"Selamat pagi, Budhe." ucap Riki pada kakak ibunya begitu ia turun. Ini juga kebiasaan baru Riki untuk beramah-tamah, karena ia hampir-hampir tidak pernah berucap begitu pada ibunya sendiri.
"Aneh rasanya kau manggil aku begitu." kata Indar.
Riki hanya nyengir. Ia tidak begitu kenal budhe-nya. Riki pindah ke Surabaya selama sebulan penuh untuk mengikuti pertukaran murid, dan beruntung sekali Riki punya budhe yang tinggal sendirian dan mau memberinya tumpangan.
"Kan sudah kubilang, panggil saja Mbak Indar. Aku cuma lebih tua setahun dari Ibumu." terang Indar.
"Oke, mbak." Riki menjawab.
Agak susah menghilangkan gambaran "Budhe Indar" karena selama ini, yang ada dalam benak Riki budhe-nya adalah seorang wanita berdaster yang banyak bicara. Riki sempat mengira ia salah rumah ketika pertama kali datang sore kemarin. Ternyata Indar yang selama ini digembar-gemborkan orangtuanya adalah seorang wanita menyenangkan. Riki lega karena ia tidak harus menghadapi sebulan penuh penderitaan bersama seseorang yang gemar mengkritiknya. Riki bahkan dibebaskan untuk membawa teman dan pulang kapanpun ia mau. Ia telah diberi satu set kunci duplikat seluruh pintu rumah begitu ia menginjakkan kaki di kamarnya untuk pertama kali.
"Sepedanya di depan ya, Riki. Bannya kamu pompa sendiri bisa 'kan?"
"Bisa, mbak Indar." Riki merasa panggilan itu memang lebih cocok untuk budhenya, tapi lalu ada yang menganggu pikirannya. "Terus kalau aku naik sepeda, mbak Indar berangkat kerja pakai apa? Naik gojek?"
"Haha, nggaklah. Aku kan biasa pakai sepatu roda. Tuh," Indar menunjuk sepasang sepatu yang tergantung tepat di luar kamar tidurnya.
"Wah, keren." respon Riki. Betul, pikirnya, budhe Riki memang keren.
Setengah jam kemudian Riki sudah berada di sepedanya dalam perjalanan menuju sekolah. Ketika berhenti di lampu merah, dari dalam bis seseorang mengamatinya dengan mata terbelalak.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar