19 April 2020

Strawberries & Cigarettes, P4

Strawberries & Cigarettes (Part 4)

by @AntonErl

.

Oktober, yang diperingati setiap tahun sebagai bulan bahasa, disambut dengan kurang antusias oleh murid-murid SMA Selak. Latihan Pramuka mendadak dipenuhi anak-anak yang membuat puisi, karena pembina mewajibkan mereka menyumbangkan sedikitnya satu karya murni, ditujukan untuk seseorang.

Sebagian besar anak laki-laki berpikir bahwa membuat puisi adalah kegiatan yang payah (dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepramukaan) tapi toh mereka tetap menulis sepuluh baris penuh kata-kata bernada kurang ajar yang ditujukan untuk kakak senior yang paling mereka benci.

Anak-anak ini, yang baru saja puber dan mendapat lonjakan hormon testosteron berbulan-bulan lalu, kelakuannya nyaris tak bisa dikendalikan. Mereka membuat keributan di kelas-kelas dan membuat para guru kewalahan.

Sulit untuk menentukan siapa yang lebih marah karena rencana kemah mereka ditunda gara-gara bulan bahasa ini. Walau sudah jadi rahasia umum di kalangan anak kelas dua bahwa pramuka adalah ekstrakurikuler paling dibenci, mereka tetap antusias jika menyangkut soal kemping.

Aku dan Pringgo sendiri menganggap segala situasi ini sangat lucu. Kami menulis surat ancaman anonim yang ditujukan kepada kepala sekolah sebagai lelucon, yang bunyinya kira-kira begini:

kEpad4 B4p4k K3p4La sEk0lah y4n9 tErH0Rm4t, k4m1 s3L4kU mUr1d y4n9 T3rG4bUn6 d4LaM k0mUn1T4s LEsB14n, g4y, b1sEXu4L & tR4nS9eNDeR b3rm4kSud mEng1nV4sI & m3n9amB1L 4LiH s3k0L4h !

AnD4 t3RLiH4t s4n9at b0d0H s4aT b3rp1d4t0 b4Hw4 L9BT 4d4LaH pR0dUk bUd4y4 B4R4T !

4nD4 t1d4K p3Rn4H b3LaJ4R sEj4RaH b4Hw4 L98T t3L4h m3nj4D1 b49iAN bUd4Y4 NuS4nT4Ra s3L4mA bERaTu5 - rAtu5 4B4d !

Kami menyelipkan surat itu ke balik pintu ruang kepsek yang penuh sesak oleh piala. Entah bagaimana surat itu lalu dimuat oleh redaksi di majalah sekolah minggu berikutnya. Rupanya Kepsek tidak kalah pintar. Ia membuat jebakan di papan pengumuman yang ditulis huruf besar-besar bahwa yang mengirimkan surat itu berhak mendapatkan beasiswa, karena berhasil membuat kepala sekolah  menyadari kebodohannya.

Saat Pringgo mengajukan klaim bahwa dia-lah yang mengirim surat itu, dia tidak mendapatkan beasiswa apapun, malah mendapat tambahan skors seminggu lagi. Kepala sekolah telah menipunya.

Kabar baiknya, anak-anak yang tadinya menyindir Pringgo ketika foto ciumannya beredar, dan yang sering mencemoohnya setelah tahu bahwa dia gay, kini berbalik menyukainya. Beberapa guru juga ikut membela Pringgo. Guru Seni dan Sejarah, Pak Pri, memberi Pringgo nilai A plus di rapor ulangan tengah semester miliknya karena ia paham sejarah seni queer yang telah ada sejak jaman pra penjajahan. Berbagai kesenian seperti Ludruk, Tari Lengger Lanang, Reog Ponorogo, semuanya mengedepankan aspek estetika dimana laki-laki mengambil peran perempuan.

Aku tidak berhenti tertawa membaca suratku dan Pringgo yang dimuat di majalah. Karena masih dalam masa skors, aku membawa pulang nilai ulangan tengah semester milik Pringgo yang sudah keluar. Malam itu juga aku mengajaknya ke konser The Es Kopjor, band pop-rock lokal yang sedang naik daun, dari uang honor surat kami yang dimuat. Kami tetap berhak atas honor surat itu, setelah aku menagihnya ke redaksi sekolah.

Lutfi, sementara itu, rupanya tengah disibukkan dengan persiapan rencana kemah mereka awal November depan. Aku bisa melihat dia sedikit lega karena acara itu ditunda.

Kini aku bermaksud mengembalikan korek miliknya, atas saran dari Pringgo. Aku bukannya mendukung kalau Lutfi merokok, tapi aku setuju pada gagasan bahwa ideku akan berhasil kalau aku berhenti bersikap menyebalkan.

Aku membawa korek milik Lutfi kemana-mana. Ke kantin, ke perpustakaan, ke latihan Pramuka. Tapi setiap aku ingin mengembalikan korek itu nyaliku langsung ciut oleh tatapan Lutfi yang mengintimidasi.

Lutfi seperti telah bertekad bahwa ia tidak ingin ngomong padaku selamanya. Hatiku mencelos memikirkan ini.

Di konser The Es Kopjor yang penuh sesak oleh penonton, kami menemukan Lutfi datang ke venue bersama seorang perempuan. Pringgo dan aku ada di barisan depan, aku bermaksud mengikuti Lutfi ke belakang ke tenda panggung untuk mengembalikan koreknya.

Saat aku menyingkap kain yang menutupi salah satu stand, Lutfi berada dibaliknya, sedang mencium perempuan yang diajaknya ke konser tadi. Aku mengenalinya sebagai anak perempuan dari sekolah lain. Mereka kaget dan langsung melerai diri masing-masing.

"Ah, sori. . aku nggak bermaksud-" Aku berjalan mundur dan langsung pergi. Kepalaku pusing berusaha mencerna kejadian barusan.

Konser berlangsung dengan meriah, tapi hatiku sedang tidak bahagia. Aku hanya duduk lesu sementara Pringgo mencoba menghiburku.

Aku pulang dengan resah dan patah hati, ditemani Pringgo yang mencoba bersimpati. Kami sudah ada di parkiran saat Lutfi melihatku. Dengan kasar dia menarikku ke pinggir dan menghimpitku diantara pohon Akasia yang meneduhi tempat parkir.

"Apa maksudmu, eh? Kenapa kau selalu mengikutiku?" kata Lutfi.

Pringgo datang bergegas untuk melerai.

"Aku cuma mau balikin korek milikmu!" kataku, meminta maaf. Aku buru-buru merogoh benda itu di saku dan menyerahkan paksa benda itu padanya.

Aku langsung melepaskan diri dan berlari menuju Pringgo. Anak itu memboncengku di depan sementara kami pulang. Aku menangisi Lutfi di perjalanan pulang.

Pringgo berhenti sebentar di tempat yang sepi untuk memelukku. Dia diam saja sementara aku menangis di dadanya.

()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar