14 April 2020

Strawberries & Cigarettes, P2

Strawberries & Cigarettes (Part 2)

By @AntonErl

.
.

Di rumah, aku berjalan ke kamar, dan ketika meletakkan tas pandanganku tertuju pada berbagai korek api milik Lutfi yang telah kuambil tanpa izin.

Apakah aku telah berbuat keliru?

Aku berganti baju dan merayap menuju tempat tidur, berpikir. Mengapa aku melakukan ini, pikirku? Betulkah aku menyita korek api Lutfi karena memang peduli padanya, ataukah aku hanya ingin memuaskan egoku?

Menghela napas, di tempat tidur aku memposisikan diriku menjadi telentang.

Memang, merokok tidaklah sehat. Tapi banyak hal lain yang juga tidak sehat. Aku tidak menganggu orang-orang yang makan arumanis, walau makanan itu nyaris tidak punya nilai gizi sama sekali.

Aku menyukai Lutfi, dan aku tidak ingin dia kenapa-kenapa. . Merokok adalah hal yang buruk. Benar begitu kan? Aku meyakinkan diri bahwa tindakan yang kulakukan sudah benar. Lutfi masih punya masa depan, dan rokok bukan hal yang bagus untuknya.

Sayang sekali Lutfi tidak berpikir begitu. Dia rupanya menganggap tindakanku sebagai penghinaan pribadi. Lutfi menemukan momen untuk balas dendam padaku di latihan Pramuka kali berikutnya.

Di suatu siang yang panas, kami diajari membuat tandu darurat dari tongkat dan tali, dan sedari awal Lutfi sudah mulai mencari-cari kesalahanku.

"Ikatan simpulmu tidak benar. Bukankah sudah kubilang untuk memulainya dengan simpul pangkal, bukan simpul jangkar?"

Aku sama sekali tidak melihat bedanya kedua simpul ini. Apakah orang yang kutandu akan peduli dengan simpul apa tandu itu dibuat? Tidak kan? Tapi Lutfi tetap menyeretku ke pinggir lapangan. Dia membuatku berteriak keras-keras seperti orang bodoh dan sebisa mungkin memaksaku berpikir bahwa aku orang yang tidak berguna.

"Aku berjanji akan lebih menghargai seniorku!" Aku berteriak.

"KURANG KERAS!" seru Lutfi.

"AKU BERJANJI! AKAN MENGHARGAI PERINTAH SENIORKU!"

"Lebih keras lagi!!!!"

Tenggorokanku benar-benar serak. Aku membenci kegiatan konyol ini. Lutfi semata-mata mencari kesalahanku hanya untuk mempermalukanku. Anak-anak yang lain tertawa sementara aku dihukum, lebih lama dari yang lain.

"Kau mencari masalah dengan orang yang keliru," geram Lutfi di tengkukku.

Tidak berhenti sampai disitu.

Ketika makan siang, Lutfi menahanku dan memaksaku untuk membuka kotak bekal yang kubawa.

"Kupikir selai stroberi tidak bagus untuk gigimu. Terlalu manis. Kau harus makan sesuatu yang lebih bergizi,"

Ia menyeringai. Bibirnya mengulum senyum, tapi matanya berkilau jahat. Lutfi mengeluarkan kotak bekal berisi salad sayur miliknya, berupa potongan kubis, wortel dan brokoli. Menjijikkan sekali. 

"Biar ini buatku." Dia merebut roti isi tiga lapis dengan selai stroberi yang kusiapkan khusus untuk bekal Pramuka.

Beraninya dia? Pikirku. Tak ada yang boleh mengusik makan siangku, bahkan seandainya dia Kakak Pembina Pramuka favoritku sekalipun. Aku benar-benar marah. Aku berhenti menyukainya pada detik itu juga.

Tapi nyatanya tidak ada yang bisa kulakukan, kecuali memakan salad itu dengan lesu. Aku mencoba menghibur diri setelah tiga suapan. Memang sih, salad ini tidak seenak roti selai stroberiku, tapi setidaknya makanan ini bergizi.

Ketika aku pulang, leherku kaku akibat terlalu banyak berteriak. Aku memijit pangkal tenggorokanku, dan mau tak mau berpikir bahwa yang dilakukan Lutfi sudah keterlaluan.

Berapa banyak sih korek miliknya yang kuambil? Kan aku melakukannya karena aku peduli dengan kesehatannya. Aku tidak mempermalukannya di depan teman sekolahnya atau mengadukannya kepada guru.

Ketika kupikir keadaannya tidak bisa bertambah buruk, rupanya aku keliru. Ibuku ternyata berpikir bahwa masuk kamarku tanpa izin adalah ide cemerlang. 

Dia sudah menghadangku begitu aku kembali ke rumah sepulang latihan.

"Faris! Kamu ngrokok ya? Ibu nemu banyak korek api di kamarmu," Aku melihat Ibuku diliputi aura gelap. Itu bukan pertanda yang bagus.

"Ibu nggak habis pikir, kamu kenapa sih?"

Aku semakin pusing mendengar suara meleter milik Ibuku.

 "Ibu, Faris pusing. Korek itu bukan punya Faris. Besok aku jelasin," kataku.

Aku berjalan melaluinya.

"Heh, mau kemana kamu? Sini!"


Menjelang malam, setelah dengan sia-sia aku menjelaskan bahwa korek-korek itu bukan milikku, Ibuku menceramahi bahwa seandainya aku ketahuan merokok, tanpa belas kasihan dia akan memotong uang jajanku hingga lima puluh persen. Padahal selama ini uang sakuku sudah minim. Ibu sama sekali tidak memercayai satupun kalimatku.

Ibu telah memasukan berbagai korek api warna-warni milik Lutfi ke tempat sampah di luar, tapi aku memungutinya begitu ia tidak melihat. Aku mengusap-usap debu tanah dari satu-satunya korek yang berhasil kuselamatkan, dan berpikir bahwa pada suatu waktu, Lutfi pernah memegangnya. Aku menyimpan korek itu di kamar. ()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar