Kereta Kedewasaan tak sempat
kunaiki lagi
Melihatnya berlalu
Kurasakan sakit di dalam hati ajari
aku sesuatu
Otona Ressha. Dulu aku tidak paham
maksud lagu ini. . tapi setelah melewati masa remaja yang nyaris hanya satu kedipan
mata, akhir-akhir ini aku mulai paham arti sebenarnya lagu itu. Aku mulai sering
memutarnya di playlist Spotify yang kusetel dalam mode berulang.
Selalu begitu jika aku sedang suka suatu
lagu. Mendengarkan Otona Ressha membuatku ingin menceritakan
pengalamanku sendiri, yang mungkin akan menjadi pengingatku nanti mengapa lagu
itu terasa begitu dekat dalam hati.
Saat kecil aku sering bermain di
rel kereta dengan adikku. Gubeng Klingsingan I KA. Disitulah gang rumahku. Jalannya
tidak lebar dan mepet dengan rel kereta api yang keluar masuk stasiun Gubeng.
Ngomong-omong soal Gubeng, dulu aku
sering naik komuter ke Sidoarjo dari stasiun itu. Masa kanak-kanak dan remajaku
diisi berbagai perjalanan kereta ke semua stasiun dalam kota Surabaya, tapi
memang paling sering aku pergi ke Sidoarjo, menjenguk Budhe-ku.
Pada umur sembilan tahun, aku dan
adikku, Maesa, sering kali bermain kerikil di pinggir rel dekat dengan rumah
kami. Kami mencari kerikil yang paling bagus dan menjualnya pada pengrajin batu. Dia akan mengupahi kami dengan es podeng yang sebetulnya agak kelewat mahal nilainya
untuk ditukar dengan kerikil. Tanah disamping rel yang sempit disitu juga ditanami ubi jalar
yang dipanen kalau keluarga kami sedang tidak mampu membeli beras.
Bukan berarti kami selalu miskin. Ada
saat-saat dimana Bapak punya begitu banyak uang.
Suatu hari keluargaku mampu membeli
sepeda motor, sebuah Honda Vario warna ungu, dan aku mulai jarang naik kereta. Aku
juga berhenti bersikap kekanak-kanakan. . aku tidak lagi mengejar kereta yang berlalu
bersama Maesa karena hal itu mulai membosankan.
Betapa menyedihkannya menjadi orang
dewasa.
Semua tetanggaku juga berhenti naik
kereta, karena orang-orang itu telah beralih naik motor sama seperti keluargaku.
Tapi setelah sekian lama aku jadi merindukan naik kereta. .
Dulu kupikir naik kereta pastilah
aman sekali. Tidak macet, tidak perlu salip-salipan. . tapi jika menoleh
kebelakang, ada Tragedi Bintaro yang sering membuatku merinding. Beberapa teman
keluargaku juga ada yang meninggal karena tidak hati-hati saat menyeberang rel
kereta hingga tertabrak.
Sebuah batu peringatan dibuat di
penyeberangan rel untuk mengingatkan orang agar berhati-hati. Ada nama-nama
orang meninggal yang digoreskan dengan cat putih untuk mengenang mereka. Aku
sedikit lega karena sudah beberapa tahun ini tidak ada lagi nama baru pada batu
itu. Barangkali keadaannya sekarang lebih aman. .
Semoga saja.
Karena kangen aku memutuskan ingin
bernostalgia naik kereta. . Satu kali lagi saja. Aku akan mengunjungi Budhe-ku
yang sudah mulai pikun di Sidoarjo untuk mengingatkannya bahwa aku bukan
keponakan yang durhaka.
Saat itu sedang musim liburan. Tapi
rupanya banyak kursi kosong dari kereta komuter yang coba kupesan. Setelah
mengisi saldo LinkAja aku menuju konter stasiun pada hari berikutnya untuk
mencetak tiket dengan kode yang kudapat dari SMS.
Seorang pemuda membantuku masuk
saat kereta komuter tujuan Sidoarjo bersiap berangkat dari stasiun.
“Trims,” aku berkata. Cowok itu juga
membantuku memasukkan tas milikku pada rak diatas.
“Kau baik banget sih,” aku
memujinya karena sikap baiknya. Setelah kulihat-lihat ternyata dia tampan juga.
Aku terpesona oleh wajahnya yang rupawan.
“Nggak masalah,” kata si cowok.
Aku mencoba bersikap biasa dan
menawarkan Bubble Tea yang kubeli dari stasiun.
“Aku nggak minum itu,” katanya
tersenyum, “Namamu siapa?” Ia beralih untuk bertanya.
“Aku Pradika Okta,” kataku menujukkan
tiket. Ternyata kursiku berada tepat berada di sebelahnya.
Komuter itu tidak terlalu penuh. Kami
berdua duduk sementara si cowok mengenalkan dirinya.
“Aku Anugerah Panji.”
Dia menunjukkan tiket keretanya,
nama lengkapnya memang tertulis Anugerah Panji Salami. Tiketnya tertanggal
sembilan Juli, sama dengan hari itu, tapi tahun yang tertera tercetak keliru.
“Tiketmu salah cetak,” Kataku.
“Hah? Maksudnya?”
“Wkwk, lihat aja tahunnya. Sekarang
‘kan tahun 2020. Punyamu tertulis 2002, salah ketik kayanya.”
“Haha, iya juga.” Dia tertawa gugup.
Kami lanjut ngobrol tentang cuaca.
Aku mulai menyukai Panji pada detik ia membantuku naik kereta tadi. Saat petugas
kereta datang ia hanya menagih karcis milikku, tapi tidak milik Panji. Aku tidak
memusingkan hal ini.
“Kau mau kemana sih,?” Panji
bertanya, setelah kami selesai ngobrol soal langit yang beberapa hari ini nampak
kelewat cerah. Petugas penagih karcis sudah pergi.
“Ke Sidoarjo, ke tempat Budheku.”
“Ah, Budhe ya. . pasti kau sayang
dia. Sering ke Sidoarjo berarti?”
“Iya. Kau sendiri?”
“Setahun sekali.” jawab Panji.
Panji lanjut bertanya soal pekerjaanku
dan dimana aku tinggal, tapi ketika aku menanyainya balik dia seperti menghindar.
“Tempat tinggalku ya. . nggak
penting.” Panji tersenyum simpul.
Aku menghargai jawaban Panji. Barangkali
itu privasinya. Itu adalah pilihannya kalau dia tidak ingin aku tahu.
Saat turun di stasiun Sidoarjo
setengah jam kemudian aku ingin meminta nomor What’sApp milik Panji, aku
menyukainya sebagai teman perjalanan yang oke dan ingin tetap terhubung dengannya,
akan tetapi dia bilang;
“Aku nggak punya handphone, apalagi
What’sApp.”
Aku ingin percaya bahwa dia bohong,
tapi memang selama di perjalanan tadi aku sama sekali tidak melihatnya membawa
hape. Malahan, Panji tidak membawa bawaan apa-apa sama sekali. Hanya baju putih
yang dikenakannya.
Panji baru membantuku menurunkan
tas dari rak (karena dia lebih tinggi) saat kudengarnya dia menggumam,
“Kita mungkin nggak bisa bertemu
lagi,” katanya.
Entah kenapa hatiku serasa dibetot
saat ia mengatakan itu. Aku ingin bertanya “Kenapa?” tapi merasa hal itu mungkin
akan menganggunya, jadi kuurungkan. Karena dia sudah bersikap ramah, aku ingin menghargai
pilihannya. Aku tidak ingin menganggunya.
“Kau nggak turun?” tanyaku.
“Aku mau disini dulu,” Panji memberiku
senyum terakhir kali sebelum kami berpisah.
Berbulan-bulan setelahnya, aku
tidak mengerti mengapa pertemuan singkatku dengan Panji masih terasa begitu
membekas. Aku masih sering memikirkan soal perjalanan kereta itu. Aku akan teringat
pada sosok Panji setiap kali mendengarkan Otona Ressha yang kuputar dari
daftar lagu.
Daftar itu terus kuperbarui, lagu
yang mulai membosankan kubuang, tapi Otona Ressha tetap bertahan di daftar
putarku selama berbulan-bulan. Aku mendengarkannya terutama saat merasa sedih.
Kereta Kedewasaan tak sempat kunaiki
lagi
Melihatnya berlalu
Kurasakan sakit dalam hati ajari aku
sesuatu
Rasa sedih bila kita berpisah dan
gelapnya
Perasaan putus asa
Ingin hapus segala rasa itu agar kubisa
menemukan cahaya
Di suatu hari di bulan Juli setahun
kemudian aku bermaksud mengunjungi Budhe-ku lagi. Aku telat datang ke stasiun Gubeng
dan sudah sampai di peron, ngos-ngosan karena berlari, tapi kereta komuter yang
kukejar terlanjur melaju pergi tanpaku. Hanya telat beberapa detik saja dan aku
tidak lolos! Astaga.
Pada detik terakhir sebelum itu aku
melihat seseorang yang kukenali sebagai Panji naik kereta, tapi dia tidak
mendengarku saat aku memanggil-manggilnya.
Tidak salah lagi kalau orang itu adalah
Panji. Aku kaget karena langsung mengenalinya. Panji masih memakai pakaian yang
sama dalam ingatanku saat bertemu dengannya dulu.
Berpikir bahwa Panji mungkin sudah
melupakanku membuatku patah hati. Padahal dia bukan siapa-siapaku juga. Kami
hanya kebetulan pernah satu kereta. . itu saja. Tidak lebih. Kita bahkan belum sempat
menjadi teman. Aku begitu bodoh.
Aku tidak jadi pergi. Aku
memutuskan untuk pulang dan melupakannya.
Seminggu setelahnya, aku melihat seorang
tukang cat menulisi ulang batu peringatan yang ada di penyeberangan rel.
Nama-nama pada batu itu telah mengabur dan perlu dicat ulang. Saat itu aku
tidak menyadarinya, tapi aku akan melewatkan satu hariku di bulan Juli hingga bertahun-tahun
kemudian untuk mengunjungi batu peringatan itu dan mengenangnya, karena ada
satu nama yang begitu familiar.
Ditulis dengan tinta putih, sembilan
belas huruf jumlahnya. Hatiku mencelos saat membaca nama itu.
Anugerah Panji Salami. Meninggal 9
Juli 2002.
.
.
()
Tidak ada komentar:
Posting Komentar