1 Juli 2020

Strawberries & Cigarettes, P6

Strawberries & Cigarettes (Part 6)


Bulan November tiba dan kemah bakti yang telah ditunggu semua orang akhirnya bakal dilaksanakan. Bahkan para guru, yang menjadi galak akhir-akhir ini gara-gara murid yang tak bisa diatur, bisa lebih rileks pada pagi hari sebelum keberangkatan.

Mereka rupanya menganggap bahwa mereka pantas bersenang-senang juga. Aku tahu betul kebanyakan orang akan menggunakan kemah ini sebagai kesempatan untuk hura-hura, jadi aku tidak akan repot-repot mengomentari kelakuan mereka.

Aku akan menjadi anak sebaik mungkin dan mengurusi urusanku sendiri. Sejauh ini aku tidak diganggu, kecuali Pringgo yang bolak-balik mengekorku bisa disebut gangguan. Semenjak aku patah hati tempo hari, rupanya dia bertekad untuk menjagaku, agar aku tidak bertambah sedih.

Sebetulnya dia tidak perlu repot-repot. Karena atmosfer kemah bakti, bahkan aku kesulitan untuk merasa sedih karena terbawa suasana. Seperti yang lain, aku akan bersenang-senang juga.

Satu jam sebelum keberangkatan semua orang berkumpul. Aku bisa melihat beragam jenis orangtua yang mengantar anak-anak mereka. Ada yang luar biasa ribut, ada yang santai, ada yang menangis histeris karena harus berpisah dengan anak mereka.

Aku dan Pringgo hanya bisa memutar bola mata. Para orangtua itu sudah keterlaluan. Sebagian kakak pembina pramuka ikut menertibkan orangtua ini, yang sama susah diaturnya seperti anak mereka. Mereka menyita barang-barang yang tidak perlu dibawa seperti TV portabel dan kasur busa, karena dirasa berlebihan. Ibuku sendiri tidak ikut karena dia sudah mempercayakan Pringgo untuk menjagaku. 

"Kemping ini hanya tiga hari! Bapak Ibu tidak perlu kuatir, kami menjamin keselamatan semua peserta. Mereka juga takkan kekurangan hiburan, saya yakin." ujar ketua pembina, membentak para orangtua yang agak berlebihan soal anak mereka. 

Lutfi yang terlihat paling santai dari semua orang itu. Dia kelihatan lebih lega setelah semua persiapan kemah rampung. Beban menjadi panitia pastilah berat sekali. Sesekali Lutfi memandang kepadaku, tapi aku tidak bisa mengartikan tatapannya. Mungkin aku hanya kegeeran.

Setelah empat jam perjalanan kami sampai di bumi perkemahan. Kami naik bus melewati pegunungan Kendeng di utara. Ternyata bumi perkemahan itu berada di dekat bekas kompleks pelataran candi Hindu di masa lampau. 

Hal yang membuatku senang, dari jendela bus kulihat tempat kemah kami ternyata berada dekat dengan kebun stroberi yang menghampar. Tapi yang lebih mencengangkan lagi, ada juga kebun tembakau di sebelah kebun-kebun stroberi itu.

"Kok ada tembakau disini sih? Emang nggak terlalu dingin disini buat ditanemin tembakau?" tanyaku, melihat keluar jendela.

"Nggak, ini kan hitungannya masih musim kemarau. Nanti kalau sudah Desember udah musim hujan daunnya juga habis." kata Pringgo.

Bus yang kami tumpangi tidak bisa naik lebih tinggi karena tanjakan yang kelewat terjal. Kami diharuskan turun dan membawa sendiri barang bawaan kami menuju bumi perkemahan. Aku berpisah dengan Pringgo, karena dia harus bergabung dengan regunya.

"Baik-baik ya, sampai ketemu nanti waktu api unggun." Pesannya.

"Iya." jawabku pendek.

Pringgo mengacak rambutku sebelum pergi. Aku bergabung dengan sepuluh orang yang bergabung menjadi satu regu dalam kelasku.

Perlu satu jam penuh untuk mendirikan tenda. Hal yang susah dilakukan, karena semua orang merasa ingin membantu. Semua merasa paling pintar dalam simpul tenda, sehingga sulit menentukan apakah perdebatan soal simpul yang seharusnya digunakan justru lebih lama dari mendirikan tenda itu sendiri. Tapi ternyata tenda kami bakal ikut dinilai dari kecocokan simpulnya, karena regu dari kavling di sebelah kami ikut berdebat soal hal yang sama.

Dari tenda regu-ku, aku bisa melihat orang sedang membalik tembakau yang dijemur dari kejauhan. Tembakau-tembakau yang telah dirajang dijemur hingga kering di pinggir jalan yang terik. Di sisi lain ada orang yang memanen stroberi, berkarung-karung jumlahnya. Aku bertanya-tanya apakah kami bakal diizinkan mengunjungi kebun itu.

Setelah selesai, makan siang dibagikan khusus untuk siang itu, sebelum kami diijinkan untuk memasak sendiri pada sore hari. Hal itu bertepatan dengan pembagian pembina pramuka yang akan menjadi pemandu kami selama tiga hari kedepan, dan hatiku mencelos saat seseorang yang menjadi subjek pikiranku akhir-akhir ini datang menuju tenda regu-ku.

"Regu Banteng?" tanya Lutfi. Ia menghampiri regu kami yang tengah menyantap makan siang di depan tenda dengan gaya cueknya yang khas.

Kami serempak mengangguk.

"Baiklah." Lutfi sekilas mengerlingku. "Aku yang bakal jadi pemandu pramuka kalian nanti. Silakan selesaikan makan. Kalian punya waktu bebas sampai jam tiga sore sebelum apel upacara pembukaan di atas."

Lutfi menunjuk tanah lapang di dekat gerbang kompleks candi. Ia lalu membagikan jadwal susunan acara untuk tiga hari kedepan.

"Ada yang mau ditanyakan?"

Kami semua menggeleng. Lutfi melanjutkan bicara,

"Kamar mandi ada di sisi Barat. Kalau kalian perlu bantuan atau ada yang sakit, silakan hubungi sekretariat di Pendopo." katanya sebelum pergi.

Aku tidak tahu bagaimana menanggapi kabar menyenangkan ini. Aku melihat kertas bertuliskan "Regu Banteng, Pemandu: Lutfi." yang kini dipajang di mulut tenda.

Dengan Lutfi sebagai pemandunya, itu artinya dia akan tidur satu tenda dengan kami. Aku luarbiasa deg-degan. Sambil menunggu jam tiga aku mengunjungi tenda yang lain.

Beberapa orang kelihatannya lebih sial dari regu yang lain, karena mereka mendapat medan yang berbatu sebagai tempat kemah, atau cukup beruntung untuk dekat dengan kantin dan kamar mandi.

Lima menit sebelum pukul tiga tepat aku mendengar siren dari lapangan atas. Aku yang sedang berdiam diri di tenda Pringgo yang sepi, bergerak menuju tendaku sendiri dan berganti pakaian pramuka. Aku berlari dengan sesama anggota reguku, membawa tongkat pramuka kami menuju lapangan. Kemegahan sinar matahari sore memenuhi kompleks candi, membuat tempat itu kelihatan magis.

Aku membaui udara pegunungan yang sejuk. Kucari Lutfi di barisan pembina pramuka tapi aku tidak melihatnya. Pringgo mengerling padaku dari barisan regunya dan aku melempar senyum. Di sebelahku semua orang ramai berceloteh. Satu menit kemudian semuanya mendadak hening, hanya terdengar hentakan tongkat pramuka yang digerakkan untuk memberi hormat pemimpin upacara yang mulai memasuki lapangan.

Aku merasa bergairah. Apel pembukaan kemah bakti akan dimulai.

.
.
(bersambung)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar