29 September 2020

Sebuah Cerpen: Mawar yang Tak Pernah Berbunga

Mawar yang Tak Pernah Berbunga (Rose That Never Reach It's Bloom)

.

Untuk Gilbert, yang membuat hidupku penuh dengan warna.


.

.


Rumah Yohanes dipenuhi dengan semak mawar. Halaman depan. Halaman belakang. Bahkan di samping rumah. Anes benci melihatnya, karena semak-semak mawar itu tidak pernah sekalipun berbunga.

Pohon-pohon mawar di sekeliling rumah Yohanes sudah ditanam sejak ia berumur tujuh tahun, dan kini di usianya yang kedua puluh satu, Ibu Yohanes, Martha, masih belum menyerah untuk menunggu mawar itu melahirkan kuncup pertamanya.

Anes merasa perbuatan itu sia-sia saja. Semak pohon mawar di rumahnya tidak pernah membawa hal positif. Gara-gara sulur mawar itu, rumah Yohanes seperti dikelilingi pagar berduri. Yohanes tidak pernah melihat manfaat dari mempertahankan pohon-pohon mawar itu. Duri dari semaknya seringkali membuat Yohanes terluka jika ia harus berjalan dari samping rumah yang sudah sempit menuju halaman belakang.

Bukankah lebih baik memangkas semua semak itu dan menggantinya dengan tanaman lain? Pikir Yohanes. Jika ia menanyakan hal ini pada Martha, jawaban ibunya akan selalu sama.

“Itu mawar peninggalan Bapak. Dia tidak meninggalkan kita apa-apa kecuali mawar itu. Sebisa mungkin dirawat.”

“Itu cuma semak-semak, Ma. Mawar itu nggak pernah berbunga juga kok. Kita bisa menanam bunga lain sebagai ganti. Bunga matahari, misalnya. . “ Anes menyarankan suatu hari.

“Suatu saat pasti berbunga. Itu janji Bapak buat Mama. Jangan mengatur-atur Mama kalau kau tidak tahu sejarahnya,” kata Martha. Ia selalu ngotot menolak.

Begitulah Martha kalau berkilah. Bunga mawar itu hanya bualan dan akal-akalan ayahnya yang sudah mati, dan Martha mempercayainya. Stefanus tidak meninggalkan sesuatu yang berguna bagi mereka. Tidak ada rumah atau mobil atau tanah sebagai warisan. Semua yang mereka miliki sekarang adalah hasil kerja keras ibunya dan Abigail, kakak perempuan Yohanes. Hanya tanaman mawar bodoh itu satu-satunya peninggalan Stefanus. Tanaman itu bahkan tidak sanggup berbunga. Lebih menyerupai benalu, jika kau tanya pendapat Yohanes.

Anes tahu ibunya sedang denial. Martha tidak ingin merasa tolol karena ia telah merawat semak mawar itu sejak dulu, belasan tahun lamanya. Ibunya tidak bisa menerima kenyataan bahwa mawar-mawar itu tidak pernah berbunga dan takkan pernah berbunga sampai kapanpun. Ia selalu menutupi rasa kecewa-nya dengan pura-pura merawat tanaman duri yang mengelilingi rumah mereka, dan memberi dirinya sendiri harapan palsu dengan keyakinan bahwa suatu hari tanaman itu akan mekar akhirnya. Nyatanya hari yang dimaksud tidak pernah tiba.

Yohanes dulu optimis sama seperti ibundanya, saat ia kecil. Tapi semakin dewasa Anes belajar bahwa hal-hal di dunia nyata tidak seindah kelihatannya. Kenyataan ternyata tidak seindah yang dibayangkan orang-orang dalam film.

Perayaan natal, dengan sinterklas dan segala pernak-perniknya telah menipu masa kecil Yohanes. Pada umur berapa kau menyadari bahwa ternyata santa dan kereta terbangnya tidak pernah benar-benar ada? Kini Yohanes tidaklah naif. Ia tidak akan membiarkan dirinya disakiti oleh harapan palsu. Apa yang lebih membuat patah hati, selain menemukan fakta bahwa dunia nyata itu kejam, tidak seperti apa yang dibayangkan oleh anak kecil yang didongengi dunia fantasi penuh keindahan?

Damai itu hanyalah omong kosong. Di sisi bumi yang lain orang-orang sedang berperang. Orang-orang Papua dan masyarakat adat lain terus dirampas hak-haknya. Doa saja tidak akan cukup untuk menolong mereka. Doa adalah wujud kemalasan orang-orang yang enggan bertindak dan membantu mereka yang dalam pesakitan.

Kita harus berbuat sesuatu kan? Tapi apa yang bisa dilakukan Yohanes selain memohon pada Tuhan? Masihkah Tuhan mendengarkan doa manusia? Masihkah berdoa relevan?


Anes mungkin tidak akan terlalu ketus soal semak mawar itu seandainya ia tidak dipaksa ikut-ikutan merawatnya. Bahkan saat hari kematian ibunya, menjelang ulang tahunnya yang kedua puluh dua, satu-satunya pesan terakhir Martha tak jauh dari soal bunga sialan itu.

“Jadilah anak yang baik. Tolong rawat mawar-mawar itu sampai ia berbunga, ya nak. Bawa ke pemakaman Ibu jika kau sudah bisa memetiknya.”

Yohanes ingin marah jika mengingat pesan itu. Ayahnya telah menipu sang Ibu. Tapi toh Yohanes tetap melaksanakan perintah Martha. Ia tetap menyiram tanaman mawar di sekeliling rumahnya setiap sore. Ia tetap merabuki tanaman mawar itu dengan pupuk hanya agar ia tidak merasa telah mengabaikan pesan terakhir ibunya. Ia tetap memangkas dahan yang terlalu panjang dan menganggu, kendati dengan menggerutu dan marah.

Setiap hari Kamis Yohanes pergi ke makam orangtuanya ditemani Antonius, pacar laki-lakinya. Martha dimakamkan tepat disamping Stefanus.

Yohanes tidak pernah bersedih atau menyesal soal kematian orangtuanya. Karena semua yang hidup pasti akan mati, cepat atau lambat. Yohanes lebih suka bersikap realistis dan mengabaikan perasaannya. Orang-orang keliru jika menganggap kematian adalah hal yang buruk. Kehidupan jauh lebih mengerikan karena dunia penuh dengan banyak penderitaan. Semakin cepat kau meninggal maka lebih baik.

“Siapa sih yang membuat tradisi membawa bunga ke makam?” Anton bertanya saat mereka tiba di pemakaman. Anak itu berjalan diantara nisan-nisan, mendahului Anes. Anes melihat orang lain datang dengan membawa keranjang berisi bunga dan menaburkan kelopak-kelopaknya diatas nisan orang yang telah meninggal. Ia sendiri tidak membawa apa-apa.

“Entahlah.” jawab Anes, agak telat. Anton sudah tidak mendengarkan. Dia kini berdoa. Ini hal yang aneh mengingat anak itu juga bukan orang yang percaya kekuatan doa. Yohanes ke pekuburan untuk mengenang orangtuanya, bukan untuk mendoakan mereka.

Karena melihat Yohanes tidak membawa bunga, seorang peziarah menaburkan sejumput bunga miliknya di kuburan Martha dan Stefanus. Anes mengangguk pada peziarah yang menaburi bunga di makam orangtuanya. Baik sekali orang itu.

“Menurutmu orangtuaku dengar kalau kita berdoa?” Anes bertanya pada Anton saat anak itu selesai.

“Enggak, menurutku mereka nggak dengar.” jawab Anton gamblang.

“Lantas? Ngapain kau berdoa?”

“Entah ya, kadang aku melakukan sesuatu karena ingin. Aku sedang ingin berdoa, maka aku melakukannya. Tapi aku tidak terlalu percaya bahwa doa benar-benar berguna.”

Anes seringkali sangsi jika menyangkut mendoakan orangtuanya. Apakah tindakan ini perlu? Meski Martha dan Stefanus adalah orang-orang baik, Anes tidak terlalu yakin jika ia mengagumi mereka. Dan lagi, tidakkah orang baik tidak perlu didoakan?

Anton memperhatikan Anes lekat-lekat. “Tidak setiap pertanyaan harus ada jawabannya, Nes. Sama halnya dengan doa. Kalau kau ingin melakukan sesuatu, lakukan saja. Selama kau merasa hal itu baik. Aku pribadi merasa berdoa membuat diriku tenang, walau seperti yang kubilang, doa itu mungkin sia-sia. Tapi hanya itu yang bisa kita lakukan, ‘kan? Kau boleh saja berdoa, mungkin juga itu berguna bagimu. Kita nggak selalu tahu pasti apa yang berguna atau tidak. Lakukan saja.”

Berdoa mungkin salah, tapi kita tidak harus selalu melakukan hal yang benar.


Setengah jam berlalu dan dua orang itu telah selesai mendoakan orangtua Yohanes. Pada akhirnya Anes mendaraskan doanya sendiri, kendati dengan tidak yakin. Dengan pandangan menilai Anton melihat seorang peziarah menaruh sekuntum mawar di salah satu makam saat mereka keluar.

“Tidakkah kurang sopan. . menaruh bunga di makam? Buat apa memberi bunga pada orang yang sudah mati? Aku gagal paham, deh. Kenapa tidak memberikan bunga saat orang itu masih hidup saja? Bunga itu simbol harapan. . sementara pemakaman ini tempat orang-orang mati. Orang mati tidak butuh harapan. Yang lebih butuh harapan adalah orang hidup. .” Anton mulai ngomong panjang lebar.

“Kalau boleh jujur aku lebih suka tradisi Yahudi, alih-alih bunga mereka menaruh batu di makam, walau aku nggak tahu apa maksudnya, tapi menurutku tindakan itu lebih sopan.” Anton menyelesaikan kalimatnya.

“Simbol harapan itu bukan bunga, tapi pelangi.” Anes mengoreksi Anton. Ia penasaran kenapa anak itu berpikir demikian.

“Iya sih, tapi pernah nggak kau mikir. . kemanapun kita pergi selalu ada bunga. Di tempat paling terpencil sekalipun. . Di tempat paling susah dijangkau, paling ekstrem. . selalu ada bunga. Diatas gunung, di tepi jurang, di tengah hutan. Selalu ada bunga-bunga. Mereka juga simbol harapan.”

Dalam perjalanan ke rumah Anton bercerita banyak soal bunga. Ia memang penyuka bunga. Di sepanjang trotoar jalan yang telah dibeton, dari retakan-retakan disitu tumbuh berbagai bunga putih liar yang berukuran kecil dan tampak rapuh, yang namanya tidak diketahui Yohanes. Walau sering diabaikan, bunga-bunga itu sebetulnya cantik. Anton sering mengambilnya untuk ditaruh diantara lembaran buku. Kali ini pun demikian.

Anes menunggu sementara Anton mengumpulkan bunga-bunga itu. Saat itu dirinya berpikir, jika bunga-bunga liar di pinggir jalan ini bisa tumbuh dengan mudahnya, kenapa semak mawar di rumah Yohanes yang telah dirawat dengan susah payah justru malah sulit untuk berbunga?

Yohanes mempelajari apa yang salah dari bunga mawar di rumahnya. Kenapa tanaman itu tak pernah mau memekarkan satu pun kelopaknya? Apakah tanahnya tidak subur? Apakah ia kurang menaruh pupuknya? Apakah Yohanes menyiraminya terlalu sering? Saat ia mendiskusikan hal ini pada Anton, anak itu memberi jawaban yang sedikit masuk akal.

“Mungkin belum waktunya berbunga. Dia belum mau, paling. Kalau sudah waktunya, pasti nanti bakal berbunga.”

“Jangan omong kosong soal harapan lagi. Bunga macam apa yang butuh waktu pemekaran selama bertahun-tahun?” Anes menyanggah.

Well, ada sejenis tanaman mawar yang butuh lima belas tahun sampai bisa berbunga kalau kau pernah dengar. Mungkin yang ditanam di rumahmu jenis yang itu.”

“Huh? Memangnya ada bunga semacam itu?”

“Kayaknya, sih. Kalau nggak salah aku pernah baca soal itu, besok coba kubawa deh bukunya.”

Setelah berjalan kaki selama dua puluh menit dari pemakaman mereka sampai di kompleks rumah Anes. Anton memasukkan bunga kecil yang dipetiknya ke saku celana.

“Nggak mau mampir?” Anes menawari Anton. Itu pertanyaan yang sudah sering ia ajukan pada pacarnya. Rumah Antonius sendiri ada di paling ujung, Anes jarang melaluinya. Anton menatap ragu-ragu gerbang rumah Anes, sebelum memutuskan masuk.

“Boleh,” jawab anak itu.

Dulu, di depan Ibu Yohanes mereka berpura-pura sebagai teman akrab, tapi sejak kematian bundanya bulan lalu mereka tidak perlu berpura-pura lagi. Meski begitu Anton masih canggung jika berada di sekitar rumah Yohanes.

Anes membawa pacarnya ke halaman belakang, dimana tempat itu sepenuhnya tertutup oleh semak mawar. Walau Yohanes enggan mengakui ini, sebetulnya semak-semak mawar itu cukup berguna untuk menghalangi tetangga yang selalu ingin tahu urusan pribadinya. Di dunia yang serba ingin tahu, semak mawar itu memberikan hal yang jarang ia punya: privasi. Hal itu yang Yohanes butuhkan sekarang.

Napas Anton memberat. Ia tahu kenapa Yohanes mengajaknya kesini, ke halaman belakang. Ia pernah disini untuk membantu Yohanes dan ibunya menyiangi rumput di halaman, tapi bukan untuk alasan itu ia berada disini sekarang.

Pada suatu hari yang gerimis, di halaman belakang situ Anton dan Yohanes pernah bercinta. Semua orang sedang ke gereja pada waktu itu. Sekarang setelah lama tidak melakukannya, Anton tahu Yohanes ingin mengulangi kisah itu.

Anes memiting Anton ke dinding.

“Nanti kalau kakakmu lihat gimana?” Anton bertanya dengan lirih. Suaranya dikuasai rasa kuatir, tapi juga gairah.

“Abigail belum akan pulang.” Anes membalas sama lirihnya. Ia menenangkan Anton dengan ciuman. Dan terulanglah kisah itu. Bedanya kali itu tanpa gerimis. Baju mereka tidak basah.

Karena lama tidak melakukannya, rasanya perih saat Anes melakukan penetrasi. Mengingat keduanya tidak memakai lubricant, Anes kesulitan saat melesakkan benda miliknya lewat lubang belakang Anton.

Saat selesai keduanya berbaring di tanah, di bawah naungan semak-semak mawar yang tidak ada bunganya. Anton menatap semak-semak itu dengan sedih. Kadang-kadang ia jadi melankolis setelah melakukan hubungan seks.

“Coba orangtua kita tahu kalau kita sebetulnya saling mencinta. . “ Ia menerawang dengan galau.

“Mereka tahu, kayaknya.” Anes menjawab.

“Siapa?”

“Ibuku. Menurutku dia tahu kalau kita pacaran,”

“Betulkah?”

“Dia nggak bilang sih, tapi aku curiga kalau Ibuku sebenarnya tahu. Dia cuma diam soalnya. Dia nggak pernah komentar apa-apa. Aku nggak pernah paham Ibuku.”

“Ibumu sayang kamu Nes, ayahmu juga. Itu yang paling penting. Kau harus ingat itu,” kata Anton.

Yohanes setuju, kendati dengan berat hati. Anton memeluk kekasihnya. Lewat pelukan itu Yohanes memberi dirinya sendiri sedikit harapan. Walau dunia sekarang ini penuh dengan kekacauan, masih banyak hal baik yang akan terjadi.

Keduanya melewatkan berjam-jam kemudian untuk melukis di buku gambar mereka dengan latar halaman belakang itu dihiasi kelopak-kelopak mawar, untuk memberi diri mereka keyakinan bahwa suatu hari bunga-bunga mawar itu akan mekar.

Sore itu tiba-tiba hujan.


Seminggu setelahnya, tanpa aba-aba apapun, Yohanes dan Abigail terbangun pada suatu pagi dan mendapati halaman mereka dipenuhi dengan bunga mawar. Orang-orang yang lewat di jalan sampai melongo. Antonius lupa membawa buku Jenis-jenis Puspa Langka yang dijanjikannya, tapi Anes akhirnya tahu bahwa mawar yang telah mereka tunggu selama lima belas tahun kurang lebih cocok dengan deskripsi Google. Mawar itu adalah mawar Juliet.

Anes membawa sepelukan penuh mawar pucat itu untuk ditaruh di makam orangtuanya.



Selesai.




Surabaya, 29 September 2020

Cerpen oleh Anton E. Aditama




Catatan:

This is an easy piece to write.

Saya kepikiran nulis cerita ini waktu dengar soal Juliet Rosa, alias Mawar Juliet waktu nonton TV sama pacar saya. Kudos untuk David Austin. Saya nggak tahu persis bagaimana budidaya mawar itu tapi saya mengambil ide ceritanya dari sana. Cerpen ini saya persembahkan untuk Gilbert, yang kebetulan nama baptisnya saya pakai buat tokoh utama cerita ini.

Terima kasih sudah membaca! Mohon kritik dan saran ;)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar