12 April 2020

Semua Tak Sama

SEMUA TAK SAMA

sebuah cerpen.

.

.

Untuk Muhammad “Eky” Rizky

 

***


Satria duduk. Bagi sebagian orang, pantai adalah tempat yang sakral. Bagi sebagian yang lain, pantai adalah kuil tempat mereka berdoa melepas keluh kesah. Karena pada dasarnya, tidak peduli dimanapun kita berdoa, alam semesta selalu mendengarkan.

Saat matahari terbenam di ufuk, sejumlah kecil orang duduk di kedalaman air yang dangkal. Tersapu ombak tenang, mereka mengenang saat-saat paling membahagiakan, atau saat-saat terendah dalam hidup mereka, sambil menikmati damainya sore.

Tria menyilangkan kedua tangannya dan merapalkan doa. Angin datang memberantaki rambutnya, tapi anak itu tidak peduli. Ia tengah khusyuk. Angin itu juga yang membawa pergi doa Tria yang terucap dari bibirnya—tak henti mengeluarkan pinta dan napas yang tertahan.

Sore itu Tria memohon agar ada satu orang saja yang membantunya.

Sepuluh tahun Tria tersiksa dan dia tidak menyadarinya—tidak sampai beberapa waktu lalu. Perlu waktu selama itu agar Tria tahu bahwa dirinya terluka batin yang parah, dan ia tidak yakin apakah dirinya akan pernah sembuh.

“Aku memohon kepada-Mu ya Bapa, dan kepada seluruh alam semesta, bantulah aku menyembuhkan diriku. Dengan kerendahan hati kumohon bantulah aku,”

Tria berbisik kepada kekosongan, yakin bahwa doanya didengar. Tiga kali ia mengambil napas dalam sebelum membuangnya. Kaki Tria memijak pada pasir pantai yang lembut dan ombak yang menenangkan. Ia membasuh mukanya dengan air laut sebelum membenamkan diri sepenuhnya.

Itu adalah sore yang sempurna.

 

Delapan puluh kilometer dari sana, Rizky terbangun dari tidurnya dengan wajah berpeluh. Walau berkali-kali diingatkan bahwa tidur sore adalah kebiasaan yang buruk, dia tetap saja bandel. Geragapan Rizky meraih kacamata dari samping tempat tidur sebelum memakainya.

Kesadaran berangsur-angsur memasuki benak Rizky saat ia mengerjapkan mata. Rizky merasa pusing. Baru saja ia tengah bermimpi. Dalam mimpinya ada seseorang yang minta tolong kepadanya. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya.

Ada seseorang di suatu tempat yang meminta tolong. . Rizky ingin tahu apa arti mimpinya ini. Tapi kepalanya begitu pusing hingga mencegahnya berpikir lebih jauh.

Saat itu pintu kamarnya dijeblak membuka. Mama Rizky ada di ambang pintu.

“Maaf ganggu, Ky. Mama minta tolong antar pesanan jeruk teman Mama bisa ya Ky?”

Rizky yang takut durhaka dan menghargai Mama-nya lebih dari siapapun mengangguk, kendati dengan enggan.

“Rizky cuci muka dulu.” katanya. Ia bangun dan berjalan menuju kamar mandi, langsung menceburkan kepalanya dalam bak mandi.

 

Di luar, Rizky merapatkan jaket dan menggas motornya. Ia meluncur di jalanan Surabaya yang padat, menyalip berbagai kendaraan. Keluarga Rizky sedang panen jeruk lemon dalam skala besar, mereka menjual dan menawarkan lemon itu ke banyak orang secara online dan Rizky biasa mengantarkan lemon-lemon itu kepada pemesan jeruk mereka.

Kali ini yang memesan adalah seorang wanita bernama Widi yang tinggal di daerah Rungkut. Rizky tiba disana saat hari gelap, nyaris tidak ada sinar matahari yang tersisa di cakrawala. Yang membukakan pintu saat Rizky tiba adalah seorang anak kecil yang mungkin seumuran keponakannya. Anak itu berlari memanggil ibunya.

“Mama, ada mas-mas yang nganter lemon!” anak kecil itu memberitahu sang ibu.

“Iya sebentar, Mama masih mandi.”

Sesaat hening. Saat ditinggal sendiri Rizky merasakan hawa yang tidak enak di sekitar ruang tamu.

“Saya tunggu di luar saja Bu!” seru Rizky, buru-buru keluar.

Setelah sepuluh menit yang terasa berjam-jam akhirnya si empunya rumah keluar dan menyerahkan uang yang sudah terbungkus amplop.

“Maaf nunggu lama mas, ini uangnya.” kata Widi.

“Iya Bu, saya langsung cabut kalau gitu,”

Rizky undur diri. Saat menutup pintu, samar-samar Rizky melihat bayangan menyeramkan di ujung ruang tamu yang gelap. Secepat kilat Rizky membawa kabur motornya.

 

Setengah jam kemudian Rizky sudah ada dibawah Satu Atap yang nyaman, ditemani ketiga kroninya; Fikri, Azis dan Taufiq. Kafe itu ada di tengah kota dan Rizky kadang-kadang kesana jika bosan di rumah. Atau, kalau dalam kasusnya sekarang, saat ia ketakutan.

“Barusan aku kayak dilihatin, deh.” Rizky memulai.

“Kebuka lagi?” tanya Taufiq.

“Iya, aku kayak lihat semacam mata merah, di rumah yang kuanterin lemon barusan. Nggak begitu jelas sih, tapi hawanya nggak enak banget.”

“Nggak usah terlalu dipikirin,” kata Fikri.

“Kalo lagi capek kadang suka gini. . akhir-akhir ini capek banget aku. Suka kebuka-buka sendiri. Aku nggak mau diganggu tapi susah ngontrolnya,” kata Rizky letih.

Azis yang tidak tahan dengan cerita menyeramkan langsung menginterupsi. “Serem anjir. Jangan cerita hantu dong,” Ia memang paling penakut diantara mereka berempat.

“Kamu harus pandai atur waktu, jangan sampai kecapekan, mental kamu kebanting nanti.” Fikri menasehati. “Kasihan badanmu juga.” Ia menimpali.

“Libur aja dulu Ky. . kita semua butuh refreshing. Lagian kapan terakhir kita liburan bareng coba? Cus. Ambil jadwal kosong.” ujar Taufiq.

Azis ikut memberi simpati. “Bener kata Fikri. Kamu banyakin istirahat, jangan memforsir diri.”

Rizky mendengarkan teman-temannya dengan seksama.

“Iya sih,” katanya setuju.

“Mau ke Semarang? Kita ajak Anton sekalian. Dia katanya pengen ke pantai tuh.” Taufiq memberi saran.

“Boleh, japri aja anaknya.” ujar Fikri, sementara Azis nimbrung, “Kayanya aku nggak bisa ikut deh guys, kalo liburan. Jadwalku pasti bentrok. Maaf ya. . ”

“Nggak ada yang ngajak kamu juga sih, Zis.” Taufiq berkata sinis, walau ia tidak betul-betul memaksudkannya.

“Jahat banget.“ kata Azis, dan ia memalingkan muka dengan angkuh.

Fikri, Taufiq, dan Rizky tertawa. Rizky sama sekali lupa akan mimpinya sore tadi hingga pikran soal mimpi itu tergerus keluar dari benaknya.

 

Dua minggu kemudian Rizky, Fikri, dan Anton mengepak masing-masing bawaan mereka. Ketiganya bersiap untuk ke Semarang dan telah membeli tiket kereta yang berangkat dari Stasiun Pasarturi. Sebetulnya Taufiq akan ikut, tapi ia tiba-tiba membatalkan rencananya seminggu sebelum hari keberangkatan. Sebagai gantinya ia mengantar mereka bertiga ke stasiun.

Di gerbong nomor enam Anton duduk dengan Fikri, sementara Rizky duduk terpisah. Kursi yang seharusnya diduduki Taufiq kosong dan tidak ditempati siapapun di sebelah Rizky. Saat kereta mulai berjalan Rizky merasa agak kesepian karena absennya Taufiq. Sesekali ia melempar pandangan ke belakang dimana Anton dan Fikri sedang ngobrol seru. Tak ingin mengganggu mereka, Rizky lalu menyetel playlist dari hapenya, yang berisi lagu-lagu Maia dan Anggun.

“Disini kosong, ya?”

Belum genap Rizky mendengarkan satu lagu, sudah ada seseorang yang menginterupsinya. Apakah orang itu buta? Jelas-jelas kursi itu kosong. Dengan jengkel Rizky membetulkan letak headsetnya dan mengangguk kaku.

“Iya, kosong.” jawab Rizky. Selama sedetik ia melirik si pemuda yang baru saja menganggunya, kini sedang berusaha memasukkan tas miliknya ke rak di atas. Cowok itu sebetulnya lumayan cakep. . Rizky baru akan memakluminya ketika anak itu dengan ceroboh menyenggol jatuh botol minum Rizky. Ia kembali dongkol.

“Hati-hati dong,” kata Rizky, merengut. Ia mengingatkan diri untuk tidak mudah marah-marah dan lebih mengontrol emosinya.

“Sori,” kata anak itu, tidak terdengar seperti minta maaf. Ia memungut botol minum Rizky dan mengembalikan benda itu pada tempatnya.

“Aku duduk disini nggak apa-apa, ‘kan?” tanya anak itu lagi. Cowok ini sepertinya memang setengah buta, karena tidakkah ia melihat bahwa Rizky sedang mencoba menikmati lagunya? Dari hape Rizky menekan tombol plus pada volume, lagu Mantra yang dilantunkan Anggun menghentak semakin keras. Ia sama sekali tidak mengacuhkan si pendatang baru.

 

“Namaku Tria.” Cowok disebelah Rizky rupanya belum akan menyerah untuk mengajaknya bicara. Sepertinya Rizky harus menegaskan maksudnya dengan jelas.

“Maumu apa sih?” kata Rizky, melepas headset dan menatap Tria.

“Nggak, yah. . kupikir kau perlu teman ngobrol. Kulihat temanmu duduk di kompartemen lain, jadi kutemani disini. . “ terang Tria, ia menunjuk Anton dan Fikri yang sedang ngemil permen dan kacang, lalu buru-buru menambahkan, ”Hanya kalau kau mau. . makanya aku nanya dulu tadi, ganggu atau nggak. . Sori deh kalau ganggu,“

Rizky sedikit melunak mendengar penuturan Tria.

“Yeah, trims. . “ katanya sambil lalu. “Namaku Rizky.”

Rizky menatap teman ngobrol barunya. Ia melepas headset dan duduk sedikit lebih tegak.

“Rizky ya. . salam kenal. Habis liburan di Surabaya rupanya? Atau anak rantau?”

Dalam hatinya Rizky bimbang apakah sebaiknya ia jujur atau tidak. Ia memutuskan untuk jujur.

“Nggak. Keluargaku tinggal di Sidoarjo, tapi kalau main aku sering ke Surabaya sih. Dulu keluargaku punya rumah di Surabaya tapi udah pindah. Kau sendiri?”

“Gitu ya. . aku anak rantau. Di Surabaya ngekos.” kata Tria. Ia tersenyum, sebuah senyum yang sungguh menawan.

Rizky membetulkan letak kacamatanya. “Anak kos ta. . nggak masalah. Kuliah atau kerja?”

Sedikit demi sedikit penilaian Rizky akan Tria berubah. Keduanya langsung akrab pada detik Rizky melonggarkan pertahanan dirinya. Tapi bukan berarti Rizky tidak berhati-hati. Ia belum tahu apa motif Tria sebenarnya. . Ia belum percaya sepenuhnya pada anak itu.

 

Sawah dan ladang bergerak di jendela sementara kereta meluncur ke Barat.

Rizky dan Tria ngoceh tentang banyak hal hingga tujuan akhir stasiun mereka. Tria membelikan Rizky makan siang, yang dengan sungkan diterimanya. Keduanya berpisah di pintu keluar Stasiun Semarang Tawang begitu kereta berhenti. Tria berkata dia akan ke Karimun Jawa, dan memaksa  memberi Rizky kontak What’sApp-nya.

“Nama lagunya Gambang Semarang!” Anton memberitahu teman-temannya begitu ia turun. Mereka disambut lantunan melodi yang memenuhi seluruh stasiun sementara ketiganya menyeret koper milik masing-masing. Tapi baik Fikri atau Rizky tidak memerhatikan.

“Cie. . siapa tuh?” Fikri lebih fokus pada cowok yang barusan pamit pada Rizky, kini berganti melambai pada mereka.

“Arek nggak jelas,” kata Rizky.

“Cakep kok.” kata Anton, menilai Tria yang kemudian berjalan menjauh. “Cocok sama mas Eky,” Ia menambahkan dengan cengiran.

“Haduh, udah ya. . Yuk. Kita lanjut ke penginapan. Capek aku naik kereta ekonomi. . ”

“Sayang Taufiq nggak jadi ikut, padahal seru banget kalau jadi berempat. Dia bisa disuruh-suruh bawa tas kan. . “

“Kurangajar.” kata Rizky.

Fikri dan Anton tertawa.

 

Di hari pertama di Semarang mereka mengunjungi Lawang Sewu dan Kota Lama, sementara pada hari berikutnya mereka berkeliling ke Klenteng Sam Poo Kong, Puri Maerokoco, dan sempat mampir ke sebuah pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

Karena masing-masing dari mereka hanya mendapat jatah libur dua hari, mereka tidak bisa lanjut menyeberang ke Karimun Jawa dari pelabuhan Jepara. Meski begitu Rizky telah mendapat cukup banyak foto bernuansa gaib dalam kunjungannya ke Lawang Sewu, tempat yang menurutnya mistis, dari berbagai macam angel. Sejauh ini tempat itu tidak mengecewakannya.

Dalam perjalanan pulang, ketika berada dalam bus menuju terminal, seorang pengamen wanita tua bermodalkan sebuah kecrekan menyanyikan lagu Semua Tak Sama milik Padi. Baik Rizky, Fikri maupun Anton tertegun sementara si pengamen melafalkan bait demi bait lagu itu;

Coba 'tuk melawan

Getir yang terus kukecap

Meresap ke dalam relung sukmaku

Coba 'tuk singkirkan

Aroma napas tubuhmu

Mengalir mengisi laju darahku

Semua tak sama, tak pernah sama

Apa yang kusentuh, apa yang kukecup

Sehangat pelukmu, selembut belaimu

Tak ada satu pun yang mampu menjadi sepertimu

 

Rizky melihat ke luar kaca. Ia melihat pantulan bayangannya sendiri bersama kelebatan gedung-gedung yang berseliweran di kaca. Lagu Semua Tak Sama yang diyanyikan si pengamen seperti berbicara kepadanya.

Entah kenapa, lagu itu seperti mengingatkan Rizky pada sosok Satria. Anak itu telah beberapa kali mengirimnya pesan What’sApp sejak mereka berpisah dua hari lalu. Dari status WA-nya, Rizky tahu dia sedang melewatkan hari-harinya menyusuri pantai-pantai Karimun Jawa yang tenang dan sepi.

Rizky merogoh hapenya di saku, bermaksud menghubungi Tria, tapi lalu dia mengurungkan niatnya. Terpikir olehnya akan lebih baik kalau anak itu yang menghubungi Rizky lebih dulu. Rizky tidak ingin terlihat terlalu  tertarik berbicara kepadanya, walau dia sebetulnya mulai terbiasa dengan anak itu.

Bus berhenti sebentar. Lamunan Rizky akan Tria buyar. Seorang nenek penjual jajanan pasar memanjat masuk lewat pintu depan. Ketika di dalam ia memaksa Fikri dan Anton untuk membeli dagangannya. Pada akhirnya, karena alasan kemanusiaan, mereka bertiga yang tidak tega dengan si nenek memborong semua gula kacang, peyek cempli, wingko babat, dan lumpia kering yang masih akan tahan selama tiga hari dengan sisa uang perjalanan mereka.

Nenek itu mengucapkan banyak terima kasih, dan mendoakan mereka agar bertemu jodoh yang baik dan rupawan. Si wanita tua pengamen ikut turun bersama nenek penjual jajanan pasar di terminal berikutnya.

Ketika mereka berganti bus patas tujuan Surabaya, setelah banyak penjual wara-wiri menawarkan dagangan mereka, Rizky duduk di sebelah Anton sementara Fikri terhimpit di belakang oleh dua bapak-bapak berbadan kekar. Dalam perjalanan itu Rizky tertidur.

Malam itu juga Rizky mendapat mimpi yang sama dengan mimpinya berminggu-minggu lalu, tentang seseorang yang minta tolong kepadanya dari jauh. Ketika terbangun beratus-ratus kilometer kemudian, bus yang Rizky tumpangi telah sampai di gerbang tol terakhir sebelum masuk ke Bungurasih.

“Kau oke?” Anton menanyai Rizky.

Rizky tidak sadar sedari tadi Anton mengawasinya. Ia berdeham dan mengambil minum.

“Yeah, aku nggak apa-apa. Kenapa?”

“Kau meracau waktu tidur. Mimpi buruk kah?”

“Nggak kok. . cuma aneh saja. Ada yang minta tolong tapi aku nggak tau siapa. . “ Rizky menceritakan detail mimpinya. “Aku dengar suaranya, tapi nggak ada siapa-siapa. Dia minta tolong. Suara laki-laki. Aku mau tanya sama temanku apa artinya mimpi ini. . ”

Anton mengamati Rizky dengan prihatin.

“Waktu di Lawang Sewu kau nggak kenapa-napa ‘kan?” tanya Anton. “Jangan dibawa beban. Mungkin cuma kecapekan . . Biasanya juga aku mimpi aneh-aneh kalo pas perjalanan jauh.”

“Nggak. .  sebelumnya aku udah mimpi kaya gini juga. Aku penasaran, ini wajar nggak sih?”

“Ganggu banget nggak?” Anton bertanya, “Kalau ganggu, mungkin kau emang harus tanya temenmu deh. Dia ahli ‘kan?”

“Nggak begitu ganggu sih. . “ kata Rizky, sedikit tidak jujur.

Anton menepuk Rizky di pundak sebagai tanda simpati. Rizky beralih menatap jendela. Di ufuk semburat merah mulai merajai langit. Sedikit demi sedikit fajar menyingsing. Pagi telah tiba.

 

Tiga minggu setelah kepulangan mereka dari Semarang, Rizky bertemu dengan Tria, atas permintaan dari anak itu. Kalau boleh dibilang Rizky sebetulnya dipaksa, tapi akhirnya dengan sukarela ia datang sendiri menuju kos Tria, ingin tahu apa maksud anak itu. Biasanya orang-orang yang mencoba berkenalan dengan Rizky akan menyerah dengan mudah setelah beberapa hari ngobrol dengannya, karena mereka semua adalah sekumpulan pecundang yang lemah. Tapi Tria sejauh ini masih bertahan. Ia masih mau membagi kisahnya dengan Rizky dan juga sebaliknya.

Selama kurun waktu itu mereka telah ngobrol dua kali di tempat umum, Tria begitu mempercayai Rizky karena bahkan ia sering menitipkan dompetnya saat mereka makan berdua. Rizky sendiri masih ragu kenapa ada orang asing yang tiba-tiba akrab dengannya. Apa sebenarnya maksud dari sikap Tria? Selama ini Tria menunjukan gelagat kalau dia tertarik pada Rizky, tapi apakah Tria betul-betul menyukainya?

Saat Rizky menanyakan alasan kenapa Tria terus menghubunginya, jawaban yang didapatnya hanyalah,

Nggak tahu. . waktu ketemu di kereta itu aku lumayan tertarik padamu. .  seperti pernah lihat wajahmu di aplikasi. Tahu yang kumaksud ‘kan? Aku ngrasa pengen kenal dekat aja.“ jelasnya.

Sejauh ini Tria banyak mengeluh tentang mantan pacar laki-lakinya. Mereka telah berpacaran selama sepuluh tahun, tapi mantan Tria ini malah menikah dengan orang lain, yang notabene seorang perempuan.

Kejadian ini membuatnya benar-benar terpukul. Rizky merasa Tria masih mencintai mantan pacarnya itu. . Inilah yang membuat Rizky masih belum bisa percaya sepenuhnya dengan Tria, bahkan hanya untuk menjadi sahabatnya. Rizky tidak ingin dijadikan pelarian.

Rizky menunggu di luar gerbang sementara Tria turun. Anak itu membuka gerbang dengan wajah mengantuk.

“Kapan pulang?” tanya Rizky. Tria bercerita kalau dia pergi nonton wayang hingga larut semalam.

“Jam empat tadi,” jawab Tria pendek.

“Pantes masih kusut gitu.” celoteh Rizky, tapi Tria tampak diam. Ia tidak seperti Tria yang supel saat di kereta waktu mereka pertama bertemu.

Mereka berdua masuk ke dalam kamar dua kali tiga meter yang dipenuhi barang-barang Tria. Selain lemari, rak buku, tempat tidur yang berantakan, peralatan makan, dan sebuah meja kayu dengan magic jar diatasnya, nyaris tidak ada ruang untuk memajang foto, kecuali sepetak dinding di atas bantal tempat tidur Tria yang ditempeli berbagai potret dirinya.

“Udah lama kos disini?” Rizky mencoba memantik obrolan lagi, saat keduanya duduk bersisian di tempat tidur, tapi yang dilakukan Tria hanyalah memberi Rizky anggukan. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Semangat Rizky sedikit menurun.

Selama satu jam berikutnya hanya ada keheningan.

Tria tidak menawari Rizky apapun, atau setidaknya menujukkan tanda-tanda kalau ia menghargai kedatangan Rizky, setelah malam sebelumnya anak itu memohon-mohon agar Rizky mau datang ke kosnya.

Menit demi menit berlalu sementara mood Rizky makin memburuk.

Tria sibuk dengan hapenya dan tidak sekalipun memperhatikan Rizky. Kesal, Rizky bangkit dan keluar kamar Tria tanpa berpamitan. Dia sudah memakai sepatunya dan sampai di ujung tangga terbawah ketika Tria mengejarnya hingga ke luar.

“Hei, mau kemana?”

“Aku pulang deh,” kata Rizky. “Aku ada janji juga sama temanku yang lain. . teman yang jelas lebih menghargai waktuku.”

“Sori. . Aku nggak tahu harus gimana. . Aku—“

“Kau cuma harus ngomong,” Potong Rizky, menekankan kata terakhir. Ia membanting gerbang kos Tria hingga besi teralisnya berderak, meninggalkan Tria yang berdiri tertegun.

 

“Aku ada sedikit masalah.  . “ Rizky mulai bercerita. Ia memijat pelipisnya yang kadang-kadang pusing. Sakit kepalanya sering kambuh akhir-akhir ini. Setelah penampakan mata yang dialaminya tempo hari, sedikitnya Rizky melihat dua penampakan lain di sekitar rumah saudaranya dan sebuah kolam renang di Sidoarjo. Tapi bukan itu alasan dia mendatangi Yusian. Rizky hanya butuh tempat berbagi saat ini, seseorang yang benar mengerti keadaannya, dan Yusian adalah sedikit dari temannya yang demikian.

Mereka mulai dengan meditasi seperti biasa. Rizky ingin mendapat pencerahan dari masalahnya.

Tria hadir mengusik hidup Rizky, dan ini lebih membuatnya repot dari hantu manapun, karena alasan datangnya yang tidak jelas. Rizky tidak tahu apakah dia harus membiarkan Tria atau mengabaikannya. Sebetulnya Rizky mulai menyukai anak itu, tapi jika alasan Tria datang ke hidupnya hanya untuk main-main. . atau mencari pelampiasan, jauh lebih baik bagi Rizky kalau dia diganggu seribu hantu saja. Hantu jauh lebih mudah untuk diusir, sementara menghadapi manusia adalah hal lain.

Manusia adalah makhluk paling merepotkan. Jika ada pengecualian, Yusian mungkin salah satunya.

Yusian adalah seorang perempuan menyenangkan yang berdandan seperti anak punk-rock. Gayanya santai sekali. Rizky menyukainya karena Yusian terkesan pintar, seperti para cendekiawan. Kalau Rizky bukan gay, mungkin dia sudah memacari Yusian sejak lama. Perempuan-perempuan dengan otak brilian sering membuatnya senewen dan tidak tahan. Tapi Yusian tidak menyukai laki-laki, sama halnya dengan Rizky yang tidak menyukai perempuan. Dia selalu menolak jika disebut paranormal, walau ia suka berurusan dengan hal-hal klenik.

Yusian adalah saudara kembar Devian, teman Rizky yang lain, tapi mereka nyaris tidak pernah kelihatan bersama. Tidak seperti biasanya, Yusian kali ini membawa kartu tarot. Walau Yusian bukan profesional, dia cukup ahli dalam hal ini.

Rizky menceritakan pelik permasalahannya.

“Pernah dibaca sebelumnya?” Yusian bertanya. “Tarot ini bukan untuk meramal masa depan. . tapi kartu-kartu ini lebih untuk membantu kita menjabarkan masalah. Nantinya kita bisa memutuskan jalan keluar yang lebih akurat,”

“Dulu pernah, sekali.” jawab Rizky.

“Kalau gitu kau tahu yang harus dilakukan. Aku nggak perlu banyak ngomong,” Yusian tersenyum.

Rizky mengambil tiga kartu tarot secara acak, dan menaruhnya secara berurutan. Rizky membiarkan Yusian membuka kartu-kartu itu sebelum kemudian membacanya.

“Disini ada kartu Death. . Ini salah satu kartu Arkana Mayor,“

Yusian menujuk sebuah kartu bergambar ksatria tengkorak berbaju zirah menunggang kuda putih, dan membawa bendera hitam dengan angka tiga belas bergaya Romawi. Latar belakang kartu itu adalah sebuah negeri yang sepertinya tengah dilanda wabah. Dua kartu yang lain bergambar masing-masing seorang pria. Pria yang pertama mengenakan pakaian berjubah dan memegang tongkat panjang, sementara pria yang lain sedang duduk bersila menghadap empat piala. Satu diantara empat piala itu dipegang oleh sebuah tangan yang melayang.

Yusian menarik kesimpulan dari kartu-kartu yang didapat Rizky.

“Kau punya ketertarikan dengan orang yang baru kau temui akhir-akhir ini, hanya saja kau masih belum yakin. . kau masih menebak-nebak. . sementara untuk orang yang mendekatimu, dia baru saja selesai dengan sebuah hubungan lama dan bermaksud memulai sesuatu yang baru. . tapi,”

Yusian berhenti dan menujuk pada satu kartu yang ditengah, “Tapi diantara kalian belum ada kecocokan. . masih ada sesuatu yang nggak nyaman pada hubungan kalian. . Menurutku kau harus mencari tahu apa yang mengganjal ini. . Kalau kau ingin terus lanjut,”

Rizky mendengarkan dengan seksama sementara Yusian menatapnya tepat di mata, “Saranku, coba jalani dulu apapun yang telah kalian mulai ini. . kalian samakan dulu prinsip kalian. And that’s it.“

“Wow,” kata Rizky. “Keren,” ujarnya takjub.

“Benar berapa persen kira-kira, Ky?”

“Mungkin sekitar sembilan puluh persen. . Kau hebat deh.”

“Nggak, aku masih pemula kok,”

Yang Rizky tidak mengerti dari kartu-kartu Tarot ini, apa jadinya jika ia mengambil kartu yang lain? Apakah penjelasannya akan cocok juga?

“Cuma ada satu pola untuk satu masalah, Ky. Pola ini nggak mungkin berulang lagi. . Kau nggak bisa mengulang mengambil kartu yang lain untuk masalah yang sama. Tiga kartu pertama yang kau ambil, itulah yang jadi pakem.”

Yusian menjawab tanya Rizky meski anak itu tidak menyuarakannya. Yusian berkata lebih lanjut.

“Alam pikiran bawah sadar kita turut andil, Ky. . saat kau mengambil kartu-kartumu.”

Yusian mengakhiri sesinya dengan sebuah senyum misterius. Rizky mengucapkan terima kasih dan memeluknya. Mereka lanjut ngobrol tentang masalah Rizky yang lain, penampakan yang ia lihat dan mimpi orang minta tolong yang sempat mengganggunya.

“Aku nggak ahli kalau soal tafsir mimpi Ky. . bisa jadi ada hubungannya dengan masalahmu baru-baru ini. . Bisa juga itu cuma mimpi kosong. Jangan terlalu diambil pusing.”

 

Setelah pulang dari pertemuannya dengan Yusian, Rizky merasa agak bersalah dengan sikapnya pada Tria siang tadi, walau sebetulnya anak itu sedikit banyak memang pantas diperlakukan demikian.

Dia lalu menelpon Tria malam itu, meminta maaf, tapi anak itu malah menangis.

“Aku pengen berubah Ky. . Aku nggak mau gini lagi. Aku benar-benar pengen move on, tapi ini susah. . Sepuluh tahun pacaran dan dia menikah sama orang lain. . aku masih susah nerima.”

“Aku mohon bantuanmu, Ky”

Rizky sakit hati mendengarnya. Berani-beraninya dia? Rizky menghela napas dengan keras. Suara tangis Tria menunjukkan bahwa dia benar-benar terluka. Ia baru akan bersimpati ketika Tria mengatakan sesuatu yang menurut Rizky terdengar sangat salah di telinganya.

“Aku capek hidup kaya gini Ky! Aku nggak mau jadi gay! Aku pengen berubah jadi normal!” Tria mulai meracau dari seberang telepon.

“Memangnya kau power ranger, eh? Kaupikir kau itu Kamen Raider bisa berubah? Kau konyol banget deh.” Rizky menahan emosi, “KAU TUH NORMAL, DASAR GOBLOK!“ Pada akhirnya Rizky tidak bisa menahan makiannya.

Satria menggeleng, tapi jelas Rizky tak bisa melihatnya.

“Kau nggak ngerti Ky. .  aku nggak mau nyakitin orang tuaku. Mereka pengen aku nikah.”

“Ya kamu nikah aja, kalau gitu.” Rizky mendengus. Ia menurunkan emosinya yang telah mencapai ubun-ubun. Kendati Rizky tidak ingin kasihan pada Tria.

“Mana bisa? Aku nggak mungkin nikah sama perempuan kalau keadaanku masih gini.”

Rizky memutar bola matanya. Ia sudah terlalu hafal dan jengah dengan skenario semacam ini. “Pernikahan yang menyakiti pasangan itu hukumnya haram, kau  ngerti akidah ‘kan? Jelaskan itu pada orangtuamu,” kata Rizky, mengulangi kutipan dari film Ketika Cinta Bertasbih.

Satria hanya diam di seberang. Rizky masih bisa mendengar isakannya. Rizky mencoba bersikap waras dan mengambil jalan tengah.

“Kalau kau nikah, kau nggak hanya akan menyakiti dirimu sendiri atau keluargamu. Kau juga bakal menyakiti calon istrimu serta keluarganya.”

“Karena itulah. . Ky. Aku mohon bantuanmu. Aku nggak mau menyakiti siapapun, apalagi orang tuaku.” Tria memelas.

Sungguh ironis, pikir Rizky. Tidak ingin menyakiti siapapun, katanya? Bagaimana dengan Rizky? Tidakkah Tria sadar dia barangkali juga menyakitinya?

Sisi empati Rizky ingin menempatkan dirinya pada posisi Tria. . mantan kekasihnya telah menghancurkan hidupnya. . Dia juga punya orang tua yang tidak mengerti dirinya.

Pertahanan diri Rizky runtuh. Anak itu memerlukan bantuan. Sisi malaikatnya menang.

“Oke, aku bakal bantu,” Ia luluh.

Sebisa mungkin Rizky membuat Tria berpikir cerdas dan logis, walau itu membuat Tria semakin merasa dilema. Hal paling mendasar sekalipun, tentang jati dirinya. . Tria masih belum paham. Anak itu masih terdoktrin bahwa menjadi dirinya sendiri adalah suatu yang salah. Rizky ingin membebaskannya

.

Dua hari kemudian atas nama persahabatan mereka yang telah tumbuh, dan sejumput kecil rasa iba, Rizky membawa Tria pada seorang psikolog yang menjadi sahabatnya, Ani, dan seseorang yang selama ini menjadi panutan dan tempat curhat Rizky, Ustad Muif.

“Gay itu bukan penyakit, jadi nggak ada yang namanya sembuh. Kau normal sama seperti manusia hetero manapun. WHO sudah lama menghapus LGBT dari daftar penyimpangan seksual. PPDG II Psikologi juga melarang mengkategorikan homoseksual ataupun biseksual sebagai penyakit kejiwaan, karena memang bukan penyakit. . Lalu ada jurnal DSM V. . Juga penelitian yang membuktikan bahwa homoseksualitas ditemukan di lebih dari 1500 spesies hewan dan mamalia, termasuk manusia.“ Ani menjelaskan secara panjang lebar.

“Biseksual, homoseksual, heteroseksual, aseksual, semua adalah orientasi seksual dan semuanya setara di hadapan Allah. Orang sekarang keliru merancukan LGBT dengan kaum Nabi Luth.” Ustad Muif menjelaskan.

“Apa yang dilakukan Kaum Luth? Mereka membunuh, memerkosa laki-laki dibawah umur, mereka benar-benar rusak moral. Jelas sekali alasan kenapa Tuhan melaknat mereka. Mereka melakukan sodomi atas dasar paksaan, bukan karena saling menyayangi! Itu tidak bisa diterima, karena merendahkan martabat manusia.”

“Banyak cendekiawan muslim jaman dulu yang menerima eksistensi homoseksual. . Hasan al-Basri, Ibn al-Hazm. Ada juga al-Zuhri, al-Musytawli, Abu Hurairah, al Muttaqi, al-Hindi, al-Zahabi, al-Suyuthi, mereka semua menolak hukuman terhadap homoseksual. Dan tidak sekalipun dari mereka menyangkutkan homoseksual dengan Kaum Luth. Kau juga pernah membaca cerita Abu Nawas, tentunya? Dia ada di Kisah Seribu Satu Malam. Dia seorang penyair terkenal, dan seorang homoseksual, sama halnya dengan kau! Walau sedikit nyeleneh, tapi dia muslim yang taat.”

“Lalu ada Yahya bin Aktsam. . seorang al-Qadhi di masa khalifah al-Ma’mun,”

“Lama setelah Islam ada dan berkembang, Kesultanan Ottoman Turki masih melakukan praktik homoerotisme. . ini bisa dilihat dari warisan karya seni mereka. . walau akhirnya Islam terkena pengaruh kekristenan Victorian Eropa yang menjunjung tinggi heteroseksualitas. . Dulu orang-orang Eropa melarikan diri ke suaka di negara mayoritas muslim yang menerima homoseksual. . Maroko misalnya. Semuanya ada dan tercatat dalam sejarah. Orang jaman sekarang hanya sok tahu dan mudah menyalahkan tanpa belajar fikih maupun sejarah,”

Tria menangis lama sekali, mendengarkan penuturan dan nasehat dari Ani serta Ustad Muif.

“Kau yang paling berdosa terhadap dirimu sendiri. Bertaubatlah.”

Ustad Muif memberi wejangan terakhir pada Tria, “Kalau orang tuamu benar mencintaimu, yakinlah kau bisa meyakinkan mereka. Percayalah pada dirimu dan keyakinan yang telah kau bangun, mereka akan menghargai keputusanmu.” katanya.

 

Walau seperti terguncang, Tria tampak lebih baik dan tenang ketika mereka meninggalkan Ani dan Ustad Muif pada sore hari berikutnya. Dan Rizky tidak bisa lebih bersyukur karena setelah peristiwa itu keduanya semakin akrab. Tria menjadi orang yang lebih menyenangkan, atau lebih tepatnya. . Rizky lebih tidak merasa terbebani dengan keberadaan Tria.

Mereka ngobrol, bercanda, nongkrong layaknya sepasang kekasih, walau belum ada ikatan diantara mereka. Rizky tak pernah lagi mendapati mimpi tentang suara laki-laki yang minta tolong yang sering membangunkan tidurnya. Satria kadang-kadang sangat manja kepada Rizky. Pada suatu waktu mereka marahan sesekali. Tria sempat marah karena Rizky pergi ke Lumajang tanpa memberitahunya selama berhari-hari.

Meski begitu mereka selalu menemukan jalan untuk bersatu. Selama beberapa waktu mereka bersama, tanpa kejelasan, tapi setidaknya mereka bahagia. Rizky sering menghabiskan waktu di kos Tria hingga larut. Mereka tertawa bersama ketika Rizky mengajak Tria berkenalan dengan kroni-nya.

Akan tetapi rupanya kebahagiaan ini tidak berlangsung lama.

Rizky sempat menghilang dua hari lalu karena ia tiba-tiba ragu, lantaran Tria tidak pernah menyebut-nyebut atau mengakui hubungan mereka. Meski kadang-kadang Rizky berpikir bahwa Tria adalah jodohnya, Rizky merasa dirinya digantungkan. Dia terus bertanya-tanya soal Tria, apakah mereka sebatas sahabat? Ataukah mereka kekasih?

Hal itu berlangsung selama dua bulan. Rizky mengasingkan diri untuk mencari jawabannya. Memasuki bulan Maret, segalanya menjadi jelas bagi Rizky ketika ia harus menelan kenyataan pahit, segera setelah dia jujur mengenai alasan mengapa dia menghilang kepada Tria.

“Maaf Ky. . Aku sebenarnya nggak ada niatan untuk pacaran.”

Petir seolah menyambar di suatu tempat. Tapi itu hanyalah ilusi pikiran Rizky. Kupingnya berdenging mendengar penuturan bajingan keparat itu. Setelah semua yang dilakukannya. . Setelah usahanya untuk membantu Tria. . Setelah kebersamaan yang mereka habiskan. .

“Aku udah coba lupain mantanku. . tapi dia terus menerus menghantuiku Ky. . “

Kendati sudah bisa menerima dirinya, rupanya Tria masih dihantui masa lalunya dengan mantan kekasihnya. Rizky tidak bisa menerima ini. Ia memutuskan bahwa sebaiknya dirinya mundur.

Sakit hati, Rizky memilih untuk hilang selamanya dari hidup Tria. Ia tidak lagi datang ke kos Tria. Mengepalkan tangannya, Rizky memblokir nomor Tria dan bertekad tidak lagi menghubunginya. Orang-orang boleh menilai bahwa sikap Rizky tidaklah dewasa, tapi dia-lah yang menentukan siapa yang berhak keluar masuk hidupnya. Dia-lah yang bertanggung jawab sendirian atas sakit hati yang dideritanya.

Baginya sekarang Tria hanyalah duri yang selama beberapa waktu tumbuh di taman hatinya. . akan lebih baik kalau Rizky mencabutnya. Lebih baik bagi Rizky kalau dia tidak diganggu.

Rizky pulang ke rumah dengan merasa hancur.

 

Dua minggu berlalu. Di suatu hari yang cerah Rizky datang ke Bungkul. Jika sedih, kadang-kadang Rizky menghibur diri pada taman-taman disana. Ia menahan gejolak hatinya jika sesekali teringat pada Tria.

Rizky sering duduk di salah satu bangku di sudut. Biasanya ada anak kecil yang mengamen disana. Anak kecil laki-laki berambut kusut bernama Tika.

Yang aneh dari anak kecil ini, Rizky menyadari dia tidak pernah didekati anak-anak pengamen yang lain. Tika juga tidak pernah berusaha mendekati mereka. Mungkin penampilannya yang lusuh membuatnya minder, atau wajahnya yang selalu murung. Tapi Tika selalu duduk di bangku itu jika kebetulan Rizky kesana.

Rizky sudah cukup akrab dengan anak itu. Tika tidak pernah mengaku tinggal dimana, tapi jika Rizky pergi ke taman itu kapanpun, anak itu pasti disana, mengamen dengan sebuah harmonika patah. Dia juga hanya memakai sandal sebelah.

Rizky sudah sering membelikan anak itu sandal, tapi saat Rizky kembali suatu hari berikutnya sandalnya lagi-lagi hanya tinggal sebelah. Rizky bertanya-tanya adakah anak-anak lain mengusilinya? Tika tidak pernah jujur. Anak lain seperti tidak menyadari kehadirannya.

Saat kali ini Rizky datang, Tika tidak kelihatan dimanapun. Rizky duduk termangu menunggu selama setengah jam. Walau tidak benar-benar membantu, kehadiran anak itu kadang mengatasi sedih hati Rizky.

Rizky mencari-cari Tika ke seluruh taman. Nyaris sejam kemudian Rizky baru menemukannya, dia ada di kompleks ayunan, sendirian.

“Aku mencarimu,” kata Rizky. Tika hanya tersenyum. Rizky menyadari dia terlihat lebih rapi dari biasanya. Ada yang menyisir rambutyna. Dan sandalnya kini utuh, lengkap, tak ada yang hilang.

Dia tidak berkata untuk membalas Rizky, sebagai gantinya ia mengulurkan harmonika patah miliknya kepada Rizky.

“Maukah kau menyimpannya?” Tika bertanya. Anak itu tetap kelihatan polos dan memelas sekali, walau dandanannya sudah lebih necis.

“Kenapa?” tanya Rizky.

“Aku tidak memerlukannya lagi,” jawab Tika. “Sudah waktunya aku pergi,” katanya

“Kau mau kemana?”

“Ada keluarga yang mengadopsiku,”

Rizky merasa iba sekali dengan anak itu, tapi kemudian dia merasa lega. “Baiklah, kalo itu maumu. Aku akan menyimpannya dengan baik.”

Rizky mengambil harmonika patah milik Tika dan memasukannya ke dalam sakunya. Tika memeluknya lama sekali, ini membuat Rizky menangis.

“Jangan sedih,” kata anak itu. “Setelah ini jangan mencariku lagi, ya. Kakak nggak perlu kuatir, aku sudah bahagia dengan kondisiku sekarang.”

 

Saat di rumah Rizky meletakkan harmonika patah milik Tika, dan lagi-lagi memikirkan Tria. Hatinya pedih memikirkan bahwa ia takkan lagi menghabiskan waktu dengan keduanya, tapi dia harus tegas. Rizky tidak boleh terus-terusan lemah dan bersikap menye-menye selamanya. Sudah waktunya ia bersikap dewasa sesuai umurnya.

Rizky mengambil kaset lawas milik Padi dan mulai menyetel lagu Semua Tak Sama, dengan pemutar CD yang dibelinya dari pasar loak.

 

Dalam benakku lama tertanam

Sejuta bayangan dirimu

Redup terasa cahaya hati

Mengingat apa yang telah kau berikan

Waktu berjalan lambat mengiring

Dalam titian takdir hidupku

Cukup sudah aku tertahan

Dalam persimpangan masa silamku

Coba 'tuk melawan

Getir yang terus kukecap

Meresap ke dalam relung sukmaku

Coba 'tuk singkirkan

Aroma napas tubuhmu

Mengalir mengisi laju darahku

 

Rizki tertidur dengan memeluk harmonika pemberian Tika, dan bersama dengan habisnya lagu itu, ia bersumpah bahwa dia akan melupakan Satria.

 

Selama minggu-minggu berikutnya Rizky melewatkan hari-harinya dengan membantu ibunya berjualan lemon, dan sesekali berkumpul dengan kroni-kroninya: Taufiq, Azis, Fikri, dan Anton.

“Aku mimpi lihat kau jalan-jalan sama cowok, yang kau temui di stasiun itu.” kata Fikri. Malam sebelumnya ia mengaku pada Rizky bahwa ia bermimpi tentang Tria yang menyerahkan sebagian rambutnya pada Rizky, untuk disimpannya. Entah apa maksud mimpi itu, Rizky tak ingin mengetahuinya.

“Kapan hari bukannya kau ajak dia main WW, kok nggak kelihatan lagi?” Taufiq bertanya.

Rizky tidak pernah menceritakan yang sebenarnya soal Tria kepada mereka. Rizky tidak sanggup kalau harus menahan sakit hati dua kali.

“Udahlah, nggak usah dibahas lagi.” Ia berkata lesu.

Mereka memutuskan untuk kamping ke pantai bersama-sama akhir bulan itu di Malang, sekali lagi, untuk merayakan ulang tahun komunitas mereka. Bagi Rizky, ia mengikuti perjalanan itu lebih dikarenakan alasan pribadi.

Saat disana, pada hari terakhir, tanpa disangka-sangka Rizky bertemu dengan orang yang dalam lubuk hatinya masih diharapkannya.

“Sori,” kata anak itu.

Rizky mencoba bersikap tidak kaget saat Tria muncul dengan baju pantai dan celana jins selutut. Sebetulnya dia tampak cakep, tapi Rizky tidak ingin membiarkan anak itu kegeeran.

“Sori untuk apa?” tanya Rizky, ia lebih bisa mengatasi dirinya sekarang. Ia bertanya dengan tenang dan tanpa beban.

“Sori karena bersikap menyebalkan.” jawab Tria.

Walau Rizky tidak akan mengakuinya di depan umum, tapi sebetulnya dia masih memutar lagu Semua Tak Sama milik Padi, yang mengingatkannya pada Tria, dan diam-diam dia selau berharap bahwa anak itu masih mengharapkannya. Rizky berharap bahwa Tria masih sering mengingatnya dan merindukannya.

“Tahu dari siapa kalau kita kemping disini?” Rizky bertanya lagi. Sama sekali tidak ada nada kecurigaan dalam suaranya. Kalimatnya murni pertanyaan.

“Taufiq yang ngundang, si imut itu.”

Keduanya menoleh pada Taufiq, yang tersenyum mengamati mereka dengan lesung pipi.

Pantai sore itu terasa sangat damai. Horizon membelah laut dengan langit menjadi pemandangan yang indah. Burung laut terbang di atas tenda-tenda mereka, sesekali memakan roti yang sengaja disebar Azis dan Fikri di sekitar situs kemping.

“Kita mulai lagi, dari awal?” Tria bertanya tiba-tiba. Rizky memikirkan jawabannya nyaris tanpa pertimbangan.

“Sebagai apa, teman atau pacar?” Ia memilih bertanya balik. Di suatu tempat Anton terlihat sedang memungut ranting, mencari kayu untuk dibakar.

Tria tampak meyakinkan saat dirinya menjawab, “Kita jalani dulu. . kalau kita berdua sama-sama yakin. . pacaran bukan hal yang harus dipersoalkan ‘kan? Sebagai teman atau pacar tidak masalah,”

Kali ini Rizky setuju. Entah darimana ia mendapatkan kekuatannya, tapi Rizky akan sedikit lebih bersabar untuk Satria. Masih ada banyak waktu bagi mereka untuk memperbaiki hubungan.

.

.

Epilog

 

Hari itu terik.

Satria mampir ke rumah Rizky untuk membantu anak itu memanen lemon lokal pada musim buah tahun berikutnya, sebelum menimbangnya bersama-sama ke dalam kardus. Setelah pasang-surut hubungan mereka, keduanya merasa cocok dan memutuskan untuk pacaran kira-kira tiga bulan lalu. Sejak saat itu keduanya tak pernah terpisahkan.

“Minum dulu, Ky. Silakan, Nak Tria juga.” Mama Rizky membawa nampan minum dan meletakannya di pinggir kebun. Ia masuk sambil tersenyum, mengerling pada putranya dan mungkin juga calon menantunya. Mama Rizky sudah terbiasa melihat Rizky dan Satria menghabiskan waktu bersama.

“Makasih Tante!” Tria berseru, mengambil dua gelas limun dan menyerahkan salah satunya pada Rizky, yang kini dengan bangga disebutnya sebagai kekasihnya. Keduanya bertukar berciuman secepat kilat saat tak ada yang melihat. Mereka melirik satu sama lain sambil nyengir, meneguk es jeruk limun dari gelas masing-masing, sebelum kemudian terengah-engah. Mereka basah oleh keringat.

Saat panen lemon usai Tria membawa klipping dan kepingan koran lawas, menyerahkannya pada Rizky untuk digunakan sebagai alas kardus wadah lemon. Rizky membawa koran-koran itu menuju garasi sambil membacanya. Tria mengikuti dari belakang.

Di salah satu koran, mata Rizky terpaku pada berita lama, tanggal 4 September 2002, tentang kecelakaan seorang anak kecil yang tewas tertabrak mobil di jalanan. Kliping itu menarik perhatian Rizky, karena foto hitam putih dari kepala berita yang dipotong Tria menampilkan seorang tubuh mungil yang tertutup koran, masih memegang sebuah harmonika metalik remuk, sementara kakinya yang terjulur hanya memakai sebelah sandal. Rambut anak itu, yang bersimbah darah, nampak awut-awutan.

Dengan gemetaran Rizky membaca isi lanjutan dari kepala berita itu, di halaman tiga belas. Wajahnya memucat ketika ia menemukan nama korbannya diidentifikasi sebagai Artika Wardhana, seorang pengamen yatim piatu berusia enam tahun yang tinggal bersama pamannya.

Rizky jatuh terduduk, syok. Kedua lututnya bersimpuh sementara ia mencoba menguasai diri. Disampingnya Tria merengkuh Rizky yang mulai menangis meraung, menanyakan apa yang salah dengan korannya. Alih-alih menjawab, Rizky melerai tubuhnya dari Tria dan berlari kencang ke kamarnya dengan airmata bercucuran. Rizky mencari ke semua sudut tempat itu, tapi harmonika patah pemberian Tika tak pernah ditemukannya.

.

.

Surabaya, 12 April 2020.

Catatan Penulis

Cerpen ini setengah fiksi. Pada dasarnya yang saya tulis disini adalah kisah nyata yang saya adaptasi secara bebas untuk keperluan cerita. Sebagian tokoh pada cerpen ini asli, dan sebagian adalah rekaan/saya plesetkan. Jika ada yang tidak berkenan namanya digunakan pada cerpen ini, silakan menghubungi saya.

Di cerpen ini saya ingin menunjukkan betapa nggak mudahnya menyatukan hati dua manusia, bahkan dengan jenis kelamin sama sekalipun. Cinta tidak menjadi lebih mudah hanya karena datang dari gender yang sama, justru sebaliknya. Cinta jenis ini malah lebih ribet.

Banyak ketidakkejelasan menyangkut percintaan, dan kadang-kadang ini merugikan salah satu pihak. Sebagai korban ketidakjelasan perasaan manusia, dipaksa untuk “nggak apa-apa” akibat suatu hubungan bukanlah hal yang menyenangkan.

Lewat cerpen ini saya juga ingin minta maaf jika terkadang saya bersikap insensitif atau menggampangkan persoalan. Betapa hal yang dialami kebanyakan anak-anak gay yang tumbuh di keluarga heteronormatif sangatlah tidak mudah. Perjuangan untuk menerima diri ditambah beban dari orang tua, sesuatu yang mungkin TIDAK saya alami dengan amat susah.

Saya ingin mengatakan anak yang tetap bertegang teguh pada dirinya/mimpinya dan sebisa mungkin tetap menghormati orangtuanya adalah anak-anak yang mulia dan luarbiasa. Semoga orangtua dari anak-anak ini juga belajar untuk menerima anak mereka sebagai apa adanya, bukan karena keinginan aau ambisi pribadi mereka.

 

Catatan Pribadi : Untuk mas Eky, cerpen ini mungkin jauh dari harapan. Tapi semoga apa yang tertulis disini membawa hal baik untuk hidup mas Eky. Aku berterima kasih karena mas Eky mau membagi kisah ini dan mempercayakan padaku untuk menulisnya

 

Salam sayang,

Beda Prasetia Aditama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar