19 April 2020

Strawberries & Cigarettes, P5

Strawberries & Cigarettes (Part 5)

by @AntonErl

.

"Mana yang lebih dulu ada Ris? Telur atau ayam?"

Pringgo berusaha menghiburku selama hari-hari berikutnya. Aku tidak menggubris tingkahnya sama sekali. Libur tengah semester kali ini tidak seasyik biasanya. Belum pernah aku sesedih itu sejak aku mendapat nilai Sastra dibawah delapan puluh.

Kami menghabiskannya dengan di rumah sepanjang waktu. Selain ruang tamu, halaman depan, dan halaman belakang, aku tidak pergi kemana-mana. Aku tidak ingin kemanapun untuk menghibur diriku. Pringgo juga tidak berniat pulang ke rumah orangtuanya. Ibuku tidak sekalipun mempermasalahkan ini. Karena tidak ada anak selain aku di rumah, Pringgo jadi bisa diandalkan.

Sejak kabur hampir dua bulan lalu, orang tua Pringgo tidak pernah sekalipun mencari anak mereka. Aku terlalu sedih dan patah hati untuk mengerjakan PR-PRku, tapi Pringgo dengan setia menggantikanku merampungkan tugas sekolah yang seharusnya kukerjakan. Aku merasa para guru tega sekali karena membebani kami dengan tugas bahkan pada saat liburan. Ditambah hatiku yang sedang patah hati, liburan kali itu benar-benar memprihatinkan.

"Ceria dong, Ris. Bentar lagi kita kan kemping. Nggak usah menangisi si Lutfi yang tolol itu,"

Walau nasehat Pringgo ada benarnya, susah untuk mendengarkan nasehat itu kalau kau sedang pilek gara-gara kebanyakan menangis. 

"Aku yang tolol," kataku, suaraku agak bindeng. "Bukan salah Lutfi kalau dia naksir cewek itu. Lagian aku siapa sih?"

"Kau? Kau itu Pria Al-Farisi. Siapa yang nggak kenal kau di sekolah?" kata Pringgo membesarkan. "Juara kelas. Nggak pernah neko-neko. Suka selai stroberi. Nggak pernah merokok. Murid teladan sejati pokoknya. Calon mantu ideal. . "

Aku sedikit tersenyum oleh kalimat Pringgo yang terakhir.

"Aku nggak punya banyak teman di sekolah." kataku. Pringgo menganggap ini bukan suatu masalah.

"Jangan menyalahkan dirimu karena anak-anak yang tak tahu pergaulan benar itu. Kau lebih baik tidak berteman dengan mereka."

Aku tersenyum. Pringgo benar-benar tidak membiarkanku patah hati sendirian akhir-akhir ini. Dia juga bercerita padaku tentang seseorang yang membuat hatinya galau.

"Tembak dong, kalau gitu." Aku menyarankan.

"Dia suka sama orang lain," katanya. Pringgo tersenyum kecut, mencoba menghibur diri.

Aku bersimpati padanya karena nasib kami ternyata sama.

Pringgo lalu menyulut rokoknya. Dia menepati janjinya untuk hanya merokok sebulan sekali, tapi aku tetap tidak senang melihatnya.

Kami menggelar tikar di halaman belakang dan berjemur dengan pakaian lengkap diatasnya. Mempunyai halaman belakang benar-benar sebuah keuntungan. . Aku benar-benar bersyukur soal ini, karena berapa banyak sih orang  yang mempunyai halaman belakang yang layak di Selak? Jelas tidak banyak.

Aku menyetel lagu-lagu The Es Kopjor dan Coldplay yang kubeli dari toko kaset bekas yang menjual CD lawas. Ketika lagu The Scientist muncul di daftar putar aku mulai menitikkan airmata.

"Nobody said it was easy. . It's such a shame for us to part. ."

Disampingku Pringgo ikut berlinang air mata. Seperti kebanyakan orang, lagu itu punya arti khusus buat kami, bahkan Ibuku. Aku diam-diam sering memergoki Ibu menyetel kaset itu jika dia kangen Ayah. . Aku bisa mengerti perasaannya.

Aku membandingkan Ibuku dengan Lutfi. Mana yang lebih menyakitkan? Tidak bisa bersama dengan seseorang yang kau cintai, atau masih mencintai seseorang yang sudah meninggal?

Ah. Aku merasa diriku lebih beruntung dalam kasus ini. Karena Lutfi masih hidup dan aku masih bisa melihatnya bernapas dan bahagia, walau dari jauh, walau dia mencintai orang lain, walau aku tak bisa bersama dengannya. Bagaimana dengan Ibu? Di sisi lain dia juga lebih beruntung karena pernah memiliki Ayah. Walau kisah mereka tinggal kenangan. . Setidaknya Ibu punya memori yang hangat tentang Ayah untuk diingat-ingat.

"Dulu aku biasa aja waktu dengar lagu ini. . Tapi waktu The Scientist dibawain sama Glee, aku jadi lebih paham isinya. " kata Pringgo, menyeka sudut matanya. "Lagu ini emang berarti."

Aku mengangguk. Dalam hati aku berpikir Pringgo ternyata gay sekali, menonton serial Glee.

Kami menghabiskan dua hari terakhir liburan tengah semester untuk mengepak segala tetekbengek barang-barang yang akan dibawa untuk keperluan kemah. Ibu membantu kami menemukan sebanyak mungkin kaus kaki dan jaket karena sekolah kami akan kemping di tempat yang dingin. Aku memastikan tidak ada satupun pakaian atau bawaan yang wajib dibawa dalam daftar tertinggal kalau aku tidak ingin dihukum begitu sampai disana. Saat melipat selimut aku menemukan sisa satu korek api milik Lutfi yang tersembunyi di balik seprei. Aku mengingatnya sebagai korek pertama milik Lutfi yang dulu kuambil. Aku mendekap korek itu didadaku erat-erat, membayangkan pemilik korek itu mendekapku, berharap bahwa Lutfi mengetahui betapa aku menyukainya.

()





Tidak ada komentar:

Posting Komentar