6 April 2020

(BUKAN) KUPU - KUPU MALAM

“Hei, kau lapar?” Seorang yang memakai sarung, kelihatannya seorang santri, bertanya pada Ruka. Ruka sudah mengorek banyak tempat sampah, malam menjelang dan ia baru menemukan sebuah donat yang masih terbungkus plastik. Orang senang sekali membuang-buang makanan dan ironisnya ini agak menguntungkan bagi Ruka.

Donat itu sudah masuk ke lambungnya dan belum cukup untuk meredam gejolak perut Ruka yang telah kosong seharian. Jelas Ruka masih lapar.

Ruka melihat pada santri itu, yang menangkap basah dirinya mengorek tempat sampah di depan pesantren. Dia membawa bungkusan makanan. Ruka memberinya pandangan angkuh dan menggeleng.

“Nggak. Saya nggak lapar.” Ruka berkata kaku, walau matanya selama sedetik tertuju pada bungkusan nasi.

“Nggak perlu sungkan.” kata si santri. Dia mengulurkan bungkusan nasi miliknya. Santri ini bernama Asrori. Dia berparas tampan, dan wajahnya teduh seolah ia sering wudhu berkali-kali.

Ruka menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokan Ruka benar-benar kering. Sisa-sisa donat tadi masih tersangkut di tenggorokannya.

“Itu milikmu.” kata Ruka. “Aku nggak mau minta-minta. Aku bukan pengemis.”

“Nggak usah keras kepala. . Ambil aja kenapa sih?”

Ruka menahan diri walau perutnya melilit. “Nggak usah, terima kasih.” Ia memalingkan muka, berbalik memunggungi Rori.

“Kalau harga dirimu sebegitu tingginya. . kau bisa membersihkan kamarku setelah ini.” kata Asrori, menahan Ruka. Tangannya bersentuhan dengan siku lengan Ruka.

Tangan Rori terasa begitu halus di lengan Ruka. Ia menatap wajah teduh santri itu, dalam hati menimbang pilihannya. Ruka merasa itu bukan pilihan yang buruk. Tidak ada ruginya buat dia ‘kan?

“Baik.” kata Ruka.

Asrori tersenyum pada cowok yang berhasil diluluhkannya. Selama sesaat Ruka terbius oleh pesona Rori. Walau Ruka tidak percaya Tuhan, dia merasa Rori kelihatan seperti malaikat.

“Siapa namamu?” tanya Rori. Ia membawa Ruka masuk ke kompleks pesantren, yang entah bagaimana sangat sepi, menuju kamarnya di lantai dua. Ia meminta cowok itu untuk membersihkan diri di kamar mandi.

“Ignatius Haruka.” jawab Ruka, sementara ia membasuh muka, tangan, dan kaki.

“Haruka? Kau punya darah Jepang? Atau kebetulan ayahmu Wibu?” Rori bertanya dari ambang pintu kamar mandi. Ia menyandarkan diri di kusen.

Ruka menatap Rori yang menolehkan wajahnya, mengawasi Ruka.

“Kakekku punya darah Jepang, ya.”

Asrori manggut-manggut. Ia lalu menuntun Ruka menuju kamarnya.

“Kok disini sepi? Kemana orang-orang?” tanya Ruka.

Rori melemparkan pandangannya ke sekeliling. “Harusnya jam segini nggak boleh keluar-keluar sih. . tapi tadi aku lapar banget.”

“Loh terus nasimu—"

“Aku udah makan di warung kok. . Itu tadi buat jaga-jaga kalau tengah malam aku bangun. . kadang suka lapar.” Rori menenangkan Ruka.

“Astaga, makanmu banyak juga ya?”

Asrori mengedikkan bahu. Di pesantren ia memang tidak pernah kelaparan, tapi dia juga tidak diizinkan makan sebanyak yang ia mau.

Keduanya masuk. Kamar Rori lumayan luas dan menyenangkan. Haruka melihat berkeliling kamar persegi itu. Hal yang pertama dilihatnya adalah sebuah globe yang digantung di langit-langit menjadi semacam lampu diskotik. Tapi selain itu tidak ada hal aneh yang tidak berada di tempatnya. Kamar itu memang sedikit berantakan, tapi takkan sulit untuk membereskannya.

Rori membiarkan Ruka duduk di kursinya. Ia mengambil peralatan makan miliknya dan menyerahkannya kepada Ruka sebelum duduk di tempat tidur.

“Hei, berdoa dulu.” Rori menukas.

Ruka meletakkan sendoknya dengan tidak sabar. “Aku atheis. . aku harus berdoa pada siapa?”

Sesaat Rori tertegun, tapi lalu Haruka menadahkan tangannya.

“Tuhan, kalau Kau memang benar-benar ada di suatu tempat. . terima kasih atas berkat yang Engkau berikan kepadaku. Terima kasih sudah mempertemukanku dengan malaikat penyelamat. Semoga Engkau memberkati nasi goreng oriental ini dan semoga Engkau memberi berkat keselamatan dan kebahagiaan kepada yang membelikannya, keluarganya, dan anak cucunya kelak. Amen.”

“Senang?” Ruka bertanya sementara Rori menaikkan alis.

“Doa yang indah.” Rori lalu berkata tergelak.

Sesaat sunyi, sementara Ruka makan. Walau ia sepertinya sangat kelaparan, Rori mengamati Ruka makan dengan elegan sekali.

“Ayahmu sadar kalau Haruka itu nama cewek kan?” Rori bertanya untuk memecah keheningan.

“Ya, dan sepertinya dia menyesal memberiku nama itu. Aku nggak masalah sih dinamai Haruka. . Di luar sana ada yang lebih parah. Bukan sekali dua kali aku ketemu cowok yang namanya Putri atau Dewi.”

Ruka mengangkat bahu.

“Aku belum tahu namamu.” Ia berkata kemudian.

“Asrori Azhar. Dipanggil Rori.”

“Makasih Rori, aku berutang padamu. . ” Ruka mengacungkan sendoknya, sebelum memasukannya ke mulut.

“Nggak juga. Habis ini kan kau bersih-bersih kamar.” Rori menyeringai.

Ruka mengangguk. Ia menyelesaikan nasi goreng oriental itu dalam seperempat jam sebelum minum dari galon air Rori.

Sementara Rori berbaring dengan bertumpu kedua tangannya di kasur, Ruka mulai membersihkan ruangan. Pertama-tama ia menuju rak buku, tempat yang dianggapnya paling sakral di kamar. Ilmu pengetahuan haruslah didahulukan, pikir Ruka.

Ia merapikan berbagai kitab dengan huruf arab yang tidak dimengertinya dengan hati-hati. Saat beralih ke rak kedua Ruka tiba-tiba nyeletuk;

“Astaga. . kukira ini buletin religius keagamaan atau apa. . Nggak tahunya kau nyimpan majalah porno? Ya Tuhan. Aku saja nggak punya ini.”

Ruka mengacungkan majalah porno itu tinggi-tinggi. Muka Rori memerah setelah tertangkap basah. Ia merebut majalah dari tangan Ruka dan bermaksud mengalihkan topik pembicaraan, tapi kemudian Rori mengakui dosanya.

“Kebanyakan santri punya itu sih. . “ Ia menggaruk belakang kepalanya, yang memang gatal karena Rori kehabisan sampo. Sudah tiga hari ini dia tidak keramas. “Bahkan guru agamaku juga. Aku nggak mau jadi sok suci sih. . nggak ada manusia yang sempurna. Aku jelas punya dosa juga.” Rori membela diri.

“Ya, ya. Bukan urusanku.”

Ruka lanjut membersihkan kamar. Ia memunguti baju-baju Rori dan melipatnya. Kamar itu ternyata lebih berantakan daripada yang dikiranya.

“Kenapa kau luntang-lantung di jalanan?” Rori berusaha mencari topik karena Ruka sepertinya tidak pintar berinisiatif dalam urusan ngobrol.

“Aku kabur dari rumahku. Udah dua minggu ini sih.” ujarnya.

“Kenapa kabur? Kau sinting atau gimana?” Rori menimpali.

“Menurut keluargaku gitu. . Mereka tahu kalau aku gay.”

Sesaat  Rori tak bisa berkata-kata.

“Wow.” Ia lalu berucap diluar dugaan.

“Menurutmu aku sinting?” Ruka bertanya.

“Kau kelihatan waras sih. . “ Rori menilai wajah Ruka. Ia menuntut diceritai lebih, “Terus?”

Ruka mencoba memilih jawaban yang dirasanya pas sementara menepuk-nepuk kaset yang berdebu. “Aku udah muak hidup di rumah. . diatur-atur terus. Bosen apa-apa serba gampang. . Ujung-ujungnya mereka nuntut harus gini gitu. Pengen hidup bebas. . ngrasain hidup yang sebenarnya.“

Ia lalu melempar kaset itu ke kotak kardus berisi barang-barang bekas.

“Kau cakep.” kata Ruka tiba-tiba, menoleh pada Rori.

“Menurutmu begitu?” Pipi Rori bersemu merah, kali ini oleh pujian Ruka, bukan karena malu.

Ruka mengangguk.

“Trims.” kata Rori, tidak tahu harus bilang apa. Entah kenapa jantungnya deg-degan.

“Kau juga cakep. . Imut gitu.” Rori memilih jujur soal pendapatnya tentang Ruka. Sebetulnya Rori merasa ia tidak pernah pandai memuji.

“Aku bukan imut. Wajahku cuma. . yah, sedikit oriental. Warisan kakekku.”

Kamar itu memiliki dua tempat tidur, Ruka merapikan seprei salah satu tempat tidur yang kosong, yang tidak dihuni Rori.

“Kau sendirian disini?” tanya Ruka.

“Ya. . teman sekamarku barusan pindah pesantren.  . Dia nggak betah disini.“

“Kenapa?”

“Mungkin karena ulahku.” Rori tersenyum jahil. “Aku bukan teman sekamar yang ideal.”

“Yeah, kau agak kemproh. Bagian mana dari “kebersihan sebagian dari Iman” yang nggak kau pahami?”

Rori tersenyum salah tingkah karena Ruka mengutip salah satu pepatah terkenal mengenai kebersihan. Rori menggaruk kepalanya yang sudah tidak gatal.

“Aku bakal lebih rajin setelah ini.” katanya.

“Amen.” Ruka berucap dengan nada menyindir.

“Sialan.” Rori melemparinya dengan bantal. Ruka menangkisnya.

Setengah jam kemudian kamar itu sudah jauh lebih rapi dari sebelum Ruka memasukinya.

“Beres.” Ruka menyilangkan kedua tangannya. “Ada lagi, Tuan?”

Dipanggil demikian membuat pipi Rori bersemburat merah lagi.

“Bangsat.” Ia misuh. Ruka sepertinya pandai membuatnya salah tingkah.

Ruka lalu duduk di lantai. Matanya menatap seisi ruangan. Ada permadani gantung yang kelihatannya mahal. Ruka bertanya-tanya berapa banyak nasi bungkus yang bisa dibelinya dengan menjual permadani itu. . Rori sepertinya berasal dari keluarga berada.

“Naik sini.” pinta Rori, menunjuk tempat kosong di sebelahnya di tempat tidur.

Ruka sesaat ragu-ragu, tapi lalu ia merebahkan punggungnya di kasur yang sama dengan Rori.

Mereka berbaring bersisian seperti dua malaikat kembar, walau penampilan keduanya sangat berbeda. Rori menyadari ia dan Ruka tampak sangat kontras. Ruka memakai jins sobek-sobek dengan dandanan serba hitam, sementara dirinya memakai sarung, dan kemeja putih yang longgar menyejukkan. Rori menemukan tato kecil berupa salib di belakang telinga Ruka. Lagi-lagi Rori yang memulai pembicaraan.

“Jadi . . tadinya kau Katolik?”

“Yep. Tadinya.”

“Kenapa murtad?”

“Aku udah muak sama Tuhan.”

“Gitu ya. . “

Rori menyadari Ruka bukan teman ngobrol yang asyik. Komunikasi mereka hanya berjalan satu arah. . atau barangkali itu bukan topik yang disukai Ruka untuk dibahas. Rori menatap Ruka yang terdiam lama, menatap langit-langit. Apa kira-kira yang dipikirkan orang seperti Haruka terhadap santri sepertinya? Rori menerawang, ikut melihat langit-langit.

Lalu tiba-tiba tangan Ruka mendarat di selangkangannya. Ia memijat benda milik Rori itu, sebelum akhirnya bangun.

“Punyamu tegang.” kata Ruka datar.

Rori tidak sanggup untuk menepis tangan itu.

“Yeah.”

Ruka tidak melepaskan tangannya, malah ia semakin giat memijat benda diantara paha Rori. Rori merasa celana dalamnya semakin sesak.

Asrori menggigit bibirnya. Ia sama sekali tidak punya niat tercela ketika bermaksud membantu anak itu. Walau selama ini Rori diam-diam melakukannya dengan santri lain, tapi ia tidak bermaksud melakukannya dengan Ruka. Tapi entah kenapa atmosfir di kamarnya tiba-tiba memanas. Ia membiarkan Ruka melakukannya, walau itu bertentangan dengan logikanya.

Rori kaget ketika Ruka membuka sarungnya dan ia memasukan benda diantara selangkangannya ke mulut Ruka. Ruka menjilati benda tegang di antara paha Rori dengan sukarela.

Setelah beberapa isapan Rori memegang kepala Ruka dengan lembut, berniat menjauhkannya.

“Kau ng—nggak harus melakukannya.” kata Rori, sedikit tersengal karena gairah. Ia mencoba menjauhkan wajah Ruka, walau sebetulnya ia tidak benar-benar berniat menepis.

“Kau sudah berbuat baik. . dan aku harus membalasnya.” Ruka tersenyum dan mencium benda milik Rori. Benda itu semakin menegang.

“Ini salah.” ujar Rori, tidak tahan. Mukanya sudah sangat merah.

“Aku atheis. . Kau yang berdosa, bukan aku. Aku nggak punya dosa.” timpal Ruka.

Ia tersenyum kecil. “Bukankah Tuhanmu Maha Pemaaf?”

“Iya, tapi bukan berarti aku boleh menyepelekan dosa sekecil apapun.” kata Rori, menghela napas.

“Aku yakin Tuhan memaafkanmu karena menyimpan majalah porno. Aku yakin juga kalau Tuhan memaafkanmu hanya karena aku membalas budi karena kau sudah berbuat baik. Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang ‘kan?”

“Memang. .tapi apakah bijaksana kalau kita menyalahgunakan kebaikan dan sifat kasih sayang Tuhan?”

Ruka tidak menjawab. Ia melanjutkan kegiatannya. Sia-sia saja perlawanan kosong Rori. Rori tidak sanggup menolak Ruka. Benda miliknya sudah kepalang tegang. Ia melenguh sementara Ruka menaikturunkan kepalanya pada benda milik Rori. Nyaris setengah jam kemudian sebelum akhirnya Rori keluar.

Spermanya berceceran di mulut Ruka.

“Eh? M-maaf.” Ia memegang dagu Ruka, mencoba mengusap bekas cairannya dengan sarung.

Ruka menurut dengan patuh. Ia memejamkan mata sementara Rori membersihkan mukanya dengan lembut. Melihat ekspresi wajah Ruka membuat Rori menegang lagi, tapi ia menahan diri.

“Nggak masalah. Ngapain minta maaf?” tanya Ruka.

“Yah. . Bukan salah setan yang menggoda manusia, salah manusia-lah yang teperdaya oleh bujuk rayu setan.”

Ruka tertawa. “Wkwkwkwk. Kau rendah hati banget ya ternyata. . daritadi aku mbatin apa kau ngrasa lebih suci dariku?”

“Kenapa? Karena aku santri?”

“Yep.”

“Nggak sih. . kau kan manusia sama sepertiku. Kita nggak tau siapa yang lebih baik. Yang pasti tiap manusia, sereligius apapun dia pasti punya kesalahan. Dan seberapa banyak dosa manusia. . dia pasti pernah berbuat baik. Biar Tuhan yang menilai. Tuhan yang lebih tahu perbuatan tiap-tiap manusia.”

“Udah cocok jadi ustad tuh. . “ ledek Ruka. Tapi lalu ia berkata serius. “Waktu pertama ketemu di depan tadi. . kupikir kau orang beragama yang menyebalkan, seperti yang biasa kutemui. Rupanya kau orangnya lebih santai. .“

“Yah. . Beragama nggak berarti harus menyebalkan kan. . Banyak ustad dan kyai yang keliru senang menghakimi. . Senang mencibir. . bukannya malah merangkul. Mereka secara nggak sadar justru malah membuat orang-orang menjauh. . bukannya makin dekat sama Tuhan.”

Ruka bangkit. Ia sepertinya sudah selesai.

“Kau mau kemana?” tanya Rori.

“Pulang. Udah rampung ‘kan? Atau kau masih ingin ceramah? ” Ruka bertanya balik.

Sekejap Rori lupa bagaimana caranya berpikir. Ia tidak membayangkan bagaimana kejadian setelah membawa Ruka ke kamarnya. Tentu saja anak itu harus pulang.

“Pulang? Ke rumahmu?”

“Nggak lah. . Aku tinggal di sekitar sini, sama temanku yang pemulung.”

Rori tampak terperanjat.

“Oh. . Oke.”

Ia lalu mencari dompetnya. Rori menyerahkan pecahan seratus ribu kepada Ruka. Ruka hanya menatap uang itu.

 “Aku bukan pelacur. .” kata Ruka

“Ya, memang bukan. Tapi kau tetap perlu uang ‘kan? Ambil.” kata Rori. “Dan apa salahnya jadi pelacur? Itu juga pekerjaan ‘kan?” kata Rori. “Melacur lebih baik daripada mencuri atau merugikan orang lain.”

“Jangan sampai guru agamamu dengar kau ngomong begitu. . “ Ruka nyengir, dan ia menyambar uang itu dari tangan Rori sebelum anak itu sempat berubah pikiran.

“Apa kau selalu begini?”

“Apa? Menolong orang? Well, nggak sih. . kalau lagi lega aja.” Rori mengangkat bahu.

“Ya udah. Aku pamit kalau gitu. . Makasih.“ Haruka memohon undur diri.

Tapi sebelum itu. .

“Tunggu.”

Asrori menahan Ruka ketika ia akan membuka pintu.

“Trims.” kata Rori, dan ia mencium Ruka tepat di bibir. Mata Ruka membulat, dan ia balas menyambut mencium Rori dengan lembut.

Ruka tersenyum dalam perjalanan pulang. Uang pemberian Rori digenggamnya erat-erat. Uang itu wangi, seperti minyak yang sering dipakai para santri.

Malam itu terasa hangat.

.

.

Surabaya, 6 April 2020.

Catatan: Inspirasi cerpen ini muncul lagi setelah saya dengerin lagu Kupu-Kupu Malam. . sebelumnya saya pengen banget bikin cerpen dengan tokoh seorang santri dengan seorang anak jalanan. Dan inilah dia. Tumben bisa selesai dalam beberapa jam wkwkwk. . sedang lancar menulis.

Semoga hari teman-teman menyenangkan.

Salam,

Beda Prasetia Aditama.


2 komentar: