15 April 2020

Strawberries & Cigarettes, P3

Strawberries & Cigarettes (Part 3)

by @AntonErl

.

Kendati terakhir kali aku sangat membenci perlakuan Lutfi kepadaku, nyatanya aku masih mengidolakannya pada hari Senin berikutnya. Kebencianku hilang entah kemana dan digantikan perasaan takut kalau-kalau Lutfi akan kembali membalas dendam.

Tapi ketakutanku rupanya tidak terbukti.

Lutfi kembali tidak mengacuhkanku seperti sebelumnya. Entah aku harus sedih atau senang soal ini. Aku tidak pernah lagi melihatnya merokok di koridor lantai tiga sejak terakhir kali aku mencuri koreknya. Dia pindah ke tempat lain, barangkali.

Masalahku beralih dari Lutfi ke temanku yang akhir-akhir ini uring-uringan karena dia baru saja diliburkan sementara.

Bagi seorang gay, apa sih yang lebih menyusahkan dari orang tua yang homofobik? Pringgo sangat mengerti masalah ini, dan dia juga ingin orang-orang paham, terutama para orang tua di luar sana.

Pringgo masuk sekolah pada tanggal sepuluh Oktober hanya untuk diberitahu kalau dia ternyata diskors, karena fotonya yang berciuman dengan anak laki-laki dari sekolah lain beredar luas di dunia maya.

Foto itu menghebohkan grup WA sekolah dan keluarga seantero Selak, dan para orangtua kuatir kalau-kalau sekolah tempat anak mereka menempuh pendidikan ternyata darurat LGBT.

Ini konyol sekali.

Kurikulum tidak memuat pendidikan berbasis gender dan seksualitas, dan para orangtua berharap bahwa anak mereka terhindar dari LGBT? Yang benar saja.

Guru seni dan sejarah sekolah kami, Pak Pri, adalah yang paling serius menyuarakan pembelaan sekolah terhadap orang tua yang menuding bahwa para guru telah lalai.

"Orang tua seharusnya mengenal betul pergaulan anak mereka! Hal itu sama sekali diluar tanggung jawab sekolah. Kami ini guru akademik, sementara moral manusia adalah tanggung jawab masing-masing!"

Sementara aku dan Pringgo terbahak-bahak menertawakan kebodohan para guru dan orang tua itu, ada hal lain yang perlu dikuatirkan.

Gara-gara insiden foto Pringgo yang tersebar itu, hubungan Pringgo dengan orangtuanya merenggang. Dia kabur dan menginap sementara di rumahku. Ibuku, yang tidak luput mendengar kabar soal Pringgo, tidak ambil pusing soal itu dan menerima Pringgo menginap di rumah kami selama yang ia mau.

Aku, yang daridulu mengharapkan kehadiran seorang kakak di rumah, tentu senang dengan kehadiran Pringgo. Tapi Pringgo jadi lebih sering membandingkan kehidupannya dengan kehidupanku.

"Enak ya punya Ibu seperti Ibumu. Dia bisa menerima kalau anaknya istimewa."

"Istimewa gimana?"

"Yeah, kita 'kan gay. Itu artinya kita istimewa." Pringgo berujar.

"Biasa aja deh." kataku. Pikirnya gay itu martabak, istimewa?

"By the way, gimana tuh Kak Lutfi-mu tersayang? Ada kemajuan apa sama dia?"

"Dia kayanya makin benci setelah aku coba ubah kebiasaannya ngrokok. Aku coba ambil koreknya yang diumpetin, tapi akhirnya ketahuan kalau aku yang ambil."

"Kamu salah langkah deh, Ris."

"Emang harusnya aku gimana?"

"Ya, jangan langsung mengharap dia berubah sesuai kemauanmu. Kalau kau menghasutnya untuk benci rokok, dia bukan jadi benci rokoknya, dia malah benci kau. Menurutnya kau hanya orang yang menyebalkan."

Pringgo mengatakannya dengan nada seolah-olah yang kulakukan fatal sekali. 

"Gitu ya?"

Pringgo mengangguk, "Buat dia suka kau dulu. . " katanya.

Ia lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Pringgo menyulut rokok itu dari korek api yang kusita dari Lutfi.

"Jangan bilang Ibumu. Nanti aku diusir." Pringgo mewanti-wanti.

 "Loh, kau ngrokok Prin?" Aku menjitaknya. "Sejak kapan?"

Pringgo mengusap-usap bagian kepalanya yang bekas kujitak.

"Santai dong, Ris. Aku ngrokok paling sebulan sekali. Aku nggak kalap atau norak macam orang-orang kok. Sehari sebungkus. . Gila aja. Aku tuh classy,"

"Halah, kontol. Sejak kapan ngrokok?" Aku menghardiknya, "Kok kau jadi goblok gini sih? Gay itu stigma-nya pinter loh. Kau malah ngrokok,"

"Apa hubungannya gay sama pinter sama rokok? Gay yang ngrokok juga banyak. Yang goblok apalagi."

Pringgo meniupkan asap rokok ke wajahku. "Ibumu tuh unik ya, beda sama orang tua lain. Anaknya gay diterima, tapi kalau anaknya perokok malah ditendang dari rumah." Dia tertawa.

"Lucu deh jadi kau, Ris."

"Hadeh. . " Aku mengerutkan dahi, "Soalnya Bapakku dulu meninggal karena kebanyakan ngrokok sih. . Ibu sedih lama banget. Bapak masih muda waktu meninggal soalnya. . Dan aku cuma anak satu-satunya. Makanya Ibu jadi sayang banget sama aku. Dia bilang yang penting aku bahagia, nggak mau ngekang, tapi kalau soal rokok emang dia agak ketat, sih."

Aku mengangkat bahu. Di sampingku Pringgo merangkulku.

"Good for you, Ris." Ia berkata.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk merebut rokok Pringgo dari mulutnya dan melempar benda itu ke luar jendela.

"Anjir, itu punyaku yang terakhir. . ! Ris, gimana sih!?"

"Bodoamat."

Aku merebut korek api milik Lutfi dari Pringgo dan menggenggamnya erat-erat.

()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar