30 Desember 2019

Hujan Malam Hari

Pic: Pinterest, Edit: Anton Erl


Hujan yang turun membuat jalanan yang biasa dilewati Audi menjadi basah. Dia yang sudah kuyup gara-gara tidak membawa payung harus pulang dengan jalan kaki karena tidak ada satu pun angkot yang lewat. Dengan kesal Audi mencoba menyalakan handphone-nya yang sudah mati sejak sejam lalu.

Sia-sia saja.

"Hape sialan." Audi mengumpat. Samsung miliknya sudah kehabisan baterai karena dengan pintarnya Audi meminjamkan charger miliknya pada Putra yang belum akan mengembalikan charger itu jika Audi tidak mendampratnya. Bocah sialan itu sudah ngacir duluan tanpa pamit pada Audi setelah pulang sekolah, dan Audi segera menyesali kebaikannya yang disalahgunakan.

Andai saja hape Audi mau hidup barang semenit saja, ia bisa memesan gojek atau setidaknya meminta Bima, adik laki-laki Audi, untuk menjemputnya sekarang. Sayang sekali tidak ada keberuntungan semacam itu. Alam juga seolah ikut andil dalam kesialan Audi, karena hujan malah turun semakin deras.

Audi telah menempuh hampir satu mil sejak berjalan dari sekolahnya, dan kini ia benar-benar capek.

Setelah menimbang-nimbang, Audi memutuskan bahwa ia akan berteduh lebih dulu, dan dengan cemas dirinya berharap (walau sebenarnya ini mustahil) masih ada angkot yang akan lewat. Setengah jam kemudian Audi segera menyadari kalau ia buang-buang waktu, karena tidak akan mungkin ada angkot di Secangan yang beroperasi selewat jam lima. 

Audi benar-benar sendirian. Tidak ada teman atau seseorang yang dikenalnya lewat bisa memberinya tumpangan.

Pukul setengah enam, dan hari semakin gelap, nyaris tidak ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera reda. Setelah duduk menggigil kedinginan di emperan toko yang tidak buka, dengan lesu Audi bangkit dan mulai berjalan ke arah rumahnya yang masih tiga mil jauhnya. Gerimis masih mendera ketika Audi sudah sepertiga jalan, dan dia melihat secercah harapan ketika tidak ada lagi sinar matahari di ufuk.

"Becak, nak?" Seorang bapak berpakaian lusuh menawari Audi tumpangan. Ia langsung sumringah dan kegirangan. Bagaimana dirinya bisa lupa? Selalu ada tukang becak yang mangkal di banyak pertigaan Secangan bahkan saat hujan deras sekalipun. 

"Ke Ambartawang ya Pak." Pesan Audi. Dengan segera ia naik ke kursi penumpang becak itu dan mengenyakkan dirinya dibawah naungan kanopi depan. Kelaparan dan basah kuyup, Audi bersyukur karena setidaknya sekarang ia terlindungi dari hujan. Ia tidak perlu capek-capek jalan kaki menuju rumah. Celananya yang basah meninggalkan jejak air di kursi penumpang.

Seperempat jam kemudian Audi yang nyaris tertidur, dikagetkan oleh sesuatu karena becak yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti. Semenit kemudian bapak pengemudi becak menyibakkan penutup plastik kanopi dan memberinya kabar buruk.

"Nak, maaf sekali. Rantai becak milik Bapak putus. Tapi tak perlu kuatir. Bapak akan minta tolong seseorang." ujarnya.

Hati Audi mencelos. Ia keluar dari naungan kanopi dengan perut nyaris mual. Di luar langit nampak gelap, dan lampu jalanan yang besar menyala kuning diatas mereka berdua. Untung sekali gerimis mereda. Lima menit berlalu dan bapak pengemudi becak itu menyetop sebuah mobil pickup biru gelap yang kebetulan lewat.

Mobil pickup itu berhenti seketika. Sopir yang duduk di kursi kemudi menatap mereka tanpa ekspresi. Setelah berdiskusi dengan orang itu, si tukang becak menghampiri Audi.

"Nak, silakan duluan. Biar bapak mengatasi rantai milik Bapak."

"Bagaimana dengan Anda-?"

"Tak perlu kuatir. Bapak sudah terbiasa dengan ini." Bapak itu tersenyum.

Walau merasa tidak enak, tapi juga tidak punya pilihan lain (karena tidak mungkin Audi menunggu lebih lama lagi) ia naik ke kursi depan pickup dan melambai pada tukang becak yang kemudian ditinggalkannya.

Hanya ada seorang pria paruh baya yang duduk di belakang setir. Kekosongan mengisi selama menit-menit berikutnya selama berkendara, sebelum sang sopir menanyai Audi. "Kau berhenti dimana?"

"Eh, d-di Amb-bartawang." jawab Audi menggigil. Ia diselimuti hawa dingin yang tidak ada hubungannya dengan pakaiannya yang basah. Sang sopir mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi.

Hari semakin gelap. Merasa canggung, Audi memutuskan untuk mencairkan suasana.

"Bapak ingin kemana?" Ia membuka percakapan.

"Pulang." jawab sopir itu pendek.

"Maaf karena merepotkan." ucap Audi. Si sopir hanya diam, pandangannya terpaku ke depan. Pickup itu melencur mulus di jalanan yang lengang.

Di luar hujan kembali mendera. Setelah sambutan yang kurang antusias, Audi memutuskan untuk diam saja. Tetes-tetes air membasahi jendela ketika Audi menoleh untuk melihat ekpresi pria di sebelahnya yang pucat pasi. Sepertinya pria ini sedang sakit, tapi kenapa dia memaksakan diri untuk tetap mengemudi?

Audi memutuskan bahwa dia tidak ingin tahu. .

Perasaan tidak nyaman bersemayam di dasar perut Audi. Begitu melihat pertigaan yang dikenalinya sebagai jalan menuju rumah, barulah ia mulai lega. Audi menginstruksikan kepada sopir untuk berbelok. Tapi pria itu tidak mendengarkan.

"Kok lewat sini Pak?" Audi bertanya ketika sang sopir malah jalan lurus terus melewati pertigaan.

"Kita lewat jalan yang satunya. Rumahku di dekat Ringin Anom, biar aku tak perlu memutar." terangnya.

Tapi di pertigaan berikutnya sopir itu lagi-lagi berjalan lurus alih-alih membelok. Merasa ngeri, di pertigaan terakhir sebelum jalan keluar dari Secangan, Audi mewanti sang sopir untuk terakhir kali.

"Belok sini-" 

Tapi pria itu mengabaikan Audi.

Audi tidak bisa memercayainya.

"Sepertinya Anda salah jalan." Ia berkata was-was. "Kita salah jalur, ini jalan keluar dari Secangan." Audi mencoba untuk tidak panik. Ia harus sedikit berseru untuk mengatasi suara hujan yang menghujam atap mobil.

"Maaf, aku lupa jalan ke Ambartawang." kata sang sopir sesaat kemudian. Lalu ia tersenyum ganjil. "Aku perlu mengisi bensin sebentar."

Mobil itu melaju semakin kencang. Audi benar-benar tidak percaya bualan sang sopir. Tidak ada pom bensin hingga bermil-mil jauhnya ke depan. Dan bagaimana mungkin dia bisa lupa padahal Audi sudah mengingatkannya?

"Kita harus putar balik, sekarang!" Audi memerintah, kini benar-benar ketakutan. Masa bodoh dengan sopan santun. Keputusasaan sangat kentara terdengar pada suaranya yang bergetar hebat. Pria itu menoleh padanya dan lagi-lagi ia mengulas senyum miring yang ganjil.

"BERHENTI!" Audi berteriak setengah histeris. Ia lepas kendali di kursinya dan mencoba berontak.

Pria dibalik kemudi menginjak pedal rem. Pickup itu berhenti. Sang sopir menoleh padanya sebelum keluar menuju hujan.

"Tunggu disini. Jangan kemana-mana." katanya memperingatkan.

Audi melihatnya berjalan ke belakang dan mencoba mengambil sesuatu di bak yang tertutup terpal.

Persetan dengan larangan pria itu. Audi menggunakan kesempatannya untuk menyentakkan pintu pickup membuka dan keluar menuju jalanan sepi yang tidak dikenalinya.

"Saya akan pulang sendiri!" Audi berteriak.

"Hei!"

Pria yang menjadi sopir mencoba mencegahnya pergi, tapi Audi menyepaknya. Di tengah hujan ia segera berlari. Sebelum tindakan itu berhasil sang sopir kembali menangkap lengannya. Dia berusaha menyeret Audi kembali ke mobil.

"LEPAS! DASAR ANJING!" Audi benar-benar murka. Tubuhnya meronta-ronta.

Teror memenuhi benak Audi. Ia mencoba menjejak dan menendang pria itu hingga mengenai tulang keringnya. Hujan yang turun dan masuk ke mata Audi membuat pandangannya mengabur. Tanpa pikir panjang Audi membenturkan tengkoraknya sendiri ke dahi pria itu hingga keduanya ambruk.

Audi segera bangkit walau belakang kepalanya luar biasa pusing. Terhuyung, ia lalu beringsut menjauh sebelum pria itu bisa menangkapnya. 

Audi berlari jauh sekali. Dadanya luarbiasa sesak. Paru-parunya seperti terbakar. Ia tidak berani menoleh ke belakang lagi untuk memastikan apakah pria tadi mengejarnya. Kegelapan dan kekelaman malam membuat Audi sangat takut. Kelaparan membuat langkah kakinya kewalahan. Hanya nyali yang ciut dan insting untuk terus hidup yang membuat Audi bertahan. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan oleh hujan.

Napas Audi sudah kecil sekali ketika ia sampai di depan rumahnya dan berjalan terseok-seok, tangannya mencoba menggapai pintu. Ia menggedor-nggedor pintu rumahnya dengan perasaan horor kalau-kalau pria sopir tadi akan muncul lagi. 

"Sabar!" didengarnya Bima berteriak dari dalam.

Audi muntah tepat ketika Bima membukakan pintu.

"Kau kenapa, hei? Kau kenapa?" Bima mencoba memapah kakak laki-laki semata wayangnya masuk, tapi Audi ambruk di keset. Pelipisnya mengeluarkan darah. Tubuhnya basah campuran antara keringat dan cipratan hujan. Ia menangis sejadi-jadinya.

Di tengah kepanikan dan kekacauan malam itu, walau kini dirinya aman, Audi berpikir bahwa siapapun pria gila barusan, dia masih berkeliaran di luaran sana. () 

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar