14 April 2020

Strawberries & Cigarettes, P1

Strawberries & Cigarettes

by @AntonErl
.
.

Ada yang salah dengan ekstrakurikuler pramuka di sekolah kami. Salah seorang kakak pembina-nya adalah laki-laki yang diam-diam suka merokok. Aku sering memergokinya di koridor lantai tiga yang sepi. Tempat itu menghadap langsung pada lapangan bola di Selak. Dia sering nonton bola dari atas sana, sambil menyesap rokok.

Nama laki-laki ini Lutfi. Yah, itu memang haknya kalau dia ingin merokok sih. Sayangnya dia adalah laki-laki yang kusukai di sekolah. Aku membencinya karena dia begitu menikmati rokok. Aku ingin dia mengubah kebiasaannya ini, untuk kebaikannya sendiri.

Sedikit demi sedikit.

Suatu hari aku nekat mengambil koreknya. Aku tahu dimana dia menyembunyikannya, karena dia takkan mungkin menyimpan benda itu di tas sekolah. Terlalu beresiko. Aku mendahuluinya datang ke koridor lantai tiga untuk mengambil korek yang ia sembunyikan di belakang papan mading. Koridor itu adalah jalan menuju lab komputer dan lab bahasa yang hanya digunakan di saat tertentu.

Hal ini berhasil selama beberapa waktu. Walau ia sering memindahkan koreknya ke tempat lain sejak pencurian yang pertama, aku selalu berhasil menemukannya. Tapi suatu hari aku telat karena membeli stroberi plastikan yang dijual pedagang buah yang mampir di luar gerbang sekolah. Aku lari ke koridor lantai tiga, tapi saat aku berbalik sudah ada Lutfi yang menangkap basah perbuatanku.

"Jadi kau yang sering nyolong korekku, eh? Dasar anak setan." Lutfi terlihat marah. Dia melihatku memegang korek. Aku tidak ingin merasa takut. Walau kedengaran konyol jika aku yang mengatakannya, tapi kebenaran harus ditegakkan.

"Kalau iya, kenapa?" Aku menantangnya. Aku mencoba membuat diriku terlihat segarang mungkin. Aku tak ingin merasa gentar.

"Balikin, itu punyaku goblok,"

"Nggak! Kau nggak boleh merokok di sekolah!"

"Siapa yang peduli?"

"Aku peduli!"

"Trus kau mau apa? Lapor kepsek?"

Lutfi berjalan mendekatiku, tatapannya begitu mengintimidasi sementara aku berjalan mundur. Aku terpojok karena ujung lain koridor tiga adalah jalan buntu. Hatiku mencelos. Tak ada jalan keluar.

"Kau harus hidup lebih sehat! Kau harus lebih sering makan buah," kataku, sedikit panik. Aku menyodorkan stroberi plastikan yang kubeli tadi.

Lutfi diam saja. Ia tidak menggubris ucapanku. Tanganku yang terulur kutarik kembali. Dia berjalan maju menghimpitku. Jarak kami kini hanya berselang tiga meter.

"Akan kukembalikan korekmu, tapi kau harus berjanji untuk berhenti merokok. Deal?" Aku mulai takut karena Lutfi kini sudah dekat sekali.

"Berisik." katanya, nyaris berbisik.

Selama sedetik aku lupa caranya berpikir. Orang bilang, jatuh cinta membuatmu melakukan hal bodoh. Mungkin itu yang kulakukan sekarang. Aku telah bertindak bodoh. Tapi aku tidak peduli.

Selama tujuh belas tahun aku hidup, belum pernah aku sedekat ini dengan Lutfi. Pada jam-jam latihan Pramuka di lapangan Selak, dimana dia mengajar anak-anak mendirikan tenda atau baris berbaris, sekalipun belum pernah Lutfi memperhatikanku. Tapi dia ada disini sekarang, tepat di depanku.

Dia baru akan bilang sesuatu, nafasnya yang berbau permen mint (kemungkinan Relaxa) tercium hingga indera penciumanku. Aku langsung bereaksi. Aku menerjang Lutfi hingga dia sedikit terjengkang.

Lutfi tidak mengira kalau aku akan berani menabraknya.

Aku membawa kabur korek api Lutfi dan membanting benda itu di depan matanya hingga korek itu pecah.

Aku mencintaimu, Lutfi, aku mencintaimu. Maaf. Aku harus melakukannya.

Rasanya menyakitkan sekali, melakukannya. Dia akan membenciku, tapi lebih baik begitu.

"Jangan menjadikan rokok sebagai pelarian. Kau harus menghadapi masalahmu!" kataku sebelum berlari pergi.

Aku sempat meletakkan stroberiku di hadapannya, sebagai ganti rasa bersalah, dan tidak berbalik lagi.

()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar