo dari stasiun itu. Masa kanak-kanak dan remajaku diisi berbagai perjalanan kereta ke semua stasiun dalam kota Surabaya, tapi memang paling sering aku pergi ke Sidoarjo, menjenguk Budhe-ku.

Pada umur sembilan tahun, aku dan adikku, Maesa, sering kali bermain kerikil di pinggir rel dekat dengan rumah kami. Kami mencari kerikil yang paling bagus dan menjualnya pada pengrajin batu. Dia akan mengupahi kami dengan es podeng yang sebetulnya agak kelewat mahal nilainya untuk ditukar dengan kerikil. Tanah disamping rel yang sempit disitu juga ditanami ubi jalar yang dipanen kalau keluarga kami sedang tidak mampu membeli beras.

Bukan berarti kami selalu miskin. Ada saat-saat dimana Bapak punya begitu banyak uang.

Suatu hari keluargaku mampu membeli sepeda motor, sebuah Honda Vario warna ungu, dan aku mulai jarang naik kereta. Aku juga berhenti bersikap kekanak-kanakan. . aku tidak lagi mengejar kereta yang berlalu bersama Maesa karena hal itu mulai membosankan.

Betapa menyedihkannya menjadi orang dewasa.

Semua tetanggaku juga berhenti naik kereta, karena orang-orang itu telah beralih naik motor sama seperti keluargaku. Tapi setelah sekian lama aku jadi merindukan naik kereta. .

 

Dulu kupikir naik kereta pastilah aman sekali. Tidak macet, tidak perlu salip-salipan. . tapi jika menoleh kebelakang, ada Tragedi Bintaro yang sering membuatku merinding. Beberapa teman keluargaku juga ada yang meninggal karena tidak hati-hati saat menyeberang rel kereta hingga tertabrak.

Sebuah batu peringatan dibuat di penyeberangan rel untuk mengingatkan orang agar berhati-hati. Ada nama-nama orang meninggal yang digoreskan dengan cat putih untuk mengenang mereka. Aku sedikit lega karena sudah beberapa tahun ini tidak ada lagi nama baru pada batu itu. Barangkali keadaannya sekarang lebih aman. .

Semoga saja.

Karena kangen aku memutuskan ingin bernostalgia naik kereta. . Satu kali lagi saja. Aku akan mengunjungi Budhe-ku yang sudah mulai pikun di Sidoarjo untuk mengingatkannya bahwa aku bukan keponakan yang durhaka.

Saat itu sedang musim liburan. Tapi rupanya banyak kursi kosong dari kereta komuter yang coba kupesan. Setelah mengisi saldo LinkAja aku menuju konter stasiun pada hari berikutnya untuk mencetak tiket dengan kode yang kudapat dari SMS.

Seorang pemuda membantuku masuk saat kereta komuter tujuan Sidoarjo bersiap berangkat dari stasiun.

“Trims,” aku berkata. Cowok itu juga membantuku memasukkan tas milikku pada rak diatas.

“Kau baik banget sih,” aku memujinya karena sikap baiknya. Setelah kulihat-lihat ternyata dia tampan juga. Aku terpesona oleh wajahnya yang rupawan.

“Nggak masalah,” kata si cowok.

Aku mencoba bersikap biasa dan menawarkan Bubble Tea yang kubeli dari stasiun.

“Aku nggak minum itu,” katanya tersenyum, “Namamu siapa?” Ia beralih untuk bertanya.

“Aku Pradika Okta,” kataku menujukkan tiket. Ternyata kursiku berada tepat berada di sebelahnya.

Komuter itu tidak terlalu penuh. Kami berdua duduk sementara si cowok mengenalkan dirinya.

“Aku Anugerah Panji.”

Dia menunjukkan tiket keretanya, nama lengkapnya memang tertulis Anugerah Panji Salami. Tiketnya tertanggal sembilan Juli, sama dengan hari itu, tapi tahun yang tertera tercetak keliru.

“Tiketmu salah cetak,” Kataku.

“Hah? Maksudnya?”

“Wkwk, lihat aja tahunnya. Sekarang ‘kan tahun 2020. Punyamu tertulis 2002, salah ketik kayanya.”

“Haha, iya juga.” Dia tertawa gugup.

Kami lanjut ngobrol tentang cuaca. Aku mulai menyukai Panji pada detik ia membantuku naik kereta tadi. Saat petugas kereta datang ia hanya menagih karcis milikku, tapi tidak milik Panji. Aku tidak memusingkan hal ini.

“Kau mau kemana sih,?” Panji bertanya, setelah kami selesai ngobrol soal langit yang beberapa hari ini nampak kelewat cerah. Petugas penagih karcis sudah pergi.

“Ke Sidoarjo, ke tempat Budheku.”

“Ah, Budhe ya. . pasti kau sayang dia. Sering ke Sidoarjo berarti?”

“Iya. Kau sendiri?”

“Setahun sekali.” jawab Panji.

Panji lanjut bertanya soal pekerjaanku dan dimana aku tinggal, tapi ketika aku menanyainya balik dia seperti menghindar.

“Tempat tinggalku ya. . nggak penting.” Panji tersenyum simpul.

Aku menghargai jawaban Panji. Barangkali itu privasinya. Itu adalah pilihannya kalau dia tidak ingin aku tahu.

Saat turun di stasiun Sidoarjo setengah jam kemudian aku ingin meminta nomor What’sApp milik Panji, aku menyukainya sebagai teman perjalanan yang oke dan ingin tetap terhubung dengannya, akan tetapi dia bilang;

“Aku nggak punya handphone, apalagi What’sApp.”

Aku ingin percaya bahwa dia bohong, tapi memang selama di perjalanan tadi aku sama sekali tidak melihatnya membawa hape. Malahan, Panji tidak membawa bawaan apa-apa sama sekali. Hanya baju putih yang dikenakannya.

Panji baru membantuku menurunkan tas dari rak (karena dia lebih tinggi) saat kudengarnya dia menggumam,

“Kita mungkin nggak bisa bertemu lagi,” katanya.

Entah kenapa hatiku serasa dibetot saat ia mengatakan itu. Aku ingin bertanya “Kenapa?” tapi merasa hal itu mungkin akan menganggunya, jadi kuurungkan. Karena dia sudah bersikap ramah, aku ingin menghargai pilihannya. Aku tidak ingin menganggunya.

“Kau nggak turun?” tanyaku.

“Aku mau disini dulu,” Panji memberiku senyum terakhir kali sebelum kami berpisah.

 

Berbulan-bulan setelahnya, aku tidak mengerti mengapa pertemuan singkatku dengan Panji masih terasa begitu membekas. Aku masih sering memikirkan soal perjalanan kereta itu. Aku akan teringat pada sosok Panji setiap kali mendengarkan Otona Ressha yang kuputar dari daftar lagu.

Daftar itu terus kuperbarui, lagu yang mulai membosankan kubuang, tapi Otona Ressha tetap bertahan di daftar putarku selama berbulan-bulan. Aku mendengarkannya terutama saat merasa sedih.

Kereta Kedewasaan tak sempat kunaiki lagi

Melihatnya berlalu

Kurasakan sakit dalam hati ajari aku sesuatu

Rasa sedih bila kita berpisah dan gelapnya

Perasaan putus asa

Ingin hapus segala rasa itu agar kubisa menemukan cahaya

 

Di suatu hari di bulan Juli setahun kemudian aku bermaksud mengunjungi Budhe-ku lagi. Aku telat datang ke stasiun Gubeng dan sudah sampai di peron, ngos-ngosan karena berlari, tapi kereta komuter yang kukejar terlanjur melaju pergi tanpaku. Hanya telat beberapa detik saja dan aku tidak lolos! Astaga.

Pada detik terakhir sebelum itu aku melihat seseorang yang kukenali sebagai Panji naik kereta, tapi dia tidak mendengarku saat aku memanggil-manggilnya.

Tidak salah lagi kalau orang itu adalah Panji. Aku kaget karena langsung mengenalinya. Panji masih memakai pakaian yang sama dalam ingatanku saat bertemu dengannya dulu.

Berpikir bahwa Panji mungkin sudah melupakanku membuatku patah hati. Padahal dia bukan siapa-siapaku juga. Kami hanya kebetulan pernah satu kereta. . itu saja. Tidak lebih. Kita bahkan belum sempat menjadi teman. Aku begitu bodoh.

Aku tidak jadi pergi. Aku memutuskan untuk pulang dan melupakannya.

 

Seminggu setelahnya, aku melihat seorang tukang cat menulisi ulang batu peringatan yang ada di penyeberangan rel. Nama-nama pada batu itu telah mengabur dan perlu dicat ulang. Saat itu aku tidak menyadarinya, tapi aku akan melewatkan satu hariku di bulan Juli hingga bertahun-tahun kemudian untuk mengunjungi batu peringatan itu dan mengenangnya, karena ada satu nama yang begitu familiar.

Ditulis dengan tinta putih, sembilan belas huruf jumlahnya. Hatiku mencelos saat membaca nama itu.

Anugerah Panji Salami. Meninggal 9 Juli 2002.

.

.

()


Tidak ada komentar:

Posting Komentar