18 Juli 2020

Ghost in Me

Hal pertama yang kudengar setiap pagi saat menuruni tangga adalah isakan tangis kakak sepupuku, Patriawan. Aku harus tinggal dengannya karena dia adalah keluargaku satu-satunya yang ada di Surabaya. Selama pandemi ini aku dan Patria menjalani karantina bersama, dan selama itu pula tak henti-hentinya kudengar suara tangis dari kamarnya. Dia tidak pernah berusaha menutupinya atau memelankannya.

Tadinya aku tidak tahu apa sebab pasti kakak sepupuku itu menangis. . hingga akhirnya aku sampai pada sebuah pemahaman. Kini aku paham kenapa.

Aku dan Patria tidak begitu dekat satu sama lain. Dia lebih dekat dengan kakak kandungku sendiri, Vergiawan, karena mereka tadinya satu universitas. Sebetulnya aku tidak yakin apakah aku dan Patria bisa disebut saudara, karena dia sebenarnya adalah anak angkat paman dan bibiku, jadi kami tidak punya ikatan darah.

Aku datang ke Surabaya tiga puluh lima bulan yang lalu untuk menempuh bangku kuliah di universitas yang berbeda dengan kakakku. Sebetulnya aku menyewa satu kamar indekos sendiri, di Rungkut, sampai dua bulan lalu, saat Ayah dan Ibuku di Semarang menyarankanku menjalani karantina dengan Vergi dan Patria, untuk kebaikanku sendiri.

Tapi ternyata itu tidak semudah yang dibayangkan. 

Kakakku, Vergi, adalah seorang dokter muda. Dia meninggal dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan. Vergi dinyatakan positif virus corona dua hari setelah ia dipindahkan ke ruang isolasi dari rumah yang kami sewa.

Kondisinya saat itu benar-benar memprihatinkan. Vergi mengeluhkan sesak napas serta demam tinggi, dan ia tidak kunjung membaik meski telah menjalani perawatan. Keadaan Vergi terus memburuk hingga akhirnya ia meninggal. Setelah aku dan Patria dinyatakan negatif, dari hasil tes kami, kami menjalani karantina mandiri selama empat belas hari berikutnya dan tidak diizinkan keluar.

Pintu-pintu rumah kami ditutup rapat. Jendela rumah kami tidak dibuka. Pagar rumah kami dijaga ketat oleh petugas. Ayah dan ibuku bergantian meneleponku, menangis sampai larut malam. Mereka bercerita panjang, menyesali kepergian Vergi. Mereka tidak sanggup menerima kenyataan kalau putra sulung mereka telah tiada.

Aku sampai harus menemani ibuku hingga tertidur, karena dia menolak berhenti dari panggilan video call-nya. Aku senang karena dia mengkhawatirkan keadaanku dan Patria. Kutemani ayah dan ibuku melewati masa-masa sulit dengan sabar.

Vergi dimakamkan sesuai protokol kesehatan di pemakaman kota, tanpa kehadiran siapapun dari keluargaku. Karena baik aku dan ayah-ibuku tidak bisa bertemu saat pandemi, kami berduka dari rumah masing-masing. Tapi rupanya ayah dan ibuku lebih kuat daripada yang kuperkirakan. Kami terus bertukar kabar setiap hari selama masa karantina. Setelah beberapa hari yang melelahkan dan penuh air mata, ayah dan ibuku bisa bersikap rasional. Mereka akhirnya merelakan kepergian Vergi. Sesekali mereka minta disambungkan ke Patria saat video call denganku, untuk menanyakan kabarnya.

Hanya itulah bentuk komunikasiku dengan Patria. Kami nyaris tidak pernah bicara. Selama berhari-hari kulihat mata Patria sembab karena tangis. Aku merasa itu wajar, karena kakakku bukanlah sosok yang asing baginya. Mereka telah dekat selama bertahun-tahun lamanya. Aku merasa, seperti halnya ayah ibuku, Patria akan merelakan kepergian Vergi juga.

Aku sendiri tidak bisa menangis. Aku tidak merasa kehilangan kakakku, entah kenapa. Aku malah merasa mati rasa.

Jujur, kupingku hanya berdenging saat mendengar kabar kematian Vergi. Aku bahkan sangat tenang saat kuberitahukan kabar itu lewat telepon pada ayah dan ibuku berbulan-bulan lalu. Mungkin karena selama ini, Vergi menjadi bayang-bayang diriku dalam keluarga. . setelah kematiannya, justru aku merasa lega.

Selama lebih dari dua puluh tahun aku hidup, kemanapun aku pergi, orang selalu menyebut-nyebut kakakku. Vergi dipuji karena ia pintar dan berbakat. Vergi selalu dikagumi karena ia pernah memenangkan olimpiade matematika, langganan juara kelas dan tidak pernah absen masuk koran. Ia bahkan mendapat beasiswa penuh untuk jurusan kedokteran yang sudah lama diimpikannya. Ayah dan ibuku kelewat bangga karenanya, sampai mereka tidak pernah berhenti menyebut tentang hal itu dalam setiap acara keluarga.

Halaman Facebook Vergi banjir oleh ungkapan dukacita, bahkan dari orang-orang yang sama sekali tidak kukenal. Orang-orang menyebut Vergi sebagai pahlawan.

Sementara aku? Aku tidak merasa pernah diperhatikan siapapun karena adanya Vergi. Setiap pencapaian yang kubuat hanyalah pengulangan dari apa yang telah Vergi raih sebelumnya. Selama ini Vergi seperti awan mendung yang menggantung jauh di atasku, menutupi cahayaku. Ayah dan ibuku tidak pernah bangga punya anak sepertiku, yang sangat bersemangat kuliah di jurusan teknik, karena bagi mereka tidak ada kemasyuran yang lebih besar dari mempunyai seorang dokter di keluarga.

Kini hariku sedikit lebih cerah saat awan mendung itu menyingkir.

Walau pikiran ini coba kuenyahkan, aku merasa seperti lahir dari sebuah kecelakaan. Aku adalah anak yang kelahirannya tidak direncanakan. Aku dibesarkan dengan ala kadarnya. Ayah dan Ibuku menghargaiku hanya karena mereka iba. Tapi lihatlah sekarang. Si Vergi, anak emas kesayangan mereka itu sudah tiada. Dan aku akan menggantikannya sebagai penerus keluarga.


Saat karantina dan masa PSBB, setiap tiga hari sekali bahan makanan diantarkan ke rumah kami oleh tukang sayur perumahan. Setiap pagi aku memasak untuk diriku dan Patria. Aku menjadi penghibur bagi keluargaku dengan tetap terhubung dengan mereka selama pandemi. Patria sendiri sering dihubungi ayah-ibunya, yang mana mereka adalah adik orangtuaku. Mereka sering menitip salam padaku juga.

Fajar masa kemenangan bagiku telah tiba. Akhirnya aku akan menggantikan Vergi. Aku sedang bersemangat menyelesaikan tugas-tugas kuliahku, yang kini berbasis kelas online, dan aku akan membuat keluargaku bangga oleh pencapaianku. Lihat saja. Nama Vergi tidak akan lagi disebut-sebut.

Sepertinya aku berhasil. Hampir. Aku nyaris berhasil meyakinkan semua orang bahwa mereka tidak perlu menangisi Vergi, karena masih ada aku diantara keluarga. . kecuali mungkin Patria.

Patria selalu ingin menangis jika nama Vergi disebut-sebut. Aku benci melihatnya. Dia belum berhenti berduka, meski sudah lewat tiga bulan sejak kematian kakakku. Tadinya aku tidak mengerti kenapa. . sampai aku mencari tahu alasannya.

Aku tidak tahu sedekat apa hubungan Vergi dengan Patria sampai aku membuka jurnal pribadi kakakku yang tersembunyi di lacinya yang digembok, dan menemukan tulisannya soal Patria. Dari halaman-halaman yang ditulisi tinta spidol hitam kubaca curhatan Vergi mengenai Patria. Ternyata bagi Vergi, Patria tidak hanya sekadar sepupu angkat seperti halnya dia bagiku. Mereka berdua telah lama jatuh cinta dan menjalin hubungan, jauh sebelum aku datang ke Surabaya.

Seminggu yang lalu kutemukan album foto perayaan dua tahun hubungan mereka dari lemari Vergi, dan aku yang sedikit kaget akhirnya mengerti kenapa Patria bersedih begitu lama. . Vergi adalah orang yang sangat berarti baginya.

Setelah kepergian Vergi, Patria nampak kacau dan sering melamun. Saat sarapan dia hanya diam membisu. Patria bekerja dari rumah seperti halnya aku yang juga mengerjakan tugas-tugas kuliahku dari rumah, tapi dia lebih kelihatan seperti mayat hidup. Dia mulai lebih sering mengonsumsi alkohol dan mabuk-mabukan.

Yang lebih sulit kupahami dari itu semua adalah, Patria kini lebih takut saat melihatku. Patria sering terlonjak sendiri saat mendengar langkah kakiku datang, dan setelah kubaca jurnal kakakku. . kini aku memahaminya.

Aku begitu mirip dengan Vergi. Vergi yang selama ini berpacaran sembunyi-sembunyi dengan Patria. Atau bahkan mungkin hubungan mereka lebih dari sekadar pacaran. Kini aku mengerti. . Patria tidak bisa melihatku tanpa membuat dirinya teringat Vergi. Itu yang membuatnya sedih begitu lama. Ada hantu dalam diriku yang mengingatkannya akan kepergian kekasihnya.

Tak terhitung banyaknya orang yang mengatakan betapa miripnya aku dengan kakak sialanku itu. Tinggiku barangkali telah melebihi Vergi, dan walau aku sebisa mungkin memakai dandanan yang berbeda dengannya, tapi garis wajah kami nyaris benar-benar sama. Wajah dan tubuh kami menyerupai  struktur ibu kami, sementara kami mewarisi tinggi kami dari ayah kami. Aku tujuh senti lebih tinggi dari Vergi, dan sepatuku punya ukuran yang sama dengannya sekarang. Aku dan Vergi seperti saudara kembar, walau pada kenyataannya kami terpaut beberapa tahun.

Saat aku mendengar Patria menangis pagi ini, aku merasa bisa ikut merasakan kepedihannya. Aku benar-benar membenci Vergi karenanya. Bagaimana mungkin Vergi bisa dicintai sebegitu dalamnya oleh seseorang? Apa yang telah Vergi lakukan sehingga ia pantas ditangisi sedemikian rupa hingga berbulan-bulan setelah kematiannya?

Aku benar-benar iri.

Tidak seperti ayah ibuku yang ada jauh di Semarang sana, Patria berada tepat di depanku. Dibawah hidungku. Aku merasa tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Ia kedengaran benar-benar terluka saat kutemukan menangis setiap pagi. Aku tidak bisa mengabaikannya

Tidak di saat suara isakannya yang mirip hewan terluka terus mengusikku setiap pagi selama tiga bulan. Tidak di saat ia terlonjak setiap kali aku mencoba mengajaknya bicara. Mau sampai kapan Patria melamun seperti itu, terus menangisi Vergi yang tidak lagi ada, tidak lagi berguna?

Kenapa Patria tidak bisa seperti ayah-ibuku, yang dengan pasrah menerima kenyataan bahwa Vergi telah mati. Vergi telah mati untuk selama-lamanya! Kenapa Patria tidak bisa menerima fakta bahwa Vergi telah pergi meninggalkan mereka semua. Ia tidak mungkin bangun lagi untuk menyayangi Patria seperti dulu. Menangisi kepergiannya tidak akan mengubah kenyataan bagi Patria. . Kenapa dia tidak bisa melihatnya?

Dan kenapa, lagi-lagi Vergi yang mendapatkan semuanya? Kebanggaan keluarga. Cinta tulus Patria.  Semua hal direbut olehnya. Aku yang selama ini harus susah payah berusaha, tidak pernah mendapatkan semua itu.

Seumur hidupku, tidak ada yang pernah mencintaiku sedalam itu. Tidak ada yang pernah benar-benar peduli padaku dan menganggapku berharga. Aku selalu menjadi nomor dua. Aku belajar bahwa hanya dirikulah yang mencintaiku, yang menghargaiku, dan bertanggung jawab soal kebahagiaanku. Kini aku menjadi orang yang kuat, tidak bergantung pada siapa-siapa. Aku melewati masa-masa sulit remajaku yang menyedihkan dan tumbuh menjadi pria dewasa.

Sudah cukup Vergi mencuri segala hal yang selayaknya kudapatkan. Aku telah menanggung beban menjadi bayang-bayangnya selama puluhan tahun. Aku akan menyelesaikan semuanya.

Dengan tekad bulat aku masuk kamar Vergi malam itu. Hantu Vergi masih bersemayam di sana, dan aku akan mengusirnya. Aku berniat menyudahi semuanya. Aku tidak tahan mendengar isak tangis Patria terus menerus. Akan kusudahi kesedihannya.

Kubuka lemari pakaian Vergi. Setelah kematiannya, tidak ada yang masuk ke kamarnya kecuali aku. Patria bahkan tidak lagi berani menatap kamar Vergi. Ia terlalu sedih dibuatnya. Dari berbagai garmen milik Vergi, aku mengenakan setelan pakaian miliknya yang lama, dan diluar dugaanku, pakaian itu sangat pas. Aku melihat bayangan diriku di cermin, mematutkan diri. Jika selama ini aku selalu menolak jika disamakan dengan kakakku, nyatanya aku memang mirip dengannya.

Kami mewarisi kerupawanan ibu kami, dan kecerdasan ayah kami. Saat kutatap bayangan diriku di cermin, aku melihat ada hantu Vergi dalam diriku yang terus menganggu Patria. Aku akan menyelesaikannya sekarang juga.

Setelah memasak makan malam, aku datang ke kamar Patria di lantai dua. Aku memakai parfum mahal milik Vergi yang masih tersisa, walau sebenarnya aku muak dengan wanginya. Aku belum pernah masuk kesana. Selama ini tempat itu selalu kuhindari. Hanya Vergi yang pernah berada disana selain Patria, sebelum ia meninggal. 

Kuketuk kamar Patria. Aku langsung masuk ketika tidak kudengar jawaban. Kamar itu tidak dikunci.

Patria bersimbah alkohol saat kutemukan di samping meja kerjanya. Pipinya merona merah. Entah kenapa ia tampak sangat menggemaskan. Kudekati dia. Patria nampak kelelahan sehabis bekerja.

"Patria. . Ini aku, Vergi." Aku menirukan suara bariton Vergi.

Patria bangun dengan linglung. Ia tampak menyedihkan

"Vergi? Tapi-bukankah. .?" Patria menatapku lekat-lekat. Pikiran Patria yang dikuasai alkohol sulit mencerna maksud kalimat yang kuucapkan. Aku membantunya.

"Aku sudah meninggal, benar,. . tapi aku belum mengucapkan selamat tinggal padamu." Kumatikan lampu kamar itu. Aku menyalakan lampu tidur sebagai pengganti penerangan. Cahaya remang-remang memenuhi seluruh kamar.

Patria bangkit dengan perlahan. Dia dalam pengaruh alkohol yang kuat. Kedua pipinya basah, berlinang airmata. Ia berjalan dengan terseok sebelum jatuh dalam pelukanku. Detik berikutnya Patria melingkarkan kedua tangannya dipundakku dan menciumku penuh di mulut.

Aku balas mencumbui Patria dengan penuh nafsu. . selama ini aku belum pernah melakukannya, bahkan dengan perempuan sekalipun. Aku menjadi sangat terangsang oleh panas tubuh Patria. Kumasukan lidahku saat Patria mengerang, dan sesaat aku lupa diri.

Kepeluk Patria dari belakang. Dalam hati aku mengutuk diriku karena menyalahgunakan ketidakberdayaan Patria, tapi kuingatkan diriku bahwa aku bermaksud membantunya.

Kutuntun Patria menuju sisi tempat tidur. Aku merasa gugup karena aku belum pernah melakukannya. Ini akan menjadi kali pertamaku.

Kubuka seluruh pakaian Patria. Dia pasrah saja saat kubuka kedua kakinya, dan aku berada diantara pahanya, diatasnya. Kujilati setiap senti tubuh Patria sementara dia terus mendesah. Aku merasa haus dan lapar oleh pesonanya.

"Kupikir kau takkan pernah pulang. . bagaimana rasanya di ruangan itu. . Vergi?" Patria berkata terbata-bata sambil memegangi daguku, disela-selaku yang memberinya ciuman. Aku menenangkannya.

"Sshh. Kau tak perlu mengkuatirkannya." Aku menciumnya lagi.

Aku mengulum bibir Patria, telinganya, dan setiap jengkal tubuhnya yang bisa kujangkau. Patria beralih diatasku saat aku mulai kewalahan, dan dengan sedikit kepayahan ia memasukkan benda diantara pahaku yang menegang ke bagian belakang tubuhnya.

Aku mendesah hebat sementara Patria naik turun diatasku, ia menggigit bibirnya. Saat kami terbaring bersimbah keringat satu jam kemudian, aku mencoba mengajak bicara dengannya.

"Dengar, Patria. . ini semua tidaklah nyata. . Saat kau terbangun nanti kau tidak akan menemukanku. Aku kemari hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Kau paham?"

Patria menatapku dengan sedih. Aku tidak tega melihatnya. Dia lalu membenamkan kepalanya didadaku. Kuteruskan bicaraku,

"Kau harus berjanji padaku satu hal. Sayangi dirimu. Berhenti menyakiti dirimu. Jangan menghabiskan waktumu dalam kesia-siaan. Jangan menyia-nyiakan nyawamu. Kau mengerti? Hidupmu masih panjang. Kau akan melewati masa sulit ini. .Bertahanlah."

Patria terdiam di dadaku, tapi aku tahu dia mendengarkan. Maka kulanjutkan,

"Tidak akan ada yang menjagamu selain dirimu sendiri, Patria. Aku tidak bisa berada di sisimu selamanya. Jangan menangisiku terus,"

Perlahan, sangat perlahan, kurasakan Patria mengangguk. Ia sesenggukan didadaku. Kuusap kepalanya dengan lembut. Setelah lama diam akhirnya Patria angkat bicara,

"Daridulu kau selalu banyak bicara. . Selama tiga bulan ini aku memohon supaya dipertemukan denganmu, dan akhirnya kau datang. Kau menepati janjimu untuk datang saat aku membutuhkanmu. . "

"Maaf karena aku pergi begitu lama." Aku menghela napas. Dua titik air mata muncul dari sudut mataku, aku menyekanya. "Kali ini aku serius. . Patria. aku tidak akan kembali lagi. Jangan mencariku lagi. Titipkan salamku pada ayah dan ibuku. . titipkan salamku pada Judiawan. . "

Kali ini Patria bangun. Ia menatapku dengan mata sedihnya. Ia tampak sangat lelah. Dia telah menderita begitu lama. 

"Judi. . dia adikmu kan?"

Itu pertama kalinya aku mendengar namaku disebut oleh Patria.

"Benar. Judi adikku." kataku mantap. Patria kembali berbaring di dadaku.

"Kasihan dia. Aku sudah berjanji padamu untuk menjaganya seandainya kau tiada, tapi aku malah selalu menghindarinya. . " Patria berkata dengan nada menyesal.

"Jangan kasihan padanya. Cukup jaga dirimu. Judi yang kita kenal, dia sudah dewasa. Dia bisa menjaga dirinya. . Jangan menghindarinya." nasehatku.

Patria mengangguk sebelum akhirnya ia jatuh terlelap. Kukecup dahinya. Kuucapkan selamat tinggal dan selamat tidur padanya. Aku keluar dari kamar Patria. Ia tidak akan ingat bahwa akulah yang disana, bukan Vergiawan.

Kutelepon ayah ibuku, memberitahu mereka aku belum bisa pulang ke Semarang dalam waktu dekat. Mereka paham. Aku lanjut menuju kamarku, tertidur tanpa sempat makan malam.  .

.

Pagi berikutnya aku terbangun dalam keadaan sangat lapar, masih dengan pakaian Vergi. Aku cepat-cepat menggantinya dengan kaos tidurku sebelum turun ke bawah. Itu adalah hari terakhir PSBB, dan aku akan memasak. Dalam perjalanan ke dapur tidak lagi kudengar suara isakan Patria dari kamarnya. Aku merasa lega.

Saat berada di dapur, sudah ada orang lain di sana. Patria berdiri di dekat kompor, memakai celemek dan membawa wajan. Ia nampak segar dan sumringah. Patria menyapaku saat melihatku.

"Hey, Jude. . kau sudah bangun? Aku membuatkan kita sarapan. Kau suka omelet kan?" Patria berkata riang.

Ia menghampiriku dan mengambilkan piring. Dengan cekatan ia membalik omelet di wajan dan menaruhnya di piringku.

"Terima kasih karena selama ini kau sudah merawatku, memasak buatku. Aku sepupu yang jahat ya? Maaf karena merepotkanmu." Patria membawa piring berisi omelet dan menyerahkannya padaku. Ia mendekat untuk membaui tubuhku.

"Baumu mirip Vergi. . kau pakai parfum yang sama dengannya?" Ia bertanya, menaikkan alis.

Patria tidak menunggu jawabanku. Ia terus nyerocos dan kembali menghadapi kompor. Sesekali kudengar dia bersenandung. Aku bersandar di tepi meja makan, memerhatikannya. Suara Patria terasa seperti nyanyian dari surga.

"Ngomong-ngomong, aku mimpi soal abangmu semalam. Selama ini Vergi selalu memberitahuku, walau kalian mirip secara fisik, tapi Vergi merasa dia lebih tampan. Kurasa aku setuju dengannya. . Kau tidak tersinggung 'kan?" Patria berkelakar. Ia tertawa oleh kalimatnya sendiri. Aku tahu sifat kakakku memang agak narsis. Aku tersenyum mengingatnya.

"Kau dapat salam darinya, Dia menyayangimu, kau tahu itu 'kan?" Patria menatapku dari kompornya.

"Yeah, aku tahu."

Aku duduk dan menatap Patria. Ia tersenyum hangat. Itu adalah senyum pertama yang ia tujukan buatku.

.
.

(The End)




Author's Note: Tulisan ini terinspirasi dari sebuah fanfiksi Harry Potter tentang Teddy Lupin dan Hermione Granger bertahun-tahun lalu, dan saya terus mencoba membuat versi milik saya, karena fanfiksi itu menyentuh sesuatu yang sensitif di hati saya. Saya merasa dari semua cerpen yang saya coba buat berdasar fanfiksi itu, ini adalah versi terbaiknya. Semoga kalian suka dengan cerpen ini.

Salam,

Anton Aditama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar