1 Juli 2020

Strawberries & Cigarettes, P7

Strawberries & Cigarettes (Part 7)
.
by @AntonErl

Kalau boleh jujur, aku nyaris tidak bisa tidur pada malam pertama kemah. Keadaan sangat bising di luar. Orang- orang terlalu ingin bersenang-senang sampai larut hingga lupa kalau besok masih banyak agenda yang harus dilakukan. Setelah permainan tangkap bendera antar regu, tarik tambang, adu gulat, dan segala permainan yang bisa dilakukan seorang anak pramuka, aku benar-benar butuh tidur.

Aku hanya bertemu sebentar dengan Pringgo saat Malam Api Unggun, karena dia sibuk juga dengan kegiatan regunya. Hari kedua kemah akan diagendakan sepenuhnya untuk Mencari Jejak, dan regu yang berangkat duluan harus menebak kode bendera semafor yang akan didemonstrasikan esok pagi-pagi sekali.

Aku tidak ingin reguku berangkat yang paling akhir, jadi kugunakan malam itu untuk menghafal kembali kode semafor yang ada di bukuku. Aku tidak yakin aku bisa mengandalkan teman-teman reguku dalam masalah ini kalau mereka masih menyanyi-nyanyi dan keluyuran di luar sekarang. Aku sedang mengingat-ingat gerakan huruf "H" saat seseorang masuk ke dalam tenda yang sepi. Hanya ada aku di dalam tenda itu.

Ternyata Lutfi. Sepertinya dia baru saja kembali dari sekretariat. Dia langsung menuju tempatnya. Lutfi telah memilih satu spot di sudut untuk menaruh barang-barangnya. Ia mengamati keadaan tenda setengah gelap yang hanya diterangi senter itu sebentar sebelum mengeluarkan satu-satunya kalimat darinya yang ditujukan padaku hari itu;

"Sebaiknya kau rapikan tendamu, penilaian tenda bakal dilakukan saat kalian mencari Jejak besok,"

Ia tidak menunggu jawaban dariku dan langsung tidur. Aku menghela napas. Pikiranku baru saja mencerna bahwa aku tengah berdua saja di dalam tenda bersama Lutfi. Ini pertama kalinya sejak terakhir aku berhadapan dengannya saat mencuri korek api miliknya beberapa waktu lalu.

Kira-kira apakah dia sudah melupakan perbuatanku, ya? Aku tidak memergokinya merokok akhir-akhir ini.

Sedikit menyesakkan dada memikirkan aku bisa berada sedekat ini dengan Lutfi, tapi di saat yang sama aku merasa kami begitu jauh. Beberapa kejadian belakangan yang melibatkan kami berdua tidak berlangsung baik buatku.

Aku melanjutkan hafalan semafor.

Pukul dua malam aku belum juga terlelap, teman-teman reguku telah kembali semuanya dan tidur berdempetan menyesaki tenda, setelah dipaksa tidur oleh para guru dan beberapa pimpinan Sangga dari golongan Penegak.

Aku mengeluarkan satu-satunya korek api yang tersisa dari koleksi Lutfi dan memutar-mutarnya di dadaku. Aku telah menempeli korek itu dengan stiker bergambar stroberi kecil dan bertekad tidak akan mengembalikan korek itu pada Lutfi sampai kapanpun.

Aku menoleh pada bayangan gelap Lutfi yang sedang terlelap di sudut. Aku berpikir sebetulnya dia bukan pembina pramuka yang buruk. Dada Lutfi naik turun sementara ia bernapas dalam tidurnya.

Pacar Lutfi barangkali sedang kuatir saat ini, karena tempat kemah kami berada sekarang sangat minim sinyal. Mereka takkan bisa saling berkabar.

Malam semakin dingin. Sudah sangat larut, aku sedang berusaha memejamkan mataku rapat-rapat saat sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggilku dari luar tenda.

"Ris? Kau sudah tidur?"

Itu suara Pringgo. Aku berhati-hati melongok keluar dari mulut tenda dan mendapatinya masih berpakaian lengkap di halaman kavling reguku. Dia memakai jaket dan membawa senter.

"Ambil jaketmu. Temanin aku keluar yuk? Aku nggak bisa tidur." Dia berbisik rendah.

Dengan super hati-hati aku melangkahi teman-temanku dan juga Lutfi yang terlelap, sebelum menyambar jaketku dari gantungan. Kupikir aku tidak sengaja menyenggol sisi siku Lutfi saat keluar. Dalam satu detik yang sangat ngeri kupikir ia terbangun, tapi ternyata itu hanya persangkaanku. Lutfi masih memejamkan mata saat dalam diam aku memakai sandal. Aku menenangkan diri. Dalam sekejap aku sudah diluar bersama Pringgo. Kami berjalan meninggalkan tenda.

"Mau kemana?" tanyaku.

Pringgo tidak menjawab. Dia mematikan senternya saat kami diam-diam melewati beberapa kavling tenda lain yang diterangi banyak lentera dan lampu minyak. Ada beberapa murid lebih tua yang tergabung dalam Sangga yang berjaga. Kami mengendap-endap mengambil jalan pintas di sisi lain bumi perkemahan yang tidak dijaga.

Ide untuk menyelinap ini sedikit banyak menggairahkan. Bau belerang tercium oleh indera penciumanku dari suatu tempat. Pringgo membawaku ke bekas api unggun yang masih membara. Ada bekas-bekas kulit ubi dan jagung bakar berserakan. Kami bersembunyi dibalik beberapa pohon yang melingkupi tempat upacara api unggun tadinya berlangsung.

Malam yang dingin jadi sedikit lebih hangat akibat bara api. Dari tempatku duduk aku agak was-was oleh apa yang akan terjadi seandainya aku dan Pringgo ketahuan, tapi paling banter kami hanya akan dimarahi. Jadi kurilekskan diriku.

Aku melihat keatas. Langit terlihat sangat dekat dari sini. Awan dan bintang kelihatan lebih jelas dari biasanya. Sesaat aku dan Pringgo hanya ngobrol biasa. Setelah lewat setengah jam, aku mulai kuatir bahwa kami akan ketahuan, karena aku mendengar suara seperti langkah kaki mendekat. Lalu Pringgo mengeluarkan benda yang bisa menjadikan segala sesuatunya menjadi runyam: Pringgo menyulut rokoknya.

"Gila kau ya. Sekarang bukan waktu yang tepat, Prin." Aku memberitahunya.

Dia meng"sshh"ku, tapi aku tidak mengindahkannya.

"Belum ada sebulan kau ngrokok. Itu urusanmu, tapi jangan disini dong." Aku mengingatkannya, seandainya dia lupa, bahwa ada lebih dari separo staf guru yang berkumpul disini dan kami bisa saja kepergok sewaktu-waktu. Berada di luar tenda jam segini saja bisa diartikan mengundang masalah.

"Tadi orangtuaku nyusul kesini," Pringgo bercerita.

"Hah? Kapan?" kataku. Perhatianku serta merta teralih.

Pringgo sudah tidak bicara dengan orangtuanya sejak ia diusir beberapa bulan yang lalu, setelah orangtuanya tahu bahwa dia gay.

"Waktu kalian sibuk main-main sore tadi," terangnya.

Aku ingat saat mendengar nama Pringgo dipanggil dari speaker sekretariat segera setelah tarik tambang usai, tapi belum menanyakan pada anak itu hingga sekarang. Ternyata itulah sebabnya.

"Jadi? Untuk apa mereka kesini?" tanyaku.

"Mereka sengaja kesini dan meminta maaf padaku. Kami ngobrol banyak. Tapi intinya setelah kemah ini usai aku dibolehkan pulang ke rumah, mereka bakal menjemputku." jelas Pringgo singkat.

Aku menekap mulutku. Pringgo tersenyum bahagia. Yang lebih baik lagi, dia kelihatan sangat lega.

"Mereka bakal ke rumahmu untuk bertemu Ibumu dan berterima kasih karena sudah menampungku selama ini. Mereka juga ingin bertemu denganmu." Pringgo berkata riang.

Aku benar-benar bahagia mendengarnya.

"Aku turut bahagia buatmu." kataku.

Aku beringsut memeluk Pringgo dengan erat. Ia balas memelukku. Kami begitu selama beberapa saat sampai ada seseorang yang menginterupsi.

"Seharusnya kalian tidur." kata sebuah suara dingin.

Aku membeku di tempatku. Suasana yang menyenangkan berubah dalam sekejap. Lutfi telah menangkap basah kami. Aku buru-buru melerai pelukan, tapi Pringgo bahkan tidak repot-repot menyembunyikan rokoknya.

"Jangan sampai kulaporkan kalian pada guru." ancam Lutfi.

"Silakan saja." Pringgo menantang.

Lutfi berdiri tidak jauh dari retihan api yang masih menyala dari sisa api unggun. Ia menatapku tajam.

"Maaf menganggu saat romantis kalian. Aku tidak peduli kalau seandainya kau bukan anggota regu yang kujaga. Tapi aku ingin kau camkan di kepalamu yang bloon itu, kalau kau masih tanggung jawabku. Aku bertanggungjawab soal keselamatan regumu, tapi kau malah bersikap egois dan bermesraan dengan pacarmu begini." Lutfi berkata pedas.

"Dia bukan pacar-" Aku berusaha menyanggah.

"BALIK. KE TENDA. SEKARANG!" Lutfi membentak.

Aku langsung terdiam, tidak mampu berkata-kata. Aku mengembik dan nyaris menangis saat berpamitan pada Pringgo, yang menatap Lutfi dengan penuh benci.

Di perjalanan kembali ke tenda, saat Pringgo menghilang dari pandangan, Lutfi mulai berkata sinis. Sepertinya Lutfi belum puas memarahiku.

"Enak sekali kau berbuat mesum saat tak ada yang melihat. Kau pikir tempat kemah ini milik nenek moyangmu, eh? Kalau ada apa-apa bagaimana?"

Walau seandainya bukan, Lutfi tidak perlu berkata sekeras itu, meski aku pantas menerimanya. Aku ingin menjelaskan bahwa yang kulakukan bersama Pringgo hanya berpelukan biasa, bukan sesuatu yang mesum atau tidak wajar, tapi merasa hal itu sia-sia saja. Jadi niat itu kuurungkan.

Lutfi berjalan di belakangku, mengawasi. Aku merasa tidak nyaman. Aku tidak tahu apakah aku sial atau beruntung karena Lutfi-lah yang menemukanku. Tapi semoga saja dia tidak melaporkanku.

Kami akhirnya sampai di tenda.

"Kembalilah tidur. Jangan kemana-mana lagi." katanya, kini dengan suara yang lebih sabar.

Selain caciannya, sepertinya aku tidak mendapat masalah yang lebih buruk. Aku lega karenanya. Aku tidak bisa berharap lebih dari itu.

Lutfi memastikan tidak ada lagi anak yang keluyuran dengan berjaga di luar. Aku sedikit kaget karena tenda yang tiba-tiba terasa lebih hangat dari sebelumnya. Aku berangkat tidur dengan lebih mudah kali itu, dan hal terakhir yang kuingat sebelum memejamkan mata adalah bayangan Lutfi dan raut wajahnya saat menangkap basahku. Dia kelihatan sedikit cemburu. . Ataukah kecewa? Aku tidak cukup yakin soal yang pertama. Aku tidak ingin kegeeran. Tapi kenapa dia kecewa persisnya? Rasa penasaranku tidak cukup besar untuk mengatasi kantuk yang menyerang, karena detik berikutnya aku terlelap.
.
.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar